Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.
Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”
“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.
Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”
Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.
Dhimas hanya mengangguk, sibuk memutar sendok di cangkir kopinya. Alisya tak pernah merasa perlu menyembunyikan ponselny dari Dhimas. Lagipula, apa yang perlu dirahasiakan?
Toilet kafe itu hanya beberapa langkah dari meja mereka. Saat Alisya kembali, langkahnya melambat. Dhimas duduk dengan punggung sedikit menunduk, matanya terpaku pada ponselku yang kini berada di tangannya. Alisnya berkerut, rahangnya mengeras.
Begitu Alisya berdiri di hadapannya, ia mengangkat wajah. Tatapannya dingin, jauh dari senyum hangat yang ia tinggalkan beberapa menit lalu.
“Sya,” suaranya rendah tapi tegas, “ini apa maksudnya?”
Alisya menatap ponselnya yang ia sodorkan. Layar masih menyala, menampilkan chat dari Ayah.
Ayah: Nanti pulang, Ayah mau ngobrol soal pria yang kemarin datang melamarmu.
Jantung Alisya seperti jatuh ke perut. Ia refleks menarik kursi dan duduk. “Kamu buka ponselku?”
Dhimas mengabaikan pertanyaanku. “Siapa pria yang dimaksud ini? Dan kenapa aku nggak tahu?”
Alisya menarik napas, mencoba merangkai kata. “Itu… nggak penting. Aku bahkan nggak ketemu orangnya.”
“Tidak penting?” Nada suaranya meninggi sedikit, membuat orang di meja sebelah melirik sekilas. “Sya, ini soal pria yang melamar kamu. Gimana itu bisa nggak penting?”
Alisya menunduk. “Aku juga baru tahu dari Ayah. Kemarin aku pulang telat, jadi nggak ketemu. Ayah cuma cerita singkat.”
Dhimas menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Alisya dengan tajam. “Kenapa kamu nggak cerita dari awal? Kamu tahu nggak, hal kayak gini bisa bikin aku mikir yang nggak-nggak?”
Alisya merasa panas di telinga. “Aku nggak cerita karena aku nggak mau ribut. Aku pikir ini nggak perlu dibahas, apalagi kita kan…” aku menelan ludah, “…kita udah serius.”
“Justru karena kita serius, aku harus tahu semua. Atau…,” Dhimas menyipitkan mata, “…jangan-jangan kamu masih mikirin orang itu?”
Alisya menatapnya kaget. “Apa? Nggak! Aku bahkan nggak ingat wajahnya. Katanya dia teman masa kecil, tapi aku nggak ingat sama sekali.”
Dhimas menghela napas berat, lalu memutar ponselku di tangannya. “Dengar, Sya. Aku nggak suka kejutan kayak gini. Kalau ada cowok lain yang mendekat, sekecil apa pun, aku harus tahu. Bukan cuma karena aku pacar kamu, tapi karena aku mau kamu jadi istriku. Aku nggak mau ada rahasia.”
Kata-kata Dhimas menekan seperti beban di dada Alisya. “Aku nggak punya rahasia, Mas. Aku cuma… nggak mau bikin kamu khawatir.”
Dhimas mencondongkan tubuh, suaranya melembut tapi matanya masih tajam. “Khawatir itu wajar kalau aku sayang sama kamu. Sya, aku ini laki-laki. Aku tahu gimana laki-laki kalau sudah niat mendekati perempuan. Dan aku nggak akan tinggal diam kalau itu terjadi ke kamu.”
Alisya mengerjapkan mata, tak tahu harus merasa terlindungi atau terkekang.
Dhimas menggeser ponsel ke arah Alisya. “Mulai sekarang, nggak ada lagi yang namanya aku nggak tahu kabar dari kamu. Chat, telepon, siapa pun yang datang—aku harus tahu. Kalau nggak, ya percuma kita ngomongin masa depan.”
Alisya menatap layar ponselnya yang kini gelap. Rasanya seperti ada tembok yang baru saja dibangun di antara mereka—tinggi, tebal, dan tak kasat mata.
“Ya sudah,” jawab Alisya pelan, mencoba mengakhiri topik. “Nanti aku jelasin ke Ayah kalau kamu sudah mau melamarku.”
Senyum tipis muncul di bibir Dhimas, tapi matanya masih menyimpan sesuatu. “Bagus. Soalnya aku nggak mau kehilangan kamu, Sya. Kamu satu-satunya yang nggak bisa aku lepas.”
Kalimat itu terdengar seperti janji. Tapi entah kenapa, di telinga Alisya juga terdengar seperti peringatan.
Dhimas kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi, namun ketegangan di wajahnya belum benar-benar mereda. Alisya merasakan atmosfer kafe yang sebelumnya hangat kini berubah menekan. Suara denting sendok, obrolan pelanggan lain, dan aroma kopi seolah memudar, tergantikan oleh dentuman jantungnya sendiri yang berdegup tak menentu.
Ia menunduk, jemarinya meremas ujung rok kerja yang ia kenakan. Ada rasa bersalah yang menyelinap, tapi juga terselip rasa tak nyaman. Seakan dipojokkan, meski ia tahu Dhimas sedang berbicara karena merasa “melindungi”.
