Home / Rumah Tangga / Testpack di Kamar Pembantuku / 4. Tespack di kamar Arini

Share

4. Tespack di kamar Arini

Author: Ria mustika
last update Last Updated: 2023-02-17 05:42:14

"Iya, Mas, aku sudah pulang. Maaf ya, aku kira Mas belum pulang. Jadi aku belum sempat masakin kamu, Mas. Kok Mas cepat pulangnya?" tanyaku. Aku menaruh belanjaan itu di meja dan langsung mengambil tangan suamiku untuk ku cium. Arini dengan cekatan membantuku untuk merapikannya. "Sini, Mbak, biar aku yang kerjain." Dia mengambil semuanya membawanya ke belakang.

"Kamu gimana keadaannya, Rin? Sudah baikan?" tanyaku. Aku menarik kursi dan duduk di samping Mas Reza

Arinii berhenti, lalu menoleh. "Sudah, Mba, alhamdulillah, sudah baikan tadi setelah berobat."

"Oh, syukurlah. Itu belanjaan kamu rapikan aja dulu ya. Nggak usah masak. Besok saja."

Aku melirik makanan yang tadi diantar Mama ke rumah.

Ada beberapa macam. Sayur asem, sambal terasi beserta lalapannya. Dan juga ikan goreng. Cukup banyak, dan semua itu menggugah selera.

"Iya, Mbak."

Arini langsung pergi ke belakang membawa semua belanjaan itu.

"Kamu sudah makan? Maaf ya, Mas lapar sekali, jadi nggak nungguin kamu."

"Belum, Mas. Tadinya aku kira Mas pulangnya seperti biasa, makanya aku mau masak dulu tadi sekalian belanja. Itu kamu yang minta, Mama, anterin lauk ke sini, Mas?" tanyaku.

Aku melirik ke samping, ada piring kotor yang sudah habis makanan di atasnya.

"Itu piring siapa, Mas?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang tadi masih belum dijawab Mas Reza, aku sudah menodong dengan pertanyaan lain.

"Itu piring Arini, Sayang. Tadi dia juga habis makan. Dia kebetulan tadi pas, Mas mau makan, dia keluar. Jadi, Mas sama Mama tawarin dia makan sekalian."

Aku hanya tersenyum mendengar jawabanya. Aku kira kamu orangnya cuek sekali dengan orang lain, Mas. Selama ini nggak pernah makan satu meja dengan Arini. Bahkan di saat aku menawarkan juga, kamu malah memilih masa bodoh. Ini kok tumben kamu makan di meja yang sama dengan orang lain. Bahkan kamu menawarinya. Baguslah, setidaknya kamu sebagai majikan memanusiakan manusia. Gumamku.

"Kenapa, Sayang? Kamu mikirin apa? Kok malah bengong. Makan sini! Nanti Mas habisin ini. Enak lho sayur asemnya," sambungnya lagi.

"Eh, iya, Mas. Maaf."

Aku mengambil piringku dan menyendokkan nasi beserta lauk ke dalamnya. Memang hidangan ini menggugah selera.

Aku makan hingga tandas dan tidak menyisakan satu biji nasi pun di sana.

Mas Reza memang sangat menyukai masakan Mamanya. Bahkan Mas Reza bilang belum nemu makanan di luar seenak masakan Mamanya. Aku akui itu, memang benar adanya. Mama emang best dalam meracik bumbu masakan rumahan. Masak sederhana sekalipun, akan enak jika itu Mama yang masak.

Selesai makan, aku membawa piring kotor bekas makanku dan Mas Reza ke belakang. Sayuran yang tadi di bawakan Arini masih bertenggek di meja dapur.

Tok! Tok! Tok!

"Rin, Mba boleh masuk?" tanyaku.

"Boleh, Mba!" Sahutnya dengan sedikit berteriak.

Aku membuka handle pintu kamarnya. Ternyata Arini di kamar mandi.

Aku langsung menangkap obat-obat berbungkus warna plastik biru di atas nakas saat tiba di dalam. Aku melihat, entah obat-obat apa yang jelas di situ tertulis keterangan 3x1 dan ada juga keterangan dihabiskan. Aku meletakan kembali obat itu.

Dan di situ juga ada obat yang tertulis untuk mual.

Kok ada obat untuk mual? Arini sakit apa sih? Aku bertanya sendiri.

"Kamu mandi, Rin?" tanyaku lagi.

"Iya, Mbak. Nanti belanjaannya, aku beresin ya, Mba," sahutnya dari dalam.

"Oh, iya, Rin. Mbak mau bilang nanti tolong sekalian di depan nanti bersihin ya. Mbak ke atas dulu," sambungku.

"Iya, Mbak!" Dia menjawab sedikit keras, dan setelah itu percikan air terdengar kembali.

Aku keluar dari kamar Arini, saat mau menutup pintu, mataku menangkap sesuatu di tong sampah di balik pintu yang tidak biasanya dimiliki oleh seorang wanita yang masih gadis.

Aku menutup mulutku dan mataku seketika melebar. Apa ini? Kenapa benda ini ada di kamar Arini? Testpack?

Untuk apa?

Aku keluar dari kamar Arini, saat mau menutup pintu, mataku menangkap sesuatu di tong sampah yang tidak biasanya dimiliki oleh seorang wanita yang masih gadis.

Aku menutup mulutku dan mataku seketika melebar. Apa ini? Kenapa benda ini ada di kamar Arini? Testpack?

Untuk apa?

Dengan perasaan yang sedikit tidak menentu ku raih benda itu dari tong sampah.

Tanganku sedikit bergetar, memastikan bahwa ini benar alat tes kehamilan.

Ini hanya tersisa bungkusan, namun, untuk isinya aku tidak menemukannya.

Kenapa Arini membeli ini, kan dia masih gadis. Untuk apa dia alat ini? Apa dia hamil? Sama siapa? Aku bergumam sendiri. Masih terdengar percikan air turun dari shower di kamar mandi, ku foto benda itu untuk melihat kan pada Mas Reza.

Aku menaruh kembali pembungkus alat tes kehamilan itu ke tong sampah. Lagi aku di buat kaget. Tong sampah ini dipenuhi tisu yang tadi aku tidak terlalu memperhatikan.

Apa Arini pilek ya? Kok tong sampahnya sampai penuh begini? Aku bertanya-tanya sendiri.

Aku menatap ke kamar mandi Arini, lalu keluar.

"Jangan terlalu dipikirkan, Sayang. Mungkin bisa jadi itu hanya kebetulan sampah saja."

"Tapi, Mas, nggak mungkin Arini bisa menemukan sampah itu di kamarnya. Aku juga nggak ada beli alat itu jika pun itu sampah dariku," Aku berkata dengan sedikit menggebu-gebu.

Mas Reza terlihat memikirkan sesuatu, lalu tidak lama kemudian dia pun berkata,

"Sekarang yang jadi masalahnya, Apa? Kenapa kamu mempermasalahkan testpack di kamar Arini itu, Yang? Sudahlah, selagi dia tidak merugikan kamu, biarkan saja. Tugasmu hanya sebagai majikannya.

Dia di sini hanya sebagai asisten keluarga kita. Selebihnya, kita nggak boleh ikut campur terlalu jauh. Ok!" Tuturnya.

Jujur saja, aku tidak setuju dengan pendapat suamiku ini. Bagaimana mungkin aku hanya diam saja jika ada yang tidak beres dari orang yang bekerja di rumahku.

Bagaimana nanti jika keluarganya meminta menanyakan kronologinya jika ada yang tidak beres dengan Arini.

"Mas, apa jangan-jangan…."

Aku menatap lurus manik mata suamiku itu, dia pun demikian membalas menatap mataku. Mas Reza terlihat salah tingkah saat aku menatapnya dalam. Entah kenapa, dia seperti tidak biasanya jika aku menatapnya.

"Kamu kenapa, Mas?" tanyaku.

"Nggak kenapa-napa, Sayang. Tadi kamu mau bilang apa? Jangan-jangan kenapa?" tanyanya balik.

"Hmm, aku nggak mau suudzon dulu, Mas. Cuma, aku kepikiran saja. Apa Arini sepeninggalan kita kerja, dia ada bawa orang lain masuk ke rumah kita, Mas. Hmm … pacarnya mungkin?" kataku.

Mas Reza menatapku dalam, aku kembali membalasnya. Mas Reza hanya bergeming dan tidak menjawab satu patah kata pun. Aku mengkerut kan keningku, melihat ekspresi suamiku ini.

"Mas kok diam? Apa aku salah ngomong, Mas?" tanyaku lagi.

