Dentuman musik orkestra yang meriah berpadu dengan gemerisik suara ratusan tamu memenuhi Grand Ballroom Hotel The Fullerton. Kilatan lampu kamera tak henti-henti menyambar dari setiap sudut, menandakan betapa megahnya pesta pernikahan ini—sebuah perayaan, bukan atas dasar cinta, melainkan demi kepentingan bisnis Davies.
Celine berdiri di samping Davies, mengenakan gaun pengantin putih yang anggun, bak seorang putri dari negeri dongeng. Namun, di balik senyum yang dipaksakan dan tatapan yang dilatih, hatinya kosong. Davies di sampingnya, dengan jas tuksedo hitam yang rapi, juga menampilkan senyum yang sama hambar, hanya bibirnya yang tertarik ke atas, tanpa melibatkan matanya yang dingin. Mereka berakting. Berpura-pura menjadi pasangan yang dimabuk asmara di hadapan ratusan tamu penting: kolega bisnis Davies, para investor, dan tentu saja, media yang haus berita. "Selamat, Davies! Anda terlihat sangat bahagia!" seru seorang pria paruh baya dengan seringai lebar, menjabat tangan Davies erat, lalu beralih menatap Celine. "Nyonya Davies, Anda sungguh memesona. Pasangan serasi!" Celine membalasnya dengan senyum tipis yang terasa kaku. Setiap jabat tangan, setiap pelukan basa-basi, dan setiap pujian yang dilontarkan terasa seperti pisau yang mengikis ketenangannya. Ia merasa seperti boneka yang menari di atas panggung, mengikuti setiap gerakan yang telah diatur, tersenyum pada setiap orang yang mendekat. Sorotan publik yang begitu intens, deretan pertanyaan dari wartawan yang meneriakkan namanya, dan tatapan tajam penuh perhitungan dari kolega bisnis Davies yang menelisiknya dari ujung rambut hingga kaki, semuanya menjadi beban yang kian menekan. "Kau baik-baik saja?" bisik Davies pelan, nyaris tak terdengar, tanpa menoleh ke arah Celine. Senyumnya tetap terpaku di wajah, matanya sibuk memindai keramaian, menghitung keuntungan dari setiap wajah yang ia temui. Celine hanya mengangguk kecil, tanpa sanggup mengeluarkan suara. Tenggorokannya tercekat. Di tengah gemerlap dan kemewahan ini, ia merasa paling sendiri. Ini adalah babak baru dalam hidupnya, sebuah sandiwara yang harus ia lakoni, tanpa tahu sampai kapan. ... Di balik tirai senyum dan tawa yang dipalsukan, pesta pernikahan itu terasa seperti medan ranjau bagi Celine. Momen-momen canggung tak terhindarkan, setiap detiknya adalah ujian. Suatu kali, saat hendak mengambil segelas sampanye dari meja yang sama, tangan Celine secara tak sengaja menyentuh punggung tangan Davies. Seketika, keduanya menarik tangan masing-masing seolah tersengat listrik. Pandangan mereka bertemu sesaat, kilatan panik di mata Celine beradu dengan tatapan tajam Davies yang seolah berkata, hati-hati. "Kalian terlihat sangat serasi! Bagaimana kalian bertemu?" tanya seorang wanita sosialita dengan suara melengking, menghampiri mereka. Celine menegang, otaknya berpacu mencari jawaban yang masuk akal. Sebelum Celine sempat membuka mulut, Davies sudah menyahut dengan senyum menawan, "Sebuah kebetulan yang indah, bukan? Kami... saling tertarik sejak pandangan pertama." Kalimat itu diucapkan dengan begitu meyakinkan, membuat wanita itu tersipu. Celine hanya bisa mengangguk, nyaris tersedak. Bisikan-bisikan nyaris terdengar, seperti ketika seorang tamu berkomentar, "Davies memang pandai memilih, tapi apakah mereka benar-benar cocok?" Atau saat seorang kolega bertanya pada Celine, "Apakah Davies sering memberimu kejutan romantis?" Celine hanya bisa memaksakan senyum, mencari-cari jawaban yang tak akan membongkar rahasia mereka. "Tentu saja, Davies melakukannya dengan sangat baik." Ucap Celine. Tatapan matanya yang terlalu lama terpaku pada Davies, mencoba membaca apa yang harus ia katakan, atau jawaban yang tidak sinkron dengan Davies tentang "kisah cinta" mereka, nyaris membuat sandiwara ini terbongkar. Celine merasa jantungnya berdebar kencang setiap kali ia nyaris melakukan kesalahan, khawatir identitas asli