Pagi ini Yooshin terlihat sudah memasuki kediaman milik Nara dan berniat untuk latihan bersama dengan gadis itu, namun begitu sampai, ia diberitahu oleh seorang pelayan yang berkata kalau Nara sudah keluar sejak tadi."Nara sudah keluar?" tanya Yooshin."Iya, Tuan. Nona Nara sudah keluar sejak tadi.""Dia pergi bersama siapa?""Beliau pergi sendirian." Usai mengatakan itu, sang pelayan pun berpamitan dari sana.Tanpa berpikir panjang lagi, Yooshin langsung berlari mencari Nara. Pria itu pergi ke tempat-tempat yang pernah mereka berdua kunjungi.Sementara itu di tempat lain, Nara terlihat berlatih sendirian. Gadis itu berhasil memanah sasarannya dengan tepat beberapa kali. Beberapa anak panahnya menancap di pohon-pohon yang letaknya cukup jauh dari posisinya. Nara tersenyum bangga. Sejujurnya ia jauh merasa lebih baik latihan sendirian di luar. Namun meskipun begitu, ia yakin sekali kalau sosok Hwang Yooshin akan tetap mencarinya.Dan
"Ada apa?" Nara berjalan mendekati Yooshin dan mendapati pria itu tengah menatap sesuatu.Yooshin berkedip beberapa kali dan tersadar dari aktivitasnya, sebelum akhirnya ia beralih menatap Nara." Ah, tidak ada. " Ia tertawa pelan. "Kau sudah selesai bermain dengan anak-anak itu?"Nara mengangguk. "Hm, mereka benar-benar anak-anak yang menyenangkan, kuharap suatu saat nanti aku bisa memberikan mereka latihan memanah. Setidaknya mereka harus bisa melindungi diri mereka sendiri jika sewaktu-waktu ada serangan yang tak terduga, entah dari mana pun itu.""Kau berkata begitu seakan-akan kalau nanti akan ada sebuah serangan mengerikan yang menyerang desa kita," ujar Yooshin.Helaan napas terdengar. Nara lalu mendudukkan tubuhnya di sebelah Yooshin dan menatap lurus ke arah anak-anak yang masih bermain itu. "Moa masih hidup sampai detik ini, bagaimana pun kita tidak boleh lengah sedikit pun. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti di depan sana.""Nara
"Kau masih menangis?" Moa menatap Nara dari samping. Ia dan Nara saat ini tengah duduk di atas tebing tempat Nara membuang norigae miliknya tadi."Tidak," jawab Nara singkat. "Kenapa? Apa kau merasa kasihan setiap kali melihatku menangis?"Moa mengerjap. "Ti-tidak, bukan begitu maksudku," ujarnya.Namun di luar dugaan, Nara justru tertawa pelan, hal itu membuat Moa mengerutkan dahi. "kenapa kau tiba-tiba tertawa seperti itu? Memangnya ada yang lucu?"Nara menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak ada, hanya saja rasanya agak aneh jika aku menyadari kalau kau adalah orang yang sudah membunuh kedua orang tuaku harusnya aku membunuhmu, kan. Tapi aku justru duduk di sini denganmu seakan tak pernah ada kejadian apa-apa," ujar Nara. "Tapi tak apa, karena selama kau tak mengingkari kesepakatan kita, maka semuanya akan baik-baik saja. Dan ucapanmu memang benar.""Soal apa?""Tentang kakekku yang mengambil norigae itu untuk dijadi
"Ibu, kenapa aku harus menjadi seorang pendeta juga jika sudah besar nanti?" Seorang gadis kecil bertanya pada sang ibu.Ibunya tersenyum begitu lembut, dengan kedua mata yang melengkung bak bulan sabit. "Desa ini harus dilindungi, Nara. Jika ibu sudah tua nanti, hanya kau yang bisa menggantikan posisi Ibu. Untuk itulah kau harus menjadi pendeta yang lebih kuat dan tangguh, kau tidak boleh cengeng.""Bagaimana jika aku merasa takut? Ibu tidak akan pergi meninggalkan aku, kan? Aku tidak mau sendiri, bisakah aku ikut dengan Ibu dan Ayah?""Nara, tanggung jawabmu harus tetap dilakukan. Lakukan ini demi Ayah dan Ibu. jika kau melindungi semua orang, itu sama artinya dengan kau melindungi kami berdua. Kau tidak sendirian, ada kakek, Yooshin, semua pelayan yang ada di rumah kita juga menyayangimu, bahkan semua orang yang ada di desa. Kami juga akan terus bersamamu, Nara.""Tapi, Ibu—" Kedua mata Nara membulat saat s
