"Aduh, sakit, Pa! Sakit!" Teriakan itu kencang sekali. Aku meringis sendiri setiap kali mendengarkannya. Aduh, rasanya tidak sanggup mendnegar teriakan itu.
"Sakit, Pa! Udah, Pa! Ampun, sakit!" Teriakan itu terdengar kembali, aku mengambil bantal, menutupi telingaku dengan bantal, astaga aku terganggu sekali.
Aku memperbaiki posisi tidur beberapa kali, suara itu tetap saja terdengar menyeramkan dan menyakitkan. Aduh, bagamana cara agar aku tidak bisa mendengarkan teriakan itu kembali? Setiap mendengarkannya, aku malah merasa semakin kasian dengan orang yang berteriak. Aku menghela napas beberapa kali. Ini benar-benar mengganggu ku.
"Sakit, Pa! Udah, Pa! Ampun!" Teriakan iyu kembali terdengar.
Ini tidak bisa dibiarkan. Aku beranjak. Menghela napas beberapa kali, tidak bisa tertidur akibat suara itu. Kalau tidak ada suara itu, mungkin aku tidak akan merasa terganggu seperti sekarang. Suaranya benar-benar memekakkan telinga.
"Aduh, kamu ngapain sih dari tadi bolak-balik tempat tidur? Aku jadi gak bisa tidur nih. Kamu berisik banget." Suamiku ikut terbangun, padahal tsid tidur dia pulas sekali.
Bagaimana caranya aku bisa tidur kalau suara itu benar-benar mengganggu hidup kami? Aku mengusap telinga, suamiku memang tidak tau banget kalau aku merasa terganggu dan tidak bisa tidur akibat suara itu.
"Suara itu lho, Mas. Kamu kenapa bisa tidur sih sedangkan suara itu ganggu banget tidur." Aku mengembuskan napas kesal, suamiku mengangkat bahu, dia kembali tertidur.
Astaga, aku menepuk dahi, dia cepat sekali bisa tidur. Melupakan soal jeritan itu. Suamiku mana peduli dengan suara bising itu. Aku mengusap telinga lagi, kemudian kembali merebahkan tubuh, berusaha kembali tidur.
"Sakit! Aduh, Pa! Ampun sakit banget! Sakit! Ampun, Pa! Ampun."
Ini memang hanya aku yang mendengarnya atau bagaimana sih? Lihatlah suamiku sudah tertidur lelap, seolah tidak peduli dengan suara menyebalkan yang mengganggu tidurku itu. Aku mengusap telinga, benar-benar suaranya seperti berada di sebelahku. Aku menelan ludah, kembali mencoba untuk tidur, memejamkan mata.
"Udah sakit, Pa! Sakit! Ampun!" Suara anak kecil itu terdengar lagi. Aku menelan ludah, tidak bisakah anak kecil itu diam sebentar? Suaranya benar-benar mengganggu tidurku.
Berkali-kali teriakan itu terdengar setiap malam, sampai aku sendiri tidak bisa tidur dibuatnya. Ini tetangga juga merasakan begini atau bagaimana sih? Kenapa sepertinya tidak ada yang merasa terganggu dengan teriakan itu?
Mereka tidak pernah bertanya atau mebgobrolaknya kalau sedang mengobrol bersama. Seolah-olah suara itu tidak pernah ada. Aku menghela napas kesal, merasa benar-benar terganggu dan aku tidak bsia tidur lagi sekarang.
Ayolah, kemarin aku sudah tidak tidur, kemarin nya juga aku sudah tidak tidur, mengantuk sekali rasanya. Biasanya aku juga tidur siang-siang sih, tapi kan aku juga malam butuh tidur. Hari ini masa aku tidak tidur lagi sih? Begadang mendengarkan suara teriakan itu gitu?"
