Share

Bab 2

Author: Daes Eag
last update Last Updated: 2022-03-18 09:44:34

Sebuah lonceng berbunyi begitu ada angin yang berembus ke arahnya. Langit pagi ini tampak cukup cerah, hangat sinarnya berpadu dengan dinginnya hawa musim dingin. Orang-orang tampak berlalu-lalang memulai aktivitas mereka.

Nara menyentuh permukaan lehernya yang dibalut oleh sebuah kain. Gadis itu masih mengingat kejadian beberapa waktu lalu, ketika dirinya hampir saja dibunuh oleh Moa.

"Aku pasti sudah mati jika tidak ada norigae ini," batinnya seraya menyentuh sebuah norigae yang selalu menggantung di bajunya. Dia tidak pernah menyangka bahwa benda yang biasa digunakan hanya untuk aksesoris pakaian itu rupanya bisa menjadi peranan penting untuk hidup seseorang. Tapi itu hanya berlaku untuk norigae milik ibunya—yang selalu dia pakai.

Apa benda seperti itu bisa dimasuki mantra? Nara menyentuh paemul norigae yang berbentuk bulatan itu. Aneh sekali, padahal tidak ada yang spesial.

"Tunggu! Apa ini?" Kedua alis Nara bertaut saat merasa ada yang tidak biasa. Paemul berbentuk bulat yang merupakan bagian utama dari norigae miliknya itu seperti menyimpan sesuatu di dalamnya. Nara memegangnya dan sesuatu memang tersimpan di sana.

"Sedang apa kau di sini?"

Nara mendongak dan menatap sang kakek yang berjalan ke arahnya. "Ah, hanya mencari udara segar. Aku baru saja membersihkan halaman. Badai semalam benar-benar hampir membuat pohon ini gundul." Ia tertawa pelan dan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap dahan-dahan pohon yang masih tampak rindang.

"Udaranya dingin, kau seharusnya tetap berada di dekat perapian. Oh, iya. Ngomong-ngomong apa lukamu sudah sembuh?" tanya kakeknya seraya mendudukkan tubuhnya di sebelah Nara.

"Masih ngilu." Nara menunjukkan kakinya yang juga masih dibalut.

"Kakek menanyakan luka di lehermu."

Nara berkedip dua kali dan menyentuh lehernya. "Ah, ini. Ya, masih sakit. Aku sampai kesulitan menelan makanan gara-gara ini."

"Sekarang kau tahu seberapa bencinya Moa kepada manusia. Dia hampir membunuhmu yang bahkan belum berumur sepuluh tahun."

"Tapi Moa menolongku." Nara tiba-tiba ingat saat Moa sengaja menarik tubuhnya dan menolongnya.

"Ya, dan setelah itu dia akan membunuhmu."

Nara terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Moa pasti memiliki alasan kenapa dia sering membunuh penduduk desa. Selain karena ayah dan ibu yang membunuh semua bangsanya, kurasa Moa memiliki alasan lain."

"Moa menghabisi kedua orangtuamu di depan kedua matamu sendiri, Nara. Kau melihatnya. Dia murka kepada penduduk dan berencana membunuh mereka semua, terutama kau. Dia tahu kau putri Kiara. Kau adalah ancaman utama untuk makhluk seperti Moa." Seungmo—kakek Nara berujar.

Kedua mata Moa tampak seperti kobaran api yang siap membakar siapa saja yang ada di depannya. Ya, Nara ingat bagaimana cara Moa menatapnya. Makhluk itu tidak bermain-main saat berkata akan membunuhnya.

"Moa tidak bisa menyentuhmu karena adanya bola giok yang kau miliki."

"Bola giok?" Nara menyentuh norigae yang menggantung di bajunya. Ternyata isi dari paemul itu adalah sebuah giok.

"Dan kau juga tidak bisa menyentuh Moa selama dia membawa pedangnya."

"Pedang?" Salah satu alis Nara terangkat. "Maksud Kakek pedang yang selalu dia bawa itu? Kenapa?"

"Norigae milikmu dan pedang itu memiliki sifat yang bertolak belakang. Mereka layaknya perisai untuk sang pemilik," ujar Seungmo.

Kening Nara berkerut. "Tapi kemarin itu dia berhasil melukai leherku dengan ujung pedangnya."

"Kemarin adalah malam purnama. Kekuatan Moa akan semakin kuat beberapa kali lipat setiap kali purnama tiba, dan hal itu berlaku bagi pedang miliknya. Rambutnya yang berwarna hitam perlahan akan memutih saat tengah malam. Moa adalah makhluk yang membunuh manusia dengan cara menghisap jiwanya. Dengan cara itulah mereka bisa bertahan dan berumur panjang hingga ratusan tahun. Untuk itulah, kau harus berhati-hati. Sekarang kau tahu kenapa penduduk desa selalu mengadakan ritual di beberapa purnama. Kekuatan Moa begitu kuat saat ia kembali ke wujudnya. Kalau kau ingin tahu, tepat di perbatasan antara desa dan hutan Moa itulah terdapat barisan pohon ek yang sudah diberikan mantra oleh ayah dan ibumu."

"Semacam segel?" tanya Nara.

"Ya, tapi mantra itu semakin lemah seiring berjalannya waktu. Maka dari itu kau diajarkan untuk menjadi pengganti ibumu." Seungmo mengusap puncak kepala cucunya.

Nara menggenggam norigae berwarna merah di bajunya.

"Kau tidak usah takut. Kakek dan juga yang lainnya akan selalu membantumu. Nanti malam kau harus memimpin ritual. Semalam kita tidak bisa melakukannya karena badai dan juga kondisimu yang tidak memungkinkan."

Tangan Nara bergetar pelan. Kelak, dia akan membunuh Moa. Ia akan membalaskan kematian kedua orang tuanya dengan tangannya sendiri.

Tapi ... bagaimana jika dia gagal? Bagaimana jika dia yang mati terbunuh?

***

Permukaan pedang tampak mengkilap begitu berpapasan dengan sinar matahari. Bahkan, sebagian wajah itu tampak cukup jelas terpantul di sana bersamaan dengan permukaan langit yang cerah.

Tepat di salah satu dahan besar sebuah pohon, seseorang tampak duduk. Seekor burung perlahan terbang dan hinggap tepat di sebelahnya.

Moa menatap burung itu selama beberapa saat. Burung itu tampak kecil dan lemah, tapi di sisi lain menyimpan misteri yang harus dia waspadai. Mungkin saja, burung yang tampak lemah itu akan berubah besar dan kuat saat dia lengah, lalu dengan cepat membunuhnya.

"Kenapa aku tidak bisa membunuhnya?" gumam Moa. Pantulan sinar dari pedang itu tampak mengenai sebagian wajahnya hingga terlihat bersinar.

"Apa karena dia masih anak-anak?" Di saat yang bersamaan semilir angin menerbangkan beberapa helai rambut Moa yang masih berwarna putih. Dia masih memiliki waktu sekitar satu malam lagi untuk memporak-porandakan desa. Segel di pohon ek itu melemah, Moa menyadarinya.

Kepalanya menoleh dengan cepat begitu menyadari ada sesuatu yang mendekat. Dengan cekatan dia kembali memasukkan pedangnya dan turun dari pohon itu, lalu berlari dengan cepat mengikuti bau yang diyakini adalah mangsanya.

Gerakannya berhenti tepat di balik sebuah pohon. Salah satu sudut bibirnya naik saat melihat seorang manusia di sana. Pria itu tampak kebingungan layaknya orang tersesat.

"Apa dia lupa, kalau kawasan ini terlarang?" Moa menjilat bibirnya kemudian perlahan mendekat tanpa pria itu sadari. Tidak perlu bersusah payah menggunakan pedang jika hanya untuk menghabisi manusia lemah. Kuku-kuku jarinya memanjang dalam hitungan detik.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku sedang lapar? Pengertian sekali." Moa menyeringai. Pria itu berbalik dan kedua matanya tampak membulat.

"M-Moa!" Kedua kaki pria itu perlahan mundur. Dia hendak pergi namun gerakannya terlalu lamban bagi seorang Moa. Kurang dari satu menit, tubuh pria itu sudah tergeletak di permukaan tanah dengan kulit memucat dengan kedua mata yang terbuka. Salju yang semula berwarna putih itu perlahan berubah menjadi merah.

"Darahmu terlihat segar. Tapi maaf, aku tidak suka darah. Aku lebih suka jiwamu yang sombong dan bermulut besar." Kedua mata Moa mengkilap, puas dengan apa yang didapatkannya.

"Tunggu!" Moa kembali mengedarkan pandangannya begitu mendengar suara langkah kaki. Oh, rupanya hari ini dia akan mendapat banyak mangsa. Kakinya bergerak dengan cepat dan dia kembali menyeringai saat melihat seorang wanita muda di sana.

—tbc

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Beauty & The Monster   Extra Bab

    Seorang anak kecil terlihat berlari mengejar-ngejar seekor kelinci yang ada di halaman rumahnya. Beberapa orang wanita yang ada di sana melihat ke arah itu dengan seulas senyuman lebar yang terlihat begitu bahagia. "Nona Sowon terlihat begitu senang, bukankah begitu?" Salah seorang wanita yang baru saja selesai menjemur pakaian itu pun berujar. "Dia terlihat menggemaskan, sama seperti Nona Nara dahulu sewaktu beliau masih kecil," jawab rekannya. "Aku dulu sempat khawatir jika Nona Nara benar-benar akan berakhir persis seperti mendiang ibunya dulu, tapi aku benar-benar bersyukur karena ternyata Nona Nara memiliki seseorang di dekatnya seperti Tuan Yooshin, bahkan hingga mereka berdua menikah pun, Tuan Yooshin terlihat semakin bahagia, kurasa beliau memang sudah memiliki perasaan yang lebih kepada Nona Nara sejak lama, atau mungkin sejak mereka masih anak-anak karena mereka sering sekali menghabiskan waktunya berdua." Wanita yang merupakan seorang pelayan di kediaman itu pun membuan

  • The Beauty & The Monster   Bab 101

    Sebuah upacara pernikahan baru saja selesai diadakan begitu hari menjelang siang. Orang-orang yang datang terlihat begitu bergembira, menatap sepasang pengantin baru yang beberapa saat lalu mengucapkan janji sehidup semati.Takdir memang tak ada yang tahu, begitu pun dengan setiap rencana milik Tuhan. Namun sebaik apapun rencana yang manusia pilih, rencana dari Tuhan adalah rencana yang terbaik dari yang paling baik.Langit pun tampak begitu cerah, seolah mendukung pasangan muda ini untuk menikmati waktu bahagia mereka.Pasangan yang dulu dikenal sebagai sahabat dekat sedari usia mereka masih belia, kini bertranformasi menjadi pasangan yang sesungguhnya. Nara melingkarkan tangannya di salah satu lengan milik Yooshin, menatap pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka berdua berjalan menyapa para tamu undangan.Kedua sudut bibir milik Nara naik ke atas melihat betapa bahagianya orang-orang di sana. Dan tanpa ia sadari pula, sedari tadi Yooshin menatapnya dari samping, menat

  • The Beauty & The Monster   Bab 100

    Moa menyentuh permukaan wajahnya yang lain menggunakan tangan, dan menemukan adanya darah di sana, sebelum akhirnya kembali menatap Nara. Kini gadis itu bersungguh-sungguh untuk membunuhnya, tanpa mau memikirkan hal lain lagi. Nara beberapa kali melayangkan serangan padanya tanpa adanya ragu sedikit pun. "Nara ... " Yooshin berniat berdiri untuk membantu Nara. Dengan menggunakan pedangnya untuk tumpuan, pria itu berdiri dari posisinya dan mendekati Nara secara perlahan. Yooshin berlari sekuat yang ia bisa dengan pedang yang sudah bersiap di tangannya. Namun sebelum ia benar-benar mendekati Moa, mahluk itu sudah terlebih dulu berbalik dan menangkis serangannya dan memukul bahu Yooshin beberapa kali hingga tubuh pria itu terdorong beberapa kali ke belakang. "Yooshin!!" Di saat lengah itulah, Moa memanfaatkan kesempatan untuk melancarkan serangan terakhirnya pada Yooshin. "Matilah kau!!!" Tangan Moa sudah siap mengoyak perut Yooshin, membuat Nara membelalakkan kedua matanya. "Ti

  • The Beauty & The Monster   Bab 99

    "A-aku percaya Paman adalah orang yang baik." Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang keluar dari gadis kecil malang yang berusaha menyelamatkan Nara. Haewon tak bisa berkata-kata lagi. Wanita itu terduduk di atas permukaan tanah dengan air mata yang berderai."Tidakkk!!" Nara langsung bergerak dari posisinya dan meraih tubuh kecil yang kini tak berdaya itu. Air matanya berderai, tak percaya kalau seorang gadis kecil akan berbuat sampai sejauh itu demi menyelamatkan hidupnya. Gadis itu tak bersalah. Ia tak ada kaitannya dengan ini dan tak seharusnya berkorban sampai sejauh itu. Yooshin yang melihat itu tampak tak menduga kalau hal seperti ini akan terjadi, bahkan Moa sekalipun tak bisa menghindar. Gadis kecil yang baru saja meregang nyawa di hadapannya itu tak lain adalah gadis kecil yang beberapa waktu terakhir pernah ia selamatkan. Satu-satunya orang lain yang menganggapnya sebagai orang baik dan memperlakukannya layaknya seperti orang yang tak pernah membunuh.Dan siapa sangka

  • The Beauty & The Monster   Bab 98

    "Nara, kau—" Kedua mata Yooshin membulat saat melihat Nara yang benar-benar berhasil mencabut pedang itu sepenuhnya. "Yooshin, aku berhasil." Nara menatap Yooshin. Gadis itu berhasil. Yooshin dengan segera membantu Nara agar gadis itu tak kehilangan keseimbangannya. Pria itu lalu menatap luka yang ada di punggung Nara. "Nara, tapi lukamu tak menghilang sedikit pun." Napas Nara tersengal, "tak apa, Yooshin. Aku sudah tak lagi merasakan sakitnya. Ha-hanya saja—" Tubuhnya tiba-tiba limbung namun Yooshin dengan sigap menahannya. "Nara, kau tak apa?" tanya Yooshin cemas. "Aku tak apa, rasa sakitnya sudah berkurang, hanya saja aku merasa kalau tenagaku terkuras banyak hingga aku merasa kalau kedua kakiku tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri," lirih Nara. "Ayo, kembali ke desa. Kita harus menolong semua orang. Mereka pasti memerlukan bantuan." Yooshin mengangguk. Ia segera memapah Nara dan mulai bergerak keluar dari hutan. *** Moa menggeram dengan darah yang menetes dari ujung

  • The Beauty & The Monster   Bab 97

    "AKU TAK AKAN MENGAMPUNMU!" Seungmo merasakan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya begitu salah satu tangan Moa berhasil merobek permukaan kulitnya. "Entah apa saja yang sudah kau katakan pada Nara yang jelas kau sudah menghancurkan semuanya!!" Moa berteriak tepat di depan wajah Kim Seungmo. Ia seakin mendorong masuk kuku-kuku di tangannya ke dalam, membuat Sungmo terbatu dengan darah yang keluar dari mulutnya. "Tuan Kim!" Tuan Hwang berdiri sekuat tenaga dengan bertumpu pada pedangnya dan pria itu berjalan mendekat ke arah Moa dan Seungmo. Moa langsung melompat menghindar tapat ketika Tuan Hwang mengayunkan pedang ke arahnya. "Semua kekacauan yang terjadi di desa ini, aku takkn pernah bisa memaafkanmu!" murka Tuan Hwang. "Kenapa, Kim Seungmo?" Kedua tangan Moa mengepal dengan kuat. "Kenapa kau melakukan hal ini lagi? Kenapa kau selalu saja menggagalkan semua rencanaku?!" "Ka-karena aku tak ingin menyerahkan cucuku padamu, Moa." Seungmo kembali terbatuk setelahnya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status