Share

DUA

Author: Lalaa
last update Huling Na-update: 2025-07-04 09:47:25

Dentuman musik orkestra yang meriah berpadu dengan gemerisik suara ratusan tamu memenuhi Grand Ballroom Hotel The Fullerton. Kilatan lampu kamera tak henti-henti menyambar dari setiap sudut, menandakan betapa megahnya pesta pernikahan ini—sebuah perayaan, bukan atas dasar cinta, melainkan demi kepentingan bisnis Davies.

Celine berdiri di samping Davies, mengenakan gaun pengantin putih yang anggun, bak seorang putri dari negeri dongeng. Namun, di balik senyum yang dipaksakan dan tatapan yang dilatih, hatinya kosong. Davies di sampingnya, dengan jas tuksedo hitam yang rapi, juga menampilkan senyum yang sama hambar, hanya bibirnya yang tertarik ke atas, tanpa melibatkan matanya yang dingin. Mereka berakting. Berpura-pura menjadi pasangan yang dimabuk asmara di hadapan ratusan tamu penting: kolega bisnis Davies, para investor, dan tentu saja, media yang haus berita.

"Selamat, Davies! Anda terlihat sangat bahagia!" seru seorang pria paruh baya dengan seringai lebar, menjabat tangan Davies erat, lalu beralih menatap Celine. "Nyonya Davies, Anda sungguh memesona. Pasangan serasi!"

Celine membalasnya dengan senyum tipis yang terasa kaku. Setiap jabat tangan, setiap pelukan basa-basi, dan setiap pujian yang dilontarkan terasa seperti pisau yang mengikis ketenangannya. Ia merasa seperti boneka yang menari di atas panggung, mengikuti setiap gerakan yang telah diatur, tersenyum pada setiap orang yang mendekat. Sorotan publik yang begitu intens, deretan pertanyaan dari wartawan yang meneriakkan namanya, dan tatapan tajam penuh perhitungan dari kolega bisnis Davies yang menelisiknya dari ujung rambut hingga kaki, semuanya menjadi beban yang kian menekan.

"Kau baik-baik saja?" bisik Davies pelan, nyaris tak terdengar, tanpa menoleh ke arah Celine. Senyumnya tetap terpaku di wajah, matanya sibuk memindai keramaian, menghitung keuntungan dari setiap wajah yang ia temui.

Celine hanya mengangguk kecil, tanpa sanggup mengeluarkan suara. Tenggorokannya tercekat. Di tengah gemerlap dan kemewahan ini, ia merasa paling sendiri. Ini adalah babak baru dalam hidupnya, sebuah sandiwara yang harus ia lakoni, tanpa tahu sampai kapan.

...

Di balik tirai senyum dan tawa yang dipalsukan, pesta pernikahan itu terasa seperti medan ranjau bagi Celine. Momen-momen canggung tak terhindarkan, setiap detiknya adalah ujian.

Suatu kali, saat hendak mengambil segelas sampanye dari meja yang sama, tangan Celine secara tak sengaja menyentuh punggung tangan Davies. Seketika, keduanya menarik tangan masing-masing seolah tersengat listrik. Pandangan mereka bertemu sesaat, kilatan panik di mata Celine beradu dengan tatapan tajam Davies yang seolah berkata, hati-hati.

"Kalian terlihat sangat serasi! Bagaimana kalian bertemu?" tanya seorang wanita sosialita dengan suara melengking, menghampiri mereka.

Celine menegang, otaknya berpacu mencari jawaban yang masuk akal.

Sebelum Celine sempat membuka mulut, Davies sudah menyahut dengan senyum menawan, "Sebuah kebetulan yang indah, bukan? Kami... saling tertarik sejak pandangan pertama." Kalimat itu diucapkan dengan begitu meyakinkan, membuat wanita itu tersipu. Celine hanya bisa mengangguk, nyaris tersedak.

Bisikan-bisikan nyaris terdengar, seperti ketika seorang tamu berkomentar, "Davies memang pandai memilih, tapi apakah mereka benar-benar cocok?"

Atau saat seorang kolega bertanya pada Celine, "Apakah Davies sering memberimu kejutan romantis?" Celine hanya bisa memaksakan senyum, mencari-cari jawaban yang tak akan membongkar rahasia mereka.

"Tentu saja, Davies melakukannya dengan sangat baik." Ucap Celine.

Tatapan matanya yang terlalu lama terpaku pada Davies, mencoba membaca apa yang harus ia katakan, atau jawaban yang tidak sinkron dengan Davies tentang "kisah cinta" mereka, nyaris membuat sandiwara ini terbongkar.

