Share

The Contractual Heart
The Contractual Heart
Author: Lalaa

SATU

Author: Lalaa
last update Last Updated: 2025-07-04 10:04:07

Sore itu, George Street basah oleh gerimis yang tak kunjung reda. Langit di atas Sydney, kelabu pekat, seolah menyalin suasana hati Celine. Dua puluh lima tahun, seorang desainer grafis muda, ia merasa seluruh beban dunia bertumpu di pundaknya. Utang peninggalan ayahnya yang seorang penjudi ulung, jumlahnya menggunung, mencekiknya pelan-pelan. Pekerjaan yang seret, seolah sengaja memperparah keadaannya.

Di balik kemudi mobil Corolla tuanya, Celine menatap kosong deretan bangunan yang buram di balik guyuran hujan. Pikirannya melayang, menari-nari di antara tumpukan tagihan yang tak terbayar dan impian yang terasa semakin jauh. Angka-angka di layar bank seolah mengejeknya, dan wajah ayahnya terbayang samar, disusul rasa sesal yang menusuk. Ia ingat janji-janji manis ayahnya tentang kemenangan besar yang tak pernah datang, hanya menyisakan tumpukan kekalahan dan beban yang kini harus ia tanggung.

Suara klakson dari belakangnya terdengar memekakkan telinga, tapi Celine tak bergeming. Pikirannya terlalu jauh, terlalu kalut. Ia tidak melihat lampu lalu lintas di depannya, yang tadinya hijau terang, kini berganti merah menyala. Sebuah kilatan peringatan yang tak ia sadari.

Terlambat.

Brak!

Tubuh Celine terhuyung ke depan saat mobil usangnya menabrak bagian belakang sebuah Range Rover hitam mengkilap di depannya. Dentuman keras itu merobek kesunyian lamunannya. Jantungnya langsung berdebar kencang, lebih cepat dari denyut mesin yang baru saja terhenti. Tangannya gemetar saat ia memegang kemudi, pandangannya beralih ke mobil mewah di depannya. Kaca belakangnya retak, membentuk pola sarang laba-laba.

Mata Celine terpejam. Ini adalah awal dari masalah baru, masalah yang ia tak yakin bisa ia tangani. Lebih tepatnya, masalah yang ia yakin sama sekali tidak bisa ia tangani. Desahan putus asa lolos dari bibirnya. Utang lama belum lunas, kini ia harus menambah lagi. Ini adalah hari terburuknya, dan ia tahu, esok mungkin akan lebih buruk.

Pintu mobil mewah di depan terbuka perlahan, anggun seperti gerakan seekor panther. Dari sana, melangkah keluar seorang pria dengan aura dingin dan dominan. Posturnya tegap, jas mahalnya tampak tak sedikit pun kusut meski baru saja tertabrak. Ini Davies. Tatapannya setajam pisau bedah, menyapu mobil butut Celine sebelum akhirnya berhenti tepat di wajahnya.

Davies adalah pengusaha ambisius, usianya sekitar tiga puluhan akhir, dengan garis rahang tegas dan mata abu-abu yang dingin. Setiap geraknya memancarkan kekuasaan dan kendali. Insiden kecil ini jelas mengganggu jadwalnya yang padat, deretan janji temu dan negosiasi penting yang tidak bisa ditunda. Awalnya, ia hanya ingin menyelesaikan masalah kerusakan mobilnya secepat mungkin, menuntut ganti rugi, lalu pergi.

Namun, ada sesuatu pada diri Celine yang menarik perhatiannya. Kepanikan yang terpancar jelas di matanya, bercampur dengan guratan kelelahan di wajahnya, menceritakan beban hidup yang berat. Samar-samar, Davies mendengar gumaman Celine tentang utang dan kesulitan keuangan saat ia keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa. Meskipun sedang dilanda kepanikan, kecantikan alami Celine tetap memancar, kulitnya yang pucat justru menonjolkan mata hazelnya yang sayu.

