Sebelum baca, yang belum Subscribe/Berlangganan, disubscribe/Berlangganan dulu, yaa.
***
"Aku gak kerja hari ini. Bantu-bantu di sana aja."
"Serius, Mas? Kamu gak bohong, kan? Gak mungkin Zifa meninggal. Jelas-jelas tadi dia bicara sama aku."
Uhuk!
Mas Fahri yang sedang minum tersedak. Dia menatapku terkejut.
"Kamu halusinasi atau gimana, Nay? Jelas-jelas Mas lihat jasadnya Zifa dibawa tadi. Udah pucat, kaku juga. Kalau Mas perhatiin, meninggalnya tadi malam. Baru ketemu tadi subuh."
Aku mengusap wajah. Kalau benar tadi malam habis teriakan Zifa kesakitan, aku akan merasa bersalah sekali.
Astaga, kenapa aku membiarkan anak kecil disiksa papanya sendiri?
"Siap-siap. Jangan melamun. Kita gak salah apa-apa. Gak ada yang salah di sini. Ingat, jangan merasa bersalah, Nay."
Suamiku melangkah ke kamar. Sedangkan aku terduduk.
Tanganku gemetar mengambil kalung dan kunci kamar yang dititipkan oleh Zifa. Kedua benda ini nyata.
Teringat kembali halusinasiku tadi malam, saat ada yang mengetuk pintu rumah dan memelukku. Aku menelan ludah, apakah ini ada hubungannya dengan kematian Zifa?
***
Rasanya lemas sekali melihat jasad terbaring di tengah ruangan. Tidak ada keluarga Zifa yang menemani di sana.
"Mana Papanya?" tanyaku pada salah satu tetangga. Namanya Bu Ina.
Bu Ina menatapku sejenak. "Gak tau juga, kata bapak-bapak belum pulang dari tempat kerja. Lagi berusaha dihubungi juga. Kebetulan di kantongnya Zifa ada kunci rumah."
"Keluarganya yang lain?"
Masa, sih, keluarga Zifa hanya Papanya?
Zifa memang baru pindah kesini. Dia sering main ke rumahku. Bercerita tentang Papanya.
Sedangkan Mamanya? Entahlah, tidak pernah kelihatan. Zifa hanya bersama Papa dan satu orang pembantu setianya.
"Masih dicari nomor teleponnya, Bu. Eh, selama Ibu jadi tetangga Zifa, pernah lihat dia digebukin atau dicambuk, gak, Bu?"
"Kalau lihat gak pernah, Bu. Kalau suara dia teriak-teriak tengah malam sering dengar."
"Nah, coba Ibu lihat jasadnya. Tidak ada bekas apa pun. Saya juga dengar kadang, tapi tidak terlalu jelas."
Aku menganggukkan kepala. Melangkah ke jasad Zifa yang terbaring kaku di tengah ruangan.
Gemetar tanganku membuka kain berwarna putih. Aku menelan ludah, kain itu sudah terbuka sempurna.
Lihatlah, anak ini malang sekali. Aku mengusap wajahnya pelan sekali.
"Bi, peluk aku. Aku gak pernah dipeluk sama Mama."
Ya Allah, suaranya itu terngiang di telingaku. Aku mengusap pipi, sedih dengan kehidupan Zifa.
Ya, Zifa orang kaya. Dia terlahir kaya raya. Namun siapa sangat, hidupnya tidak sebaik yang dipikirkan orang.
Aku mulai memindai tangan dan lengan Zifa. Tidak ada bekas apa pun. Bersih.
"Saya ke kamar mandi dulu, ya, Bu," kataku setelah menutup kembali kain berwarna putih, menutupi jasad Zifa.
Langkahku terhenti ketika melihat bingkai foto keluarga. Ada empat orang di sana. Ada Zifa dan Papanya. Juga ada seorang wanita yang aku duga istri Papanya Zifa. Dan seorang laki-laki, pasti dia Abangnya Zifa.
Nah, yang paling menarik Abangnya Zifa. Entah kenapa, aku tidak asing dengan wajahnya.
Tidak ada yang ganjil dari foto ini. Sayangnya, aku melihat ada kesedihan di wajah Zifa.
"Maaf, Bu. Non Zifa gak mau foto itu dipegang siapa pun."
Eh? Aku langsung menoleh, sedikit terkejut. Kikuk tersenyum ke pembantu Zifa.
"Iya, maaf, Bi. Saya udah lancang."
"Saya tahu, Ibu dekat dengan Non Zifa, tapi maaf, Bu."
Aku mengangguk, kembali meletakkan foto itu ke atas meja.
"Abangnya Zifa kira-kira kapan datang, ya, Bi?"
"Gak tau juga, Bu. Abangnya Non Zifa lumayan sibuk."
Baiklah. Susah sekali mencari informasi dari sini. Aku tersenyum, melangkah ke kamar mandi.
Tok! Tok! Tok!
Saat aku sedang mencuci tangan, ada yang mengetuk pintu. Buru-buru aku membuka pintu kamar mandi.