"Bukan, sayang, kamu kok bisa berpikir seperti itu. Kita ini kan tinggal di komplek yang penduduknya ramai. Semua orang tau kalau kita punya asisten yang bantu kerjaan kamu di rumah. Ya, nggak mungkin lah nggak ada tetangga kita yang ngasih tau kalo misalkan Arini aneh-aneh di rumah. Pasti tetangga curiga juga kan, kalau misalkan Arini begitu kalau kita lagi nggak ada di rumah."

Aku terdiam memikirkan apa yang diucapkan Mas Reza ada benarnya juga. Jika Arini aneh-aneh di rumah sepeninggalan aku dan mas Reza, pasti tetangga akan mengadu.

Lalu, apa itu tadi di kamarnya. Kenapa bisa ada itu. Tidak mungkin Arini membeli itu jika dia tidak menggunakannya. Apalagi dia masih gadis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Testpack di Kamar Pembantuku   perjodohan

    "Ka–kamu, mendengar semuanya?" Mas Reza tergagap. "Sa–sayang, Mas bisa jelasin. Ini semua tid…." "Aku berangkat dulu, Mas. Nggak usah dipikirkan. Jangan hiraukan aku. Kamu harus menjaga perasaan Arini dan juga Mama. Aku tidak apa-apa." Aku memotong ucapannya dan berlalu pergi meninggalkan mereka. "Sayang! Dengarkan, Mas dulu." Mas Reza mengejarku, aku mempercepat langkahku untuk segera keluar. "Reza! Kamu dengar Mama tidak?" teriak Mama. Aku terus mempercepat langkahku menuju mobil. Jangan tanya seperti apa aku saat ini. Sakit? Iya, sangat sakit! "Sayang, dengarkan Mas dulu." Mas Reza meraih tanganku yang hendak membuka pintu mobil. Dia mencekal kuat untuk menahannya. "Lepas, Mas. Aku mau ke toko.""Nggak! Kamu harus dengar dulu Mas bicara. mas nggak mau kamu keluar dalam keadaan begini.""Apalagi yang harus Mas jelaskan? Semua sudah jelas. Aku di sini bukan lagi perempuan yang berperan penting dalam hidupmu, Mas. Biarkan aku pergi menyibukkan diriku. Setidaknya dengan begi

  • Testpack di Kamar Pembantuku   17. menantu kesayangan

    Sentuhan hangat terasa menyentuh pundakku. Aku seperti berada diangan-angan di tengah kesadaran yang masih separuh dialam mimpi. "Sayang … kamu kenapa tidur di bawah?" Suara Mas Reza terdengar begitu lembut. Aku membuka mataku perlahan, pandangan pertamaku lansung menangkap sosok laki-laki bergelar suamiku tengah menatapku dengan senyumamanya. Senyuman yang selama ini sellau membuatku candu. "Maaf, Mas, aku tadi ketiduran. Ini sudah jam berapa?" tanyaku. Aku mengucek-ngucek mataku yangasih terasa berat. "Ini sudah jam dua pagi, Sayang. Yuk pindah keatas."Aku segera membuka mungkena yang masih melekat di badan. Kulipat lalu kutaruh di tempat biasa. "Sini, Sayang, Mas kangen sama kamu.""Iya, Mas, sama. Aku juga kangen sama suamiku." "Boleh, ya?" bahasa yang sudah kutahu kemana arahnya. "Hu um, boleh." Kami memadu kasih seolah rasa rindu yang lama tidak tertuntaskan. Di tengah kesunyian malam, hanya ada suaraku dan dia sesekali saing bersahutan merasakan kenikmatan. Tok! Tok!

  • Testpack di Kamar Pembantuku   16. Suara desahan

    Aku berjalan melangkah pelan menuju ruang keluarga. Ruang keluarga yang dulu hangat kini terasa begitu suram dan menyakitkan. Apa ada yang peduli dengan rasaku? Apa ada mereka meminta maaf atas apa yang mereka tutupi dibelakangku? Tidak.Aku duduk di kursi tunggal yang ada di sudut. Tepat di hadapanku Mas Reza dan Arini duduk di sana. Mas Reza seolah lupa dengan janjinya, dia hanya sibuk dengan Arini tanpa menghiraukan ada aku yang tersakiti menyaksikan mereka. Entahlah. Apakah dia sengaja atau tidak yang pasti aku sakit menyaksikan ini. "Tan. Mama mau bilang sama kamu di sini kalau sebenarnya Reza dan Arini ini mereka sud….""Aku sudah tau, Ma." Aku memotong cepat ucapan Mama. Mereka semua menatapku bergantian. "Oh, baguslah kalau kamu sudah tau. Jadi kita tidak lagi harus kucing-kucingan menutupi ini dari kamu. Jadi Mama Minta sama kamu, berbaik-baiklah pada Arini, ya. Karena bagaimana juga dia isteri Reza dan sekarang dia tengah hamil anak Reza, calon cucu Mama. Beruntungnya d

  • Testpack di Kamar Pembantuku   apa kamu cemburu?

    "Hm… Amar. Dia Amar." Aku menjawab dengan santai. Mas Reza segera menarik kursi dan duduk disampingku. Aku melihat wajah suamiku tidak bersahabat sama sekali menatapku dan menatap Amnar bergantian. Ammar segera mengulurkan tangannya pada Mas Reza untuk berkenalan. Kulihat Mas Reza seperti enggan menyambut tangan Ammar namun sepersekian detik Mas Reza menerimanya. "Kenalkan, saya Ammar.""Saya sudah tahu kalau anda itu namanya Amar. Kenalkan saya Reza. Suami Tania.""Oh, anda suaminya Tania Bro. Sorry ya bro, saya kira Tania belum punya suami," ujar Amar "Kalau dia belum punya kenapa?" tanya Mar Reza balik. "Maaf, Bro, saya mengagumi istri anda sejak pertama kali saya bertemu denganya." Mas Reza memberi tatapan tajam paku, lalu dia bertanya. "Jadi selama ini kamu di belakangku sering bertemu dengan pria lain?" "Sorry, Bro, saya belum pernah bertemu secara langsung dengan istri anda. Hanya kebetulan sempat beberapa kali berpapasan saat saya menyambangi panti asuhan cinta kasih.

  • Testpack di Kamar Pembantuku   pria asing

    Jawab jujur aku, Mas, apa kamu pernah menolak saat Mama menawarkan itu padamu dibelakangku? Sejak kapan Mama memintamu untuk menikah lagi? Apa Mama juga minta kamu untuk menceraikan aku? Jujur lah jangan ada lagi yang kamu tutupi. Aku sudah terlanjur sakit Mas. Tidak perlu lagi berbohong padaku." Mas Reza tidak menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Dia memilih untuk diam dan menunduk membuat aku bisa menyimpulkan jawaban dari apa yang dia tunjukkan. "Diammu adalah sebuah jawaban yang bisa ketebak, Mas. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu." "Maaf, Sayang," ucapnya lesu. Aku kembali menyeka bulir kristal yang mengalir tanpa diminta dari sudut mataku. Sakit. Aku sakit menerima semua ini. Namun hati ini tidak bisa untuk bohong bahwa rasa itu masih untuknya. Ya, untuk dia yang sekarang ada dihadapanku. Terkadang cinta memang sebodoh itu, sudah disakiti masih saja memberi rasa. Apa mau dikata, aku memang mencintainya. Tapi aku terluka oleh sikapnya. "Mari kita pulang, Sayang. Kamu

  • Testpack di Kamar Pembantuku   13. pengakuan Reza

    "Kamu di mana, Sayang?" ucapanku terpotong oleh suara yang tidak asing adalah suamiku sendiri. Aku menjauhkan HP itu segera dari telingaku. Seolah ada sengatan listrik yang menjalar di tubuhku secara tiba-tiba. Tanganku bergetar, tubuhku melemah kembali. "Aku pikir kamu tidak akan mencariku, Mas? Untuk apa? Bukankah wanita itu sudah mengalihkan duniamu?" gumamku. Aku menatap nanar HP itu dengan hati yang terasa hancur berkeping-keping. "Sayang! Kamu dengar, Mas, nggak? Kamu di mana?" tanyanya. "Sayang, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, 'kan? Kamu kenapa blokir nomor, Mas? Ayo ngomong dong, jangan bikin Mas khawatir sama kamu. Kamu di mana?" sambungnya lagi. Aku masih diam membisu mendengar pertanyaannya. Tidak kuat untuk mengeluarkan satu patah kata pun. Kuremas-remas jemariku untuk menetralisirkan hatiku yang tidak baik-baik saja.Entah apa yang ada pikiran laki-laki yang bergelar suamiku itu, dia masih bertanya aku kenapa? Apa dia masih meyakini jika aku belum mengetahuinya? Ap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status