Dengan penuh penasaran aku membawa langkahku masuk ke dalam rumahku untuk memastikan kenapa Mas Reza ada di rumah pagi-pagi begini.
Ini sungguh tidak biasanya. Lho? Kok mobil Mas Reza ada di garasi? Mas Reza pulang? Ini kan masih pagi? Kenapa Mas Reza pagi-pagi udah di rumah ya? Kok Mas Reza nggak ngabarin aku? Hah! Jangan-jangan? Dengan penuh penasaran aku membawa langkahku masuk ke dalam rumahku untuk memastikan kenapa Mas Reza ada di rumah pagi-pagi begini. Ini sungguh tidak biasanya. Aku masuk ke rumah, karena pintu rumah memang tidak terkunci. Sepi. Tidak melihat satu orang pun. Termasuk Mas Reza. Itu yang kudapati dalam rumah. Aku langsung ke belakang kamar menuju kamar Arini untuk melihat apakah Arini sudah di rumah atau belum. Tok! Tok! Tok! "Rin! Kamu sudah pulang?" Tidak ada sahutan dari dalam, Samar-samar terdengar suara percikan air di seperti orang sedang mandi. Tok! Tok! Tok! "Rin! Kamu di dalam? Gimana keadaanmu?" suaraku sedikit berteriak. Tidak ada sahutan, aku membuka handle pintu kamar Arini, tapi di kunci dari dalam. Aku menempelkan kupingku di daun pintu kamar Arini. Percikan air masih jelas terdengar dari luar. Aku sampai lupa jika tujuanku pulang adalah untuk mengambil kunci tokoku. Ah, karyawanku pasti sudah jenuh menunggu di sana. Aku meninggalkan kamar Arini, menuju kamarku di atas. Mungkin Arini sedang mandi di dalam. Sampai di kamar, segera ku ambil kunci toko di dalam laci nakas. Aku lalu turun ke bawah untuk ke toko kembali. Sampai di teras depan pun, aku kembali menghentikan langkahku. Aku masih saja lupa, bahwa ini mobil Mas Reza ada di garasi. Dan dari tadi aku tidak menemukan Mas Reza di rumah. aku kembali ke dalam, memutar tubuhku ke belakang. Hup! "Astaghfirullah! Ya Allah." Ucapku. Aku bertabrakan dengan Mas Reza. "Mas! kamu ngagetin tau, ih!" kataku sedikit kesal. "Maaf, sayang, tadi Mas emang mau ngagetin kamu dari belakang. Tapi, kamu keburu berbalik arah. Jadinya kamu kaget sendiri tanpa Mas kagetin.""Kalo tiba-tiba aku pingsan gimana? Terus kalau aku jantungan gimana?" protesku. "Ya nggak lah, Cinta. Istri, Mas, kan tidak punya riwayat penyakit seperti itu. Kalau punya mana mungkin Mas ngelakuin itu ke kamu. Itu sama saja, Mas ingin mencelakai kamu," jawabnya. Aku tersenyum, dia memang paling bisa bikin aku kesemsem ulah gombalannya. "Mas, ngapain pulang? Ini 'kan masih pagi." "Hm … ini Mas ada yang ketinggalan. Jadi Mas ambil ini pulang." Dia menunjukan map kuning yang ada di tangannya. "Itu di mana tadinya? Kok aku nyampe rumah, Mas nggak keliatan?" tanyaku lagi. "Di kamar kita di atas. Tadi Mas kebelet sebentar. Perut Mas sedikit mules," sambungnya lagi. "Oh, pantesan. Aku kira Mas kemana." "Kemana?" Mas Reza mengulang perkataanku. "Ya, nggak, Mas. Aku pikir Mas tadi kemana gitu, tadi aku ke kamar ambil kunci toko. Kan aku nggak nemu Mas di kamar kita. Kok aku lihat ada mobil Mas, tapi Mas nggak ada. Ya sudah, aku balik ke toko ya, Mas.""Ya ayo! Mas juga mau ke kantor ini."Kami keluar bersamaan dari Rumah. "Mas! Tadi Arini sudah pulang belum?" Tanyaku saat sampai depan pintu pagar. Mas Reza yang sudah masuk separuh badanya