Share

4. Tespack di kamar Arini

"Iya, Mas, aku sudah pulang. Maaf ya, aku kira Mas belum pulang. Jadi aku belum sempat masakin kamu, Mas. Kok Mas cepat pulangnya?" tanyaku. Aku menaruh belanjaan itu di meja dan langsung mengambil tangan suamiku untuk ku cium. Arini dengan cekatan membantuku untuk merapikannya. "Sini, Mbak, biar aku yang kerjain." Dia mengambil semuanya membawanya ke belakang.

"Kamu gimana keadaannya, Rin? Sudah baikan?" tanyaku. Aku menarik kursi dan duduk di samping Mas Reza

Arinii berhenti, lalu menoleh. "Sudah, Mba, alhamdulillah, sudah baikan tadi setelah berobat."

"Oh, syukurlah. Itu belanjaan kamu rapikan aja dulu ya. Nggak usah masak. Besok saja."

Aku melirik makanan yang tadi diantar Mama ke rumah.

Ada beberapa macam. Sayur asem, sambal terasi beserta lalapannya. Dan juga ikan goreng. Cukup banyak, dan semua itu menggugah selera.

"Iya, Mbak."

Arini langsung pergi ke belakang membawa semua belanjaan itu.

"Kamu sudah makan? Maaf ya, Mas lapar sekali, jadi nggak nungguin kamu."

"Belum, Mas. Tadinya aku kira Mas pulangnya seperti biasa, makanya aku mau masak dulu tadi sekalian belanja. Itu kamu yang minta, Mama, anterin lauk ke sini, Mas?" tanyaku.

Aku melirik ke samping, ada piring kotor yang sudah habis makanan di atasnya.

"Itu piring siapa, Mas?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang tadi masih belum dijawab Mas Reza, aku sudah menodong dengan pertanyaan lain.

"Itu piring Arini, Sayang. Tadi dia juga habis makan. Dia kebetulan tadi pas, Mas mau makan, dia keluar. Jadi, Mas sama Mama tawarin dia makan sekalian."

Aku hanya tersenyum mendengar jawabanya. Aku kira kamu orangnya cuek sekali dengan orang lain, Mas. Selama ini nggak pernah makan satu meja dengan Arini. Bahkan di saat aku menawarkan juga, kamu malah memilih masa bodoh. Ini kok tumben kamu makan di meja yang sama dengan orang lain. Bahkan kamu menawarinya. Baguslah, setidaknya kamu sebagai majikan memanusiakan manusia. Gumamku.

"Kenapa, Sayang? Kamu mikirin apa? Kok malah bengong. Makan sini! Nanti Mas habisin ini. Enak lho sayur asemnya," sambungnya lagi.

"Eh, iya, Mas. Maaf."

Aku mengambil piringku dan menyendokkan nasi beserta lauk ke dalamnya. Memang hidangan ini menggugah selera.

Aku makan hingga tandas dan tidak menyisakan satu biji nasi pun di sana.

Mas Reza memang sangat menyukai masakan Mamanya. Bahkan Mas Reza bilang belum nemu makanan di luar seenak masakan Mamanya. Aku akui itu, memang benar adanya. Mama emang best dalam meracik bumbu masakan rumahan. Masak sederhana sekalipun, akan enak jika itu Mama yang masak.

Selesai makan, aku membawa piring kotor bekas makanku dan Mas Reza ke belakang. Sayuran yang tadi di bawakan Arini masih bertenggek di meja dapur.

Tok! Tok! Tok!

"Rin, Mba boleh masuk?" tanyaku.

"Boleh, Mba!" Sahutnya dengan sedikit berteriak.

Aku membuka handle pintu kamarnya. Ternyata Arini di kamar mandi.

Aku langsung menangkap obat-obat berbungkus warna plastik biru di atas nakas saat tiba di dalam. Aku melihat, entah obat-obat apa yang jelas di situ tertulis keterangan 3x1 dan ada juga keterangan dihabiskan. Aku meletakan kembali obat itu.

Dan di situ juga ada obat yang tertulis untuk mual.

Kok ada obat untuk mual? Arini sakit apa sih? Aku bertanya sendiri.

"Kamu mandi, Rin?" tanyaku lagi.

"Iya, Mbak. Nanti belanjaannya, aku beresin ya, Mba," sahutnya dari dalam.

"Oh, iya, Rin. Mbak mau bilang nanti tolong sekalian di depan nanti bersihin ya. Mbak ke atas dulu," sambungku.

"Iya, Mbak!" Dia menjawab sedikit keras, dan setelah itu percikan air terdengar kembali.

Aku keluar dari kamar Arini, saat mau menutup pintu, mataku menangkap sesuatu di tong sampah di balik pintu yang tidak biasanya dimiliki oleh seorang wanita yang masih gadis.

Aku menutup mulutku dan mataku seketika melebar. Apa ini? Kenapa benda ini ada di kamar Arini? Testpack?

Untuk apa?

Aku keluar dari kamar Arini, saat mau menutup pintu, mataku menangkap sesuatu di tong sampah yang tidak biasanya dimiliki oleh seorang wanita yang masih gadis.

Aku menutup mulutku dan mataku seketika melebar. Apa ini? Kenapa benda ini ada di kamar Arini? Testpack?

Untuk apa?

Dengan perasaan yang sedikit tidak menentu ku raih benda itu dari tong sampah.

Tanganku sedikit bergetar, memastikan bahwa ini benar alat tes kehamilan.

Ini hanya tersisa bungkusan, namun, untuk isinya aku tidak menemukannya.

Kenapa Arini membeli ini, kan dia masih gadis. Untuk apa dia alat ini? Apa dia hamil? Sama siapa? Aku bergumam sendiri. Masih terdengar percikan air turun dari shower di kamar mandi, ku foto benda itu untuk melihat kan pada Mas Reza.

Aku menaruh kembali pembungkus alat tes kehamilan itu ke tong sampah. Lagi aku di buat kaget. Tong sampah ini dipenuhi tisu yang tadi aku tidak terlalu memperhatikan.

Apa Arini pilek ya? Kok tong sampahnya sampai penuh begini? Aku bertanya-tanya sendiri.

Aku menatap ke kamar mandi Arini, lalu keluar.

"Jangan terlalu dipikirkan, Sayang. Mungkin bisa jadi itu hanya kebetulan sampah saja."

"Tapi, Mas, nggak mungkin Arini bisa menemukan sampah itu di kamarnya. Aku juga nggak ada beli alat itu jika pun itu sampah dariku," Aku berkata dengan sedikit menggebu-gebu.

Mas Reza terlihat memikirkan sesuatu, lalu tidak lama kemudian dia pun berkata,

"Sekarang yang jadi masalahnya, Apa? Kenapa kamu mempermasalahkan testpack di kamar Arini itu, Yang? Sudahlah, selagi dia tidak merugikan kamu, biarkan saja. Tugasmu hanya sebagai majikannya.

Dia di sini hanya sebagai asisten keluarga kita. Selebihnya, kita nggak boleh ikut campur terlalu jauh. Ok!" Tuturnya.

Jujur saja, aku tidak setuju dengan pendapat suamiku ini. Bagaimana mungkin aku hanya diam saja jika ada yang tidak beres dari orang yang bekerja di rumahku.

Bagaimana nanti jika keluarganya meminta menanyakan kronologinya jika ada yang tidak beres dengan Arini.

"Mas, apa jangan-jangan…."

Aku menatap lurus manik mata suamiku itu, dia pun demikian membalas menatap mataku. Mas Reza terlihat salah tingkah saat aku menatapnya dalam. Entah kenapa, dia seperti tidak biasanya jika aku menatapnya.

"Kamu kenapa, Mas?" tanyaku.

"Nggak kenapa-napa, Sayang. Tadi kamu mau bilang apa? Jangan-jangan kenapa?" tanyanya balik.

"Hmm, aku nggak mau suudzon dulu, Mas. Cuma, aku kepikiran saja. Apa Arini sepeninggalan kita kerja, dia ada bawa orang lain masuk ke rumah kita, Mas. Hmm … pacarnya mungkin?" kataku.

Mas Reza menatapku dalam, aku kembali membalasnya. Mas Reza hanya bergeming dan tidak menjawab satu patah kata pun. Aku mengkerut kan keningku, melihat ekspresi suamiku ini.

"Mas kok diam? Apa aku salah ngomong, Mas?" tanyaku lagi.

"Bukan, sayang, kamu kok bisa berpikir seperti itu. Kita ini kan tinggal di komplek yang penduduknya ramai. Semua orang tau kalau kita punya asisten yang bantu kerjaan kamu di rumah. Ya, nggak mungkin lah nggak ada tetangga kita yang ngasih tau kalo misalkan Arini aneh-aneh di rumah. Pasti tetangga curiga juga kan, kalau misalkan Arini begitu kalau kita lagi nggak ada di rumah."

Aku terdiam memikirkan apa yang diucapkan Mas Reza ada benarnya juga. Jika Arini aneh-aneh di rumah sepeninggalan aku dan mas Reza, pasti tetangga akan mengadu.

Lalu, apa itu tadi di kamarnya. Kenapa bisa ada itu. Tidak mungkin Arini membeli itu jika dia tidak menggunakannya. Apalagi dia masih gadis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status