Share

Semakin dekat

Jerry membuka pintunya lebih lebar hingga dua sekuriti itu bisa melihat keberadaan orang yang dimaksudnya. "Nah itu Pak."

"Dia mau servis AC di ruangan ini. Saya yang panggil dia ke sini."

"Tapi pak, dia gak bawa peralatannya."

Jevran meneguk ludahnya kasar. Benar-benar sekuriti yang satu ini.

"Peralatan saya ketinggalan di bawah. Soalnya bapak-bapak ini ngejar saya segitunya," kata Jevran seolah ketakutan.

"Oh, maaf Mas. Saya pikir masnya mau ngapain."

****

Sembari berjalan menuju rumah, Jevran tertawa mengingat kejadian tadi.

Hanya saja, saat melewati sebuah gardu, Jevran sadar ada banyak preman. Awalnya dia bersikap cuek, tapi salah satu dari preman itu menghalangi jalannya. Jevran bisa membaca jika mereka mau berniat buruk padanya. Mau melawan tidak bisa, mau diam juga tidak mungkin. Bisa habis dia dikeroyok.

"Bagi duit!"

"Gak ada, bang." Dia berkata jujur. Uangnya ada di rumah dan tidak dibawa. Buktinya saja, dia harus jalan kaki dan tak bisa naik ojek sesuai keinginannya.

Namun, Kerah Jevran ditarik ke atas. "Mau main-main Lo sama gua? Gak usah bohong!"

"Mana ada, bang. Saya gak punya uang."

"Habisin aja Bos!"

Jevran membulatkan matanya. Dia menelan ludahnya susah payah saat pria berbadan kekar itu menggulung lengan kaus pendeknya ke atas. Mampus! Dia tidak bisa bela diri.

Bugh!

"Akh!" Jevran memegang perutnya yang terasa nyeri.

"Anak cupu aja belagu! Orang baru Lo di sini?"

"I-iya," kata Jevran terbatuk-batuk.

Satu pukulan kembali dilayangkan. Kini tepat di wajahnya. Kacamata Jevran sampai terjatuh.

"Denger ya! Setiap orang yang ketemu sama kita harus ngasih duit. Paham Lo?!"

Jevran hanya mampu mengangguk. Perutnya sakit, dan sudut bibirnya mengeluarkan darah. Ini kali pertamanya Jevran seperti ini. Tak ada satupun orang yang berani menyentuh wajahnya. Banyak pula bodyguard yang siap menjaganya.

"Aw!" Para preman itu meringis saat sebuah batu mengenai tubuhnya. Jevran susah payah melihat ke belakang. Kalau tidak salah anak berseragam sekolah itu namanya Ajun, adiknya Naura. Dia sedang menggunakan ketapel untuk menyerang para preman.

"Pergi sana! Mau aku panggilan kak Naura?!"

"Ampun... Jangan panggil dia. Yaudah kita pergi." Para preman itu berlarian saat mendengar kata Naura. Jevran tidak tau kenapa. Sehebat apa gadis itu?

Ajun berlari menghampiri Jevran yang mengambil kacamatanya, sempat terjatuh tadi. "Kak Joko gak apa-apa?"

Jevran mengangguk. "Makasih."

"Yaudah ayo pulang. Mau aku bantu?" Ajun membopong Jevran yang masih memegangi perutnya.

"Makannya, kak. Belajar bela diri. Zaman sekarang itu harus bisa jaga diri sendiri," lanjutnya.

Jevran meringir pelan. "Shh, ngomong-ngomong tadi kamu sebut nama Naura. Emang ada apa sama Naura?"

Ajun tertawa kecil. Ia melirik pria di sampingnya yang menunggu jawaban. "Percaya gak kalau aku bilang kak Naura pernah ngalahin mereka?"

"Gimana?"

"Iya. Dulu kak Naura juga pernah dipalak sama mereka. Cuma kak Naura ngelawan, gak kayak Kakak yang diem aja. Mereka juga takut sama Ayah. Kirain cuma penampilan kak Joko aja yang cupu, ternyata nyalinya juga kentang."

Jevran memalingkan wajahnya ke samping sebelum mencibik. Apa sih? Anak ini sepertinya selalu mengejeknya. Tapi jika dipikir lagi, Ajun ini baik juga mau menolong Jevran.

"Tau gak kenapa aku nolongin?" tanya Ajun seolah tau isi pikiran Jevran.

"Kenapa?"

"Muka kak Jevran melas banget tadi. Jadi kasian aku," kekehnya.

Untuk menahan kekesalannya Jevran hanya mampu tersenyum tipis. Harus banyak-banyak bersabar menghadapi bocah sepertinya. Tapi lagi-lagi ia bersyukur karena pemuda ini menolongnya meski sedikit terlambat.

Sampai di depan rumah, Ajun memanggil kakaknya yang sedang mencuci motor di teras rumah. Naura terlihat terkejut saat melihat adiknya membawa sang tetangga dalam keadaan wajah lebam. Ia menghampiri mereka setelah mematikan keran air.

"Joko, muka kamu kenapa?"

"Abis dipukuli preman," kata Ajun lebih dulu menjawab.

"Wah, keterlaluan. Ayo masuk biar aku bantu obatin."

"Gak usah. Aku langsung pulang aja." Jevran menolak dan mengusap darah di bibirnya yang kering.

"Gak boleh gitu! Ajun, bawa ke dalam ayo."

"Siap, kak!"

"EH?" kaget Jevran tak menduga. Terlebih, kala Naura sudah menariknya ke dalam rumah.

****

"Pelan-pelan." Jevran menatap Naura yang sedang mengobati luka di pipinya. Gadis itu dengan telaten memberikan obat dan melakukannya secara perlahan.

Hati Jevran terenyuh. Naura memperlakukannya dengan baik disaat dia hidup sebagai lelaki sederhana. Perempuan di luar sana belum tentu mau berdekatan dengan pria jelek sepertinya. Jevran tak menyangka dia akan mendapat teangga manis seperti Naura. Walaupun kelakuannya aneh, dia memiliki hati yang tulus.

"Selesai." Naura membereskan kotak obatnya.


"Makasih ya, kamu udah ngobatin aku," kata Jevran tersenyum tulus.

"Sama-sama. Lain kali lawan aja kalau mereka gangguin kamu. Jadi laki-laki itu harus kuat!"

Jevran mengangguk pelan. "Ngomong-ngomong, kamu cuma berdua sama adik kamu?" tanya Jevran yang tak melihat orang lain di rumah ini selain Naura dan Ajun.

"Iya. Papahku kerja di kepolisian di luar kota. Kalau Abang jadi abdi negara."

"Kalau Ibu kamu?"

Terdengar helaan nafas dari mulutnya. "Mama udah gak ada."

"Eh? Maaf, aku gak-"

"Santai aja."

Naura menaruh kotak obatnya di atas meja. Gadis itu memanggil Ajun yang sedang memasak mie di dapur. Padahal Jevran masih terbilang asing untuk gadis ini, tapi dia mau mengajaknya makan bersama. Walaupun hanya sekedar mie instan, kalau seperti ini Jevran jadi kagum pada Naura. Eits, untuk Ajun, Jevran masih gemas dengan mulutnya yang lemes.

"Taraaa..." Ajun datang dengan nampan berisi 3 mangkuk mie.

"Wah, makasih adek-ku sayang." Naura menaruh satu mangkuk di miliknya, milik sang adik, dan milik Jevran. "Ayo makan. Mie masakan Ajun itu pake bumbu rahasia. Oke banget pokoknya."

Jevran tersenyum menanggapinya. Melihat dua orang di hadapannya yang mulai melahap makanan, tanpa curiga Jevran ikut memasukan sesendok mie ke dalam mulutnya. Tiba-tiba mulutnya terasa terbakar. Hampir saja ia menyemburkan isi di mulutnya ke luar.

"Pftt!" Karena tak mungkin ia melakukan hal menjijikkan itu, Jevran mau tak mau menelan makanan tersebut.

"Jok, kenapa?" Naura menoleh dan melihat wajah Jevran memerah.

"Pedes. Aku gak bisa makan pedes," kata Jevran mengibaskan tangan di depan wajahnya. Ia mengambil segelas air es yang sudah ada di meja dan meneguknya hingga habis.

"Masa sih? Punyaku engga."

Dengan penasaran Naura mencicipi kuah milik Jevran dengan sendoknya. Rasanya memang lebih pedas dari miliknya. Tapi karena Jevran mengatakan tak menyukai pedas, tentu ini tak sebanding untuknya.

Naura menatap adiknya tajam. "Ulah kamu?"

"Bukan," jawab Ajun cuek.

"Gak boleh tau main-main sama makanan."

"CK, udah dibilangin bukan juga." Ajun mengambil makanan miliknya dan dibawa begitu saja ke ruang tv.

Naura menatap tak enak pada Jevran. "Maaf ya. Aku gak tau dia ngusulin kamu."

"Iya, gak apa-apa." Bibirnya masih terasa panas, namun berusaha baik-baik saja.

Jevran melirik sekilas Ajun yang ada di ruang TV. Untung anak kecil. Benar-benar harus ditampar dollar dia biar terbuka mata hatinya!


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status