ke mobil kembali keluar melihatku. Mas Reza menaikan satu alisnya dan mengangkat kedua bahunya."Aku tadi dengar dia kayak lagi mandi, Mas, di kamarnya. Apa udah enakan ya keadaannya." "Mungkin, Sayang. Mas nggak lihat dia tadi. Mas cuma ambil ini, terus ke kamar mandi habis itu, Mas turun."Kamu itu emang paling cuek sama orang lain ya Mas. Batinku berkata. "Ya sudah, Mas. Aku pamit ya. Udah telat ini. Kasian, Cici sama Linda mereka tadi di luar. Tadi aku lupa bawain kunci. Mas hati-hati, ya!" ujarku. Aku berjalan menuju mobilku. Mas Reza melambaikan tangannya lalu masuk ke mobilnya. Sampai di toko, aku langsung sibuk dengan kegiatan yang sudah ku geluti kurang lebih dua tahun ini. Konsumen datang silih berganti, dari yang mulai membeli eceran, dan juga yang datang membeli dalam jumlah banyak untuk dijual lagi. Ya, aku memang menjual berbagai macam hijab, dengan harga yang cukup relatif lebih murah, namun kualitas tidak murahan. Ada banyak toko-toko kecil yang membeli barang kodian di tokoku. Mulai dari yang di dalam kota, dan juga di luar kota, bahkan ada yang dari desa-desa kecil datang kemari berbelanja. Penghasilan setiap bulan, sudah sangat lumayan cukup untuk kebutuhan ku sendiri, bahkan aku juga bisa menabung untuk masa depan sisa dari pengeluaranku. Tak lupa juga, aku selalu menyisihkan sedikit untuk rumahku dulu. Panti asuhan cinta kasih. Semenjak aku lulus sekolah, memang aku rutin menjadi donatur di sana. Tidak, lebih tepatnya aku membalas jasa bunda Khadijah, yang sudah dengan sangat sabar merawatku dan saudara-saudaraku yang lainya. Meskipun belum sebesar orang-orang. Tapi setidaknya, sedikit bantuanku, bisa membuat adik-adikku tersenyum di sana. Beruntung sekali dulu Bunda mensuportku untuk sekolah di kejuruan dan mengambil bidang pemasaran. Sehingga bisa sangat berguna untuk aku kembangkan saat ini. Aku baru saja sampai di rumah, membuka pintu pagar dan memasuki mobilku ke garasi. Lagi dan lagi aku tercengang mendapati mobil Mas Reza sudah terparkir di rumah. Kok tumben, Mas Reza pulang cepat ya. Biasanya pulang hampir magrib dan bahkan sampai malam. Ini masih jam setengah lima. Aku segera turun dari mobil dan masuk ke rumah. Tak lupa, aku turunkan belanjaan dapur yang tadi sempat ku beli di pasar jalan pulang. Saat hendak membuka pintu rumah, Mama muncul dari dalam dan aku sontak kaget. "Ma, Mama ada di sini?" tanyaku. Kuambil tangannya lalu kucium takzim. "Iya, Mama habis anter sayur asem sama lauk. Tadi Reza bilang mau makan nggak ada lauk di rumah. Kamu itu sudah tau, Arini lagi sakit, seharusnya kamu pulang cepat masakin Reza. Bukan malah ngerepotin Mama. Tugasmu sebagai istrinya apa? Cuma ngurusin tokomu yang nggak seberapa itu. Anak Mama sudah capek kerja buat nafkahin kamu, kamu jadi istri malah nggak ngurusin suamimu!" ucap Mama ketus. "Iya, Ma, maaf. Ini aku sudah belanja mau masakin buat, Mas Reza. Aku juga nggak ngira Mas Reza udah pulang. Biasanya Mas Reza kan pulangnya hampir magrib bahkan sudah malam, Ma." Aku membela diri. "Alah! alasan saja kamu. Udah jadi istri gak becus ngurus suami, nggak bisa ngasih anak juga. Istri nggak