Suara deru angkot yang berlalu meninggalkan debu tipis di udara. Alisya turun pelan-pelan, merapikan tas kerjanya yang tergantung di bahu. Sore itu, tubuhnya terasa letih setelah seharian berkutat di meja administrasi kampus, mengurus dokumen-dokumen yang seolah tak pernah habis. Ia sudah membayangkan duduk santai di kamarnya sambil menyeruput hot chocolate kesukaannya.
Namun langkahnya terhenti di depan gerbang rumah. Di halaman, terparkir mobil hitam mengilap yang jelas bukan milik siapa pun di keluarganya. Mobil itu tampak mahal, modelnya terbaru, dengan pelat nomor luar kota.
Alisya mengerutkan dahi. Siapa tamu ini?
Pagar rumah setengah terbuka. Ia melangkah pelan, tapi belum berani masuk. Saat ia mendekat, samar-samar terdengar suara tawa ayahnya dari ruang tamu. Disusul suara ibunya, lebih lembut daripada biasanya.
Dan lalu—suara pria asing. Suara yang berat, tenang, namun entah kenapa terdengar akrab di telinganya.
“Ayah dan Ibu sudah tahu alasan saya datang. Saya ingin melamar Alisya.”
Langkah Alisya membeku di tempat. Kata-kata itu menghantam dadanya.
Tangannya secara refleks memegang pagar, jemarinya mencengkeram besi dingin itu erat-erat. Ia menahan napas, takut suara detaknya terdengar sampai di sdalam.
Ayahnya menjawab dengan nada hangat. “Kamu yakin, Nak? Lama sekali kamu di luar negeri. Bahkan Alisya mungkin sudah lupa wajahmu.”
Pria itu tertawa kecil. “Saya ingat semua, Pak. Alisya… adalah bagian dari janji kecil yang saya buat waktu kami masih bermain di halaman ini. Waktu itu, saya bilang kalau sudah besar, saya akan menikahinya.”
Alisya memejamkan mata, mencoba menggali ingatan masa kecilnya. Ia memang samar-samar teringat seorang anak lelaki tetangga yang sering main petak umpet di halaman. Tapi rasanya itu terlalu lama, terlalu jauh di masa lalu. Ia bahkan tak pernah memikirkannya lagi.
Ibunya berkata dengan tenang, “Kalian memang dekat waktu kecil. Ayahmu dan ayah Alisya bersahabat sejak lama, tapi waktu kalian pindah ke Kanada, kamu dan Alisya ikut berpisah. Dan sekarang kamu datang, membawa kabar seperti ini… jujur saja, kami kaget banget nak...”
Pria itu menunduk sopan, suaranya mantap. “Saya sudah mapan sekarang. Punya usaha sendiri di Jakarta. Saya tidak mau membuang waktu lagi. Saya ingin membuktikan kalau janji masa kecil itu bukan sekadar main-main.”
Alisya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang, tapi bukan karena tersentuh. Rasanya lebih seperti terpojok.
Ia memandang ke arah pintu rumah yang setengah terbuka, melihat bayangan tiga orang duduk di ruang tamu. Tapi ia tidak ingin masuk. Tidak ingin wajahnya terlihat, apalagi saat itu ia belum siap menghadapi pembicaraan seperti ini.
Kepalanya penuh dengan satu pikiran: Aku sudah bersama Dhimas. Aku sudah memilih.
Namun, telinganya tak bisa mengabaikan kelanjutan percakapan itu.
Ayahnya berkata, “Alisya sekarang sudah dewasa. Dia yang akan memutuskan. Tapi terus terang, kamu datang ini… membuat kami sedikit ragu, karena dia belum tahu rencanamu.”
Pria itu menjawab mantap, “Kalau diizinkan, saya ingin bicara langsung dengannya. Tapi kalau dia sekarang belum siap, saya akan menunggu.”
Alisya mundur selangkah, matanya panas. Ada rasa marah—bukan pada pria itu, tapi pada situasi ini. Ia merasa seperti orang lain sedang merencanakan hidupnya tanpa meminta pendapatnya lebih dulu.
