Beranda / Rumah Tangga / Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi / Bab 8 – Chat yang Membakar Api

Share

Bab 8 – Chat yang Membakar Api

Penulis: skusumahendang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-01 20:00:24

Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.

Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”

“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.

Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”

Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.

Dhimas hanya mengangguk, sibuk memutar sendok di cangkir kopinya. Alisya tak pernah merasa perlu menyembunyikan ponselny dari Dhimas. Lagipula, apa yang perlu dirahasiakan?

Toilet kafe itu hanya beberapa langkah dari meja mereka. Saat Alisya kembali, langkahnya melambat. Dhimas duduk dengan punggung sedikit menunduk, matanya terpaku pada ponselku yang kini berada di tangannya. Alisnya berkerut, rahangnya mengeras.

Begitu Alisya berdiri di hadapannya, ia mengangkat wajah. Tatapannya dingin, jauh dari senyum hangat yang ia tinggalkan beberapa menit lalu.

“Sya,” suaranya rendah tapi tegas, “ini apa maksudnya?”

Alisya menatap ponselnya yang ia sodorkan. Layar masih menyala, menampilkan chat dari Ayah.

Ayah: Nanti pulang, Ayah mau ngobrol soal pria yang kemarin datang melamarmu.

Jantung Alisya seperti jatuh ke perut. Ia refleks menarik kursi dan duduk. “Kamu buka ponselku?”

Dhimas mengabaikan pertanyaanku. “Siapa pria yang dimaksud ini? Dan kenapa aku nggak tahu?”

Alisya menarik napas, mencoba merangkai kata. “Itu… nggak penting. Aku bahkan nggak ketemu orangnya.”

“Tidak penting?” Nada suaranya meninggi sedikit, membuat orang di meja sebelah melirik sekilas. “Sya, ini soal pria yang melamar kamu. Gimana itu bisa nggak penting?”

Alisya menunduk. “Aku juga baru tahu dari Ayah. Kemarin aku pulang telat, jadi nggak ketemu. Ayah cuma cerita singkat.”

Dhimas menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Alisya dengan tajam. “Kenapa kamu nggak cerita dari awal? Kamu tahu nggak, hal kayak gini bisa bikin aku mikir yang nggak-nggak?”

Alisya merasa panas di telinga. “Aku nggak cerita karena aku nggak mau ribut. Aku pikir ini nggak perlu dibahas, apalagi kita kan…” aku menelan ludah, “…kita udah serius.”

“Justru karena kita serius, aku harus tahu semua. Atau…,” Dhimas menyipitkan mata, “…jangan-jangan kamu masih mikirin orang itu?”

Alisya menatapnya kaget. “Apa? Nggak! Aku bahkan nggak ingat wajahnya. Katanya dia teman masa kecil, tapi aku nggak ingat sama sekali.”

Dhimas menghela napas berat, lalu memutar ponselku di tangannya. “Dengar, Sya. Aku nggak suka kejutan kayak gini. Kalau ada cowok lain yang mendekat, sekecil apa pun, aku harus tahu. Bukan cuma karena aku pacar kamu, tapi karena aku mau kamu jadi istriku. Aku nggak mau ada rahasia.”

Kata-kata Dhimas menekan seperti beban di dada Alisya. “Aku nggak punya rahasia, Mas. Aku cuma… nggak mau bikin kamu khawatir.”

Dhimas mencondongkan tubuh, suaranya melembut tapi matanya masih tajam. “Khawatir itu wajar kalau aku sayang sama kamu. Sya, aku ini laki-laki. Aku tahu gimana laki-laki kalau sudah niat mendekati perempuan. Dan aku nggak akan tinggal diam kalau itu terjadi ke kamu.”

Alisya mengerjapkan mata, tak tahu harus merasa terlindungi atau terkekang.

Dhimas menggeser ponsel ke arah Alisya. “Mulai sekarang, nggak ada lagi yang namanya aku nggak tahu kabar dari kamu. Chat, telepon, siapa pun yang datang—aku harus tahu. Kalau nggak, ya percuma kita ngomongin masa depan.”

Alisya menatap layar ponselnya yang kini gelap. Rasanya seperti ada tembok yang baru saja dibangun di antara mereka—tinggi, tebal, dan tak kasat mata.

“Ya sudah,” jawab Alisya pelan, mencoba mengakhiri topik. “Nanti aku jelasin ke Ayah kalau kamu sudah mau melamarku.”

Senyum tipis muncul di bibir Dhimas, tapi matanya masih menyimpan sesuatu. “Bagus. Soalnya aku nggak mau kehilangan kamu, Sya. Kamu satu-satunya yang nggak bisa aku lepas.”

Kalimat itu terdengar seperti janji. Tapi entah kenapa, di telinga Alisya juga terdengar seperti peringatan.

Dhimas kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi, namun ketegangan di wajahnya belum benar-benar mereda. Alisya merasakan atmosfer kafe yang sebelumnya hangat kini berubah menekan. Suara denting sendok, obrolan pelanggan lain, dan aroma kopi seolah memudar, tergantikan oleh dentuman jantungnya sendiri yang berdegup tak menentu.

Ia menunduk, jemarinya meremas ujung rok kerja yang ia kenakan. Ada rasa bersalah yang menyelinap, tapi juga terselip rasa tak nyaman. Seakan dipojokkan, meski ia tahu Dhimas sedang berbicara karena merasa “melindungi”.

Dhimas mengaduk kopinya perlahan, lalu menatapnya lagi. “Sya, kamu tahu kan aku sayang sama kamu? Aku nggak mau ada hal-hal yang bikin hubungan kita goyah.”

Alisya mengangkat wajah, memaksakan senyum tipis. “Aku tahu. Dan aku juga nggak ada niat nyembunyiin apa-apa. Cuma… aku nggak nyangka bakal dibahas seperti ini.”

“Kalau kamu dari awal cerita, kan nggak jadi kayak gini.” Nada Dhimas terdengar datar, tapi matanya tetap menusuk. “Kita ini sudah serius, sebentar lagi aku akan melamarmu dan kita bakal menikah. Aku nggak mau ada masa lalu atau orang lain yang tiba-tiba masuk.”

Kalimat ‘sebentar lagi aku akan melamarmu dan kita bakal menikah’ seharusnya membuat hati Alisya berdebar bahagia, namun sore itu rasanya berbeda. Kata-kata itu lebih terdengar seperti pagar tinggi yang dikunci rapat, membatasi geraknya.

Alisya meneguk lemon tea yang sudah mulai hambar. “Oke, mulai sekarang aku akan cerita semua. Bahkan hal yang menurutku nggak penting sekalipun.”

Dhimas tersenyum tipis, lalu meraih tangannya di atas meja. “Bagus. Karena aku nggak mau kamu nyesel di kemudian hari. Percaya sama aku itu satu-satunya cara biar hubungan kita langgeng.”

Sentuhan itu hangat, tapi bagi Alisya, ada sesuatu di balik genggaman itu—campuran rasa memiliki dan tuntutan. Ia tak bisa sepenuhnya menjelaskan, tapi hatinya menangkap ada garis halus antara cinta dan kontrol.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Alisya memutuskan mengalihkan topik, bertanya tentang tugas Dhimas hari ini, lalu menceritakan sedikit kejadian lucu di kantornya. Dhimas membalas dengan tawa kecil, tapi ia masih sesekali melirik ponsel Alisya yang kini tergeletak di meja, seakan memastikan tak ada notifikasi lain yang muncul.

Di luar, matahari mulai merendah, sinarnya menembus kaca besar kafe dan jatuh di wajah Alisya. Ia mencoba mengatur napas, menyembunyikan keresahan di balik senyum tipis. Dalam pikirannya, ia menegaskan bahwa tidak ada yang salah—ia hanya perlu memahami Dhimas, seperti yang selalu ia lakukan sejak awal hubungan.

Namun, di sudut hatinya, ada suara kecil yang berbisik: ini baru permulaan.

Dhimas meraih dompetnya dan memanggil pelayan untuk membayar. “Ayo, aku antar kamu pulang. Aku mau ketemu sama Ayah kamu minggu depan. Sekalian kita bahas soal lamaran resmi.”

Alisya mengangguk pelan. “Baik.”