Celine merasa jantungnya berdebar kencang setiap kali ia nyaris melakukan kesalahan, khawatir identitas asli hubungan mereka akan terbongkar. Keringat dingin membasahi punggungnya di balik gaun pengantin yang indah itu.

Sementara itu, Davies, dengan tatapan elangnya, terus-menerus mengamati "penampilan" mereka. Ia adalah sutradara dari sandiwara ini, dan mereka berdua adalah aktor utamanya. Setiap gerakan Celine, setiap kata, dan setiap ekspresi wajahnya, tak luput dari pengawasan Davies. Sesekali, ia akan mendekat, berbisik pelan namun tegas, "Senyum lebih lebar," atau "Jangan terlalu banyak bicara," memastikan setiap aksi mereka tetap meyakinkan di mata para tamu.

Pesta ini adalah pertunjukan, dan mereka berdua harus sempurna.

...

Gerbang besi tempa yang menjulang tinggi terbuka perlahan, menyingkap jalan setapak beraspal yang berkelok menuju sebuah mahakarya arsitektur modern. Rumah baru mereka. Mewah, megah, dengan dinding kaca lebar yang memantulkan langit sore. Seharusnya ini menjadi awal yang segar, namun bagi Celine dan Davies, kepindahan ini hanyalah perluasan dari kontrak yang mengikat mereka.

Davies berjalan masuk lebih dulu, langkahnya mantap dan penuh percaya diri, seolah ia adalah penguasa mutlak di istana ini. Celine mengikutinya, setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang memasuki sangkar emas. Begitu pintu utama terbuka, yang menyambut mereka bukanlah kehangatan sebuah rumah, melainkan keheningan yang dingin dan formal. Furnitur minimalis nan mahal tertata rapi, bersih, tak tersentuh.

"Kau bisa memilih kamar di sayap kanan," kata Davies, suaranya datar, tanpa emosi. "Aku akan di sayap kiri. Kita akan menggunakan ruang tengah dan dapur bersama, tapi... batasan tetap berlaku."

Celine mengangguk, hatinya miris. Batasan. Kata itu sudah menjadi mantra dalam hidupnya sejak ia menabrak mobil Davies. Mereka dengan cermat menetapkan batasan-batasan ketat mengenai ruang pribadi. Kamar terpisah, bahkan kamar mandi terpisah. Jadwal harian yang disusun sedemikian rupa untuk menghindari interaksi berlebihan. Davies di pagi hari akan berolahraga di gym pribadi, sementara Celine mempersiapkan sarapannya sendiri di dapur. Davies akan bekerja di ruang kerjanya yang terpisah, sementara Celine, jika ada pekerjaan, akan melakukannya di sudut ruang tamu yang telah ia "klaim" sebagai wilayahnya.

Rumah itu memang luas, terhampar megah dengan banyak ruangan, namun terasa sempit oleh aturan-aturan tak kasat mata yang membungkus setiap sudutnya. Setiap langkah dan setiap hembusan napas seolah diatur. Lorong-lorong panjang terasa seperti koridor di hotel mewah, bukan jalur menuju kamar suami atau istri. Suasana yang kaku dan dingin begitu dominan, jauh dari hangatnya sebuah rumah tangga, atau bahkan sekadar tempat tinggal yang nyaman.

Malam pertama di rumah itu, Celine berdiri di ambang pintu kamarnya, menatap keheningan ruang tengah yang remang-remang. Ia tahu Davies ada di kamarnya, mungkin sedang bekerja, mungkin sedang tidur. Tapi rasanya ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, lebih kokoh dari dinding beton sekalipun. Ini adalah rumah yang indah, namun kosong. Sebuah penjara mewah yang ia pilih sendiri.

...

Pagi itu, setelah suara deru mobil Davies menjauh, Celine memutuskan untuk menjelajahi rumah yang terasa begitu asing baginya. Langkah kakinya membawanya melewati lorong panjang, hingga ia berhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Itu ruang kerja Davies.

Dari celah pintu, ia bisa melihat kekacauan di dalamnya. Tumpukan buku dan dokumen berserakan di meja, beberapa kertas jatuh ke lantai, dan cangkir kopi kosong terlihat di sudut meja. Ia tahu Davies adalah sosok yang sangat rapi, dan pemandangan ini cukup mengejutkan. Tanpa pikir panjang, didorong oleh niat baik, Celine melangkah masuk. Ia hanya berniat membantu, membereskan sedikit kekacauan itu, tanpa tahu bahwa ia sedang melanggar batas yang sangat sensitif.

Celine mulai menata buku-buku di rak, merapikan tumpukan dokumen, dan mengelap meja. Suasana hening, hanya ditemani suara gesekan kertas dan denting cangkir.

Tiba-tiba, bayangan gelap melintas di ambang pintu. Davies. Ia muncul tanpa peringatan, entah sejak kapan ia kembali. Matanya melebar, terkejut, lalu seketika berubah menjadi marah yang membara. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat.

"Apa yang kau lakukan di sini?" suaranya rendah, namun tajam, menusuk pendengaran Celine.

Celine tersentak kaget, buku yang sedang ia pegang nyaris terjatuh. "Aku... aku hanya ingin membantu. Ini berantakan sekali," ucapnya lirih, mencoba menjelaskan.

Namun, penjelasan itu justru memicu amarah Davies. Sebuah amarah yang tak pernah Celine bayangkan sebelumnya. Tanpa peringatan, Davies menghempaskan tumpukan buku di meja kerjanya dengan keras, suaranya menggelegar di ruangan itu. Buku-buku berserakan, beberapa nyaris mengenai Celine yang sontak memejamkan mata.

Sebelum Celine sempat bereaksi atau mengucapkan sepatah kata pun, Davies melangkah mendekat. Ia mencengkeram lengan Celine dengan kasar, jari-jarinya menekan kuat, menyisakan bekas merah yang langsung terlihat di kulit putihnya. "Jangan pernah lagi memasuki ruanganku tanpa izin," desisnya penuh ancaman, suaranya sedingin es namun penuh getaran amarah.

Celine terkejut dan ketakutan, napasnya tercekat di tenggorokan. Ia baru saja menyaksikan sisi gelap Davies yang tak pernah ia duga; sebuah sisi yang kejam dan tak terduga. Rasa takut dan sakit hati bercampur aduk dalam dirinya. Davies kemudian melepaskan cengkeramannya dan berbalik begitu saja, melangkah pergi tanpa menoleh, meninggalkan Celine sendirian di ruangan yang kini terasa begitu besar dan menakutkan, dengan rasa takut dan sakit hati yang mendalam.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • The Contractual Heart   TIGA BELAS

    Waktu tanpa Celine terasa hampa, dingin, dan kosong bagi Davies. Setiap sudut rumah mewah itu, setiap keheningan, mengingatkannya pada kekosongan yang ditinggalkan Celine. Penyesalan atas perbuatannya menggerogoti hatinya, ditambah kerinduan yang mendalam pada wanita itu. Ia tahu ia telah menyakitinya, dan penyesalan itu jauh lebih pedih dari luka fisik mana pun. Davies menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, merenungkan setiap kesalahan. Ia melihat kembali hidupnya, ambisi yang membutakannya, dan rahasia yang telah menghancurkan segalanya. Ia tahu ia harus berubah, tidak hanya untuk Celine, tetapi juga untuk dirinya sendiri, untuk menjadi pria yang pantas dicintai. Dengan tekad bulat, ia mengambil langkah berani: ia berniat mengakhiri bisnis ilegalnya. Sebuah keputusan yang tidak mudah, mengingat betapa dalamnya ia telah terlibat. Ia mulai membuat panggilan telepon rahasia, merencanakan pertemuan-pertemuan tersembunyi, berusaha mencari jalan keluar dari jeratan sindikat itu.

  • The Contractual Heart   DUA BELAS

    Setelah kepergian Celine, rumah mewah itu terasa hampa, dingin, dan kosong. Davies berjalan kesana kemari bagai jiwa tak tenang. Ia duduk di sofa yang dulu mereka gunakan untuk berdiskusi, namun kini hanya ada keheningan. Di titik krusial ini, Davies harus menghadapi ketakutan terbesarnya: takut kehilangan Celine, takut kehilangan ikatan yang tanpa sadar telah mereka bangun. Perasaan itu menghantamnya begitu kuat hingga ia merasa lumpuh. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa ia tidak menjelaskan? Mengapa ia begitu takut membuka diri? Penyesalan menggerogoti, membuat Davies menutup dirinya. Ia mengabaikan panggilan telepon dari kantor, menunda rapat penting, dan membiarkan dokumen-dokumen menumpuk di meja kerjanya. Pekerjaannya terhambat, bahkan terancam berantakan. Aura dominan yang selalu ia pancarkan kini digantikan oleh kesuraman dan keputusasaan. Berita tentang kemunduran Davies akhirnya sampai ke telinga Kakek Davies. Khawatir dengan cucunya, sang kakek datang berkunju

  • The Contractual Heart   SEBELAS

    Malam itu terasa dingin, diisi oleh keheningan yang memekakkan telinga setelah pertengkaran mereka. Dalam keputusasaan yang melanda, Celine merasa tidak sanggup melanjutkan. Semua beban dan kebohongan terasa terlalu berat untuk ditanggung. Hatinya hancur, dan ia tahu ia harus pergi. Dengan langkah pelan, Celine berjalan menuju jendela kamarnya. Jendela itu menghadap ke taman belakang, sebuah jalan setapak kecil yang biasa ia gunakan untuk berjalan-jalan. Celine membuka jendela lebar-lebar, udara malam yang dingin menerpa wajahnya, seolah menyambut kebebasannya. Tanpa menoleh ke belakang, tanpa mengeluarkan suara, Celine melangkah keluar, menghilang di kegelapan malam. Ia berharap bisa menemukan ketenangan dari badai emosi yang mengamuk di dalam dirinya. Davies, di sisi lain, masih terpaku di ruang tamu, dihantam oleh kebisuan. Ia duduk di sana untuk waktu yang lama, bergulat dengan dirinya sendiri, dengan beban masa lalu yang begitu berat. Ia tahu ia telah menyakiti Celine, dan ia

  • The Contractual Heart   SEPULUH

    Beberapa hari setelah kunjungan Celine ke Onyx, hidupnya berubah menjadi penyelidikan rahasia. Ia berpura-pura seperti biasa di depan Davies, tertawa, berbicara tentang hal-hal sepele, namun di balik itu, matanya selalu waspada, telinganya selalu siaga. Ia mencari bukti, potongan puzzle yang bisa mengonfirmasi apa yang ia dengar di klub malam itu. Pagi itu, saat Davies menerima telepon di ruang kerjanya, pintu yang sedikit terbuka membuat Celine bisa mendengar samar-samar. "Malam ini... pukul dua belas... tempat biasa," suara Davies terdengar datar, namun ada nada urgensi yang tak biasa. Jantung Celine berdesir. Malam ini. Ia harus siap. *** Malam harinya, Celine berakting sempurna. Ia berbaring di tempat tidur, memejamkan mata, napasnya teratur, berpura-pura tidur nyenyak. Namun, setiap sarafnya tegang. Sekitar pukul dua belas malam, ia mendengar pergerakan pelan di ruang depan. Davies. Celine membuka matanya sedikit, menunggu. Lima menit kemudian, ia mendengar suara pintu utam

  • The Contractual Heart   SEMBILAN

    Malam itu, setelah makan malam, Celine duduk di sofa ruang tamu. Davies ada di sampingnya, sibuk membaca buku tebal tentang ekonomi. Kehangatan yang kini tumbuh di antara mereka membuat Celine merasa nyaman, namun ingatan akan kotak logam dan catatan misterius itu tiba-tiba menyelinap. "Davies," panggil Celine pelan, mencoba terdengar santai. "Beberapa waktu lalu, aku tidak sengaja melihat tas kerjamu terjatuh. Ada sebuah kotak kecil di dalamnya, dan... catatan aneh." Davies menurunkan bukunya, menoleh ke arah Celine. Wajahnya tetap tenang, namun ada kilatan cepat di matanya yang tak luput dari perhatian Celine. "Oh, itu?" jawabnya singkat, seolah tak penting. "Hanya barang lama. Sudah kubereskan." Ia kembali fokus pada bukunya, seolah pembicaraan sudah selesai. Celine merasa tidak yakin. Jawaban Davies terlalu singkat, terlalu cepat, dan ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa seperti penolakan halus. Ia tahu Davies sedang menyembunyikan cerita aslinya. Meskipun hubungan mere

  • The Contractual Heart   DELAPAN

    Setelah badai Marcus berhasil mereka atasi, ketenangan kembali menyelimuti rumah mewah itu. Namun, kali ini, ketenangan itu diisi dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak terduga. Momen-momen romantis mulai bermunculan, tak direncanakan, justru semakin mengaburkan garis antara peran "pasangan kontrak" dan perasaan sesungguhnya. Suatu sore, saat mereka berjalan di taman belakang, tiba-tiba sebuah dahan pohon tua jatuh menimpa tepat di jalur yang akan dilewati Celine. Tanpa berpikir, Davies secara refleks menarik Celine kuat-kuat ke belakangnya, memeluknya erat, melindunginya dari reruntuhan dahan. Gestur itu begitu spontan, begitu naluriah, dan begitu tak terduga. Celine mendongak, menatap mata Davies yang menunjukkan kekhawatiran yang tulus, bukan sekadar basa-basi. Perlahan, mereka mulai melihat satu sama lain bukan hanya sebagai mitra bisnis, tetapi sebagai manusia. Celine menemukan keberanian dan kesetiaan di balik topeng dingin Davies. Ia melihat bagaimana Davies

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status