Dhimas mengaduk kopinya perlahan, lalu menatapnya lagi. “Sya, kamu tahu kan aku sayang sama kamu? Aku nggak mau ada hal-hal yang bikin hubungan kita goyah.”
Alisya mengangkat wajah, memaksakan senyum tipis. “Aku tahu. Dan aku juga nggak ada niat nyembunyiin apa-apa. Cuma… aku nggak nyangka bakal dibahas seperti ini.”
“Kalau kamu dari awal cerita, kan nggak jadi kayak gini.” Nada Dhimas terdengar datar, tapi matanya tetap menusuk. “Kita ini sudah serius, sebentar lagi aku akan melamarmu dan kita bakal menikah. Aku nggak mau ada masa lalu atau orang lain yang tiba-tiba masuk.”
Kalimat ‘sebentar lagi aku akan melamarmu dan kita bakal menikah’ seharusnya membuat hati Alisya berdebar bahagia, namun sore itu rasanya berbeda. Kata-kata itu lebih terdengar seperti pagar tinggi yang dikunci rapat, membatasi geraknya.
Alisya meneguk lemon tea yang sudah mulai hambar. “Oke, mulai sekarang aku akan cerita semua. Bahkan hal yang menurutku nggak penting sekalipun.”
Dhimas tersenyum tipis, lalu meraih tangannya di atas meja. “Bagus. Karena aku nggak mau kamu nyesel di kemudian hari. Percaya sama aku itu satu-satunya cara biar hubungan kita langgeng.”
Sentuhan itu hangat, tapi bagi Alisya, ada sesuatu di balik genggaman itu—campuran rasa memiliki dan tuntutan. Ia tak bisa sepenuhnya menjelaskan, tapi hatinya menangkap ada garis halus antara cinta dan kontrol.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Alisya memutuskan mengalihkan topik, bertanya tentang tugas Dhimas hari ini, lalu menceritakan sedikit kejadian lucu di kantornya. Dhimas membalas dengan tawa kecil, tapi ia masih sesekali melirik ponsel Alisya yang kini tergeletak di meja, seakan memastikan tak ada notifikasi lain yang muncul.
Di luar, matahari mulai merendah, sinarnya menembus kaca besar kafe dan jatuh di wajah Alisya. Ia mencoba mengatur napas, menyembunyikan keresahan di balik senyum tipis. Dalam pikirannya, ia menegaskan bahwa tidak ada yang salah—ia hanya perlu memahami Dhimas, seperti yang selalu ia lakukan sejak awal hubungan.
Namun, di sudut hatinya, ada suara kecil yang berbisik: ini baru permulaan.
Dhimas meraih dompetnya dan memanggil pelayan untuk membayar. “Ayo, aku antar kamu pulang. Aku mau ketemu sama Ayah kamu minggu depan. Sekalian kita bahas soal lamaran resmi.”
Alisya mengangguk pelan. “Baik.”
Mereka berdiri, meninggalkan kafe yang perlahan mulai ramai. Saat melangkah keluar, udara sore menyapa wajahnya. Jalanan dipenuhi suara kendaraan dan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dhimas berjalan di sampingnya, namun pikirannya masih tersangkut di meja tadi—di layar ponsel yang menampilkan chat dari Ayahnya.
Alisya tak tahu apakah ini akan menjadi percakapan terakhir tentang pria misterius itu, atau justru awal dari ketegangan yang akan terus membayanginya. Yang ia tahu, hari ini Dhimas menegaskan satu hal: dalam hubungan mereka, tidak ada ruang untuk rahasia, sekecil apa pun.
