Share

Ch. 4 Curhat Dadakan

"Ah ... Dokter ini benar-benar diktator ya," Elsa menyusut air matanya, menghela nafas panjang lalu menoleh dan menatap Ken dengan seksama.

"Hey, suka-suka saya dong! Kamu lupa kalau kamu sedang dalam masa hukuman?" Ken mendengus kesal, apaan diktator katanya.

"Ah ... Dimana-mana pun keset rumah sakit memang nggak ada benarnya ya," Elsa kembali menyusut air matanya, apakah perlu menceritakan pada dokter residen itu perihal hubungan dia dengan pasien yang tadi mendapat tindakan sectio caesarea itu?

"Yuk ikut ke apartemen saya, ngepel sama bersihin kamar mandi apartemen saya!" Ken hendak bangkit ketika kemudian Elsa menarik tangan residen itu untuk kembali duduk di sisinya.

"Jangan dong, Dok! Saya kan kesini mau jadi dokter, kenapa hukumannya ngepel sama ngosek kamar mandi sih?" Protes Elsa sambil memanyunkan bibirnya.

"Makanya cerita dong, kenapa coba sampai nangis kayak gini? Baru juga sekali asistensi. Ntar di stase bedah tiap hari kamu masuk ke OK, asistensi dokter bedah umum, bedah ortopedi, bedah syaraf, bedah plastik dan sejawat bedah yang lain."

Elsa menghela nafas panjang, "Nggak masalah sih keluar masuk OK, cuma kalau pasiennya yang tadi, jangan kan ikut ke OK, baru ketemu di loby aja saya kabur duluan, Dok."

"Kenapa? Kamu punya hutang apa sama dia?" Ken tampak terkejut, ia menatap Elsa dengan seksama.

Elsa mendengus kesal, rasanya ia ingin menipuk kepala residen satu itu dengan batu, biar gantian dia yang di dorong ke OK buat dibedah kepalanya.

"Tampang saya tampang orang banyak hutang ya, Dok?" Elsa benar-benar gemas dengan sosok itu, seenak jidat betul kalau ngomong.

"Bukan, biasanya kan kalau malas ketemu sama orang itu urusan utang piutang," jawab Ken santai.

Elsa memijit keningnya dengan gemas, dihirupnya udara dalam-dalam, dihembuskan perlahan-lahan, terus seperti itu sampai berulang kali. Rasanya Elsa harus punya banyak stok sabar menghadapi hukuman dan sosok pemberi hukuman ini.

"Dia itu isteri mantan pacar saya, Dok! Dan tadi nih, yang dokter Hendratmo sama Dokter bantu keluarin bayi dari dalam perut, itu anak mantan saya!"

Ken tersentak, ia menoleh dan menatap Koas-nya itu, Elsa masih menitikkan air mata, membuat Ken mendengus kesal.

"Ngapain sih nangisin mantan?" Ken mengusap wajahnya dengan kasar.

"Bukan nangisin orangnya, Dok. Nangisin kebodohan dan keluguan saya, kok bisa sampai suka sama orang macam begitu."

"Ngakuin juga kalau bodoh?"

Elsa tersentak, rasanya ia benar-benar ingin menipuk kepala dokter itu. Lihat orang nangis mbok ya di hibur kek, atau di semangati, malah dikata-katain. Elsa menghela nafas panjang, mencoba sabar berbicara dengan sosok itu.

"Ah terserah lah, Dok! Saya mau balik saja!" Elsa bergegas berdiri hendak pergi dan melangkah pulang.

"Eh! Siapa suruh kamu pulang? Nggak sopan banget sih!" Ken menarik tangan Elsa, tubuhnya terhuyung, hendak jatuh ketika kemudian Ken bangkit dan menahan tubuh Elsa yang hendak jatuh itu.

Elsa menahan nafas ketika mata mereka bertemu. Sorot mata itu begitu hangat, tenang dan membius Elsa dengan luar biasa. Mereka untuk beberapa saat terdiam dengan posisi Ken menahan tubuh Elsa dalam dekapannya, hingga kemudian Elsa tersadar dan melepaskan diri perlahan-lahan dari dekapan dan genggaman tangan Ken.

"Kau ini, hati-hati dong!" Salak Ken galak, ia tampak gugup, beberapa bulir keringat menempel di dahinya.

"Lho, siapa yang salah sih, Dok? Dokter yang narik saya!" Elsa melotot gemas, ini dokter kandungan psikologisnya sedang terganggu apa?

"Heh, koas itu tempat salah, paham?" Ken menegaskan posisinya, diusapnya ujung hidung dengan jumawa, lalu menatap mata Elsa dalam-dalam.

Elsa tidak bisa menjawab apa-apa lagi, ia hanya menghela nafas lalu berbalik dan hendak menekan knop pintu untuk pergi dari depan residen soplak itu.

"Heh, kabur aja sih! Sini dulu!" Ken mengejar langkah Elsa, mereka kembali bertatap mata di depan pintu tangga darurat.

"Apaan lagi sih, Dokter? Apaan lagi?" Elsa benar-benar gemas, kenapa sih orang satu ini menyebalkan sekali?

"Saya belum selesai ngomong, Elsa!" Ken menghela nafas panjang, "Yuk ikut saya dulu, kamu masih ada urusan sama saya!" Ken menarik tangan Elsa membawa Elsa menuju ke parkiran.

"Dok, mau kemana sih?" Elsa mencoba melepaskan genggaman tangan Ken, namun Ken tidak melepaskan genggaman itu begitu saja.

"Ikut, hukuman yang saya beri ke kamu apa memang? Jangan lupa kamu masih punya tanggung jawab ke saya!" Ken menyeret gadis itu, lalu membuka pintu mobilnya dan memaksa Elsa masuk ke dalam.

Elsa melongo, jadi dia beneran mau disuruh ngepel sama ngosek WC apartemen milik residen itu? Gila aja! Ken masuk ke dalam mobil, memakai seat belt-nya lalu menghidupkan mesin mobilnya.

"Dok, mau kemana?" Elsa ikut memakai seat belt, masih begitu penasaran dengan tujuan residen itu membawanya.

"Bawel, diem aja lah!" Ken tidak menjawab, ia membawa mobil membelah jalanan. Matanya fokus menatap jalanan yang ada di depan matanya. Sedangkan Elsa bersandar di jok sambil memejamkan matanya.

Terserah lah mau dibawa kemana, asal tidak diapa-apakan saja. Elsa hanya duduk dan diam, memejamkan mata dan mencoba menghilangkan dongkol yang mendera hatinya dengan bertubi-tubi.

Pertama kesialannya yang menyebabkan dia harus jadi personal asisten residen soplak dan songgong itu selama sepuluh Minggu dia koas di stase obsgyn.

Yang kedua, pertama kali ikut asistensi sectio caesarea dan ternyata pasiennya adalah Tiara, selingkuhan Dory yang sudah lebih dulu hamil sebelum mereka menikah. Ternyata mereka sudah menjalin hubungan sejak Dory masih jadi pacar Elsa ternyata, benar-benar kurang ajar! Dan bodohnya Elsa baru tahu dan sadar ketika kehamilan Tiara masuk usia dua belas Minggu.

Yang ketiga residen soplak ini benar-benar menyebalkan sekali! Mana omongannya asal njeplak lagi. Rasanya kalau dia tidak telanjur bikin masalah sama ini residen, dia pilih pergi jauh-jauh dan tidak mau dekat sama makhluk satu itu.

Elsa benar-benar tidak mengerti, apa karena bapak-ibunya bukan seorang dokter jadi perjalanannya untuk mendapatkan gelar dokternya berkali-kali lipat lebih terjal dibanding mereka yang keturunan darah dokter murni? Elsa memijit keningnya perlahan, rasanya ia pusing. Sangat pusing.

"Heh, sudah lah jangan terlalu kau pikirkan itu mantan sama isterinya yang tadi lahiran," Ken kembali bersuara setelah cukup lama Elsa terdiam sejak mereka keluar dari rumah sakit tadi.

"Siapa juga yang mikirin mereka, Dok! Kurang kerjaan amat sih?" Elsa mendengus kesal, padahal Elsa sedang memikirkan masih dan kesialannya harus bertemu dengan mahluk macam Ken.

"Elah ... Tadi aja sampai nangis kayak.habis digebukin orang!" Cibir Ken sambil melirik Elsa sekilas.

"Kalau Dokter di posisi saya pasti nangis juga!"

"Nggak, ngapain nangis, orang busuk buat apa ditangisi?" Jawab Ken santai.

"Dokter nggak ngalamin, jadi mana paham?" Elsa memaki dalam hati, coba dia yang diposisi Elsa, nangis juga pasti!

"Siapa bilang saya nggak ngalamin? Kalau nggak tahu jangan asal ngomong."

Elsa tersentak, ditatapnya residen itu dengan seksama, apa maksudnya? Pacaran ya selingkuh juga? Sampai hamil? Atau bagaimana?

"Ma-maksud Dokter?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status