guna!" Mama berkata seraya berlalu pergi. Aku? Aku tertegun dengan kata-kata yang keluar dari bibir seorang Mama yang sudah sangat kuanggap seperti mamaku sendiri. Mataku seketika memanas, dadaku sesak. Ini sudah yang ketiga kalinya mama membahas aku tidak bisa memberikan Mas Reza anak. Ini sungguh bukan kehendakku, aku sudah sangat menginginkan, namun Tuhan belum memberiku kepercayaan di usia pernikahanku yang sudah menginjak usia tiga tahun. Satu kedipan mampu meluruhkan bulir beningku yang tadi masih menganak sungai. Segera kuhapus wajahku sebelum aku masuk ke dalam rumah. "Assalamu'alaikum," ucapku dari daun pintu. Tidak ada yang menjawab. Entah, mungkin tidak ada yang mendengarkan atau aku yang tidak kedengaran jawaban dari penghuni rumah. Aku langsung menuju dapur untuk menaruh belanjaan yang tadi kubeli saat di jalan pulang. "Mas?" "Eh, Sayang, kamu sudah pulang?"Dia berkata dengan mulut yang masih ada makanan di dalamnya. Arini yang sedang menuangkan air ke gelas mas Reza terlihat sedikit kaget dan langsung mundur. Sejak kapan Arini menuangkan air untuk Mas Reza makan? Ini pemandangan yang belum pernah aku dapatkan selama ini."Ka–kamu, mendengar semuanya?" Mas Reza tergagap. "Sa–sayang, Mas bisa jelasin. Ini semua tid…." "Aku berangkat dulu, Mas. Nggak usah dipikirkan. Jangan hiraukan aku. Kamu harus menjaga perasaan Arini dan juga Mama. Aku tidak apa-apa." Aku memotong ucapannya dan berlalu pergi meninggalkan mereka. "Sayang! Dengarkan, Mas dulu." Mas Reza mengejarku, aku mempercepat langkahku untuk segera keluar. "Reza! Kamu dengar Mama tidak?" teriak Mama. Aku terus mempercepat langkahku menuju mobil. Jangan tanya seperti apa aku saat ini. Sakit? Iya, sangat sakit! "Sayang, dengarkan Mas dulu." Mas Reza meraih tanganku yang hendak membuka pintu mobil. Dia mencekal kuat untuk menahannya. "Lepas, Mas. Aku mau ke toko.""Nggak! Kamu harus dengar dulu Mas bicara. mas nggak mau kamu keluar dalam keadaan begini.""Apalagi yang harus Mas jelaskan? Semua sudah jelas. Aku di sini bukan lagi perempuan yang berperan penting dalam hidupmu, Mas. Biarkan aku pergi menyibukkan diriku. Setidaknya dengan begi
Sentuhan hangat terasa menyentuh pundakku. Aku seperti berada diangan-angan di tengah kesadaran yang masih separuh dialam mimpi. "Sayang … kamu kenapa tidur di bawah?" Suara Mas Reza terdengar begitu lembut. Aku membuka mataku perlahan, pandangan pertamaku lansung menangkap sosok laki-laki bergelar suamiku tengah menatapku dengan senyumamanya. Senyuman yang selama ini sellau membuatku candu. "Maaf, Mas, aku tadi ketiduran. Ini sudah jam berapa?" tanyaku. Aku mengucek-ngucek mataku yangasih terasa berat. "Ini sudah jam dua pagi, Sayang. Yuk pindah keatas."Aku segera membuka mungkena yang masih melekat di badan. Kulipat lalu kutaruh di tempat biasa. "Sini, Sayang, Mas kangen sama kamu.""Iya, Mas, sama. Aku juga kangen sama suamiku." "Boleh, ya?" bahasa yang sudah kutahu kemana arahnya. "Hu um, boleh." Kami memadu kasih seolah rasa rindu yang lama tidak tertuntaskan. Di tengah kesunyian malam, hanya ada suaraku dan dia sesekali saing bersahutan merasakan kenikmatan. Tok! Tok!
