Davis menghela napas panjang. Sudah berjam-jam dia duduk di sini, tapi tidak ada solusi yang muncul di pikirannya. Instingnya mengatakan bahwa Tamara adalah orang yang paling tepat untuk membantunya. Selain itu, bagi Davis, Tamara cukup menarik dan telah mengambil perhatiannya sejak pertemuan pertama mereka. Namun, kenyataan bahwa wanita itu melarikan diri lagi dan menolak membantunya membuat Davis merasa gusar.
Suara dering ponsel di meja kerja Davis membuyarkan lamunannya. Ia mengambil ponsel itu dan melihat nama Fabio tertera di layar. Dengan cepat, ia menjawab panggilan itu.
"Tuan, aku punya kabar menarik. Wanita bernama Tamara yang anda temui, ternyata mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke perusahaan kita." Suara Fabio terdengar antusias di seberang sana.
Davis terdiam sesaat, mencerna informasi yang baru saja ia terima.
Lamaran pekerjaan? Senyum kecil seketika mengembang di sudut bibirnya.
"Kerja bagus, Fabio. Panggil dia untuk interview hari ini," kata Davis dengan nada penuh rencana.
*
Ponsel yang tergeletak di samping cangkir kopinya tiba-tiba bergetar, menunjukkan panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Tamara mengerutkan kening, agak ragu untuk mengangkatnya. Namun, rasa penasaran mendorongnya untuk menekan tombol hijau.
“Selamat pagi, apakah saya sedang berbicara dengan Ibu Tamara?” suara wanita di seberang terdengar formal dan sopan.
“Iya, saya sendiri. Dengan siapa saya berbicara?” Tamara merespons dengan nada yang sama.
“Perkenalkan, saya Rina dari departemen HRD Dwayne Corp. Saya menghubungi Anda untuk memberi kabar baik. Kami dengan senang hati menginformasikan bahwa Anda diterima untuk bekerja di perusahaan kami. Kami harap Anda bisa datang ke kantor untuk wawancara final hari ini. Kami juga sudah mengirimkan email kepada Anda dengan informasi lebih lanjut, termasuk waktu dan persyaratan yang perlu dibawa. Mohon segera di cek, ya.”
Tamara terdiam sesaat, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jantungnya berdegup kencang, antara terkejut dan gembira.
“Baik, saya akan segera mengeceknya. Terima kasih,” ucap Tamara dengan penuh syukur sebelum menutup telepon.
Tangannya gemetar saat membuka laptop yang ada di meja. Ia segera membuka email dan menemukan pesan yang dimaksud. Ternyata, ia diminta untuk hadir di kantor Dwayne Corp pagi itu juga, tepat pukul sembilan tiga puluh, untuk wawancara lanjutan.
Dengan cepat, dia bergegas ke kamar mandi untuk bersiap, dan tidak lupa mengenakan setelan terbaik yang dimilikinya. Tamara memilih blazer abu-abu yang rapi dengan celana panjang hitam, dan memadukannya dengan sepatu hak tinggi berwarna nude yang nyaman.
*
Gedung itu menjulang tinggi, dengan kaca-kaca yang memantulkan sinar matahari pagi, memberikan kesan megah dan modern. Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Tamara melangkah masuk ke dalam lobi yang luas dan elegan.
Di meja resepsionis, seorang pegawai wanita menyapanya dengan ramah. Begitu tahu dia datang untuk wawancara, Tamara segera diminta pergi ke salah satu ruangan yang terletak di lantai lima belas. Tamara lantas berjalan menuju lift yang ditunjukkan.
Begitu lift berhenti di lantai lima belas, pintu terbuka dengan suara lembut. Tamara melangkah keluar, mendapati dirinya berada di koridor yang dikelilingi dinding kaca, memberikan pemandangan kota yang luar biasa. Namun begitu dia tiba di sana, Tamara menyadari sesuatu yang terasa ganjil.
Di ujung lorong, ada sebuah pintu yang dimana di bagian depan ruangan itu terdapat meja resepsionis dengan sepasang orang dewasa yang sedang duduk di mejanya masing-masing. Begitu mendekat, pegawai pria itu langsung berdiri dan memintanya untuk masuk.
Tamara melangkah masuk ke dalam satu-satunya ruangan yang ada di sana. Namun begitu tiba di dalam ruangan itu, ekspresi wajahnya mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Ruangan yang dimasukinya sama sekali tidak seperti ruang interview. Ruangannya lebih terlihat seperti kantor pribadi untuk seseorang dengan jabatan tinggi di perusahaan.
“Aku rasa kita memang ditakdirkan untuk bertemu lagi.” Suara itu membuat Tamara seketika membeku di tempatnya. Matanya langsung membelalak sempurna, terlebih setelah dia melihat siapa yang duduk di kursi kebesarannya di ruangan itu.
“Kau!” pekik Tamara dengan nada kaget. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Davis lagi.
“Kau terkejut? Bukankah ini takdir bahwa kau secara kebetulan malah melamar pekerjaan diperusahaan ku?” Ada nada puas yang Tamara rasakan dari ucapannya.
Davis beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Tamara yang berdiri di sana. Tamara masih mematung di tempatnya dengan wajah bingung.
“Bagaimana kau bisa ada di sini?”
“Bagaimana aku bisa ada di sini? Sepertinya kau tidak menyimak apa yang aku katakan sebelumnya.” Davis menunjuk ke arah papan namanya di atas meja. Di sana tertulis dengan jelas nama dan jabatan Davis di kantornya.
Hal ini sungguh membuat Tamara merasa seakan disambar petir di tengah siang bolong.
“Aku bisa langsung menerimamu tanpa perlu wawancara atau semacamnya. Tapi dengan satu syarat.” Davis bergerak semakin dekat hingga membuat Tamara terpojok, dan berakhir di dinding.
Ketika berusaha menjauh, Davis sudah lebih dulu mencengkram tangannya, dan menahannya hingga membuat Tamara berakhir terjebak dalam dekapannya.
Tamara dan Davis terdiam untuk sesaat. Keduanya saling pandang dalam jarak yang begitu dekat. Dari posisinya saat ini, Tamara bisa mencium aroma khas yang menempel di tubuh Davis.
“Apa syaratnya?”
“Menikahlah denganku.”
***
Bellatrix menghela napas dalam-dalam. Udara malam yang begitu dingin terasa begitu menusuk hingga membuatnya tidak tahan berlama-lama di luar. Wanita paruh baya itu langsung melangkah masuk ke dalam gedung tempat dimana biasa anak-anak buahnya berkumpul. Tiba di sana, kedatangannya langsung disambut oleh Ollie yang sudah menunggunya sejak tadi.“Selamat malam, nyonya.”“Tidak perlu basa-basi. Aku tidak ingin membuang-buang waktu. Langsung antarkan saja aku pada mereka!” ucap Bellatrix tanpa menoleh sama sekali. Wanita berpakaian serba hitam itu kini berjalan dengan tergesa-gesa dengan Ollie yang mencoba mengimbangi langkahnya.“Mereka sudah menunggu di ruang biasa, nyonya. Begitu tiba, aku langsung meminta mereka berkumpul di sana sesuai dengan permintaan anda.”“Bagus! Lalu bagaimana dengan tugas lain yang aku berikan padamu?”“Saya sudah berhasil mendapatkan informasi yang anda minta. Hanya saja…, ada beberapa hal, nyonya,” gumam Ollie dengan kepala tertunduk. Bellatrix yang mendeng
“Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku, sayang?” Bellatrix menatap wanita di hadapannya dengan raut wajah bingung. Tidak biasanya wanita di hadapannya ini memasang ekspresi serius seperti ini.“Kau sudah tahu kalau dia kembali, kan?” Hailey melontarkan pertanyaan retoris. Bellatrix sama sekali tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Akan tetapi, walau terlihat begitu jelas, dia masih tetap berusaha untuk tenang seolah tidak mengerti dengan maksud dari perkataannya.“Apa maksudmu?”“Kau tahu apa maksudku. Orang yang selama ini menjadi penghalang! Kau sudah tahu dia kembali, kan? Maka dari itu, kau meneleponku kemarin, ya kan?” Hailey menatap wajah Bellatrix intens. Dugaannya tidak akan mungkin salah. Bellatrix pasti sudah bertemu dengan Serena. Itulah kenapa dia meneleponnya kemarin.“I-Itu…, darimana kau tahu? Apakah jangan-jangan kau…”“Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Sekarang aku mengerti alasan kenapa kau menghubungiku kemarin. Itu pasti karena kau suda
Hugh terdiam memandang Serena yang kini duduk di hadapannya sambil melahap makanan yang baru saja di sajikan di hadapan mereka. “Bagaimana? Kau menyukainya?” tanya Hugh, sambil menunggu respon darinya.Serena mengunyah makanan di mulutnya sebelum mengutarakan pendapatnya. “Ini enak. Aku menyukainya.” Serena tersenyum simpul.“Sudah aku duga kau pasti akan menyukainya!”“Darimana kau tahu ada restoran seenak ini?”“Aku tidak sengaja menemukannya ketika aku dan Shawn pergi ke taman hiburan beberapa waktu lalu. Tempat ini sangat ramai, jadi aku pikir tidak ada salahnya untuk berkunjung ke sini. Selain itu, aku juga sempat melihat review di internet tentang restoran ini, dan ternyata memang bagus.”“Oh, begitu… tapi ini sungguh enak!” Serena kembali melahap makanannya. Sekarang ini, Serena dan Hugh sedang berada di restoran. Mereka sedang menikmati waktu makan siang bersama. Saat di rumah, Hugh melihat Serena sangat kelelahan dengan pekerjaannya, dan karena sudah saatnya jam makan siang,
“Kalau begitu, saya permisi.” Aiden tersenyum lantas berlalu meninggalkan ruangan tersebut. Dia berniat untuk menemui putrinya sebelum meninggalkannya, dan membiarkan dia belajar bersama teman-teman barunya.Langkah Aiden mendadak terhenti saat dia melihat Rhys yang berdiri di koridor dengan wajah panik. Pria itu tampak kebingungan mencari sesuatu. Karena tidak melihat Loui bersamanya, Aiden bergegas menghampiri pria itu. “Rhys!”“Aiden, gawat!” Rhys mendekat dengan wajah cemas. “Loui hilang.”“Apa?” Aiden membelalakan mata begitu mendengar penuturannya barusan. “Tadi aku meninggalkan barangku di mobil, dan aku berniat untuk mengambilnya. Tapi Loui tidak mau dan bersikeras ingin menunggu di sini, jadi aku memintanya untuk duduk di sini sebentar sementara aku pergi. Begitu aku kembali, dia sudah tidak ada.”“Astaga, kau seharusnya tidak boleh lengah. Loui itu anak yang tidak bisa diam. Sekarang ayo cari dia sebelum dia melakukan sesuatu yang bisa membahayakannya!” Aiden dan Rhys lantas
“Jadi maksudmu adalah wanita jalang itu tidak sendirian?” Bellatrix mengalihkan perhatiannya pada Ollie. Lelaki itu sudah menjelaskan semuanya, dan begitu Bellatrix mengetahui cerita lengkap dari Ollie, dia segera meminta Ollie pulang.“Betul, nyonya. Dan sepertinya dia yang melindunginya selama ini.”Bellatrix termangu sambil mencerna ucapan Ollie barusan. Dia sungguh tidak menyangka kalau Serena akan memiliki seorang pelindung seperti yang diceritakan Ollie. Siapa pria yang dia maksud sebenarnya? Tidak mungkin itu Rhys, kan?“Aku ingin kau terus memantau Serena! Ikuti dia secara diam-diam dan terus pantau dia. Selain itu, coba juga untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai lelaki yang kau maksud. Cari tahu siapa namanya, bagaimana latar belakangnya, dan berikan aku seluruh detail informasi tentangnya. Pokoknya aku harus tahu semua yang tentang lelaki itu, agar aku bisa menilai apakah pria ini bisa menjadi ancaman atau tidak. Jika dia tidak menjadi ancaman, maka kita aka
Ollie melirik jam di ponselnya. Sudah hampir lewat dari jam pulang kantor, dan wanita yang menjadi targetnya sama sekali belum juga terlihat. Matanya yang terus mengawasi semakin sadar bahwa pegawai kantor yang ada semakin berkurang.Ada yang aneh, sepertinya aku harus memastikannya. Ollie melangkah turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam. Begitu tiba di dalam, dia dapat melihat beberapa pegawai yang baru tiba di lobi dan sedang berjalan mengarah ke pintu dimana dia datang.Tepat saat matanya mengedar ke sekeliling, Ollie menangkap pemandangan tidak biasa. Matanya melihat seorang pegawai wanita yang berjalan menuju arah yang berbeda dari pegawai yang lain. Begitu diamati lebih seksama, Ollie baru sadar bahwa wanita yang dilihatnya adalah Serena. Orang yang ditunggunya sejak tadi. Sial! Sepertinya dia sudah sadar bahwa aku mengikutinya sejak tadi. Kalau sampai nyonya Bellatrix tahu, maka ini akan menjadi masalah besar. Aku harus segera mengikutinya!Ollie mempercepat langkah kakin