"Moa adalah mahluk yang sangat berbahaya. Dia bisa membunuh siapa saja yang ditemuinya, tanpa terkecuali. Entah itu anak-anak atau pun orang dewasa, Moa bisa membunuh mereka dengan sangat mudah. Jadi, kau harus berhati-hati."Kakek akan menjagaku, kan?""Tentu saja, aku pasti akan menjagamu. Kakek tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian apalagi selama Moa itu masih hidup, Kakek bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk melindungimu.""Aku sangat takut sampai-sampai aku berharap kalau semua ini adalah mimpi dan aku bisa segera bangun. Aku ingin semuanya kembali seperti seharusnya, aku ingin ibu dan ayah kembali.""Tenang, Nara. Kakek akan selalu bersamamu."***Kedua mata Nara kembali terbuka. la kembali terbangun oleh mimpinya sendiri. Gadis itu menoleh dan ia dapat dengan jelas melihat bulan yang bersinar di atas langit sana, namun ia tak menemukan sosok lain di kamarnya. Malam ini, Moa tidak datang ke sana.Nara lalu mendudukkan tubuhnya dan duduk di luar kamar. la menatap langit ya
"Bau manusia." Moa keluar dari tempat persembunyiannya begitu ia mencium bau manusia memasuki hutannya. Namun entah kenapa ia merasa ada bau tak asing yang sebelumnya pernah ia jumpai."Tunggu, ini bau--Nara?" Kening Moa bertaut dan ia segera mempercepat laju kakinya.Tangannya sudah bersiap menarik pedangnya keluar namun ia urungkan saat melihat beberapa orang manusia dan suara wanita di sana."Apa yang kalian lakukan di kawasanku?" Moa bertanya dengan nada rendah, namun terdengar mengintimidasi. Orang-orang yang ada di sana seketika menoleh ke sumber suara."Siapa kau? Berani sekali menatapku begitu." Salah satu di antara mereka berujar dengan angkuh. Dan di detik berikutnya mulutnya terbungkam dengan cepat setelah adanya darah yang keluar dari sana. Kuku-kuku tajam milik Moa sudah menancap sempurna perut pria itu dan tubuhnya pun ambruk ke tanah.Rekan-rekannya yang lain segera berhamburan namun mereka semua langsung tewas dalam sekejap.
Tepat ketika sebelum makan malam, Nara mendengar derap langkah kaki yang mendekat. Ia menoleh dan melihat kakeknya sudah pulang bersama dengan Yooshin."Nara!" Dengan senyuman lebar, Yooshin melambaikan tangannya pada Nara seraya mengangkat sebuah bungkusan di tangannya."Makan malam saja di sini, kau pasti lelah seharian menemaniku," ujar Seungmo."Baik, Tuan." Yooshin segera memberikan bungkusan di tangannya kepada Seungmo dan pria itu kini berjalan menghampiri Nara."Maaf karena tidak mengabarimu dulu kalau aku pergi. Ayahku memberitahu secara mendadak dan kau tadi pagi masih tidur," ujar Yooshin."Tidak apa-apa, Yooshin. Aku tadi bisa latihan sendiri.""Hei, kakimu... kenapa? Apa yang terjadi? Kau terluka?" Yooshin segera berjongkok begitu melihat kaki Nara yang dibalut. "Hei, kau terjatuh? Atau ada seseorang yang menyerangmu?""Ah, a-aku hanya terjatuh saat latihan tadi, hehe. Aku mengejar rusa yang ada di hutan dan malah tersand
Seorang pelayan yang melihat kedatangan Yooshin langsung berlari menghampiri saat melihat Nara yang berada di dalam gendongan pria itu."Ada apa dengan Nona?" tanya pelayan itu khawatir.Yooshin tersenyum tipis, "dia agak mabuk, Bi.""Ma-mabuk? Ya Tuhan, apa sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Nona? Kenapa dia sampai mabuk begini? Kalau begitu tolong bawa dia ke kamarnya, Tuan," pinta si pelayan. Wanita paruh baya itu segera berjalan mendahului Yooshin untuk membukakan pintu kamar Nara."Ada apa ini? Kenapa Nara digendong?" Seungmo yang berpapasan dengan Yooshin pun bertanya."Nara mabuk, Tuan Kim. Maafkan aku karena tidak bisa melarangnya," sesal Yooshin."Mabuk?" Kedua alis Seungmo saling bertaut. Pria itu lalu menghela napasnya pelan. "Tidak apa-apa, dia memang gadis yang keras kepala. Aku akan menegurnya ketika dia sudah sadar besok. Sekarang bawa saja dia ke kamar. Maaf karena sudah membuatmu kerepotan ""Ti-tidak apa-apa, Tua