Aku berjalan melangkah pelan menuju ruang keluarga. Ruang keluarga yang dulu hangat kini terasa begitu suram dan menyakitkan. Apa ada yang peduli dengan rasaku? Apa ada mereka meminta maaf atas apa yang mereka tutupi dibelakangku? Tidak.Aku duduk di kursi tunggal yang ada di sudut. Tepat di hadapanku Mas Reza dan Arini duduk di sana. Mas Reza seolah lupa dengan janjinya, dia hanya sibuk dengan Arini tanpa menghiraukan ada aku yang tersakiti menyaksikan mereka. Entahlah. Apakah dia sengaja atau tidak yang pasti aku sakit menyaksikan ini. "Tan. Mama mau bilang sama kamu di sini kalau sebenarnya Reza dan Arini ini mereka sud….""Aku sudah tau, Ma." Aku memotong cepat ucapan Mama. Mereka semua menatapku bergantian. "Oh, baguslah kalau kamu sudah tau. Jadi kita tidak lagi harus kucing-kucingan menutupi ini dari kamu. Jadi Mama Minta sama kamu, berbaik-baiklah pada Arini, ya. Karena bagaimana juga dia isteri Reza dan sekarang dia tengah hamil anak Reza, calon cucu Mama. Beruntungnya d
"Hm… Amar. Dia Amar." Aku menjawab dengan santai. Mas Reza segera menarik kursi dan duduk disampingku. Aku melihat wajah suamiku tidak bersahabat sama sekali menatapku dan menatap Amnar bergantian. Ammar segera mengulurkan tangannya pada Mas Reza untuk berkenalan. Kulihat Mas Reza seperti enggan menyambut tangan Ammar namun sepersekian detik Mas Reza menerimanya. "Kenalkan, saya Ammar.""Saya sudah tahu kalau anda itu namanya Amar. Kenalkan saya Reza. Suami Tania.""Oh, anda suaminya Tania Bro. Sorry ya bro, saya kira Tania belum punya suami," ujar Amar "Kalau dia belum punya kenapa?" tanya Mar Reza balik. "Maaf, Bro, saya mengagumi istri anda sejak pertama kali saya bertemu denganya." Mas Reza memberi tatapan tajam paku, lalu dia bertanya. "Jadi selama ini kamu di belakangku sering bertemu dengan pria lain?" "Sorry, Bro, saya belum pernah bertemu secara langsung dengan istri anda. Hanya kebetulan sempat beberapa kali berpapasan saat saya menyambangi panti asuhan cinta kasih.
Jawab jujur aku, Mas, apa kamu pernah menolak saat Mama menawarkan itu padamu dibelakangku? Sejak kapan Mama memintamu untuk menikah lagi? Apa Mama juga minta kamu untuk menceraikan aku? Jujur lah jangan ada lagi yang kamu tutupi. Aku sudah terlanjur sakit Mas. Tidak perlu lagi berbohong padaku." Mas Reza tidak menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Dia memilih untuk diam dan menunduk membuat aku bisa menyimpulkan jawaban dari apa yang dia tunjukkan. "Diammu adalah sebuah jawaban yang bisa ketebak, Mas. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu." "Maaf, Sayang," ucapnya lesu. Aku kembali menyeka bulir kristal yang mengalir tanpa diminta dari sudut mataku. Sakit. Aku sakit menerima semua ini. Namun hati ini tidak bisa untuk bohong bahwa rasa itu masih untuknya. Ya, untuk dia yang sekarang ada dihadapanku. Terkadang cinta memang sebodoh itu, sudah disakiti masih saja memberi rasa. Apa mau dikata, aku memang mencintainya. Tapi aku terluka oleh sikapnya. "Mari kita pulang, Sayang. Kamu