Ia menatap langit yang mulai oranye, mencoba menenangkan napas. Yang ia tahu, ia tidak mau masuk rumah sampai tamu itu pergi. Ia tak sanggup duduk di ruang tamu, mendengarkan lamaran yang sama sekali tak ia harapkan.
Dari dalam, terdengar suara gelas diletakkan di meja, lalu suara ibunya memanggil pelan, “Tunggu, Nak, saya bawakan buah Srikaya, dulu kamu sangat suka.”
“Baik bu, terima kasih.” Ucapnya.
Itu berarti percakapan akan berlanjut. Alisya memutuskan melangkah menjauh, memilih berdiri di sisi luar pagar, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia hanya sesekali melirik ke dalam, memastikan ia tidak terlihat dari ruang tamu.
Detik terasa berjalan lambat. Ia tidak tahu sudah berapa menit berlalu, hingga akhirnya terdengar suara kursi bergeser dan ayahnya mengantar tamu itu sampai pintu.
Dari balik tembok pagar, Alisya melihat sekilas sosok pria itu. Tingginya hampir setara Dhimas, wajahnya tegas, dan senyumnya tenang. Ia sempat menoleh ke arah jalan, seolah mencari seseorang.
Alisya menunduk cepat, menahan napas sampai suara mobil itu hilang di kejauhan.
Baru setelah itu ia masuk ke dalam, membuka pintu dengan langkah pelan.
Ibunya langsung menatapnya. “Kamu dari mana saja? Ada tamu penting tadi loh sayang...”
Alisya hanya menjawab singkat, “Tadi masih ada kerjaan.” Lalu ia masuk ke kamar, mengunci pintu, dan membiarkan tubuhnya jatuh di kasur.
Pikirannya penuh, matanya menatap kosong ke langit-langit. Ia tahu ini bukan pertemuan terakhir dengan pria itu. Dan ia juga tahu, mau tidak mau, ia akan dipaksa untuk menanggapi lamarannya.
Namun di hatinya, satu nama yang ia yakini masih sama: Dhimas Anggara.
Alisya menarik napas panjang, mencoba meredakan rasa berdebar yang sejak tadi menghantam dadanya. Tapi semakin ia memejamkan mata, semakin jelas suara-suara tadi terputar ulang di kepalanya. Kata “melamar” itu seperti gema yang enggan menghilang.
Di luar kamar, ia bisa mendengar suara langkah ayahnya, lalu ketukan pelan di pintu.
“Sya, Ayah mau bicara sebentar,” suara ayahnya terdengar hati-hati, berbeda dari nada hangat yang ia dengar ketika berbicara dengan tamu tadi.Alisya menggigit bibir. Ia tidak siap. “Nanti saja, Yah… Sya capek.”
Hening sejenak. Lalu ayahnya menjawab, “Baik, nanti malam kita ngobrol. Ayah cuma mau bilang, ini belum keputusan. Semua tergantung kamu.”
Langkah kaki ayahnya menjauh, meninggalkan Alisya sendirian lagi.
Ia memeluk bantal, merasa tubuhnya berat, seperti ada beban yang menekan dari segala arah. Seandainya Dhimas tahu, apa yang akan ia katakan? Apakah ia akan marah, atau justru tertawa meremehkan?
Alisya mencoba mengalihkan pikiran dengan membuka ponselnya. Notifikasi pesan dari Dhimas sudah menunggu:
Dhimas: “Sayang, udah pulang? Kok nggak kabarin?”
Tangannya sempat berhenti di layar. Ia hampir mengetik “Iya, tadi ada yang melamar aku,” tapi urung. Ia tidak mau memicu pertengkaran lewat pesan singkat. Bukan sekarang, bukan saat hatinya masih campur aduk seperti ini.
Ia membalas singkat saja:
Alisya: “Udah. Lagi di rumah.”
Balasan Dhimas datang cepat:
Dhimas: “Oke, nanti aku telpon. Kangen.”