hubungan mereka akan terbongkar. Keringat dingin membasahi punggungnya di balik gaun pengantin yang indah itu. Sementara itu, Davies, dengan tatapan elangnya, terus-menerus mengamati "penampilan" mereka. Ia adalah sutradara dari sandiwara ini, dan mereka berdua adalah aktor utamanya. Setiap gerakan Celine, setiap kata, dan setiap ekspresi wajahnya, tak luput dari pengawasan Davies. Sesekali, ia akan mendekat, berbisik pelan namun tegas, "Senyum lebih lebar," atau "Jangan terlalu banyak bicara," memastikan setiap aksi mereka tetap meyakinkan di mata para tamu. Pesta ini adalah pertunjukan, dan mereka berdua harus sempurna. ... Gerbang besi tempa yang menjulang tinggi terbuka perlahan, menyingkap jalan setapak beraspal yang berkelok menuju sebuah mahakarya arsitektur modern. Rumah baru mereka. Mewah, megah, dengan dinding kaca lebar yang memantulkan langit sore. Seharusnya ini menjadi awal yang segar, namun bagi Celine dan Davies, kepindahan ini hanyalah perluasan dari kontrak yang mengikat mereka. Davies berjalan masuk lebih dulu, langkahnya mantap dan penuh percaya diri, seolah ia adalah penguasa mutlak di istana ini. Celine mengikutinya, setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang memasuki sangkar emas. Begitu pintu utama terbuka, yang menyambut mereka bukanlah kehangatan sebuah rumah, melainkan keheningan yang dingin dan formal. Furnitur minimalis nan mahal tertata rapi, bersih, tak tersentuh. "Kau bisa memilih kamar di sayap kanan," kata Davies, suaranya datar, tanpa emosi. "Aku akan di sayap kiri. Kita akan menggunakan ruang tengah dan dapur bersama, tapi... batasan tetap berlaku." Celine mengangguk, hatinya miris. Batasan. Kata itu sudah menjadi mantra dalam hidupnya sejak ia menabrak mobil Davies. Mereka dengan cermat menetapkan batasan-batasan ketat mengenai ruang pribadi. Kamar terpisah, bahkan kamar mandi terpisah. Jadwal harian yang disusun sedemikian rupa untuk menghindari interaksi berlebihan. Davies di pagi hari akan berolahraga di gym pribadi, sementara Celine mempersiapkan sarapannya sendiri di dapur. Davies akan bekerja di ruang kerjanya yang terpisah, sementara Celine, jika ada pekerjaan, akan melakukannya di sudut ruang tamu yang telah ia "klaim" sebagai wilayahnya. Rumah itu memang luas, terhampar megah dengan banyak ruangan, namun terasa sempit oleh aturan-aturan tak kasat mata yang membungkus setiap sudutnya. Setiap langkah dan setiap hembusan napas seolah diatur. Lorong-lorong panjang terasa seperti koridor di hotel mewah, bukan jalur menuju kamar suami atau istri. Suasana yang kaku dan dingin begitu dominan, jauh dari hangatnya sebuah rumah tangga, atau bahkan sekadar tempat tinggal yang nyaman. Malam pertama di rumah itu, Celine berdiri di ambang pintu kamarnya, menatap keheningan ruang tengah yang remang-remang. Ia tahu Davies ada di kamarnya, mungkin sedang bekerja, mungkin sedang tidur. Tapi rasanya ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, lebih kokoh dari dinding beton sekalipun. Ini adalah rumah yang indah, namun kosong. Sebuah penjara mewah yang ia pilih sendiri. ... Pagi itu, setelah suara deru mobil Davies menjauh, Celine memutuskan untuk menjelajahi rumah yang terasa begitu asing baginya. Langkah kakinya membawanya melewati lorong panjang, hingga ia berhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Itu ruang kerja Davies. Dari celah pintu, ia bisa melihat kekacauan di dalamnya. Tumpukan buku dan dokumen berserakan di meja, beberapa kertas jatuh ke lantai, dan cangkir kopi kosong terlihat di sudut meja. Ia tahu Davies adalah sosok yang sangat rapi, dan pemandangan ini cukup mengejutkan. Tanpa pikir panjang, didorong oleh niat baik, Celine melangkah masuk. Ia hanya berniat membantu, membereskan sedikit kekacauan itu, tanpa tahu bahwa ia sedang melanggar batas yang sangat sensitif. Celine mulai menata buku-buku di rak, merapikan tumpukan dokumen, dan mengelap meja. Suasana hening, hanya ditemani suara gesekan kertas dan denting cangkir. Tiba-tiba, bayangan gelap melintas di ambang pintu. Davies. Ia muncul tanpa peringatan, entah sejak kapan ia kembali. Matanya melebar, terkejut, lalu seketika berubah menjadi marah yang membara. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat. "Apa yang kau lakukan di sini?" suaranya rendah, namun tajam, menusuk pendengaran Celine. Celine tersentak kaget, buku yang sedang ia pegang nyaris terjatuh. "Aku... aku hanya ingin membantu. Ini berantakan sekali," ucapnya lirih, mencoba menjelaskan. Namun, penjelasan itu justru memicu amarah Davies. Sebuah amarah yang tak pernah Celine bayangkan sebelumnya. Tanpa peringatan, Davies menghempaskan tumpukan buku di meja kerjanya dengan keras, suaranya menggelegar di ruangan itu. Buku-buku berserakan, beberapa nyaris mengenai Celine yang sontak memejamkan mata. Sebelum Celine sempat bereaksi atau mengucapkan sepatah kata pun, Davies melangkah mendekat. Ia mencengkeram lengan Celine dengan kasar, jari-jarinya menekan kuat, menyisakan bekas merah yang langsung terlihat di kulit putihnya. "Jangan pernah lagi memasuki ruanganku tanpa izin," desisnya penuh ancaman, suaranya sedingin es namun penuh getaran amarah. Celine terkejut dan ketakutan, napasnya tercekat di tenggorokan. Ia baru saja menyaksikan sisi gelap Davies yang tak pernah ia duga; sebuah sisi yang kejam dan tak terduga. Rasa takut dan sakit hati bercampur aduk dalam dirinya. Davies kemudian melepaskan cengkeramannya dan berbalik begitu saja, melangkah pergi tanpa menoleh, meninggalkan Celine sendirian di ruangan yang kini terasa begitu besar dan menakutkan, dengan rasa takut dan sakit hati yang mendalam.Dengan beban masa lalu yang perlahan terangkat, Gerald melangkah menjauh dari bayang-bayang Evan dan dunia lamanya. Udara pagi terasa lebih bersih, seolah beban di pundaknya telah terangkat. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Dunia yang telah ia tinggalkan tidak akan melepaskannya begitu saja. Namun kini, ia punya tujuan yang jelas: menjadi kakak yang pantas bagi Celine. Ia akan menebus kesalahannya, melindungi adiknya, dan membangun kembali apa yang telah hancur. Sementara itu, di kediaman mereka, Davies dan Celine duduk berdekatan di sofa, tangan mereka bertaut erat. Cahaya pagi menyusup masuk melalui jendela, menerangi wajah mereka yang tampak lelah namun tenang. Konflik yang telah memporak-porandakan mereka, badai demi badai yang terus datang, justru telah menempa sebuah ikatan yang tak terduga. Mereka telah melewati cobaan yang menyakitkan, bahaya yang mengancam nyawa, dan rahasia kelam yang nyaris menghancurkan segalanya. Namun, cinta yang tumbuh di tengah semua it
Tawaran gencatan senjata Davies menggantung di udara, dipenuhi harapan dan ketidakpastian. Gerald masih terdiam, wajahnya kaku, namun di dalam dirinya badai emosi tengah mengamuk. Kata-kata Davies tentang ayahnya yang juga tak bersih, menghantamnya dengan telak. Realitas pahit itu, bahwa dendamnya dibangun di atas fondasi yang rapuh, mulai meruntuhkan dinding pertahanannya. Namun, yang paling menghantamnya adalah tatapan Davies pada Celine, dan kata-kata, "Aku yakin kau juga tidak ingin... membawa adikmu ke dalam bahaya." Memori Celine yang pingsan, wajahnya yang pucat, dan peluru yang menembus kakinya, semua itu berkelebat di benak Gerald. Ia telah melukai adiknya sendiri, orang yang ia sayangi, demi sebuah dendam yang kini terasa hampa Gerald menyadari bahwa siklus dendam ini harus diakhiri. Ia tak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang telah merenggut begitu banyak darinya, masa mudanya, kebebasannya, dan kini, nyaris merenggut adiknya. Ia ingin sebuah kehidupa
Di ruang tamu rumah kecil itu, Gerald duduk di sofa, tatapannya kosong ke depan. Davies berdiri tidak jauh dari Celine, matanya tetap waspada, mengawasi setiap gerak-gerik Gerald. Celine duduk di sofa lain, menatap kakaknya dengan campuran luka dan kerinduan. "Aku... aku minta maaf, Celine," Gerald memulai, suaranya terdengar berat, dipenuhi beban masa lalu yang menyesakkan. "Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan. Aku sudah meninggalkanmu dan memilih jalan seperti ini." Ia menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya. Gerald melarikan diri dari kekejaman sang ayah, dari rumah yang penuh dengan pukulan dan teriakan. Ia mencari perlindungan di rumah teman, tempat yang tanpa disangka menjadi awal dari jalan gelapnya. Ayah temannya, seorang mafia berpengaruh, melihat potensi dalam dirinya, mungkin juga rasa sakitnya. Lingkungan itu membentuknya, mengajarinya kerasnya hidup, dan perlahan membawanya pada keterlibatan dalam bisnis gelap yang kini menjeratnya. Ia tidak menyembuny
Di markasnya yang gelap, Gerald duduk sendiri di balik meja besarnya dengan segelas wiski di tangan. Telinganya yang terluka masih berdenyut nyeri, namun rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan gejolak di hatinya. Pikirannya melayang pada Celine, adiknya, dan ingatan tentang masa lalu yang pahit. Ia teringat masa kecil adiknya, Celine yang polos dan ceria, selalu tersenyum, selalu ingin tahu. Sebuah kontras yang tajam dengan kekejaman ayahnya yang tak terlupakan, seringai kejam, dan cambukan yang dulu biasa mendarat di tubuhnya. Ayahnya, seorang pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber teror di rumah mereka. Gerald selalu berusaha melindungi Celine dari amarah ayah mereka, menjadi perisai bagi adiknya yang rapuh. Semua itu memuncak pada satu malam yang dingin, bertahun-tahun silam. Setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya, di mana Gerald mencoba membela Celine, ia akhirnya memutuskan pergi. Ia kabur dari rumah, meninggalkan Celine dan ayahnya, sebuah keputusan
Davies menggendong Celine ke kamar, dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur. Ia memeriksa kaki Celine yang terluka, menekan lukanya dengan tangan untuk menghentikan pendarahan, berusaha menenangkan napasnya yang masih memburu. Di ruang tamu, Gerald masih berdiri mematung. Darah terus mengalir dari telinganya yang terluka, menodai kerah kemejanya yang mahal. Matanya kosong, menatap lantai, seolah sedang memproses realitas yang baru saja menamparnya. Adik perempuannya. Adiknya yang ia tinggalkan sejak lama, kini tergeletak tak sadarkan diri, bersama orang yang ia siksa, ia kendalikan, ia manfaatkan. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Tidak ada pengikut Gerald yang berani bicara. Mereka hanya saling pandang, bingung dengan perubahan sikap pemimpin mereka yang tiba-tiba. Sesaat setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gerald berbalik. Langkahnya berat, namun tegas. Ia berjalan keluar dari rumah, diikuti oleh para pengikutnya yang masih terkejut. Pintu depan tert
Malam itu, di rumah kecil di kota terpencil, ketegangan terasa begitu pekat. Davies dan Celine duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara napas mereka yang berat. Davies berdiri di dekat jendela, matanya menatap tajam ke jalanan yang gelap. Tiba-tiba, lampu sorot mobil menyinari kegelapan. Sebuah iring-iringan mobil hitam melaju perlahan, berhenti di depan rumah. Jantung Davies mencelos. Itu Gerald, pemimpin sindikat paling berbahaya di Sidney. "Sembunyi, Celine! Sekarang!" desis Davies, suaranya penuh urgensi. Ia berbalik, matanya menatap Celine. "Masuk ke loteng. Aku akan mengulur waktu di sini." Celine mengangguk, wajahnya pucat pasi namun tekadnya tak goyah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Davies melangkah ke lemari, menarik laci, dan mengeluarkan sebuah Glock 17, pistol semi-otomatis mematikan yang diam-diam ia ambil dari gudang sewaktu melarikan diri kala itu. Ia memeriksa magasinnya, memastikan peluru terisi penuh. "Jangan pernah keluar sampai aku memberimu tan