"Mas! Mas Fahri, bangun dong." Aku menggoyangkan tubuhnya yang pulas sekali tertidur. Mas Fahri seolah tidak menanggapi aku. Dia kembali tidur, tidak terganggu dengan teriakan juga guncangan dairku.
dasar menyebalkan. Hampir saja aku menimpuknya dengan sesuatu slalu dia tidak terbangun. Mas Fajri ikut duduk di kasur, matanya menyipit, kemudian menoleh ke aku.
"Apalagi sih? Kamu itu tinggal tidur kok susahnya? Gak usah didengerin, anggap aja angin lalu. Atau besok aku beliin barang biar kamu gak bisa dengerin suara teriakan itu lagi deh." Mas Fahri memberikan solusi padaku, matanya masih terlihat mengantuk.
Astaga, apakah dia tidak punya hati? Harusnya dia juga ikut memikirkan ada apa dengan anak itu. Malah memberikan ku solusi untuk membeli sesuatu agar tidak mendengarkan teriakan itu. Mas Fahri benar-benar menyebalkan.
"Udahlah, biairn aja. Lagian mereka itu punya keluarga kan? Biar keluarga mereka aja yang ngurus. Kita gak perlu ikut campur. Oke? Kamu dnegar aku, Sayang?"
Bukan begitu, bukannya aku tidak mendengarkan perkataan Mas Fahri, tapi kasian lho. Aku menggelengkan kepala, rasanya tidak tahan mendengarkannya. "Kasian banget anak itu, tiap malam disiksa."
"Namanya juga anak tiri, Nay." Mas Fahri akhirnya menjawab lebih baik, dia menguap beberapa kali. Dia tampak tidak peduli sama sekali.
Kata tetangga menang benar begitu, anak yang ada di dalam rumah itu adalah anak tiri. Aku yang mendengarkan sendiri penjelasan mereka saat aku bertanya pada salah stau warga. Mereka menjawab ragu-ragu pertanyaan ku.
Memangnya kenapa sih kalau anak tiri? Tetap saja kan kasian. Aku menghela napas pelan, masih merasa kasian pada anak itu. Kan tidak ada yang salah dari anak tiri, dia juga manusia. Bukan untuk disiksa begitu, kalau hanya untuk menyiksa, lebih baik berikan saja anaknya pada yang menginginkan, bukannya begitu caranya atau beriksan saja pada panti asuhan agar mereka menjaga anak itu dengan baik. Jangan sampai dia merasa kesakitan begitu.
Aku mengusap dahi mendengar perkataan Mas Fahri. Kami harusnya melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Kami yang mendengarkan tidak boleh diam begitu saja. Kasihan anak kecil yang ada di rumah itu. Dia tersiksa sekali sepertinya, apalagi teriakan dia begitu menyiksa. Aku saja yang membayangkannya tidak bisa, apalagi kalau terjadi padaku coba? Ah, aku tidak bisa membayangkan hal itu.
"Kamu mau laporin lagi? Gak bakalan ditanggapin, Nay." Mas Fahri menggelengkan kepala melihat ekspresi wajahku, dia seolah tau apa yang sedang aku pikirkan.
Tapi itu kN perbuatan mulia kalau kami membantu anak malang itu. Kasian sekali dai sampai merasa tersiksa di rumahnya sendiri. Rumah yang menurutku besar dengn mewah, tetapi malah isinya menyakitkan. Aku lebih khawatir pada anak kecil itu.
Ya, sudah hampir sepuluh kali kami melaporkannya ke pihak berwajib atas kasus kekerasan anak. Tidak ada tanggapan. Seolah angin lalu. Tidak ada yang menanggapi, bahkan tidak ada yang memproses laporan kami, seolah kami ini memberitahukan hal yang tidak penting
"Tutup pintunya cepetan, Nay!"Dengan tangan gemetar, aku menutup pintu rumah. Jantungku berdetak kencang sekali."Kenapa kamu buka pintu rumah? Jangan macam-macam lagi, ah."Aku menelan ludah, yang aku peluk tadi—Astaga, sulit dicerna oleh nalar manusia. Aku tadi melihat anak kecil dengan darah di wajahnya yang hancur."Jangan dibayangin lagi. Tidur, besok kesiangan."Aku merasa, ada yang aneh dengan keluarga Zifa. Bukan hanya hubungan anak tiri dengan papanya yang jahat itu.Ah, aku harus mencari tahu. Membela hak Zifa.***"Zifa abis dari mana?" tanyaku sambil menyapu halaman rumah. Zifa lewat depan rumahku.Wajahnya tampak pucat, mungkin karena Papanya tadi malam.Zifa berhenti sebentar. Dia menoleh ke aku.&
Sebelum baca, yang belum Subscribe/Berlangganan, disubscribe/Berlangganan dulu, yaa.***"Aku gak kerja hari ini. Bantu-bantu di sana aja.""Serius, Mas? Kamu gak bohong, kan? Gak mungkin Zifa meninggal. Jelas-jelas tadi dia bicara sama aku."Uhuk!Mas Fahri yang sedang minum tersedak. Dia menatapku terkejut."Kamu halusinasi atau gimana, Nay? Jelas-jelas Mas lihat jasadnya Zifa dibawa tadi. Udah pucat, kaku juga. Kalau Mas perhatiin, meninggalnya tadi malam. Baru ketemu tadi subuh."Aku mengusap wajah. Kalau benar tadi malam habis teriakan Zifa kesakitan, aku akan merasa bersalah sekali.Astaga, kenapa aku membiarkan anak kecil disiksa papanya sendiri?"Siap-siap. Jangan melamun. Kita gak salah apa-apa. Gak ada yang salah di sini. Ingat, jangan merasa bersalah, Nay."&nbs
Sebelum membaca, klik SUBSCRIBE atau BERLANGGANAN dulu, yaa.***"Bicara apa?" tanyaku sambil beranjak."Di dapur aja, Bi. Saya butuh privasi."Aku mengangguk, mengikutinya ke dapur rumah.Sebelum mengatakan sesuatu, abangnya Zifa diam sejenak. Dia terduduk di kursi. Membuatku sedikit heran. Ada apa dengan pria ini?"Bibi dititipkan sesuatu oleh Zifa?"Dari mana dia tahu? Bukankah waktu Zifa menitipkannya, Zifa sudah meninggal?Mataku menyipit. Sepertinya, ada yang dirahasiakan oleh pria ini."Bi?"Dengan pelan, tanganku mengambil kalung yang diberikan Zifa tadi pagi. Ah, entahlah. Siapa yang memberikannya. Yang pasti, Zifa harusnya sudah meninggal."Zifa memberikannya tadi pagi. Ketika warga sudah menemukan jasadnya. Ketika—"
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA DISUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Aduh, pisaunya kenapa bisa jatuh sendiri, sih?""Bukannya tadi yang jatuhin—"Pembantu itu tampak bersungut, tapi dia melirikku tajam, seolah tidak suka."Bi, kenapa tiap malam saya dengar Zifa teriak kesakitan? Apakah ada sesuatu yang terjadi sama dia?" Aku berusaha memancingnya."Aduh, Bu. Jangan tanya itu lagi. Saya gak tau apa-apa soal Non Zifa.""Tapi gak mungkin Bibi gak dengar. Di rumah saya saja terdengar jela—""Bu, tolong. Berhenti soal itu semua. Saya pusing dengan meninggalnya Non Zifa. Sudahlah, potong sendiri."Dia langsung pergi, membuatku tersenyum tipis. Sekarang aku yakin, pembantu Zifa ada sesuatu dengan misteri teriakan Zifa ini.***"Ser
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK TOMBOL SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Heh! Kamu ngapain Ibu?"Aku mundur selangkah, ketika pembantu Zifa tiba-tiba muncul dari belakangku."Ibu kenapa? Diapain sama orang jahat itu?"Astaga. Belum apa-apa, dia sudah menuduhku. Aku menggelengkan kepala. Sedikit tidak percaya dengan kalimatnha barusan."Ta—tadi ada Zifa, Bi." Aku kembali menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Atau mungkin aku yang dikira sebagai Zifa tadi?"Non Zifa udah meninggal, Bu.""Lalu tadi?"Aku malengkah maju, menyalami Mama Zifa."Saya Nay, Bu. Tetangga yang paling dekat dengan Zifa."Dia diam sejenak. Beberapa detik, akhirnya mengangguk. Wajahnya tampak cerah kembali."Ah, iya. Tadi saya ny
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Siapa di sana?"Aku membulatkan mata, tidak sadar kalau bayanganku terlihat di balik pintu.Buru-buru aku mundur selangkah. Bersembunyi di balik meja. Semoga saja pembantu Zifa tidak curiga."Hm. Bersembunyi? Terang-terangan saja. Aku tidak menyukai orang yang mengganggu ketenanganku."Apakah dia tahu kalau aku yang baru saja menguping pembicaraannya? Ah, tidak mungkin.Beberapa menit bersembunyi, akhirnya pembantu itu tidak ada lagi. Aku menghela napas pelan. Keluar dari persembunyian.Aku menatap ponsel yang dititipkan Mas Fahri tadi, tersenyum penuh kemenangan."Untung sempat merekam tadi."***"Bibi pulang dulu, ya, Ngga.""Iya. Makasih
"Kok kamu bisa tahu? Berarti penyiksaan itu dari—""Udah aku bilang. Bukan hanya tau, aku kenal dengan Mamanya Zifa. Kamu tau Papanya Zifa meninggal gimana?""Gimana?" tanyaku penasaran.Putri mendekat. "Gak wajar. Tabrak lari, hancur semua wajahnya."Astaga. Aku tersentak di kursi. Sangat sulit dipercaya."Setelah masa iddah, Mamanya Zifa langsung nikah sama Papa tiri Zifa sekarang. Padahal, dia gak pernah dekat sama laki-laki lain."Hm. Aku merasa ada sesuatu di sana. Ini benar-benar misteri luar biasa."Kamu kenal sama Papa tirinya Zifa?""Gak terlalu kenal, sih. Setengah tahun Mamanya Zifa menikah, ada suara teriakan itu selama setengah tahun itu. Aku pindah, deh, setelah itu."Aku mengusap wajah. Semuanya harus terbongkar secepatnya."P
"Repot sekali sampai kalian datang kesini.""Enggak, Nek. Kebetulan ada yang mau kami bicarakan." Putri menyenggol lenganku. Dia melotot, menyuruh untuk menyampaikan tujuan kami kesini. Tapi bukankah Nenek tadi bilang dia sudah tahu tujuan kami?"Nenek sudah tahu mengenai Zifa yang sudah—""Sudah tahu, Nak." Nenek itu memotong perkataan Putri. "Zifa meninggal."Ah, mungkin Nenek ini tahu, karena dia memang keluarganya. "Tujuan kami mau menanyakan soal teriakan Zifa setiap malam, Nek. Siapa tahu Nenek punya alasannya."Nenek itu tertawa, terdengar menyeramkan. Beberapa detik, dia mengambil pena dan kertas. Menuliskan sesuatu di sana. "Ini alamat rumah papa tirinya Zifa, Nak. Kalian berdua bisa cari tau di sana.""Tapi, Nek—""Kalau kalian mau tahu, hanya itu solusinya.""Di sini ada kamar Zifa, Nek?" tanyaku beberapa detik setelahnya. "Ada. Mau kesana?"Aku menganggukkan kepala. Nenek itu menunjukkan jalan ke kamar Zifa. "Kamu sendiri kesana, ya. Nenek mau melanjutkan memasak mak