TBE 29Om Mulyana mengupah beberapa orang pekerja untuk membersihkan vila sejak tadi pagi. Siang ini, setelah selesai makan dan menunaikan salat empat rakaat, kami kembali berkunjung ke vila yang sudah lebih bersih. Para pekerja masih merapikan kamar-kamar serta bagian belakang rumah. Kami berjalan terus ke rumah kecil dengan Pak Tono yang menjadi penunjuk jalan."Kita ratakan saja, Yah. Biar hartanya tetap di dalam sana," ujar Farid."Jangan lupa untuk menyebarkan rumor bahwa harta telah dibawa oleh Gantala, sehingga orang-orang yang penasaran akan bergerak untuk mencarinya," timpalku."Betul itu, aku setuju. Dengan mengerahkan banyak orang, semoga dia bisa segera ditemukan," imbuh Johan.Om Mulyana memandangi kami bertiga selama beberapa saat, kemudian mengangguk menyetujui usul kami. "Oke, kita ratakan besok pagi," ujarnya."Jangan besok, Om, lebih cepat akan lebih baik," selaku."Kapan?""Nanti malam."Aku melangkah pelan memasuki rumah hingga tiba di lorong pendek dalam lemari,
TBE 30Aku berdiri dan beranjak mendekati pria tersebut, mengatupkan kedua tangan di depan dada, menundukkan kepala sedikit untuk menghormati beliau."Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku akan datang sekarang?" tanya Haryadi Atmaja."Aku membaca buku harian Kakek," jawabku."Sampai selesai?" "Belum, apa masih ada kelanjutannya?" "Beberapa halaman tengah sengaja kukosongkan untuk kamu isi, Anto. Selebihnya akan ada ulasan dari berbagai peristiwa aneh sebelum aku wafat," jelas beliau. "Kalau kamu ingin menemukan Peter, jawabannya ada di sana," lanjutnya seraya tersenyum penuh arti.Pria itu berjalan melewatiku sambil memberikan kode dengan jari, mengarah ke vila. Kemudian dia menghilang dengan diiringi munculnya kabut tebal. Entah kenapa, perasaanku mengatakan bahwa dia tengah memberi isyarat bahwa semua kejadian ini bermula dan berakhir di tempat itu."Apa katanya?" tanya Opick sambil mendekat."Dia menyuruhku kembali ke villa," jawabku."Mas yakin mau ke sana sekarang?" tanya Risty.
TBE 31Matahari sudah merangkak naik saat aku terbangun. Mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan diri dengan sinar yang menembus dari jendela yang terbuka. Suara dari dapur terdengar cukup nyaring, karena kamar yang kutempati bersama Johan dan Opick ini berada tepat di sebelah kiri dapur.Kedua pria tersebut sudah bangun terlebih dahulu, meninggalkanku sendirian dengan tubuh ditimpa dua lapis selimut tebal. Aku bergerak bangun dengan bertumpu pada kedua siku, duduk dengan tubuh sedikit melengkung dan menunggu nyawa terkumpul sepenuhnya. Aku merentangkan tangan dan memutar tubuh ke kanan dan kiri. Dilanjutkan dengan memutar leher hingga berbunyi. Kemudian beringsut ke pinggir kasur, menjejakkan kaki di lantai yang dingin, meraih selimut yang dipakai dan melipatnya dengan rapi. Berdiri dan jalan ke dekat lemari, mengambil sapu lidi dan mengebas sprei, kemudian merapikan bantal dan guling dengan menyusunnya bertumpuk."Aih, rajinnya, Risty pasti senang punya suami yang mau ban
TBE 32Pria bertubuh tinggi besar tersebut masih berdiam diri di atas pagar. Sinar dari samping kanan tubuhnya membuatku merasa aneh dan bertanya-tanya dalam hati apakah sinar itu..Pak Rohim lari tunggang langgang dari pos dan langsung berlindung di belakang kami. "Dia bawa senjata," ujar Pak Rohim dengan suara bergetar. "Iya, itu ada di tangan kanannya," balasku.Aku tidak menyadari bila Johan bergerak masuk ke rumah dan kembali lagi dengan membawa golok di tangan. Risty menarik Johan yang hendak mendatangi pria di hadapan. Opick mencekal tangan Johan dan mencoba mengambil goloknya."Jangan gegabah, Jo. Kita lihat dulu dia mau bertindak apa," cegahku. "Betul, apalagi bila ternyata dia tidak hanya membawa satu senjata, bisa juga lebih," timpal Risty."Kalian tunggu di sini!" perintah Kakek Munir. Beliau jalan pelan dan berhenti beberapa langkah di seberang pria itu. Aku maju sedikit dan diikuti oleh yang lainnya. Kami berusaha untuk tetap waspada akan segala kemungkinan yang bisa
TBE 33Aku menunjuk ke sebelah kiri rumah. Johan mengangguk tanda mengerti maksudku. Kami mengendap-endap melintasi jendela kemudian berbelok ke kiri yang ternyata merupakan sebuah lorong panjang. Menyusuri tempat ini, aku seolah-olah merasakan deja vu. Seakan-akan pernah melewati tempat ini sebelumnya. Pada jendela terakhir, terdengar suara obrolan dua orang. Satu orang pria dan satu orang perempuan.Aku memberi kode pada Johan untuk berdiam diri dan berusaha menguping percakapan kedua orang tersebut."Jouw vader selalu bikin masalah!" ketus sang perempuan."Jangan begitu, Dew. Bagaimanapun beliau adalah ayahku, dan juga mertuamu," sahut sang pria."Ini sudah kejadian kesekian kalinya, kita didatangi orang yang kehilangan anak gadis mereka. Kupikir jouw vader itu sudah insyaf.""Aku juga tidak tahu akan begini, Dew. Kupikir juga vader tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Ini sudah lewat tiga tahun dari laporan terakhir."Aku beradu pandang dengan Johan yang sama terkejutnya deng
TBE 34Matahari mulai beranjak naik saat tim dari kepolisian tiba di villa. Beberapa petugas dari kelurahan dan kecamatan setempat pun telah turut hadir. Di bawah pohon rambutan adalah tempat yang pertama kali dibongkar. Sesuai dugaan, kerangka manusia ditentukan di situ. Menurut pihak forensik, kerangka manusia ini berjenis kelamin perempuan. Posisi saat ditemukan pun masih rapi. Hal itu memperkuat dugaan bahwa saat dikebumikan dulu, orang ini telah dikafani. Kerangka manusia tersebut disatukan dalam selembar kain, kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik besar berwarna hitam. Diberi tanda angka satu di luar kantung.Tempat kedua yang dibongkar adalah di depan garasi. Setelah penggalian sepanjang lima meter, akhirnya tim kepolisian menemukan dua kerangka manusia yang juga masih rapi. "Kok cuma dua? Harusnya kan ada tiga," tanya Johan sambil berbisik."Nggak tahu, aku juga jadi bingung," sahutku.Kakek Munir memberi tanda pada kami untuk mengikutinya ke rumah Pak Tono. Sementar
TBE 35Perjalanan kembali ke Jakarta kali ini membuatku merasa sedikit sedih. Terutama setelah proses pemindahan kerangka ke bukit kecil tersebut, Viana memang tidak pernah lagi menampakkan diri di hadapanku. Mengenang masa-masa awal pertemuan kami membuatku sangat merindukannya dan masih berharap agar suatu saat nanti bisa bertemu kembali dengannya.Sepanjang perjalanan menuju Ibu Kota, pikiranku terbagi antara Viana dan Risty. Kedua sosok perempuan itu benar-benar telah membuatku bingung dengan perasaan sendiri yang menyayangi mereka secara bersamaan. Hal yang benar-benar aneh dan belum pernah dirasakan sebelumnya. Kala mobil yang dikemudikan Johan ini hendak lurus ke Ciawi, aku justru memintanya untuk berbelok ke Cijeruk. Entah kenapa aku seolah-olah tengah kembali menjelma sebagai Haryadi Atmaja yang tengah mengendarai motor bersama dengan Viana di malam yang membuat kisah cinta mereka bermula. Terbayang kembali perjalanan itu dan aku mengarahkan Johan ke tempat yang pernah menj
TBE 36Hiruk pikuk Kota Jakarta kembali membuatku pusing. Setahun tidak terjebak kemacetan menjadikan makian berulang kali terlontar dari mulut. Meskipun jarak tempuh dari rumah menuju kantor sebetulnya tidak terlalu jauh, tetapi karena kepadatan jalan raya membuat jaraknya seakan-akan ratusan kilometer. Setibanya di tempat parkir sebuah gedung perkantoran di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, aku turun dan menutup serta mengunci pintu Xpander putih yang sudah menemani sejak dua tahun silam, tetapi diistirahatkan ketika aku memutuskan untuk menyepi di Salabintana, Sukabumi. Sudut bibirku terangkat membingkai senyuman, merasa senang karena Dani dan pak Idim benar-benar menunaikan janji untuk merawat kendaraanku dengan baik. Setelah beberapa saat termenung, aku memutar tumit dan jalan menuju pintu masuk gedung. Dua petugas keamanan serentak menghormat, lalu menyalami dan menyapaku dengan ramah.Hal yang sama juga dilakukan beberapa karyawan lama yang pastinya mengenaliku, sedangk