Share

Ch. 3 Sectio Caesarea

Elsa sudah siap dengan segala macam atribut dari mulai gown, surgical mask dan handscoon. Pertama kalinya ia masuk OK bukan sebagai obyek bedah, pertama kalinya di hari pertama dia koas, dia langsung terjun ikut para dokter senior melakukan tindakan, dan ini semua karena laki-laki satu itu! Siapa lagi kalau bukan dokter William Kendra Wijaya!

Elsa menghela nafas panjang, agaknya setelah ini semua masa-masa berat dia di kepaniteraan kliniknya akan semakin menjadi-jadi, dan manusia yang juga sudah dengan kelengkapan atributnya itulah yang menjadi alasan.

"Heh, ngapain di situ?" salak Ken galak ketika Elsa hanya mematung di sudut ruangan.

"Oh ... jadi saya harus ada di mana, Dok?" tanya Elsa polos yang langsung mampu membuat Ken melotot gemas.

"Sini naik meja operasi, biar ku bedah itu perut kau!" Ken benar-benar heran, anak satu ini apa memang tipe orang suka cari gara-gara? Bikin hipertensi saja!

Elsa mendelik kesal, untung OK belum banyak orang, jadi ia tidak harus tengsin karena makian residen obsgyn itu. Ia beringsut mendekat, kini Elsa berdiri tepat di sebelah Ken. Elsa hendak buka suara bertanya apa saja yang harus dia lakukan nanti ketika suara roda brankar itu berderit beradu dengan lantai. Sesosok wanita dengan perut membukit itu di dorong masuk, dan yang membuat Elsa syok adalah wanita itu bukan orang asing bagi Elsa!

Elsa menelan saliva-nya dengan susah payah, kesialan macam apa lagi ini? Kenapa harus dia pasien yang harus ditindak sore ini? Ahh ... rasanya kalau Elsa tidak punya urusan dengan Ken, ia ingin melepas semua atribut ini dan berlari keluar OK. Namun mengingat urusannya dengan Ken belum selesai, maka ia tidak berani macam-macam lebih jauh lagi.

Elsa mematung ketika beberapa tenaga medis yang kesemuanya laki-laki memindahkan wanita itu dari brankar ke atas meja operasi, memasang tirai di atas dadanya, memasang selang oksigen, sang penata anestesi yang tidak Elsa kenal itu langsung melakukan tugasnya, meminta sang pasien duduk sambil memeluk bantal di dadanya.

"Pada hitungan ke tiga, saya mulai suntik ya, tolong jangan bergerak sedikitpun, oke?" perintahnya yang dibalas anggukan kepala oleh wanita itu.

Elsa mematung di tempatnya berdiri, ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ruang operasi adalah ruang steril, semua peralatan yang akan digunakan sudah dipastikan steril dan hanya boleh di pegang oleh orang yang berwenang, dalam hal ini ada perawat scrub yang bertugas dalam pengelolaan alat-alat bedah yang dipakai selama prosedur pembedahan berlangsung. Dan keset rumah sakit seperti dirinya ini, biasanya tidak diberi tugas apa-apa, kecuali nanti sang penata operasi berbaik hati menginzinkan mereka menjahit bekas sayatan operasi.

"Tahan ya ... hitungan ke tiga ... satu ... dua ... tiga ...."

Cless ....

Jarum itu sudah menembus tulang belakang wanita itu, Elsa mengernyit ngeri. Dia yang disuntik, kenapa Elsa yang ikut merasakan ngilunya? Setelah jarum dicabut wanita itu kembali diminta berbaring, kedua tangan wanita itu dilentangkan dan diikat di bantalan penyangga bed. Dijempolnya dipasang oximeter guna untuk mengukur kadar oksigen dalam darah, dan rasanya semuanya sudah siap, terbukti sang dokter anestesi langsung mengacungkan jempolnya.

"Anestesi, clear!"

Elsa mengela nafas panjang, setelah ini semuanya akan dimulai! Jantungnya berdegub kencang, bukan hanya karena ini pertama kali ia melihat tindakan sectio caesarea langsung di depan matanya, namun karena siapa wanita yang menjadi pasein sore itu membuat Elsa rasanya sudah tidak sanggup berdiri di ruangan super dingin ini lama-lama.

Namun Ken yang sejak tadi terus mengawasinya membuat Elsa tidak lagi bisa berkutik. Harapannya hanya satu, ia bisa segera keluar dari sini!"

"Scalpel, please!"

