"Aaah, minggir ih!" Teriakan wanita dari sebelah rumah mengejutkan Mbak Siti.
Wanita asal Banyuwangi yang tengah sibuk mengepel lantai teras itupun berlari tergopoh-gopoh mendekati tembok pembatas antara dua rumah itu. Teriakan tetangga sebelah jelas-jelas pertanda dia tidak menyukai hewan berbulu milik majikannya.
"Hush hush pergi!" Teriakan-teriakan masih terdengar saat Mbak Siti berhasil menggapai tembok pembatas dan melongokkan kepalanya ke halaman milik tetangga sebelah.
"Omil, sini! Pus pus!" Mbak Siti memanggil kucing himalayan berbulu putih itu.
"Meong!Meong!" Omil mengeong keras seperti kesakitan.
"Lho jangan ditendang dong! Kasihan lho!" Terdengar suara tegas seorang lelaki dari arah yang sama di mana suara Omil juga terdengar.
"Apaan sih! Kucing aja kok dikasihani! Jorok tahu!" Lengkingan wanita tadi terdengar lagi.
Mbak Siti hampir saja melompati tembok, namun dia hampir terjatuh saat sebuah tepukan di bahunya mengejutkannya.
"Ibu! Bikin kaget!" Serunya saat mendapati Nana-lah yang telah mengejutkannya dengan tepukan keras di bahunya.
"Ada apa Mbak Siti?" Nana menatap asisten rumahtangganya itu dari atas ke bawah.
Dengan setelan celana pendek selutut dan kaos longgar serta alat pel di tangannya, sementara salah satu kakinya berpijak pada tembok rendah siap melompat ke halaman rumah sebelah. Mbak Siti seperti maling yang ketahuan oleh pemilik rumah.
"Anu Bu." Mbak Siti cengengesan, bingung mau menjelaskan.
"Meong!Meong!" Suara Omil yang mengeong ketakutan sekaligus kesakitan, mengejutkan Nana.
"Itu Omil kenapa Mbak?" Nana membelalakkan matanya menatap Mbak Siti.
"Tania! Jangan keterlaluan!" Gelegar teriakan seorang laki-laki yang terdengar hingga ke tempat mereka semakin membuat Nana khawatir akan nasib hewan kesayangannya.
Tanpa pikir panjang, di sentuhnya fitur panggilan video, menghubungi kontak milik Erick. Sedikit menjauhi Mbak Siti, agar wanita itu tidak mencurigainya juga tidak mendengarkan percakapannya dengan Erick, tetangga sebelah mereka.
"Iya Nana." Terdengar suara lirih Erick di seberang sana, sedangkan kegelisahan tergambar jelas di raut wajah tampannya.
"Abang bawa Omil ke halaman samping yang berbatasan dengan rumahku. Kasihan, Omil pasti takut itu, dia masih kitten lho." Nana hampir menangis saat berbicara pada Erick melalui panggilan telepon.
"Oke." Erick menjawab singkat dan segera mematikan panggilan videonya.
"Yang, mau di bawa kemana kucing jorok itu?" Kembali lengkingan terdengar hampir memekakkan telinga Nana dan Mbak Siti.
Tidak terdengar jawaban apapun yang menanggapi lengkingan tadi. Namun derap langkah kaki terdengar semakin mendekat ke arah Nana dan Mbak Siti berada.
"Omil! Pus pus!" Nana segera memanggil kucing kesayangannya itu.
"Ini kucingmu bukan?" Tiba-tiba saja makhluk tampan setinggi 180 cm sudah berdiri di hadapan Nana dengan seekor kucing berbulu putih yang meringkuk ketakutan dalam gendongannya.
"Omil!" Nana berteriak girang, seketika kucing mungil itu melompat ke dalam pelukan Nana dan menjilat-jilat lengannya.
"Iya, ini kucingku. Terimakasih banyak." Nana tersenyum riang menatap mahkluk tampan yang juga tengah terpaku menatapnya tak berkedip.
