Share

3. Hinaan Mertua

Dengan penuh penasaran aku membawa langkahku masuk ke dalam rumahku untuk memastikan kenapa Mas Reza ada di rumah pagi-pagi begini.

Ini sungguh tidak biasanya. 

Lho? Kok mobil Mas Reza ada di garasi? Mas Reza pulang? Ini kan masih pagi? Kenapa Mas Reza pagi-pagi udah di rumah ya? Kok Mas Reza nggak ngabarin aku? 

Hah! Jangan-jangan? 

Dengan penuh penasaran aku membawa langkahku masuk ke dalam rumahku untuk memastikan kenapa Mas Reza ada di rumah pagi-pagi begini. Ini sungguh tidak biasanya. 

Aku masuk ke rumah, karena pintu rumah memang tidak terkunci. Sepi. Tidak melihat satu orang pun. Termasuk Mas Reza. Itu yang kudapati dalam rumah. Aku langsung ke belakang kamar menuju kamar Arini untuk melihat apakah Arini sudah di rumah atau belum. 

Tok! Tok! Tok! "Rin! Kamu sudah pulang?" 

Tidak ada sahutan dari dalam, Samar-samar terdengar suara percikan air di seperti orang sedang mandi. 

Tok! Tok! Tok! 

"Rin! Kamu di dalam? Gimana keadaanmu?" suaraku sedikit berteriak. 

Tidak ada sahutan, aku membuka handle pintu kamar Arini, tapi di kunci dari dalam. Aku menempelkan kupingku di daun pintu kamar Arini. Percikan air masih jelas terdengar dari luar. 

Aku sampai lupa jika tujuanku pulang adalah untuk mengambil kunci tokoku. 

Ah, karyawanku pasti sudah jenuh menunggu di sana. 

Aku meninggalkan kamar Arini, menuju kamarku di atas. Mungkin Arini sedang mandi di dalam. Sampai di kamar, segera ku ambil kunci toko di dalam laci nakas. 

Aku lalu turun ke bawah untuk ke toko kembali. 

Sampai di teras depan pun, aku kembali menghentikan langkahku. Aku masih saja lupa, bahwa ini mobil Mas Reza ada di garasi. Dan dari tadi aku tidak menemukan Mas Reza di rumah. 

aku kembali ke dalam, memutar tubuhku ke belakang. Hup! "Astaghfirullah! Ya Allah." Ucapku. Aku bertabrakan dengan Mas Reza. 

"Mas! kamu ngagetin tau, ih!" kataku sedikit kesal. 

"Maaf, sayang, tadi Mas emang mau ngagetin kamu dari belakang. Tapi, kamu keburu berbalik arah. Jadinya kamu kaget sendiri tanpa Mas kagetin."

"Kalo tiba-tiba aku pingsan gimana? Terus kalau aku jantungan gimana?" protesku.

 "Ya nggak lah, Cinta. Istri, Mas, kan tidak punya riwayat penyakit seperti itu. Kalau punya mana mungkin Mas ngelakuin itu ke kamu. Itu sama saja, Mas ingin mencelakai kamu," jawabnya. 

Aku tersenyum, dia memang paling bisa bikin aku kesemsem ulah gombalannya. 

"Mas, ngapain pulang? Ini 'kan masih pagi." 

"Hm … ini Mas ada yang ketinggalan. Jadi Mas ambil ini pulang." 

Dia menunjukan map kuning yang ada di tangannya. 

"Itu di mana tadinya? Kok aku nyampe rumah, Mas nggak keliatan?" tanyaku lagi. 

"Di kamar kita di atas. Tadi Mas kebelet sebentar. Perut Mas sedikit mules," sambungnya lagi. 

"Oh, pantesan. Aku kira Mas kemana." 

"Kemana?" Mas Reza mengulang perkataanku. 

"Ya, nggak, Mas. Aku pikir Mas tadi kemana gitu, tadi aku ke kamar ambil kunci toko. Kan aku nggak nemu Mas di kamar kita. Kok aku lihat ada mobil Mas, tapi Mas nggak ada. Ya sudah, aku balik ke toko ya, Mas."

"Ya ayo! Mas juga mau ke kantor ini."

Kami keluar bersamaan dari Rumah. 

"Mas! Tadi Arini sudah pulang belum?" Tanyaku saat sampai depan pintu pagar. 

Mas Reza yang sudah masuk separuh badanya ke mobil kembali keluar melihatku. 

Mas Reza menaikan satu alisnya dan mengangkat kedua bahunya.

"Aku tadi dengar dia kayak lagi mandi, Mas, di kamarnya. Apa udah enakan ya keadaannya."  

"Mungkin, Sayang. Mas nggak lihat dia tadi. Mas cuma ambil ini, terus ke kamar mandi habis itu, Mas turun."

Kamu itu emang paling cuek sama orang lain ya Mas. Batinku berkata. 