POV DhimasSiang itu, setelah memastikan ibunya naik kereta dengan selamat, Dhimas tidak langsung menuju kantor. Ia menarik napas panjang, menyalakan motor, lalu tersenyum kecil. Hari ini akan jadi milikku dan Susi.Bukan rahasia lagi, sejak awal ia sudah tertarik pada anak dari sahabat mamanya itu. Bukan karena kebaikan hati atau sikapnya, tapi karena tubuh Susi yang montok, wajah manis yang selalu dihiasi make-up tipis, dan sikap manja yang sulit diabaikan.Begitu sampai di rumah, Dhimas langsung menjatuhkan tubuh ke sofa, lalu mengirim pesan singkat ke atasannya: Pak, izin nggak masuk. Lagi drop, kepala pusing banget.Tak lama, Susi keluar dari kamarnya, masih dengan kaus ketat berwarna biru muda dan celana pendek. Rambutnya diikat tinggi, membuat wajahnya semakin segar.“Mas Dhimas, kok udah pulang? Bukannya tadi bilang mau langsung ke kantor?” tanyanya sambil berjalan mendekat, suaranya terdengar lembut namun penuh nada manja.Dhimas menghela napas panjang, sengaja terdengar lema
Pov : DhimasPagi itu, aroma sayur asem dan gorengan hangat memenuhi ruang makan. Dhimas duduk dengan santai di kursi ujung meja, seragam polisinya sudah rapi, siap berangkat tugas setelah sarapan. Sementara ibunya duduk di samping kanan, wajahnya terlihat sedikit cemas namun tetap tegas. Susi, dengan gaun rumah berwarna pastel yang melekat manis pada tubuhnya, mondar-mandir membawa piring tambahan ke meja.“Mas Dhimas, tambah tempe goreng?” tanya Susi dengan suara lembut, senyum tipis tersungging di bibirnya.Dhimas melirik sekilas. “Boleh,” jawabnya singkat, namun pandangannya sempat menahan detik lebih lama pada wajah Susi. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya pagi ini, lebih hidup, lebih berani.Ibunya berdeham, menarik perhatian. “Mas…,” panggilnya, lalu meletakkan sendok di atas piring. “Hari ini ibu harus pulang ke kampung dulu. Adikmu yang bungsu sakit. Ibu ng
Pagi itu, Alisya mengenakan blazer khaki dan kemeja putih rapi. Di ruang pertemuan kampus Jakarta, ia duduk bersama para staf yang menyambutnya dengan hangat. Berkas-berkas kerja sama ditumpuk rapi di meja. Meskipun dadanya sempat ciut, Alisya berusaha menampilkan wajah profesional.“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini, Bu Alisya,” ujar seorang dosen senior. “Kami percaya kerja sama ini akan berjalan lancar dengan bantuan Anda.”Alisya tersenyum sopan. “Sama-sama, Pak. Saya juga akan berusaha maksimal.”Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Begitu selesai, Alisya menghela napas panjang. Ada rasa lega, tapi juga lelah. Saat menatap ponselnya, Alisya menghela nafas panjang. Sebuah pesan voice note dari Susi sejak malam belum ia play.Alisya mengumpulkan keberaniannya lagi, “Oke Alisya… jangan khawatir, paling Susi hanya nanya barang-barang yang dia butuhkan atau hal sepele lainnya… uhhh oke aku akan play sekarang.” Lirih Alisya kemudian menekan gambar play.“Aahh... mas,
Koper beroda kecil berderit mengikuti langkah Alisya begitu ia melangkah keluar dari gerbang stasiun Gambir. Lampu-lampu kota Jakarta menyilaukan matanya, lalu lintas padat membuatnya sejenak terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantung yang masih belum reda sejak meninggalkan rumah tadi pagi.“Jakarta…” bisiknya, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar ada di sini.Sebuah taksi berhenti di hadapannya. Sopir membuka kaca jendela. “Mau ke mana, Mbak?”“Hotel Bintang Utama, Pak,” jawab Alisya pelan sambil memasukkan kopernya ke bagasi.Sepanjang perjalanan, Alisya hanya diam. Matanya menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi menjulang, papan reklame berkelap-kelip, dan orang-orang berjalan cepat di trotoar. Semuanya terasa asing, berbeda jauh dengan kota kecil tempat ia biasa tinggal.Pikirannya melayang ke rumah—ke Dhimas, ke ibu mertua, dan terutama ke pesan Susi yang masuk terakhir sebelum kereta berangkat. “Aku di sini bakal neme
Pagi itu rumah masih sunyi ketika Alisya menarik koper kecilnya keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang, seakan setiap langkah menuju pintu membawa beban yang semakin berat. Tangannya menggenggam gagang koper erat-erat, sementara matanya melirik ke arah ruang tamu, tempat ibu mertua sudah duduk sejak subuh, dengan wajah masam dan tatapan yang sulit ditebak.“Sya, jadi kamu tetap berangkat ke Jakarta?” suara ibu mertua terdengar tajam.Alisya berhenti sejenak, lalu menoleh. “Iya, Bu. Saya harus berangkat hari ini, tiket sudah dibelikan pihak kampus.”Ibu mertua menghela napas panjang, seolah setiap hembusan adalah bentuk protes. “Hmmm… kalau istri orang lain, pasti mikir seribu kali sebelum ninggalin suaminya. Tapi kamu? Baru juga nikah, udah sibuk kerja ke luar kota.”Alisya menunduk, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Saya sudah bicara dengan Mas Dhimas, Bu. Beliau sudah izinkan…”“Ya, kamu sudah bilang kemarin, tapi tetap saja Dhimas itu terlalu nurut sama kamu! Nanti kalau ada
Pagi itu udara kampus masih terasa sejuk. Langit biru terang membentang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Alisya melangkah masuk ke gedung administrasi dengan langkah mantap, meski dalam hati ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mendapat izin dari Dhimas untuk pergi ke Jakarta, dan kini saatnya menyampaikan keputusan itu kepada rektor.Di depan ruang rektor, ia sempat berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kesadaran bahwa keberangkatan ini akan mengubah ritme hidupnya untuk sementara waktu.Ia mengetuk pintu. “Masuk,” suara berat rektor terdengar dari dalam.Alisya membuka pintu pelan. Rektor, pria paruh baya dengan kacamata bulat, menoleh sambil tersenyum kecil. “Silakan duduk, Alisya. Jadi bagaimana keputusanmu?”Alisya duduk, merapatkan tangannya di pangkuan. “Pak, saya sudah berbicara dengan suami saya. Beliau setuju k