Teruntuk Mantan Istri Suamiku 5
"Ibu, aku tidak mau mati, Bu. Aku tidak mau masuk ke dalam sana, aku takut!" jerit Hena seraya menggeser tubuhnya.
Dia yang sejak tadi terus berteriak dan berontak, kini dia melunak dan bersembunyi di balik tubuh Ibunya.
Semua orang yang berada di rumah Hena saling pandang, mereka keheranan dengan perubahan Hena yang begitu cepat.
"Kamu pura-pura kesurupan, ya Hen?" tanya salah satu pria yang sedari tadi memegangi Hena.
"Kurang kerjaan sekali kamu mengerjai tetangga," ujar yang lain lagi.
"Dari awal, aku sudah curiga sama dia. Masa iya, kesurupan mintanya dinikahin. Ini pasti hanya akal-akalan dia saja, biar bisa rujuk sama si Andri!" ujar salah satu warga yang emosi.
Hena semakin mengeratkan pegangan tangannya pada Bu Ria. Jangankan untuk menjawab pertanyaan, menampakkan wajahnya pun dia tidak berani.
"Tidak, Bapak-bapak sekalian. Tadi, Hena memang kesurupan. Saya tidak bohong," ujar Bu Ria membela diri.
"Kalau benar kesurupan, kenapa sembuhnya tiba-tiba seperti itu? Tanpa dijampi, tanpa disembur dengan air doa, bisa langsung sembuh dan langsung sadar?" tutur pria tambun yang wajahnya semakin kesal.
"Itu ... itu karena, jin yang merasuki tubuh Hena, takut sama Arini!"
Aku tersentak kaget dengan jawaban tidak masuk akal yang diberikan Bu Ria. Selanjutnya, aku tertawa terbahak melepaskan rasa puasku melihat mereka yang menanggung malu.
Wajah Bu Ria semakin pucat, ia tidak berani mengangkat kepala meski hanya untuk menarik napas. Terbongkar kebohongan dia yang katanya kesurupan jin, ternyata hanyalah sandiwara belaka.
Satu persatu orang-orang sudah mulai meninggalkan rumah Hena dengan terus menggerutu. Mereka merasa ditipu.
"Kalian pikir kalian artis, yang akan dapat duit kalau ngerjain orang? Ngaca! Kalian hidup di kampung, tetangga adalah orang terdekat yang bisa dimintain tolong saat kita jauh dari saudara. Kalau begini caranya, aku kapok bantuin kalian. Jangankan kesurupan, kalian di umpetin, jin pun aku tidak mau bantu lagi! bodo amat!" tukas Mang Ali. Dia pergi sembari menendang keranda yang masih berada di depan pintu.
Hening. Tak ada yang mau mengeluarkan suara setelah beberapa orang pergi dengan marah-marah. Saat ini, tinggallah aku dan Mas Andri yang masih berada di rumah Hena.
Eh, tunggu. Sepertinya masih ada orang lain di dalam sana.
Aku melongo melihat ke dalam, dan benar saja, pria yang selalu menyebut dirinya ustaz, masih ada di dalam rumah seraya menunduk dalam.
"Pak Ustadz, kok masih di sini, orang-orang udah pada pergi, tuh. Minta bayaran, ya?" kataku menunjuknya sembari tersenyum meledek.
"T—tidak, bayaran apa? Ngaco kamu, Rin."
Ustaz Zani berdiri, memperbaiki letak sorban yang bertengger di pundaknya.
"Ekhem, ekhem!" Dia berdehem dengan sangat keras, membuat Bu Ria mengangkat kepala dan melihat ke arahnya.
Kemudian, Bu Ria mengibaskan tangannya secara pelan ke arah Ustaz Zani.
"Katanya pergi, Pak Ustadz. Tuh, tangannya dikibas-kibas, enggak lihat?" ujarku seraya menunjuk tangan Bu Ria yang kini dia sembunyikan di balik kerudung lebarnya.
"Rin, enggak sopan!" ujar Mas Andri menegurku.
Setelah sekian lama membisu, kini pria yang berstatuskan sebagai suamiku itu mulai mengeluarkan suara. Aku hanya mendelikkan mata jengah, tidak ingin melihat wajah masam Mas Andri.
Ustadz Zani keluar dari rumah dengan melewatiku. Tidak ada kata lagi yang keluar dari bibirnya. Hanya melihatku sekilas, lalu pergi begitu saja.
"Nak Andri, gimana ini?" tanya Bu Ria.
Aku yang tadi berdiri di luar, kini memilih masuk dengan menggulung lengan bajuku.
Mas Andri tidak berucap, ia melirikku dengan wajah yang ... entah. Dia seperti takut, bingung, dan sedih. Ah, aku tidak bisa mengartikan mimik wajah suamiku kali ini.
"Gimana apanya, Bu?" tanyaku kemudian.
"Tidak apa-apa. Sudah, kamu pergi sana. Ngapain masih berada di rumahku?" Bu Ria menatapku tidak suka.
"Ayo, Rin kita pergi saja." Mas Andri menarik tanganku untuk keluar.
Namun, aku melihat ada sesuatu yang janggal di sini. Di mana, Mas Andri seperti memberikan isyarat pada Hena dan ibunya. Entah belajar bahasa isyarat dari mana mereka. Menurutku aneh, masa iya bicara dengan dagu dan kedua alis yang dikerutkan.
"Mas, ayo!" kataku menarik tangannya.
Mas Andri menurut, kita pun keluar dari rumah, jin yang kini sudah diam bermandikan keringat. Dia kelelahan, karena kerja kerasnya tidak membuahkan hasil. Kasihan.