"Ya sudah, Mas. Aku pamit ya. Udah telat ini. Kasian, Cici sama Linda mereka tadi di luar. Tadi aku lupa bawain kunci. Mas hati-hati, ya!" ujarku. Aku berjalan menuju mobilku. Mas Reza melambaikan tangannya lalu masuk ke mobilnya. 

Sampai di toko, aku langsung sibuk dengan kegiatan yang sudah ku geluti kurang lebih dua tahun ini. Konsumen datang silih berganti, dari yang mulai membeli eceran, dan juga yang datang membeli dalam jumlah banyak untuk dijual lagi. 

Ya, aku memang menjual berbagai macam hijab, dengan harga yang cukup relatif lebih murah, namun kualitas tidak murahan. 

Ada banyak toko-toko kecil yang membeli barang kodian di tokoku. Mulai dari yang di dalam kota, dan juga di luar kota, bahkan ada yang dari desa-desa kecil datang kemari berbelanja. 

Penghasilan setiap bulan, sudah sangat lumayan cukup untuk kebutuhan ku sendiri, bahkan aku juga bisa menabung untuk masa depan sisa dari pengeluaranku. 

Tak lupa juga, aku selalu menyisihkan sedikit untuk rumahku dulu. Panti asuhan cinta kasih. 

Semenjak aku  lulus sekolah, memang aku rutin menjadi donatur di sana. Tidak, lebih tepatnya aku membalas jasa bunda Khadijah, yang sudah dengan sangat sabar merawatku dan saudara-saudaraku yang lainya. Meskipun belum sebesar orang-orang. Tapi setidaknya, sedikit bantuanku, bisa membuat adik-adikku tersenyum di sana. 

Beruntung sekali dulu Bunda mensuportku untuk sekolah di kejuruan dan mengambil bidang pemasaran. Sehingga bisa sangat berguna untuk aku kembangkan saat ini. 

Aku baru saja sampai di rumah, membuka pintu pagar dan memasuki mobilku ke garasi. Lagi dan lagi aku tercengang mendapati mobil Mas Reza sudah terparkir di rumah. 

Kok tumben, Mas Reza pulang cepat ya. Biasanya pulang hampir magrib dan bahkan sampai malam. Ini masih jam setengah lima. 

Aku segera turun dari mobil dan masuk ke rumah. Tak lupa, aku turunkan belanjaan dapur yang tadi sempat ku beli di pasar jalan pulang. 

Saat hendak membuka pintu rumah, Mama muncul dari dalam dan aku sontak kaget.

 

"Ma, Mama ada di sini?" tanyaku. Kuambil tangannya lalu kucium takzim. 

"Iya, Mama habis anter sayur asem sama lauk. Tadi Reza bilang mau makan nggak ada lauk di rumah. Kamu itu sudah tau, Arini lagi sakit, seharusnya kamu pulang cepat masakin Reza. Bukan malah ngerepotin Mama. Tugasmu sebagai istrinya apa? Cuma ngurusin tokomu yang nggak seberapa itu. Anak Mama sudah capek kerja buat nafkahin kamu, kamu jadi istri malah nggak ngurusin suamimu!" ucap Mama ketus. 

"Iya, Ma, maaf. Ini aku sudah belanja mau masakin buat, Mas Reza. Aku juga nggak ngira Mas Reza udah pulang. Biasanya Mas Reza kan pulangnya hampir magrib bahkan sudah malam, Ma." Aku membela diri. 

"Alah! alasan saja kamu. Udah jadi istri gak becus ngurus suami, nggak bisa ngasih anak juga. Istri nggak guna!" Mama berkata seraya berlalu pergi. 

Aku? Aku tertegun dengan kata-kata yang keluar dari bibir seorang Mama yang sudah sangat kuanggap seperti  mamaku sendiri. 

Mataku seketika memanas, dadaku sesak. Ini sudah yang ketiga kalinya mama membahas aku tidak bisa memberikan Mas Reza anak. 

Ini sungguh bukan kehendakku, aku sudah sangat menginginkan, namun Tuhan belum memberiku kepercayaan di usia pernikahanku yang sudah menginjak usia tiga tahun. Satu kedipan mampu meluruhkan bulir beningku yang tadi masih menganak sungai. 

Segera kuhapus wajahku sebelum aku masuk ke dalam rumah. 

"Assalamu'alaikum," ucapku dari daun pintu. 

Tidak ada yang menjawab. Entah, mungkin tidak ada yang mendengarkan atau aku yang tidak kedengaran jawaban dari penghuni rumah. 

Aku langsung menuju dapur untuk menaruh belanjaan yang tadi kubeli saat di jalan pulang. 

"Mas?" 

"Eh, Sayang, kamu sudah pulang?"

Dia berkata dengan mulut yang masih ada makanan di dalamnya. 

Arini yang sedang menuangkan air ke gelas mas Reza terlihat sedikit kaget dan langsung mundur. 

Sejak kapan Arini menuangkan air untuk Mas Reza makan? 

Ini pemandangan yang belum pernah aku dapatkan selama ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status