Share

Peringatan dari Orang Tak Terduga

Sebelum membaca, klik SUBSCRIBE atau BERLANGGANAN dulu, yaa.

***

"Bicara apa?" tanyaku sambil beranjak. 

"Di dapur aja, Bi. Saya butuh privasi."

Aku mengangguk, mengikutinya ke dapur rumah. 

Sebelum mengatakan sesuatu, abangnya Zifa diam sejenak. Dia terduduk di kursi. Membuatku sedikit heran. Ada apa dengan pria ini?

"Bibi dititipkan sesuatu oleh Zifa?"

Dari mana dia tahu? Bukankah waktu Zifa menitipkannya, Zifa sudah meninggal?

Mataku menyipit. Sepertinya, ada yang dirahasiakan oleh pria ini. 

"Bi?"

Dengan pelan, tanganku mengambil kalung yang diberikan Zifa tadi pagi. Ah, entahlah. Siapa yang memberikannya. Yang pasti, Zifa harusnya sudah meninggal. 

"Zifa memberikannya tadi pagi. Ketika warga sudah menemukan jasadnya. Ketika—"

"Oke. Cukup, Bi. Saya belum siap dengernya."

Abangnya Zifa seolah menyembunyikan rahasia besar. 

"Ah, ya. Nama saya Angga, Bi. Mama tinggal sama saya di kota lain. Sedangkan adek tinggal sama Papa. Saya kira, Adek baik-baik aja. Ternyata enggak."

Aku mengembuskan napas pelan, kenapa mereka membiarkan anak perempuan seperti Zifa tinggal bersama Papanya sendiri?

Ya Allah, apakah Zifa menjadi korban—

Buru-buru aku menggelengkan kepala. Masih belum percaya dengan pemikiranku. 

"A—apa yang sebenarnya terjadi pada Zifa?" 

"Saya juga gak tau, Bi. Yang saya tau, Zifa nitip sesuatu sama Bi Nay. Sempat dia kasih juga fotonya. Astaga, saya kira adik saya baik-baik aja, Bi."

"Tiap malam, Zifa sering teriak kesakitan. Awalnya Bibi kira gak papa. Semakin lama, justru semakin menjadi. Gak ke hitung lagi teriakan Zifa."

Angga terlihat pucat. Dia pasti menyesalinya. 

"Kenapa Adek gak pernah bilang ke Abang? Kenapa?"

"Sudahlah. Jangan disesali lagi. Gak akan bisa. Zifa sudah dikuburkan."

"Iya, Bi. Saya mau minta tolong lagi, Bibi bisa gak?"

Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Sesuai apa yang dikatakan oleh Zifa. Aku harus membantu Abangnya. 

"Tolong bantu saya mengungkap kasus ini, Bi. Gak ada yang tau kejadian itu selain Zifa dan Papa. CCTV di rumah ini ternyata rusak semua. Saya gak tau apa-apa. Masalahnya petunjuk hanya teriakan Zifa. Saya gak tau harus gimana, Bi."

"Sebelum Zifa meninggal, Bibi udah janji untuk membongkar semuanya. Tapi Bibi gak bisa sendirian."

"Pasti saya bantu, Bi. Saya boleh minta nomor telepon Bibi?"

Aku mengangguk. Memberikan nomor telepon pada Angga. 

"Den Angga, Ibu udah sampai. Nyariin Den Angga."

"Nanti saya kesana, Bi."

Pembantu Angga mengangguk, melirikku sekilas. Tatapannya sinis. Entah kenapa, aku merasa adq yang aneh dengannya. 

"Kebetulan saya lagi di kota ini, maka nya datang cepat tadi, Bi. Kalau Mama di luar kota, agak lama. Gak nunggu Mama nguburnya, Bi. Kasian kelamaan."

Cerita panjang lebar Angga aku tanggapi dengan anggukan. Pikiranku masih melayang ke pembantu Zifa. 

"Nanti kita ketemu lagi, ya, Bi. Saya nemuin Mama dulu."

"Iya."

Aku melangkah keluar rumah Zifa. Nanti lagi, Mas Fahri sepertinya sudah pulang. 

"Mas, udah sarapan?" tanyaku sambil duduk di kursi. Aku menatap Mas Fahri yang diam saja. 

Tidak biasanya. Mas Fahri tidak pernah diam seperti ini, melamun. Dia paling tidak betah. 

"Mas?"

"Tolong Zifa, Nay."

Deg. 

Nada suara Mas Fahri berbeda sekali. Aku terdiam, dia juga tidak biasanya menyinggung soal Zifa. 

Ada yang berbeda. Aku menatap Mas Fahri cukup lama. 

"Zifa udah meninggal, Mas." Aku berkata pelan. 

"Tolong Zifa. Dia menderita. Tolong dia."

Aku akhirnya menganggukkan kepala. Dari pada urusannya panjang lebar. 

Selesai mengambilkan Mas Fahri sarapan, aku kembali keluar rumah. Ke rumah Zifa lagi. Tidak enak kalau lama-lama perginya. 

"Kamu abis dari rumah, Nay?"

Eh? Tubuhku kaku mendengar suara Mas Fahri. Bukankah dia tadi ada di rumah? Kenapa sekarang ada di sini?

"Lho, kok kamu di sini, Mas? Bukannya di rumah?" 

"Hah?! Dari tadi Mas di sini, Nay. Belum pulang ke rumah. Halusinasi lagi kamu, ya?"

Jantungku berdetak cepat mendengarnya. Lalu siapa yang mengobrol denganku tadi?

Astaga. Berapa kali aku mengalami kejadian persis seperti ini? Mengerikan. 

"Udah. Jangan dipikirin lagi. Nanti aja kita obrolin."

Mas Fahri menepuk pundakku pelan, kemudian berlalu. 

Saat aku sedang membantu membereskan piring kotor, ada yang menepuk pundakku. 

Pembantu Zifa. Yang aku curigai. Dia membantu membawakan piring. 

"Selama bertetangga, kita belum pernah kenalan atau saling sapa, ya, Bu."

Aku meliriknya, kemudian tersenyum terpaksa. Entahlah, meskipun dia terlihat ingin hangat kali ini, tapi masih ada yang mengganjal di hatiku. 

"Bi Nay sama Bibi tolong potongin kue ini, ya."

Angga memberikan beberapa kue lapis. Aku mengambilnya, membawa ke belakang. Diikuti pembantu Zifa. 

"Papanya Non Zifa itu gak suka sama orang yang mencampuri hidup keluarganya."

Mendengar itu, aku menoleh. Merasakan ada sesuatu di kalimat pembantu Zifa. 

Terdengar benda terjatuh. Aku menelan ludah melihat pisau yang jatuh di sampingku. 

Ah, dia memperingatiku barusan. 

Ada sesuatu yang terjadi antara Zifa, Papanya, dan pembantunya. 

***

Jangan lupa like dan komen, yaa. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status