"Eh, mbak! Kalau punya kucing dijaga dong! Jangan sampai kabur ke rumah orang dan nyolong makanan!" Lengkingan yang sedari tadi terdengar kini seperti tepat menderu di telinga Nana.
"Maafkan kucing saya. Tapi setahu saya dia tidak pernah mencuri makanan, karena dia nggak doyan makanan selain cat food." Nana mencoba bersikap tenang dan tidak tersulut emosinya dengan ucapan wanita itu yang bak petasan meletus.
"Halah! Kucing tetap kucing, kalau ada ikan ya main embat saja." Wanita itu menatap Nana dengan sinis, memutar bola matanya meremehkan Nana.
Nana hampir saja meledak mendengar ucapan wanita itu barusan. Namun kerlingan mata pria tampan itu membuatnya urung untuk menyemburkan amarah yang hampir tidak dapat ditahannya.
"Sudahlah nggak usah dibahas! Ayo masuk!" Mahkluk tampan yang sempat membuat Nana terpana itu menarik wanita bersuara cempreng itu menjauh.
"Maaf ya Non." Pria itu menangkupkan tangannya, meminta maaf atas sikap istrinya.
Nana hanya mengangguk dan membiarkan mereka berlalu, meninggalkannya dan Mbak Siti yang saling bertukar pandang. Nana menggedikkan bahunya, dan membawa Omil masuk. Namun sempat diliriknya pria itu yang tengah mengedipkan mata padanya, namun sekejap dia menghilang di balik pintu garasi.
"Dasar meow kucing garong!" Nana merutuk cukup keras dan membuat Mbak Siti kini beralih menatapnya dengan heran.
"Ibu, Pak Erick ternyata genit ya." Cekikik Mbak Siti.
"Sempat-sempatnya ngedipin mata ke Ibu." Lanjutnya terkekeh.
"Kamvret memang, namanya juga kucing garong mbak." Nana pun tertawa lepas.
Mereka berdua kembali ke dalam rumah melanjutkan aktivitas mereka yang terhenti karena adanya insiden antara Omil dan tetangga sebelah. Lagi-lagi karena Omil, Nana kembali harus berurusan dengan Erick di pagi hari ini.
Mbak Siti kembali melanjutkan mengepel lantai. Sedangkan Nana membawa Omil ke halaman belakang rumah dan melepaskannya bersama dengan kucing-kucing peliharaannya yang lain.
Nana memiliki tiga ekor kucing dewasa dan empat ekor kucing kecil yang masih dalam kategori kitten. Cukup banyak memang, dan bahkan membuatnya dijuluki Tante Nana maminya meow.
Hampir seluruh penghuni komplek mengenalnya sebagai pencinta kucing dan memiliki kucing yang tidak sedikit. Meski jarang berbaur, bukan berarti Nana lalai dengan kehidupan sosialnya.
Dia masih berinteraksi dengan beberapa tetangga maupun lingkungan sekitar, seperti Kelian yang merupakan pengurus lingkungan. Lagipula tinggal di kawasan Sanur yang merupakan kawasan tempat tinggal para ekspatriat membuatnya tidak terlalu dituntut untuk membaur begitu dekat dengan lingkungan sekitar. Hanya sekadar saling menyapa dan beramah-tamah basa-basi ala kadarnya.
Nana sudah cukup lama tinggal di daerah yang hampir dipenuhi dengan villa ataupun tempat-tempat yang representatif untuk para wisatawan hangout. Lokasinya yang dekat dengan beberapa pantai di daerah Sanur yang merupakan tujuan wisata, membuat kawasan tempat tinggalnya merupakan kawasan yang sebenarnya bukanlah diperuntukkan bagi keluarga biasa.
Hampir semuanya merupakan kaum ekspatriat yang memang sudah menetap atau hanya menyewa sementara selama tinggal di Pulau Dewata. Ada juga beberapa hunian yang disewakan secara komersial. Sehingga lingkungan tempat tinggalnya terkadang begitu sepi dan di waktu-waktu tertentu akan ramai dengan para tamu, seperti saat liburan musim panas, tahun baru bahkan lebaran.
Nana duduk di teras sembari bermain-main dengan kucing-kucingnya. Dia hanya tinggal berdua dengan Mbak Siti di siang hari. Di malam hari, Nana hanya seorang diri ditemani kucing-kucing kesayangannya.
Sejujurnya rumah yang sebenarnya lebih menyerupai villa itu terlalu besar untuknya. Namun dia enggan untuk pindah dari rumah yang memiliki cukup banyak kenangan dengan almarhum suaminya.
Smartphone-nya yang tergeletak di sampingnya tiba-tiba bergetar. Diraihnya benda yang hampir selalu menemaninya di manapun dia berada, dan dengan hati-hati disentuhnya layarnya.
Ada nama Erick di layar smartphone-nya. Nana ragu sejenak untuk menerima panggilan video dari pria itu. Insiden barusan membuat Nana lebih berhati-hati. Dia tidak ingin terlibat skandal memalukan dengan pria yang kini menjadi tetangganya.
"Iya meow." Sahutnya dengan malas setelah cukup lama smartphone-nya dibiarkan berdering begitu saja.
"Nana imut, maaf ya soal tadi pagi. Omil nggak apa-apa kan?" Erick terlihat tulus mencemaskan kucing putih miliknya itu.
"Nggak apa-apa sih bang. Aku juga maklum kok kalau istri abang takut pada kucing. Tapi tolonglah jangan ditendang apalagi difitnah nyolong. Omil kan nggak bisa membela diri bang." Nana mencerucutkan bibirnya yang penuh dan mengundang siapapun untuk mengecupnya.
"Iya Abang tahu. Nanti abang bilangin Tania biar nggak kasar sama kucing-kucing kamu. Sudah jangan ngambek gitu, nanti abang cium nih." Erick menggodanya mencoba membujuknya agar tidak cemberut lagi.
"Cium online?" Nana tertawa pelan.
"Nggaklah. Sekarang nggak mau yang mode online, maunya langsung." Erick tertawa lepas kembali menggoda Nana yang semakin mencerucutkan bibirnya.
"Biasanya juga online kan?" Nana menanggapinya dengan kalem dan santai.
"Itu kan dulu. Sekarang bedalah Nana imut." Erick menyugar rambutnya pelan.
"Iya ya deh suka-suka abanglah. Btw abang di mana itu?" Nana memicingkan matanya mencoba untuk menerka di mana posisi Erick berada sekarang.
"Di kantor. Ya sudah abang mau kerja dulu ya. Nanti abang vc lagi." Erick tersenyum tipis berpamitan untuk menyudahi panggilan videonya.
"Oke, selamat beraktifitas abang." Nana mengangguk dan melambaikan tangannya.
Nana duduk memeluk lutut di tepian kolam renang. Bertemankan segelas wine dan praline, menatap taman yang dihiasi cahaya lampu remang-remang.Suasana di malam hari selalu saja sepi. Mengingat lingkungan sekelilingnya memang bukanlah lingkungan hunian yang ramai. Tetangga kanan kiri dan depan villa tempatnya tinggal juga merupakan villa yang sering berganti-ganti penghuninya.Nana sendiri tidak setiap saat mendiami villa peninggalan almarhum suaminya ini. Dia lebih sering berada di Singapura atau Penang, mengawasi cabang-cabang toko rotinya.Bukan tanpa alasan jika dia lebih memilih untuk melanglang buana daripada hidup damai di Pulau Dewata ini. Baginya ada seribu rasa sakit yang akan terkoyak kembali setiap kakinya menapaki jalanan yang pernah dilaluinya bersama almarhum suaminya.Ada banyak kenangan yang sulit terlupakan di setiap sudut pulau Dewata yang akan mengingatkannya pada sosok yang dahulu begitu dipujanya. Bahkan hingga kini di salah satu sudut hatinya terukir namanya yang a
Suara derit pintu gerbang dibuka dan bergeser, mengagetkan Nana yang tengah bermain-main dengan kucingnya. Glacie yang juga kaget, melompat dari gendongan Nana dan berlari menghilang ke dapur.Nana mengambil smartphone-nya yang sedari tadi tergeletak di atas long bench di sebelahnya bersama dengan sebotol wine serta sekotak praline dan kue red velvet. Menyentuh layarnya dan melihat jam yang tertera di bagian atas layar."Sudah hampir jam setengah sebelas." Gumamnya sembari mengantongi smartphone-nya dalam saku gaunnya.Nana pun berdiri dan menuju ke dapur untuk mengambil kunci motor. Dia berniat hendak memasukkan motor ke garasi dan mengunci pintu gerbang. Karena sudah hampir larut malam.Dengan beralaskan sandal bakiak kayu yang berhias ukiran bunga dan manik-manik kecoklatan, Nana menyusuri step stone di taman villa dan menuju ke halaman barat yang terbuka.Dengan hati-hati Nana membuka pintu gerbang. Suasana komplek yang sepi dan desau angin pantai menyergapnya begitu dia berada di
Memasuki area parkir klub malam, Erick memperlambat laju kendaraannya. Seorang tukang parkir menyambut mereka dan mencarikan tempat yang masih kosong untuk memarkir kendaraannya."Sudah pernah ke sini?" Nana bertanya saat mereka berjalan bersisian menuju lobi klub malam yang cukup ramai dipenuhi pengunjung."Pernah, diajak teman." Sahut Erick santai.Mereka memasuki lobi dan disambut seorang pria dengan pakaian formal yang rapi. Erick berbincang sejenak dengannya. Sementara Nana memutuskan untuk menunggu dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di setiap sudut lobi."Nana!" Sesosok pria berpenampilan feminim, bercelana jins warna pink dan berkaos putih menghambur memeluknya."Eh!" Nana terkejut dan tidak bisa menghindar."Eh ye lupa eike?" Pria cantik itu terlihat sedikit kecewa melihat reaksi Nana yang tidak langsung mengenalinya."Eehhm, aku lupa." Nana meringis, menatap dengan seksama pria di hadapannya."Eike yang di salon Mbok Dayu." Pria gemulai itu merengut kesal, mencebikka
"ikan, biasanya pakai nggak?" Erick bertanya di sela-sela musik yang berdentum cukup kencang.Nana yang tengah menikmati musik sembari menggoyangkan kakinya menoleh dan menatap Erick. Pria itu tengah mengeluarkan rokok dan hendak menyulutnya"Neken?" Nana dengan sigap menyalakan korek dan membantunya menyulut rokoknya."Iya begitulah." Erick menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya pelan."Kenapa? Abang biasanya neken apa minum saja?" Nana mengambil gelasnya dan menggunakannya pelan."Kadang pakai sih. Tapi kalau kamu nggak pakai Abang malas pakai juga." Erick tersenyum tipis dan membelai rambut Nana yang terurai di punggungnya."Nanggung deh bang mau neken. Lagian nanti kita pulang kek gimana coba? Abang pakai motor lho." Nana mengingatkan."Iya juga sih. Tadi memang nggak ada rencana mau clubbing sih. Cuma mau jalan-jalan saja biar nggak sumpek di rumah." Erick tertawa pelan."Nggak apa-apa kan kita cuma minum saja?" Nana bertanya hati-hati."Iya nggak apa-apa. Mau ke hall?" Eric
Motor besar itu melaju, melintasi jalanan kota Denpasar yang masih sepi. Penduduk kota masih terlelap di balik selimut dan hanya ada beberapa saja yang beraktivitas hingga dini hari.Meski merupakan pusat kota dari sebuah pulau yang dikenal sebagai destinasi wisata yang mendunia, Denpasar tetap tidak segemerlap ibukota Jakarta yang hampir tidak tertidur sepanjang hari. Jalanannya pun tidak semacet jalanan di ibukota negara."Abang hati-hati!" Nana setengah berteriak memperingatkan Erick saat motor besar itu hampir oleng."Iya, Abang masih bisa mengendalikannya kok. Tenang saja, peluk abang pegangan erat-erat ya!" Erick memperingatkannya untuk berpegangan erat pada pinggangnya.Nana tidak membantah dan memeluk erat pinggang Erick. Udara dini hari yang dingin menyergapnya, membuat Nana sedikit menggigil.Meski cukup banyak mengkonsumsi minuman beralkohol, Erick maupun Nana tidak kehilangan kontrol diri mereka. Masih dalam kondisi sadar sepenuhnya dan tidak oleng sama sekali.Nana hanya
