TBE 24
"Apa kabar, Di?" tanya pria berkumis tipis yang tengah berdiri dengan jarak dua langkah dariku."Baik, kamu?" Aku balas bertanya basa-basi, walaupun sebenarnya enggan untuk beramah tamah dengannya, orang yang menyebabkanku harus kehilangan sosok kekasih hati."Sangat baik, Isti merawatku dengan baik," sahutnya seraya tersenyum. "Dan kamu tahu, beberapa bulan lagi aku akan jadi ayah," sambungnya yang membuat hatiku panas.Aku hanya mengangguk pelan, merasa yakin bila saat ini dia hanya ingin memanas-manasi, terutama karena telah menggagalkan rencanaku untuk melamar Isti, yang akhirnya kuingat merupakan sosok Risty di masa lalu, bahkan nama mereka pun hampir sama."Halo, kita belum berkenalan. Aku, Wisnu, teman Haryadi," tukas pria berkulit kecokelatan itu sambil mengulurkan tangan.Viana sempat melirik padaku sebelum mengalihkan pandangan pada Wisnu dan menjabat tangan pria itu dengan tegas. Hal yang kusTBE 25"Jangan lakukan itu lagi, Vi!" tegasku saat Viana baru selesai memarkirkan kendaraan tepat di depan garasi. "Kenapa?" tanyanya seraya tersenyum tipis."Kamu bikin jantungku berguncang. Kalau kamu kenapa-kenapa, gimana?" "Santai, Mas. Aku bisa nyetir kok. Beberapa kali dalam seminggu aku dan teh Nining akan jalan-jalan seputar wilayah kami pakai mobil Vader. Tetapi, tetap dalam pengawasan ketat kang Yayan," jelasnya sembari membuka pintu dan turun. "Di sana dan di sini itu beda, Vi." "Apa Mas takut mobilnya rusak?" Aku menggeleng, lalu berujar, "Aku mengkhawatirkanmu, bukan mobil." Gadis bergincu merah itu mengulaskan senyuman tipis yang menambah keelokan parasnya. Sepersekian detik aku kembali terpukau dan desiran dalam hati kian mengencang. Ketika Viana hendak berbalik, aku melakukan tindakan impulsif dengan menarik tangannya dan mendekap tubuh gadis itu dengan erat. "Jangan lakukan itu lagi, ya," lirihku. "Aku ... benar-benar takut sesuatu yang buruk terjadi padamu," l
TBE 26Sentuhan di lengan dan suara lembut membangunkanku. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata aku memindai sekitar, sepersekian detik berikutnya aku spontan bangkit sembari membeliakkan mata karena melihat Viana ada di tempat tidur yang sama. "Kamu, kok bisa ada di sini?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur. Viana mengangkat alis, kemudian menggeleng pelan dan menjawab, "Bisalah, 'kan Mas yang ngajak aku tidur." Aku tertegun sejenak, sebelum menepuk dahi karena lupa bila kami telah menikah kemarin malam. Sudut bibirku terangkat membingkai senyuman, sedikit malu karena bisa-bisanya melupakan peristiwa penting tersebut. "Maaf, aku lupa kalau kita sudah menikah," ungkapku sembari menggaruk-garuk kepala. "Nggak apa-apa, Mas. Aku tadi juga gitu, nyaris berteriak karena ngelihat Mas ada di sebelah. Untungnya bisa ditahan, kalau nggak mungkin Ayah dan Ibu bakal bingung mendengar teriakanku," sahutnya seraya mengulaskan senyuman lebar.Selama beberapa saat suasana hening. Aku masi
TBE 27Aku terjebak!Kumparan hitam ini membanting tubuhku ke sana ke sini. Napas mulai terengah-engah dan dada pun sesak. Aku kehilangan arah dan bingung hendak ke mana. Sampai akhirnya aku lelah dan memutuskan untuk berhenti di tengah-tengah. Berjongkok dengan tangan memegang kepala. Berusaha untuk memusatkan pikiran dan membayangkan wajah orang-orang yang disayangi di dunia modern. Sayup-sayup terdengar panggilan suara perempuan. Hatiku bergetar hebat saat menyadari bahwa dialah satu-satunya orang yang ingin ditemui saat ini. Aku berdiri, berjalan pelan sambil merentangkan tangan pada bidang gelap tak berbatas. Melangkah pasti mengikuti suara hati.Sinar terang di ujung sana seakan terus menarikku. Suara panggilan itu kian jelas. Tiba-tiba guncangan keras membuatku terlempar kembali ke belakang. Aku berusaha bangun, tetapi ternyata sangat sulit. Akhirnya kuputuskan untuk merangkak. Dengan sisa-sisa kekuatan bergerak maju sedikit demi sedikit. Saat terasa kumparan ini akan berger
TBE 28Hari berganti dengan adegan lambat. Kurasa demikian, karena aku hanya bisa melihat pergantian hari dari balik jendela. Bila sedang beruntung, maka aku akan dituntun Risty dan Farid ke teras. Duduk dengan santai sambil menatap langit yang selalu berganti setiap detiknya, atau memandangi jalan di mana banyak kendaraan melintas. Bahkan terkadang aku menjadi pengamat bunga dan kumbang.Seperti hari ini, setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku dituntun Farid ke tempat biasa. Kursi rotan telah dipindahkan ke tengah halaman, agar aku bisa menikmati sinar matahari pagi. Udara dingin tak dihiraukan, justru aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, menahan selama beberapa saat dalam rongga dada kemudian melepaskannya perlahan. Decit ban mobil dari depan rumah sontak membuatku menoleh. Beberapa orang melangkah masuk dari pintu pagar yang dibukakan oleh Pak Rohim. Om Mulyana dan Tante Rita, kedua orang tua Farid datang bersama Johan. Sosok Opick pun menyusul di belakang mereka. P
TBE 29Om Mulyana mengupah beberapa orang pekerja untuk membersihkan vila sejak tadi pagi. Siang ini, setelah selesai makan dan menunaikan salat empat rakaat, kami kembali berkunjung ke vila yang sudah lebih bersih. Para pekerja masih merapikan kamar-kamar serta bagian belakang rumah. Kami berjalan terus ke rumah kecil dengan Pak Tono yang menjadi penunjuk jalan."Kita ratakan saja, Yah. Biar hartanya tetap di dalam sana," ujar Farid."Jangan lupa untuk menyebarkan rumor bahwa harta telah dibawa oleh Gantala, sehingga orang-orang yang penasaran akan bergerak untuk mencarinya," timpalku."Betul itu, aku setuju. Dengan mengerahkan banyak orang, semoga dia bisa segera ditemukan," imbuh Johan.Om Mulyana memandangi kami bertiga selama beberapa saat, kemudian mengangguk menyetujui usul kami. "Oke, kita ratakan besok pagi," ujarnya."Jangan besok, Om, lebih cepat akan lebih baik," selaku."Kapan?""Nanti malam."Aku melangkah pelan memasuki rumah hingga tiba di lorong pendek dalam lemari,
TBE 30Aku berdiri dan beranjak mendekati pria tersebut, mengatupkan kedua tangan di depan dada, menundukkan kepala sedikit untuk menghormati beliau."Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku akan datang sekarang?" tanya Haryadi Atmaja."Aku membaca buku harian Kakek," jawabku."Sampai selesai?" "Belum, apa masih ada kelanjutannya?" "Beberapa halaman tengah sengaja kukosongkan untuk kamu isi, Anto. Selebihnya akan ada ulasan dari berbagai peristiwa aneh sebelum aku wafat," jelas beliau. "Kalau kamu ingin menemukan Peter, jawabannya ada di sana," lanjutnya seraya tersenyum penuh arti.Pria itu berjalan melewatiku sambil memberikan kode dengan jari, mengarah ke vila. Kemudian dia menghilang dengan diiringi munculnya kabut tebal. Entah kenapa, perasaanku mengatakan bahwa dia tengah memberi isyarat bahwa semua kejadian ini bermula dan berakhir di tempat itu."Apa katanya?" tanya Opick sambil mendekat."Dia menyuruhku kembali ke villa," jawabku."Mas yakin mau ke sana sekarang?" tanya Risty.
TBE 31Matahari sudah merangkak naik saat aku terbangun. Mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan diri dengan sinar yang menembus dari jendela yang terbuka. Suara dari dapur terdengar cukup nyaring, karena kamar yang kutempati bersama Johan dan Opick ini berada tepat di sebelah kiri dapur.Kedua pria tersebut sudah bangun terlebih dahulu, meninggalkanku sendirian dengan tubuh ditimpa dua lapis selimut tebal. Aku bergerak bangun dengan bertumpu pada kedua siku, duduk dengan tubuh sedikit melengkung dan menunggu nyawa terkumpul sepenuhnya. Aku merentangkan tangan dan memutar tubuh ke kanan dan kiri. Dilanjutkan dengan memutar leher hingga berbunyi. Kemudian beringsut ke pinggir kasur, menjejakkan kaki di lantai yang dingin, meraih selimut yang dipakai dan melipatnya dengan rapi. Berdiri dan jalan ke dekat lemari, mengambil sapu lidi dan mengebas sprei, kemudian merapikan bantal dan guling dengan menyusunnya bertumpuk."Aih, rajinnya, Risty pasti senang punya suami yang mau ban
TBE 32Pria bertubuh tinggi besar tersebut masih berdiam diri di atas pagar. Sinar dari samping kanan tubuhnya membuatku merasa aneh dan bertanya-tanya dalam hati apakah sinar itu..Pak Rohim lari tunggang langgang dari pos dan langsung berlindung di belakang kami. "Dia bawa senjata," ujar Pak Rohim dengan suara bergetar. "Iya, itu ada di tangan kanannya," balasku.Aku tidak menyadari bila Johan bergerak masuk ke rumah dan kembali lagi dengan membawa golok di tangan. Risty menarik Johan yang hendak mendatangi pria di hadapan. Opick mencekal tangan Johan dan mencoba mengambil goloknya."Jangan gegabah, Jo. Kita lihat dulu dia mau bertindak apa," cegahku. "Betul, apalagi bila ternyata dia tidak hanya membawa satu senjata, bisa juga lebih," timpal Risty."Kalian tunggu di sini!" perintah Kakek Munir. Beliau jalan pelan dan berhenti beberapa langkah di seberang pria itu. Aku maju sedikit dan diikuti oleh yang lainnya. Kami berusaha untuk tetap waspada akan segala kemungkinan yang bisa