Mereka berdiri, meninggalkan kafe yang perlahan mulai ramai. Saat melangkah keluar, udara sore menyapa wajahnya. Jalanan dipenuhi suara kendaraan dan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dhimas berjalan di sampingnya, namun pikirannya masih tersangkut di meja tadi—di layar ponsel yang menampilkan chat dari Ayahnya.

Alisya tak tahu apakah ini akan menjadi percakapan terakhir tentang pria misterius itu, atau justru awal dari ketegangan yang akan terus membayanginya. Yang ia tahu, hari ini Dhimas menegaskan satu hal: dalam hubungan mereka, tidak ada ruang untuk rahasia, sekecil apa pun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 10 – Cemburu yang Menyamar Manis

    Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti permen kapas yang memudar. Alisya berdiri di depan gerbang universitas, menunggu ojek online yang sudah ia pesan. Ia tak mengira Dhimas tiba-tiba muncul dengan motornya, menghentikan laju tepat di depannya.“Naik. Aku jemput,” ucapnya singkat, melepas helm dan menyodorkannya.Alisya sempat ragu. “Aku udah pesen ojek, Mas.”“Cancel. Aku mau antar kamu sendiri.” Nada suaranya tegas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis.Alisya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membatalkan pesanan. “Ya udah…”Begitu ia duduk di jok belakang, Dhimas segera memacu motor keluar dari halaman kampus. Angin sore menyapu wajah Alisya, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa heran yang menggelayut.“Kok tiba-tiba jemput? Kan biasanya kamu lagi dinas jam segini.”“Aku ada waktu. Lagian, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendir

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 9 – Lamaran yang Terencana

    Sore itu, rumah Alisya terasa lebih hangat dari biasanya. Bau masakan ibunya masih menggantung di udara, bercampur aroma kopi yang baru saja diseduh. Ia duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang jarumnya seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.Dhimas bilang akan datang pukul empat, tapi sejak pukul tiga Alisya sudah gelisah. Bukan karena takut, melainkan perasaan aneh yang muncul setiap kali ia memikirkan pertemuan ini. Hari ini, Dhimas akan bicara dengan orang tuanya soal lamaran.Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Ayahnya yang baru saja keluar dari kamar menghampiri pintu dan membukanya.“Assalamualaikum, Pak,” sapa Dhimas dengan senyum lebar, seragam polisinya rapi, rambutnya tersisir licin.“Waalaikumussalam,” jawab ayahnya sambil menyambut hangat. “Masuk, Mas Dhimas.”Alisya berdiri dari sofa, menatapnya sejenak. Dhimas melirik, senyum itu seolah langsung terarah padanya. “Sya,” panggilnya pelan.Ia membalas senyum tipis, lalu mempersilakan duduk. Ibunya datang me

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 8 – Chat yang Membakar Api

    Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.Dhimas hanya mengan

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 7 – Lamaran dari Masa Lalu

    Suara deru angkot yang berlalu meninggalkan debu tipis di udara. Alisya turun pelan-pelan, merapikan tas kerjanya yang tergantung di bahu. Sore itu, tubuhnya terasa letih setelah seharian berkutat di meja administrasi kampus, mengurus dokumen-dokumen yang seolah tak pernah habis. Ia sudah membayangkan duduk santai di kamarnya sambil menyeruput hot chocolate kesukaannya.Namun langkahnya terhenti di depan gerbang rumah. Di halaman, terparkir mobil hitam mengilap yang jelas bukan milik siapa pun di keluarganya. Mobil itu tampak mahal, modelnya terbaru, dengan pelat nomor luar kota.Alisya mengerutkan dahi. Siapa tamu ini?Pagar rumah setengah terbuka. Ia melangkah pelan, tapi belum berani masuk. Saat ia mendekat, samar-samar terdengar suara tawa ayahnya dari ruang tamu. Disusul suara ibunya, lebih lembut daripada biasanya.Dan lalu—suara pria asing. Suara yang berat, tenang, namun entah kenapa terdengar akrab di telinganya.“Ayah dan Ibu sudah tahu alasan saya datang. Saya ingin melamar

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 6 – Langkah Pertama ke Rumah

    Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai si

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 5 – Dikenalkan ke Orang Tua Dhimas

    Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status