"Kamu di mana, Sayang?" ucapanku terpotong oleh suara yang tidak asing adalah suamiku sendiri. Aku menjauhkan HP itu segera dari telingaku. Seolah ada sengatan listrik yang menjalar di tubuhku secara tiba-tiba. Tanganku bergetar, tubuhku melemah kembali. "Aku pikir kamu tidak akan mencariku, Mas? Untuk apa? Bukankah wanita itu sudah mengalihkan duniamu?" gumamku. Aku menatap nanar HP itu dengan hati yang terasa hancur berkeping-keping. "Sayang! Kamu dengar, Mas, nggak? Kamu di mana?" tanyanya. "Sayang, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, 'kan? Kamu kenapa blokir nomor, Mas? Ayo ngomong dong, jangan bikin Mas khawatir sama kamu. Kamu di mana?" sambungnya lagi. Aku masih diam membisu mendengar pertanyaannya. Tidak kuat untuk mengeluarkan satu patah kata pun. Kuremas-remas jemariku untuk menetralisirkan hatiku yang tidak baik-baik saja.Entah apa yang ada pikiran laki-laki yang bergelar suamiku itu, dia masih bertanya aku kenapa? Apa dia masih meyakini jika aku belum mengetahuinya? Ap
Mobil yang dikemudikan memasuki area pekarangan Panti Asuhan. Mematikan mesin mobil setelah ku pastikan sudah kuparkir dengan aman. Aku menatap hangat pada papan yang bertuliskan, 'Yayasan Cinta Kasih'. Hanya di sini aku mendapat hangat cinta seorang Ibu. Di sini juga aku dibesarkan dengan kasih sayang seorang ibu yang tidak memiliki hubungan darah. Aku pulang, kembali ke tempat dimana aku berasal. "Kak Tania?!" Suara lengkingan itu mampu membuatku mengumpulkan kembali kepingan pikiranku yang melalang buana menyatu kembali pada alam nyataku. Aku menoleh pada sumber suara, seorang gadis kecil nan cantik tengah bermain di teras bersama saudara kecilku yang lainnya. Ya, mereka lah saudaraku di dunia ini. Bukankah kami sama? Sama-sama tidak memiliki orang tua. Entah memang hadir kami yang tidak diinginkan, atau memang kami anak yang terbuang sehingga kami tumbuh di sini di tangan orang yang sama. Beruntungnya kami berada di tangan orang yang tepat. Hangat. Itulah yang bisa kugambarkan p
Tanganku masih bergetar hebat menyentuh benda yang menimpa tepat di kakiku. Dua buah buku berwarna merah dan hijau bertuliskan buku nikah dan mana yang tersemat di sana adalah laki-laki yang bergelar suamiku. Jangan ditanya bagaimana gemuruh dan gejolak hatiku saat ini. Hancur berkeping-keping? Itu sudah pasti. Aku hanya ingin membuktikan jika apa yang diucapkan oleh Arini itu tidak bohong. Aku kira aku akan kuat menerima kenyataan ini. Namun pada kenyataannya aku tidak mampu. Duniaku benar-benar runtuh, pelangi yang semula memberi warna indah dalam mahligai rumah tanggaku kini berubah menjadi awan yang kelam. Awan yang akan menurunkan hujan badai. Ku buka kembali lembar demi lembar untuk melihat isi dalam buku itu, tertulis tanggal, hari, bulan dan tahun hubungan mereka diresmikan. Tepat hari ini sudah 3 bulan setengah pernikahan mereka terjadi. Aku mencoba kembali mengingat ke belakang pada bulan dan hari itu. Bulan, tanggal dan hari itu aku mengingat bahwa Mas Reza pamit ke lua
Arini memegang perutnya dan terus meringis. "Mbak! Tolong perutku sakit, Mbak." Ucapnya. Langkahku tertahan saat di daun pintu, aku menoleh dan melihat keadaan Arini. Cairan putih bercampur warna kecoklatan keluar memberi noda pada celana warna cream yang Arini kenakan. "Arini?!" Mataku melotot melihat apa yang terjadi padanya. "Mbak, tolong panggilkan Dokter, perutku sakit sekali, Mbak." Titahnya dalam kesakitan. Tanpa berpikir panjang aku pun segera keluar memanggil Dokter. Aku berjalan sambil berlari kecil di koridor rumah sakit hingga sampai di ruang perawat yang berjaga. "Sust, tolong! Ada pasien gawat darurat." Kataku terengah-engah. Suster itu menatapku heran, dia menelisik dari atas hingga ke bawah. "Ibuk bukannya di infus dan di rawat di sini? Kok keluar? Itu darah di tangan ibunya?" Suter itu melihat tanganku yang ada darah mengalir pelan yang sudah mulai mengental. Aku menyembunyikan tanganku ke belakang punggung. "Tolong, Sust. Itu yang jaga saya lagi kritis, dia ke