Aku tidak mengerti pada mereka yang memilih bercerai saat masih saling memiliki rasa. Seperti yang dilakukan Hena dan Mas Andri saat ini. Aku bukan tidak tahu, kalau suamiku pun masih menyimpan rasa cinta, bahkan sayang pada mantan istrinya itu. Bahasa tubuh dan tatapan mereka sudah terlihat jelas, kalau keduanya masih saling terikat rasa.
Namun, aku memilih diam sampai akhirnya mereka sendiri yang membuka kedoknya di depanku. Karena aku meyakini ada sesuatu yang mereka rahasiakan dibalik perceraian mereka.
"Rin, ada yang ketinggalan di dalam. Aku masuk dulu, kamu tunggu saja di sini, ya?" pinta Mas Andri saat kami sudah berada di luar.
Aku menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar. Namun, aku tetap mengangguk agar suamiku senang.
Mas Andri masuk lagi ke dalam rumah mantan istrinya. Dan aku? Tentu saja mengekor secara diam-diam. Mengintip apa yang mereka lakukan di sana.
"Gagal, deh, Mas," ujar Hena dengan merengut.
"Sttttt ... jangan berisik, nanti Arini dengar." Mas Andri berucap pelan.
Rasanya aku ingin melemparkan keranda ke hadapan mereka saat melihat Mas Andri memberikan amplop berwarna cokelat kepada mantan istrinya itu. Namun, aku tahan. Aku ikhlaskan, aku berbesar hati membiarkan suamiku memberikan apa yang ingin dia berikan pada mantan istrinya itu.
Di sini, aku berdiri dengan meremas amplop berwarna senada dengan isi yang berbeda. Menarik sebelah bibir, lalu kembali ke tempat semula agar Mas Andri tidak curiga.
"Kamu pikir, aku bodoh, Mas?" ujarku dengan begitu pelan.
Tidak lama kemudian, Mas Andri kembali. Kami pun langsung pergi meninggalkan halaman rumah Hena.
Setelah sampai di rumah, Mas Andri langsung tidur, karena hari yang sudah malam. Dia tidak pergi melaut, memilih libur memancing ikan, demi menyaksikan mantan istri yang kesurupan jin jadi-jadian. Menyebalkan.
*
Gara-gara Mas Andri tidak melaut, pagi ini aku jadi harus ke TPI (Tempat Penampungan Ikan), membeli beberapa kilo ikan untuk aku kirimkan ke pelanggan yang kemarin sudah memesan ikan layur padaku.
Ini menyebalkan, biasanya aku tinggal menunggu dan mengantarkan. Sekarang malah harus memilih dan berdesakkan dengan penjual ikan lainnya.
"Mang, ikannya dua kilo, ya?"
Saat sedang memilih ikan, aku mendengar suara yang tidak asing bagiku. Karena yakin dengan suara itu, aku memundurkan tubuhku, keluar dari barisan para pembeli ikan.
Aku mengerucutkan bibir seraya mengangguk saat melihat memang si dia yang ada di sana.
"Hena, kamu sudah tidak kesurupan lagi?" tanya salah satu ibu-ibu yang ikut memilih ikan layur.
"Enggak," jawab Hena singkat.
Kalau aku jadi Hena, mana berani aku keluar rumah setelah apa yang terjadi malam tadi. Pasti malu. Akan tetapi, beda lagi dengan Hena. Dia termasuk orang yang memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi. Atau mungkin, memang tidak punya malu.
Aku menyalip barisan, dan lebih mendekatkan diri ini ke arah Hena. Menyadari keberadaanku, dia malah semakin membusungkan dada, memperlihatkan keberanian dia.
Aku? Biasa saja.
"Mang, tambah lagi ikannya satu kilo, yang besar," ujar Hena lagi.
"Semuanya jadi seratus ribu, Hen," ucap si penjual.
Hena mengeluarkan amplop berwarna cokelat yang semalam diberikan suamiku. Aku tersenyum lebar menyadari akan ada pertunjukan yang pastinya sayang untuk dilewatkan.
"Mang, ambil saja uangnya dari dalam amplop itu, Mang. Aku masukkin ikannya ke dalam kantong besar dulu." Hena meletakkan amplop di atas meja. Sedangkan tangannya, sibuk memasukkan ikan.
"Kamu apa-apaan, mau bayar ikanku pakai uang mainan?"
Semua orang kini berfokus pada Hena dan penjual ikan.
"Mainan apa? Ini isinya u ...."
Hena tidak melanjutkan kata-katanya setelah melihat isi dari amplop yang dia bawa. Semuanya berisikan uang mainan.
Hena bergeming, matanya tak lepas dari uang mainan yang bertebaran di atas meja. Pasti dia sangat malu.
"Ya Allah, Hen. Semalam kamu pura-pura kesurupan, sekarang beli ikan dengan uang mainan. Kamu setres, ya karena gagal rujuk dengan mantan?" ujar salah satu ibu yang berdiri di dekat Hena.
Aku pura-pura tidak mendengar, lalu mengeluarkan uang dari amplop yang kemarin aku temukan di saku jaket Mas Andri.
Hena melotot dengan dada yang naik turun. Dia pasti malu karena dianggap setres oleh banyak orang. Juga, kesal dan marah karena ternyata uang yang berada di genggamanku, adalah yang seharusnya untuk dia.
Setelah uang di genggaman, aku berjalan seraya berkipas ria menggunakan uang yang berwarna merah semua.
"Kamu kenapa .... Kamu kenapa?" Aku bernyanyi sambil melewati Hena yang masih membeku.
Setelah membayar ikan yang aku beli, aku pun keluar dari tempat penampungan.
"Arini tunggu?!"
'Eh, ngapain dia manggil? Ngajak gelud? Jabanin!'
Bersambung
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak