Share

Rais, 2001

Ia belajar dari pengalaman pribadinya bahwa sistem pendidikan di masa kini harus dibuang ke tempat sampah. Rais merayakan ulangtahunnya yang ke-21 beberapa saat setelah ia meraih gelar Ph.D. Banyak hal yang dipelajarinya dari universitas, hanya saja baginya itu tidak lebih dari keping-keping butiran debu jika dibandingkan dengan apa yang didapatnya di luar kampus.

Rais sering berkeliling di malam-malam yang dingin. Diamatinya kehidupan masyarakat, di negara yang disebut orang sebagai adidaya. Pada kenyataannya banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka yang hidup dengan menggunakan mantel di setiap malam hari, tidur beratapkan langit, dan harus menyalakan api dengan membakar sampah.

Ia menjadi seorang insinyur jalanan, memperbaiki alat-alat pemanas dari keluarga-keluarga gelandangan, maupun membuat alat-alat rumah tangga sederhana dengan kemampuannya. Ia kagum akan keteguhan orang-orang itu hidup dari hari ke hari.

Rais punya seseorang yang disebutnya “teman”. Orang ini adalah gelandangan yang tidak pernah terjamah pemerintah kota Boston. Setiap kali Rais menemuinya, keadaan orang yang menyebut dirinya “John” ini tetap sama. Ia gelandangan yang tubuhnya beraroma tidak sedap, entah kapan terakhir kali ia mandi. Untuk makan pun hanya mengandalkan belas kasihan orang. John selalu berkata kepada Rais bahwa ia menunggu suatu saat ketika “home” memanggilnya.

Saat Rais bertanya di mana “home” yang dimaksud, John menunjuk ke arah langit.  

Pada akhirnya, dari John, ia belajar bahwa ada sesuatu yang bisa menggerakkan umat manusia jauh lebih kuat daripada kekuatan kediktatoran ataupun pemerintahan tangan besi.

Sesuatu ini bisa membuat seseorang percaya untuk melakukan sesuatu tanpa diminta, bahkan mengorbankan miliknya yang paling ia cintai.

Semuanya dilakukan dengan sukarela, karena hal tersebut.

Ia adalah keyakinan.

Faith...

Ketika tiba saatnya nanti, Rais sangat ingin mempelajari bagaimana milyaran manusia bisa digerakkan oleh ajaran yang dibawa oleh orang-orang yang mereka sebut dengan “Utusan”. Padahal mereka hidup belasan bahkan puluhan abad sejak utusan yang menjadi panutan mereka menghembuskan napasnya yang terakhir.

Ini sangat menarik baginya.

Orang yang disebut “Utusan” pasti memiliki karisma khusus. Tidak mungkin milyaran orang mau bergerak memenuhi arahan seseorang, tanpa seseorang itu memiliki suatu hal yang menjadi daya tarik. Rais bertekad suatu hari ia akan menemukannya. Ia yakin hal seperti ini tidak akan ditemuinya di bangku pendidikan formal.

Karenanya, Rais tidak lagi peduli kepada derajat pendidikan. Ia telah meraih gelar yang tertinggi. Tidak ada lagi tantangan di dunia akademik baginya.

Saat ini ia hanya duduk bersandar di kursinya, memandang ke luar jendela, dan menikmati senja di hari-hari terakhirnya di Boston. Sebelum ia meninggalkan kota ini, mungkin untuk selamanya.

Ia sedang mengingat profesornya, yang selama lebih dari enam tahun sejak pertama kali Rais mengenalnya, masih mengenakan kemeja, jas, dan tas yang sama. Rais yakin bahwa ia pasti mengenakannya lebih lama dari itu.

Bahkan hari-hari terakhir Rais di universitas, Sang Profesor masih dengan antusias membicarakan jembatan antara ilmu pengetahuan dan agama. Ia memberitahu Rais bahwa dirinya ingin melebur dua hal tersebut. Rais hanya mengangguk dan mengangguk saat Sang Profesor menceritakan tentang kisah-kisah dalam kitab suci yang harus dapat dijelaskan pada ilmu pengetahuan saat ini.

Karena ia mengenal Rais sebagai seorang Muslim, maka sesekali ia pun mengambil kisah-kisah dari Al Quran. Rais pun tetap melayaninya dengan mengangguk. Dirinya telah membaca lebih banyak buku keagamaan dibandingkan Sang Profesor, dan semua itu gagal menarik minatnya, kecuali mungkin sedikit.

Semua paparan mengenai monolitik, maupun neolitikum telah dibacanya. Profesornya masih berceramah tentang hubungan antara agama samawi saat ini dengan mitos-mitos yang berasal dari masa pengisahan dewa-dewa. Ia berusaha melihat semua agama sebagai hal yang sama. Bahwa agama-agama yang ada saat ini tidak lebih dari turunan atau adaptasi dari cerita-cerita tentang dewa-dewa langit.

Ah ya tentu, Rais telah mempelajari semuanya.

Ia tahu apa yang diinginkan Sang Profesor tidak lebih hanyalah persetujuannya. Sementara Rais sama sekali tidak tertarik pada semua paparan tersebut. Ia lebih suka deduksinya sendiri. Namun ia masih sangat menghormati Sang Profesor.

Sang Profesor mengatakan pada Rais bahwa ia belum pernah bertemu orang seperti dirinya sebelum ini. Juga ia akan sangat merindukan Rais. Ia pun sekali lagi (setelah ribuan kali sebelumnya) meminta Rais untuk tinggal dan mengajar di fakultas.

Senyum selalu menjadi jawaban Rais.

Rais sudah sangat bosan dengan semua urusan universitas. Terkadang ia hanya ingin membaca cerita-cerita fiksi dan mendapatkan kembali keluguan masa kecil yang tidak pernah didapatkannya. Ia sudah membaca kalkulus sejak ulang tahunnya yang kesepuluh. Lalu fisika kuantum, teknologi nano, dan sebagainya.

Tidak ada dari semua itu yang memberinya alasan kenapa ia dilahirkan ke muka bumi ini.

Rais telah bersumpah bahwa ia tidak dan tidak akan pernah kembali ke dunia akademik. Telah ditandatanganinya surat pengunduran diri dari dunia tersebut. Rais telah melupakan semua pencapaian akademisnya.

Tapi ia berjanji bahwa proses belajar tidak akan pernah berhenti.

Beberapa saat kemudian, Rais memutuskan untuk turun dan berjalan-jalan. Ia benar-benar ingin menikmati hari-hari terakhir di Boston. Sedikit mengejutkan dirinya bahwa ia sungguh menikmati pemandangan senja di kampusnya.

Disadarinya bahwa selama ini ia telah terperangkap oleh kehidupan tidak bahagianya sebagai mahasiswa. Orang-orang berkata bahwa ia brilian, tapi ia lebih tahu bahwa sebenarnya dirinya sedang dipenjara. Selama bertahun-tahun pikirannya terkungkung pada urusan sang profesor, tesis, disertasi, dan kelas-kelas.

Rais ingin melupakan semuanya.

Sekalipun begitu, ia juga terkejut mendapati dirinya terus berpikir mengenai hari-harinya yang telah lalu di universitas. Terutama tentang saat-saat ia membaca cerita yang berasal dari sejarah. Sangat banyak cerita sejarah tentang perang yang ia temui. Rais mendapati bahwa sejarah lahir dari perang. Tanpa perang, tidak akan ada sejarah. Bahkan hingga kini, perang masih mendominasi berita.

Rais menyadari bahwa peradaban manusia saat ini hanya mengaku-ngaku bahwa mereka “beradab”. Pada kenyataannya, tidak ada yang berbeda dari manusia di masa kini dengan nenek moyangnya.

Perang, perang, dan perang di mana pun.

Pikirannya terinterupsi oleh satu hal, apakah dirinya akan terlibat dengan perang suatu saat nanti?

Lalu apa yang akan dilakukannya?

Apa arti semua pencapaiannya selama ini jika nanti ia mati oleh sebuah tembakan?

Ke mana semua karyanya akan pergi?

Lalu pikiran Rais melayang lebih jauh ke hari-hari yang telah lalu. Ia adalah jenius yang selalu menjadi bintang keluarganya, keluarga Hoetomo.

Rais Hoetomo menjadi fenomena karena telah meraih gelar kesarjanaannya pada usianya yang ketujuhbelas.

Orangtuanya menggelar pesta untuk merayakan kelulusan Rais. Mereka mengundang semua warga Indonesia-Amerika maupun mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di Washington DC.

Rais tahu bahwa ini adalah hari yang spesial bagi orangtuanya. Ia tidak terlalu paham tentang bagaimana pesta kelulusan seharusnya dilakukan. Yang diketahuinya hanya wisuda. Sementara Rais tidak terlalu paham mengenai kenapa wisuda harus dirayakan.

Baginya semua itu terlalu “biasa”.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status