***

Ken menyelesaikan jahitan luar setelah rahim wanita itu selesai ia jahit, sudut matanya menatap sosok itu yang berdiri seperti patung. Kalau saja ia tidak bernafas, ia sudah benar-benar mirip patung! Ken sedikit heran, kenapa gadis menyebalkan itu hanya diam seperti itu? Apa karena ada beberapa dokter senior yang lain? Ada dokter Hendratmo sebagai operator operasi dan dokter Dandi sebagai penata anestesi, tak lupa ada beberapa perawat senior yang mungkin menjadi alasan Elsa lebih kalem kali ini.

Namun ketika Ken melirik sosok itu sekali lagi, ia mendapati mata gadis itu memerah, apa yang terjadi? Takut lihat darah? Takut lihat kulit yang disayat-sayat? Ah ... dasar mau jadi dokter kok begitu saja takut! Ken mencibir dalam hati, ia terus menyelesaikan tugasnya dengan baik.

"Clear ya!" Ken menghela nafas panjang, kemudian salah seorang perawat, ia kemudian melepas handscoon dan melangkah keluar.

Ken tahu betul gadis itu melangkah mengikuti dirinya, membuat ia tersenyum sinis.

"Kenapa nangis? Takut lihat darah?" tanya Ken sambil melepas masker yang melekat di wajahnya.

"Nggak, kalau cuma lihat darah sih biasa saja," kilah Elsa yang kemudian ikut melepas handscoon-nya.

"Lantas itu memerah kenapa?" Ken benar-benar kepo, ia harus tahu banyak hal tentang gadis ini supaya kedepannya rencana ia mengerjai Elsa bisa berjalan lancar.

"Rahasia!" jawab Elsa yang langsung melangkah meninggalkan Ken yang masih berdiri di tempatnya itu.

Ken mengeram, dasar! Itu anak kenapa menyebalkan sekali sih? Bapaknya direktur rumah sakit? Atau dosen di tempat ia menimban ilmu sampai kemudian Elsa bisa bertingkah seenak udel macam itu? Ken bergegas mengejar langkah Elsa, ia harus memberi gadis itu pelajaran. Ken melepas semua atribut operasinya, mencuci tangannya dengan sedikit terburu-buru lalu bergegas menyusul Elsa yang sudah lebih dulu pergi entah kemana.

"Cepet amat sih kaburnya?" runtuk Ken sambil garuk-garuk kepala, dia punya ilmu menghilang? Atau bagaimana?

Ken celingak-celinguk mencari keberadaan Elsa, hingga kemudian ia mendapati punggung gadis itu yang melangkah ke arah tangga darurat. Dengan tergesa Ken bergegas menyusul gadis itu. Ia berkali-kali jadi penanggung jawab koas, namun baru ini ia dapat gadis yang menyebalkan macam Elsa.

Ken hendak menerjang pintu tangga darurat dan memaki gadis itu ketika samar-samar ia mendengar isak tangis itu menyapa indera pendengarannya. Siapa pula yang menangis? Apakah gadis itu? Tapi kenapa dia menangis? Toh Ken tidak melakukan hal aneh-aneh kepadanya! Hanya belum melakukan saja sih.

Ken menajamkan telinganya, itu benar suara isak tangis seorang wanita. Dan yang tadi ia lihat masuk ke dalam sini si Elsa itu bukan? Dengan perlahan Ken mendorong pintu tangga darurat, dan benar saja, gadis menyebalkan itu tengah duduk sambil memeluk lututnya dan terisak di tangga paling atas. Apa yang dia tangisi?

"Baru kusuruh ikut asistensi sekali saja sudah nangis?" tanya Ken sambil tersenyum sinis, ia duduk di sebelah Elsa yang terisak sambil memeluk lutut.

"Bukan karena ikut asistensi!" jawab Elsa sambil menyusut air matanya.

"Lantas kenapa?" kenapa Ken jadi bernafsu untuk ingin tahu? Apa urusannya? Namun entah mengapa Ken benar-benar ingin tahu, dan mendengar isak tangis gadis itu, ia yakin bahwa ada sesuatu yang sudah terjadi bukan?

"Rasanya bukan hal penting yang harus saya ceritakan, Dokter."

"Kalau saya yang maksa kamu cerita, bagaimana?"

Elsa mengangkat wajahnya, menatap Ken lekat-lekat.

"Ceritalah, atau kamu mau saya suruh ngepel plus bersihin toilet apartemen saya!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Gregorius Davids
cheee cheeee
goodnovel comment avatar
Nury
Ampun dok jangan galak2 ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status