Nana membuka pintu gerbang dan menutupnya kembali. Dengan langkah pelan ditelusurinya jalan setapak berlapis step-stone menuju kamarnya.Masih gelap karena subuh baru saja menyapa. Nana mengambil smartphone-nya dari saku gaunnya, mengecek jam. Ternyata baru jam empat pagi lewat sedikit. Pantas saja suasana di kompleks masih sepi.Nana membuka pintu geser kamarnya dengan hati-hati. Setelah menutup dan mengunci pintu kaca geser kamarnya, dia menurunkan gorden dan menutup rapat-rapat dengan gorden berbahan tebal.Bergegas Nana melepaskan pakaiannya dan melemparkannya ke dalam keranjang pakaian kotor di sudut kamar. Menuju ke kamar mandi dan menyegarkan tubuh mungilnya dengan siraman air hangat dan memanjakannya dengan aroma wangi favoritnya.Meski udara masih dingin, namun dia tidak akan bisa terlelap tanpa mengganti pakaian dan membersihkan badannya. Itu sudah menjadi kebiasaannya.Bunyi dering smartphone-nya membuat Nana tidak bisa berlama-lama di kamar mandi. Dia bergegas mengeringkan
"Ibu, nanti sore arisan lho di rumah Ibu Mery." Mbak Siti mengingatkan Nana saat dia tengah menikmati kopinya."Oh ya? Nggak tahu mbak, saya bisa datang apa nggak. Rencananya hari ini saya mau ke Canggu." Nana menyesap kopinya sementara matanya tak lepas dari laptopnya.Seperti biasanya, setiap pagi dia akan memeriksa laporan harian penjualan dari semua toko-toko kuenya."Iya nggak apa-apa Bu. Nanti dititipkan saja pada Ibu Ruli." Mbak Siti mengusulkan.Wanita asal Banyuwangi itu masih disibukkan dengan beberapa rutinitasnya setiap pagi. Meski villa ini hanya dihuni Nana seorang diri, namun tetap saja seperti merawat sebuah rumah pada umumnya."Meow!Meow!" Seekor kucing berbulu putih tebal dengan warna mata yang unik, tiba-tiba melompat ke pangkuan Nana."Iya Cleo. Kenapa?" Nana mengelus-elus punggung si kucing dengan lembut."Meow!" Cleo, kucing putih itu mengeong lagi seakan menyahuti ucapan Nana."Lapar? Atau mau main sama mama?" Nana mengangkat kucing gendut itu dan menggendongnya
Alvin kembali duduk di kursinya setelah selesai mencuci tangannya. Perlahan bocah itu melirik Nana yang kembali sibuk dengan laptopnya."Kuenya dimakan Vin." Nana tersenyum dan membelai kepala bocah itu dengan lembut."Alvin kelas berapa?" Nana mengajak bocah itu untuk mengobrol agar tidak merasa canggung ataupun kikuk."Kelas empat Tante." Alvin menjawab singkat sementara tangannya menyuapkan kue coklat itu dengan hati-hati.Nana tertegun menatapnya. Alvin sangat berhati-hati saat mencuil kue dan juga menyuapkannya ke dalam mulutnya. Sepertinya bocah itu khawatir remah-remah kue akan mengotori jari atau mungkin juga bajunya."Owh, sekolah di mana?" Kembali Nana bertanya dengan santa, sambil lalu saja."Di Doremi Excellent Tante." Alvin menatap Nana tanpa berkedip."Owh yang di Tukad Badung itu ya. Dekat dong dari sini." Nana tersenyum manis."Iya, dekat sama kantor papi. Eh nggak tahu deh, dekat apa nggak. Soalnya papi yang antar setiap hari." Alvin berceloteh cukup panjang."Sekaran