Bulu kudukku seketika merinding. Aku menelan ludah, tidak ada siapa pun di sana. Kosong, sama seperti tadi malam.
"Astaghfirullah."
Aku mundur satu langkah, ketika melihat banyak darah di lantai, bau amis tercium, bercampur bau busuk.
Padahal tadi, tidak ada apa pun. Buru-buru aku keluar dari kamar mandi. Rumah ini benar-benar penuh misteri.
"Tidak! Adek saya belum meninggal! Lepas!"
Kami semua menatap pria yang berteriak histeris. Dia berusaha melepaskan pegangan tetangga.
Ya. Aku yakin sekali, pria itu adalah Abangnya Zifa.
Hampir dua puluh menit menunggu Abangnya Zifa tenang. Baru mengurus jasad adiknya.
Pemakaman berlangsung dengan lancar. Aku menatap Zifa yang malang. Ya, kematian yang tidak masuk akal.
Aku mengembuskan napas pelan. Zifa harus mendapatkan keadilan. Ya, aku dititipinya amanah.
Papanya sampai sekarang belum datang. Juga Mama Zifa. Hanya Abangnya yang mengantar Zifa ke peristirahatan terakhir.
Sekarang, aku masih di rumah Zifa. Menunggu waktu yang tepat untuk berbicara pada Abangnya itu.
"Bi Nay, 'kan? Ada yang mau saya bicarakan. Ini soal Zifa."
Eh? Aku menoleh. Terdiam, ketika melihat Abangnya Zifa yang barusan berbicara. Apa yang akan dia bicarakan?
***
Jangan lupa like dan komen, yaa.
Sebelum membaca, klik SUBSCRIBE atau BERLANGGANAN dulu, yaa.***"Bicara apa?" tanyaku sambil beranjak."Di dapur aja, Bi. Saya butuh privasi."Aku mengangguk, mengikutinya ke dapur rumah.Sebelum mengatakan sesuatu, abangnya Zifa diam sejenak. Dia terduduk di kursi. Membuatku sedikit heran. Ada apa dengan pria ini?"Bibi dititipkan sesuatu oleh Zifa?"Dari mana dia tahu? Bukankah waktu Zifa menitipkannya, Zifa sudah meninggal?Mataku menyipit. Sepertinya, ada yang dirahasiakan oleh pria ini."Bi?"Dengan pelan, tanganku mengambil kalung yang diberikan Zifa tadi pagi. Ah, entahlah. Siapa yang memberikannya. Yang pasti, Zifa harusnya sudah meninggal."Zifa memberikannya tadi pagi. Ketika warga sudah menemukan jasadnya. Ketika—"
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA DISUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Aduh, pisaunya kenapa bisa jatuh sendiri, sih?""Bukannya tadi yang jatuhin—"Pembantu itu tampak bersungut, tapi dia melirikku tajam, seolah tidak suka."Bi, kenapa tiap malam saya dengar Zifa teriak kesakitan? Apakah ada sesuatu yang terjadi sama dia?" Aku berusaha memancingnya."Aduh, Bu. Jangan tanya itu lagi. Saya gak tau apa-apa soal Non Zifa.""Tapi gak mungkin Bibi gak dengar. Di rumah saya saja terdengar jela—""Bu, tolong. Berhenti soal itu semua. Saya pusing dengan meninggalnya Non Zifa. Sudahlah, potong sendiri."Dia langsung pergi, membuatku tersenyum tipis. Sekarang aku yakin, pembantu Zifa ada sesuatu dengan misteri teriakan Zifa ini.***"Ser
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK TOMBOL SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Heh! Kamu ngapain Ibu?"Aku mundur selangkah, ketika pembantu Zifa tiba-tiba muncul dari belakangku."Ibu kenapa? Diapain sama orang jahat itu?"Astaga. Belum apa-apa, dia sudah menuduhku. Aku menggelengkan kepala. Sedikit tidak percaya dengan kalimatnha barusan."Ta—tadi ada Zifa, Bi." Aku kembali menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Atau mungkin aku yang dikira sebagai Zifa tadi?"Non Zifa udah meninggal, Bu.""Lalu tadi?"Aku malengkah maju, menyalami Mama Zifa."Saya Nay, Bu. Tetangga yang paling dekat dengan Zifa."Dia diam sejenak. Beberapa detik, akhirnya mengangguk. Wajahnya tampak cerah kembali."Ah, iya. Tadi saya ny
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Siapa di sana?"Aku membulatkan mata, tidak sadar kalau bayanganku terlihat di balik pintu.Buru-buru aku mundur selangkah. Bersembunyi di balik meja. Semoga saja pembantu Zifa tidak curiga."Hm. Bersembunyi? Terang-terangan saja. Aku tidak menyukai orang yang mengganggu ketenanganku."Apakah dia tahu kalau aku yang baru saja menguping pembicaraannya? Ah, tidak mungkin.Beberapa menit bersembunyi, akhirnya pembantu itu tidak ada lagi. Aku menghela napas pelan. Keluar dari persembunyian.Aku menatap ponsel yang dititipkan Mas Fahri tadi, tersenyum penuh kemenangan."Untung sempat merekam tadi."***"Bibi pulang dulu, ya, Ngga.""Iya. Makasih
"Kok kamu bisa tahu? Berarti penyiksaan itu dari—""Udah aku bilang. Bukan hanya tau, aku kenal dengan Mamanya Zifa. Kamu tau Papanya Zifa meninggal gimana?""Gimana?" tanyaku penasaran.Putri mendekat. "Gak wajar. Tabrak lari, hancur semua wajahnya."Astaga. Aku tersentak di kursi. Sangat sulit dipercaya."Setelah masa iddah, Mamanya Zifa langsung nikah sama Papa tiri Zifa sekarang. Padahal, dia gak pernah dekat sama laki-laki lain."Hm. Aku merasa ada sesuatu di sana. Ini benar-benar misteri luar biasa."Kamu kenal sama Papa tirinya Zifa?""Gak terlalu kenal, sih. Setengah tahun Mamanya Zifa menikah, ada suara teriakan itu selama setengah tahun itu. Aku pindah, deh, setelah itu."Aku mengusap wajah. Semuanya harus terbongkar secepatnya."P
"Repot sekali sampai kalian datang kesini.""Enggak, Nek. Kebetulan ada yang mau kami bicarakan." Putri menyenggol lenganku. Dia melotot, menyuruh untuk menyampaikan tujuan kami kesini. Tapi bukankah Nenek tadi bilang dia sudah tahu tujuan kami?"Nenek sudah tahu mengenai Zifa yang sudah—""Sudah tahu, Nak." Nenek itu memotong perkataan Putri. "Zifa meninggal."Ah, mungkin Nenek ini tahu, karena dia memang keluarganya. "Tujuan kami mau menanyakan soal teriakan Zifa setiap malam, Nek. Siapa tahu Nenek punya alasannya."Nenek itu tertawa, terdengar menyeramkan. Beberapa detik, dia mengambil pena dan kertas. Menuliskan sesuatu di sana. "Ini alamat rumah papa tirinya Zifa, Nak. Kalian berdua bisa cari tau di sana.""Tapi, Nek—""Kalau kalian mau tahu, hanya itu solusinya.""Di sini ada kamar Zifa, Nek?" tanyaku beberapa detik setelahnya. "Ada. Mau kesana?"Aku menganggukkan kepala. Nenek itu menunjukkan jalan ke kamar Zifa. "Kamu sendiri kesana, ya. Nenek mau melanjutkan memasak mak
"Sudah selesai memeriksa kamar Zifa, Nak?"Eh? Kami berdua menoleh ke belakang. Nenek itu sudah menunggu di depan pintu. "U—udah, Nek.""Makan, yuk. Nenek udah masak.""Iya. Ayo, Nay. Beresin itu dulu."Aku mengangguk. Buru-buru membereskan kotak dan buku yang berserakan. Juga mengantongi foto dan kertas tadi. Kami sampai di dapur. Aku menelan ludah, melihat makanan yang tersaji. Seperti bubur yang diaduk-aduk saja. Entah apa rasanya. "Ayo, Nak. Dicicipi."Patah-patah aku mengangguk, mengambil sendok. Kemudian memakan bubur itu. Benar saja. Rasanya aneh, campur aduk. Baunya juga amis sekali. Aku langsung mengambil tisu, pura-pura membersihkan mulut. Putri menyenggolku. Wajahnya juga tampak aneh."Makan-makan aja, telan pakai air. Jangan dibuang, nanti Nenek itu gak suka sama kita," bisik Putri. Masalahnya, gimana cara menelan makanan ini. Entah rasanya asin, pedas, manis, campur aduk. Akhirnya, sdiaduk-aduk makan bubur ini setengah hati. Aku menghela napas pelan, rasanya peru
"Ssttt ...."Buru-buru aku menutup mulut, Putri melotot ke arahku. Barusan, ada bayangan hitam lewat di depan kami. Aku menelan ludah, memegangi tangan Putri. "Jangan berisik," bisik Putri. "Kalau ketauan, bahaya." "Gimana gak berisik. Tadi ada bayangan lewat, Put.""Halusinasi kamu. Udahlah, Nay. Kita fokus ke sini. Aku gak liat apaapa tadi."Ya ampun, ingin rasanya aku menimpuk Putri. Apa katanya tadi? Gak lihat apa-apa? Padahal jelas sekali, bayangan hitamnya. Kami berhenti di belakang rumah Zifa. Entah mau ngapain di sini. Aku juga bingung. Tidak paham dengan jalan pikiran Putri. "Kita ke kamar Zifa atau mau kemana, nih?""Kamar Zifa? Gak usahlah." Aku menggelengkan kepala. Tengah malam begini, ke kamar Zifa? Ah, itu ide yang buruk. Aku menyenderkan punggung ke dinding, mengusap peluh. Putri berdecak, dia tampak sibuk sendiri. Aku hanya meliriknya sekilas. Terserah dia saja. Semoga kami cepat pulang ke rumah. Aku tidak mau lama-lama di sini. Memang, sih, aku ingin menyelid