Alisya menutup layar ponsel, lalu menarik selimut sampai menutupi wajah. Ia tahu, malam nanti ia akan sulit tidur. Bukan hanya karena kabar lamaran tadi, tapi karena ia mulai menyadari bahwa hidupnya tidak sepenuhnya berada di genggamannya sendiri.
Dari luar jendela, suara azan magrib mulai berkumandang, meresap ke dalam ruang sunyi itu. Alisya menatap ke arah langit yang perlahan gelap, dan entah kenapa, ada rasa cemas yang menebal di dadanya.
Ia belum tahu apa yang akan ia hadapi, tapi ia yakin satu hal: ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar daripada sekadar lamaran yang tak diundang.
Dan entah disadari atau tidak, di ujung pikirannya, pria itu—teman masa kecil. Alisya berusaha mengingatnya, namun sulit untuk mengalih ingatannya lagi.
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti permen kapas yang memudar. Alisya berdiri di depan gerbang universitas, menunggu ojek online yang sudah ia pesan. Ia tak mengira Dhimas tiba-tiba muncul dengan motornya, menghentikan laju tepat di depannya.“Naik. Aku jemput,” ucapnya singkat, melepas helm dan menyodorkannya.Alisya sempat ragu. “Aku udah pesen ojek, Mas.”“Cancel. Aku mau antar kamu sendiri.” Nada suaranya tegas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis.Alisya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membatalkan pesanan. “Ya udah…”Begitu ia duduk di jok belakang, Dhimas segera memacu motor keluar dari halaman kampus. Angin sore menyapu wajah Alisya, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa heran yang menggelayut.“Kok tiba-tiba jemput? Kan biasanya kamu lagi dinas jam segini.”“Aku ada waktu. Lagian, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendir
Sore itu, rumah Alisya terasa lebih hangat dari biasanya. Bau masakan ibunya masih menggantung di udara, bercampur aroma kopi yang baru saja diseduh. Ia duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang jarumnya seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.Dhimas bilang akan datang pukul empat, tapi sejak pukul tiga Alisya sudah gelisah. Bukan karena takut, melainkan perasaan aneh yang muncul setiap kali ia memikirkan pertemuan ini. Hari ini, Dhimas akan bicara dengan orang tuanya soal lamaran.Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Ayahnya yang baru saja keluar dari kamar menghampiri pintu dan membukanya.“Assalamualaikum, Pak,” sapa Dhimas dengan senyum lebar, seragam polisinya rapi, rambutnya tersisir licin.“Waalaikumussalam,” jawab ayahnya sambil menyambut hangat. “Masuk, Mas Dhimas.”Alisya berdiri dari sofa, menatapnya sejenak. Dhimas melirik, senyum itu seolah langsung terarah padanya. “Sya,” panggilnya pelan.Ia membalas senyum tipis, lalu mempersilakan duduk. Ibunya datang me
Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.Dhimas hanya mengan
Suara deru angkot yang berlalu meninggalkan debu tipis di udara. Alisya turun pelan-pelan, merapikan tas kerjanya yang tergantung di bahu. Sore itu, tubuhnya terasa letih setelah seharian berkutat di meja administrasi kampus, mengurus dokumen-dokumen yang seolah tak pernah habis. Ia sudah membayangkan duduk santai di kamarnya sambil menyeruput hot chocolate kesukaannya.Namun langkahnya terhenti di depan gerbang rumah. Di halaman, terparkir mobil hitam mengilap yang jelas bukan milik siapa pun di keluarganya. Mobil itu tampak mahal, modelnya terbaru, dengan pelat nomor luar kota.Alisya mengerutkan dahi. Siapa tamu ini?Pagar rumah setengah terbuka. Ia melangkah pelan, tapi belum berani masuk. Saat ia mendekat, samar-samar terdengar suara tawa ayahnya dari ruang tamu. Disusul suara ibunya, lebih lembut daripada biasanya.Dan lalu—suara pria asing. Suara yang berat, tenang, namun entah kenapa terdengar akrab di telinganya.“Ayah dan Ibu sudah tahu alasan saya datang. Saya ingin melamar
Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai si
Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan