Katerina always wondered why she felt so different, and now an ancient evil threatening those she loves reveals to her why. Torn between the man she has always known and the stranger who appears in her village, will Katerina be able to chose between them? Or will she lose the chance at her true destiny with her Alpha.... From the moment Nick met Kian he distrusted him, especially now that Katerina seemed interested in him. Nick always knew he would be Alpha, but when an unforeseen evil threatens his village, he faces more challenges than just seducing Katerina. Will Nick be able to convince Katerina he is the one for her? Or will this new evil consume them all before he has the chance to make her truly his?
Lihat lebih banyak"Apa Mas?" tanya Riri dengan tubuh yang gemetar.
"Iya Ri. Aku meminta izin untuk menikah lagi. Apa kau memberiku izin?" tanya Ayus tanpa rasa bersalah karena telah melukai hati Riri."Beri aku alasan yang jelas. Kenapa Mas ingin menikah lagi?" tanya Riri dengan hati yang hancur. Berbagai pertanyaan kini membelenggu pikirannya."Karena kamu mandul."Deg. Hancur sudah hati Riri berkeping-keping. Hanya karena keturunan saja, suaminya meminta izin padanya untuk menikah lagi. Padahal mereka menikah 4 tahun yang lalu. Bukankah masih da sedikit waktu lagi?"Apa Mas yakin jika wanita baru dalam hidup Mas itu tidak mandul?" tanya Riri dengan dada yang sesak."Wanita itu masih sangat muda, Ri. Aku yakin dia masih subur-suburnya. Izinin mas nikah lagi ya? Nanti kan anak itu juga bisa jadi anakmu juga, Sayang," ucap Ayus dengan nada yang lembut.Riri menatap lelakinya itu dalam-dalam. Dua pasang mata berbinar itu membuat hati Riri semakin sakit. Mengapa harus menikah lagi?
"Apa Mas akan menceraikan aku?" Riri kembali menanyakan hal penting itu. Jika dirinya diceraikan, kemana lagi ia akan pulang? Kedua orang tua kandungnya telah tiada. Hanya tersisa ibu tiri yang antagonis. Jika dia kembali ke rumah itu, yang ada hanya bullian dan makian untuknya. Seakan dirinya itu hanyalah seonggok sampah tak berguna."Tentu tidak! Aku mencintaimu, Ri. Hanya saja kamu tau kan bagaimana ibu aku? Dia kepengen cucu. Jika akuenikah lagi, dia tidak akan menyuruh kita untuk bercerai," sahut Ayus dengan sebuah senyum yang mengembang dibibirnya.Ragu, Riri meragu akan pilihan yang harus ia hadapi. Dua pilihan itu sama-sama memberikan neraka untuknya. Tidak akan ada kebahagiaan untuknya. Entah setelah dia bercerai, atau entah ketika dia memberikan izin kepada suaminya untuk menikah lagi."Ri, kamu tahu kan anak adalah hal penting. Jika ibu tau aku punya anak dia tidak akan mengganggumu dan mengataimu lagi. Percayalah, kita bertiga akan hidup dengan tenang dan bahagia," ucap Ayus dengan yakin."Wanita itu seperti apa?" Riri menghapus air matanya."Dia sekretarisku, Nisa. Kau ingatkan gadis itu? Dia masih sangat muda. Dan dia juga menerimamu sebagai kakaknya. Kalian berdua pasti akan hidup rukun."Sakit. Sejak kapan keduanya memiliki hubungan? Berapa lama? Hingga membuat Ayus yakin jika Riri akan menerima pernikahan mereka."Sudah berapa lama hubungan kalian? Kenapa bisa seyakin itu untuk secepatnya menikah?""Sudah setahun yang lalu, Sayang. Saat aku lelah kamu tak kunjung hamil juga. Aku menceritakan semua kehidupan rumah tangga kita. Setelah itu dia menyatakan perasaannya padaku," jawab Ayus dengan mantap. Lelaki itu begitu bodoh karena kejujurannya ibarat pisau yang tengah menyayat hati Riri. Dengan tangan terkepal Riri mencoba menahan tangisnya."Apa gadis itu menerimamu apa adanya?""Tentu! Nisa sungguh gadis yang baik, Riri. Sifatnya hampir sepertimu. Aku menyukainya karena dia mirip denganmu juga," tutur Ayus dengan rona bahagia. Padahal kebahagiaannya adalah luka untuk Riri."Bawa gadis itu untuk menemuiku. Aku ingin berbicara empat mata dengannya. Besok aku free mas. Bawa dia padaku," kata Riri dengan menahan sesak didadanya.
"Tentu saja Sayang! Aku akan membawa dia kemari. Apakah itu artinya kau memberikan izin untukku menikah lagi?"
"Besok aku beri jawabannya, Mas. Aku lelah. Bisakah aku tidur sekarang?" Seulas senyum diterbitkan oleh bibir Riri. Sebagai perwujudan dirinya baik-baik saja. Meskipun dibaliknya, dia merasa hancur berkeping-keping."Baiklah. Istirahatlah, Sayang. Aku pergi dulu. Nisa mengajakku makan malam," kata Ayus sembari memberikan kecupan lembut dikening Riri. "Aku mencintaimu!" serunya sebelum akhirnya lelaki itu menghilang dari balik pintu kamar yang telah ditutup."Tidak mas. Kamu sudah tak mencintaiku lagi. Hubungan kalian berjalan setahun? Apakah kalian telah berzina juga?" Riri memegang dadanya yang kian sesak. Air mata kini tak terbendung lagi."Kamu jahat mas! Kamu jahat! Hanya karena aku tak sempurna kau tega meninggalkan aku. Mana janjimu dulu mas? Huhuhuhu. Aku tak memiliki siapa-siapa dihidup ini selain kamu, mas. Mengapa kau malah mengkhianatiku? Kau bilang kau lelah karena aku tak kunjung hamil? Aku juga lelah! Mengapa Allah mempermainkan hidupku? Mengapa? Pasti mereka semua akan mengejekku. Hidupku yang kasihan karena orangtua yang telah meninggal. Kemudian ibu tiri yang terus menyebutku anak sial. Dan sekarang, suamiku ingin menikah lagi? Mengkhianatiku selama setahun lamanya. Tanpa dosa bahkan suamiku berpamitan untuk berkencan dengan wanita lain. Sakit, hatiku sakit. Apakah aku tidak boleh bahagia? Mengapa takdir begitu mempermainkanku? Hahahaha, setelah ini apa lagi? Istri kedua suamiku yang hamil? Begitukah? Atau aku yang akan dicerai? Hah? Jawab! Huaaaaaaa. Sakit, hatiku hancur."********"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Riri berjalan tergopoh-gopoh dari dalam rumah. Saat pintu rumahnya telah terbuka, seketika senyumnya raib entah kemana. Satu orang yang begitu dikenalnya, dan satu sosok wanita yang tak asing juga untuknya, Nisa."Ri, mas sudah bawa Nisa. Kita bicara di dalam saja yuk?" ajakan Ayus mendapat jawaban anggukan kepala dari Riri. Wanita itu mundur beberapa langkah dan mempersilahkan dua orang tak tau diri itu memasuki rumahnya."Terima kasih mbak Riri sudah mau nerima aku," kata Nisa mengawali pembicaraan."Aku kan udah bilang. Kamu gak perlu takut. Riri akan menerimamu dengan suka cita. Iya kan Sayang?" pandangan Ayus beralih pada Riri yang masih mematung. Perih di hatinya kian hebat. Setelah beberapa saat, Riri mengulum senyuman ramah."Aku tak menyangka, kalian akan secepat ini mengambil keputusan untuk segera menikah," ucap Riri dengan nada yang dingin."Mas Ayus yang nggak sabar, mbak Riri. Dia ngajakin nikah terus. Aku tadinya juga takut jika mbak Riri akan menentang pernikahan kami. Tak kusangka mbak Riri mau menerima Nisa," kat Nisa dengan senyum lebar."Suamiku ingin menikah lagi. Memangnya aku bisa apa? Aku hanya wanita mandul. Ibu rumah tangga, dan hanya bisa menyusahkannya saja. Mana mungkin menolak keinginan orang yang memberiku makan.""Riri! Apa yang kau katakan? Kita sudah membahas ini sebelumnya. Dan kau tidak keberatan dengan pernikahanku dan Nisa," kata Ayus dengan nada tinggi."Sebenarnya wanita mana Mas yang mau diduakan? Nggak ada, tapi berhubung aku ini cuma beban ya udah. Aku restui hubungan kalian. Tapi meskipun begitu bukankah kalian akan tetap menikah tanpa restuku juga kan?" pertanyaan Riri membuat Nisa sedikit dongkol. Namun gadis itu berusaha bersabar."Riri! Kamu jangan keterlaluan!" bentakan Ayus membuat Riri sakit hati."Keterlaluan gimana Mas? Aku kan sudah memberimu restu. Tapi aku ingin kalian menikah secara sirih dulu. Secara hukum nanti saja. Lihat apakah Nisa mencintai Mas dengan tulus atau tidak." Tatapan tajam dilayangkan Riri kearah Nisa. Membuat tangan gadis itu terkepal."Riri!" teriakan Ayus menggelegar memenuhi susut-sudut ruang tamu rumah itu. Lelaki itu entah sadar atau tidak, telah mendaratkan tangannya di pipi kanan milik Riri."Sepertinya pembicaraan ini cukup sampai disini!" timpal Riri dengan menahan perih di pipinya sekaligus di hatinya.Nick POV: I followed my father and Janet’s back into the kitchen, leaving Katerina’s comfort behind me. I didn’t want to go back in the kitchen, to see Janet’s bruised and bloodied body upon our dining table. The not-so-distant memory of hearing her scream, the sound terrified and terrifying, still resounded in my head. Do too did finding her, a red patch among the white, newly fallen snow. My mother had finished cleaning Janet and had begun dressing her in clean clothes when I entered the kitchen. Unwillingly, I glanced down, and had a moment where I could swear Janet was only sleeping. “Janet!” Her father cried, falling to his knees, and grasping her hand. His sobs where the only sound in the room, heart wrenching and broken. My father moved to stand behind him and placed a hand on his shoulder in comfort. “We will find the one responsible, Jack.” He promised. He nodded to my mother and with one final squeeze releases Janet’s father and beckon
Kian’s hands were warm on my skin as he pulled my shirt off, dipping his head and kissing one breast before moving to the other. I sighed as need surged through me, my hands skimming his bare chest, the shirt having been removed only moments ago. His muscles were taught and firm as he lifted me, sliding my pants ever so slowly off. Before they could it the floor my legs were around his torso, his lips claiming mine once more. Our tongues danced for dominance as Kian lowered me onto the bed. His lips left mine and trailed down my body, caressing and teasing as he made his way down to the very center of my being. My thrummed with desire as his mouth found the sensitive nub, his tongue swirled around sending jolts ecstasy through my limbs. Every part of me felt tight, held on by a thread as he slowly began to suck and tease, dipping first one and then two fingers deep inside. My breathing quickened as I moaned and writhed under his touch, feeling the threads pull apart.
I was in the kitchen early the next morning, having tossed and turned all night I decided I might as well just get up. I looked out the window and saw the dawn slowly begin spread across the landscape, freshly fallen snow glistened from the night before, and I smiled. This place was beautiful. I turned my attention back to my simple breakfast of oatmeal and toast, sitting down at the table to enjoy them and the early morning solitude. Unfortunately, this also gave me time to ponder Nick and his strange actions last night. With an exhausted sigh, I ate my breakfast in silence. I wanted Nick to want me, but I wasn’t entirely sure that his actions were because he did want me, but because of Kian’s presence and my ill hid interest in him. After last night, I was especially interested in seeing a little more Kian, I was ok with casual hook-ups, but I was beginning to want more. The past few relationships I had had helped to clear that up a little for me. I wanted to settle down,
Nick stormed out into the cold night and took a deep breath trying to calm himself down. Both anger and desire burned through him. He had wanted Katerina for so long, had longed for her love since they had been children. At first it had been a mild infatuation, a crush on the orphan child his parents had taken in, but as they had grown up and become closer, he had realized it was much more than that. For him, it had been a deep inescapable love from the beginning. As they had grown older, he had watched as she had boyfriends and lovers. He had been supportive of each broken heart she went through, and quietly stewed in his jealousy. Katerina was a once in a lifetime kind of woman. She was kind and cared so deeply about those around her. She was so strong and stubborn but seemed so small and fragile to him too. That alone was the reason he had kept his feelings to himself. The cold air swirled around him as the wind picked up a little, flakes of snow beginning to fall
I left Galan and Nick, leaving the living room, and working my way to the kitchen. My mind was reeling after all that Galan had told us.“The Council of Keepers are comprised of pack alphas from all over the world who have taken an oath to forever keep the location of Lycaon hidden from the rest of the world”I rummaged around a bit, looking for something to eat. I finally settled on an apple, not feeling like putting to much effort into dinner. As I munched, I couldn’t stop thinking about how Galen had also told us that he was part of the council. I frowned; just how much was being hidden from us all? No, I didn’t think that telling people Lycaon was real and a potential threat, at least not yet anyway. The last thing we needed was panicked pack members.“You need to eat something more substantial than that” Nicks voice broke through my thoughts, pulling me back into the kitchen and reality.“You haven’t ea
Galan led us unto the den of our living quarters, sitting himself into the chair by the fire. It had been lit by one of the serving men who had run ahead of us, anticipating that we would come here to talk. I sat on one of the other chairs near the fire, I was still chilled to the bone from being outside all day, but now I was also cold for other reasons. Nick pulled his chair near his fathers and sat, waiting for his father to speak. Galen turned and addressed his son,“Nick, as the next leader of our pack, what I am about to say would have been passed to you regardless although I had not thought it would be so soon. Katerina, I also wish to share this with you, though you are technically not in line for any leadership. It is important that you listen with open minds." He paused and took a breath."Upon the ascension of each alpha, not just in our pack but others across the world, the story of Lycaon and his heinous deeds are passed down in the belief that shoul
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Komen