Sebuah ide tiba-tiba muncul di benak Davies. Ide itu berani, bahkan mungkin gila, tapi tatapan matanya tak menunjukkan keraguan sedikit pun. Sebuah seringai tipis, nyaris tak terlihat, bermain di sudut bibirnya. Ini bukan hanya tentang kerusakan mobil lagi. Ada sesuatu yang lebih menarik di balik ketidakberdayaan wanita muda di hadapannya ini. Sesuatu yang tak terduga, yang bisa menjadi permulaan dari sebuah permainan baru.

Davies tak membuang waktu. Tanpa ekspresi berarti, ia memberi isyarat agar Celine menepikan mobilnya. "Minggir ke sana," katanya singkat, menunjuk area kosong di sisi jalan. Klakson-klakson dari belakang mulai bersahutan, tak sabar menunggu lalu lintas kembali lancar.

Celine mengangguk gugup, dengan cekatan ia memundurkan mobil bututnya ke bahu jalan, menjauhi keramaian. Davies mengikuti, memarkir Range Rover-nya beberapa meter di depan mobil Celine.

Setelah mematikan mesin, Celine cepat-cepat keluar dari mobilnya, menghampiri Davies. "Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf," katanya, suaranya bergetar.

"Saya akan ganti rugi kerusakannya. Berapa pun biayanya, saya akan... saya akan usahakan." Kalimat terakhirnya terdengar samar, lebih seperti pertanyaan pada dirinya sendiri daripada janji.

Davies tak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatap Celine dengan sorot mata yang sulit diartikan—dingin, namun entah mengapa terasa seperti sedang menimbang sesuatu. Ketegangan menyelimuti mereka, hanya ditemani suara bising kota yang basah.

Kemudian, tanpa peringatan, Davies mengeluarkan ponselnya. Ia mengulurkannya ke arah Celine. "Ketik nomormu di sini," perintahnya, suaranya datar namun penuh otoritas.

Celine ragu sejenak, lalu mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar. Jari-jarinya mengetikkan deretan angka, pikirannya berkecamuk.

"Angkat teleponku segera, kapan pun aku menelepon," suara Davies memecah keheningan, kali ini lebih tegas, tak terbantahkan. "Jangan pernah abaikan."

Setelah Celine mengembalikan ponselnya, Davies hanya mengangguk tipis. Ia bahkan tak repot-repot melihat kerusakan pada mobilnya lagi. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik, masuk ke Range Rover-nya, dan melaju pergi dengan terburu-buru, meninggalkan Celine terpaku di pinggir jalan, bingung dan dipenuhi pertanyaan.

....

Sore itu, ponsel Celine berdering, menampilkan nomor asing yang tak ia kenali, namun ia tahu siapa pemiliknya. Davies. Tanpa ragu, ia mengangkatnya. Suara Davies terdengar tenang, namun memerintah. "Datang ke kantor saya sekarang. Lantai dua puluh tiga, Gedung Emerald." Tanpa menunggu jawaban, sambungan terputus.

Jantung Celine berdegup kencang. Ia tahu ini saatnya. Bergegas, ia meninggalkan apartemen kecilnya dan menyetop taksi. Selama perjalanan, pikirannya dipenuhi berbagai spekulasi. Akankah Davies menuntut ganti rugi yang besar? Akankah ia melaporkan Celine ke polisi?

Setibanya di Gedung Emerald yang menjulang tinggi, Celine merasakan aura kemewahan dan kekuasaan. Lift membawanya naik, seolah membawanya masuk ke dunia yang sama sekali berbeda. Di lantai dua puluh tiga, seorang resepsionis mempersilakannya masuk ke sebuah ruangan minimalis namun elegan. Davies sudah menunggu, duduk di balik meja kaca besar, dengan tumpukan dokumen tersusun rapi di hadapannya.

"Duduklah," ujar Davies tanpa basa-basi, menunjuk kursi di depannya. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Celine, membuat gadis itu merasa telanjang, seolah semua rahasianya terbongkar.

Celine duduk, tangannya bertaut erat di pangkuan. Ia bersiap untuk mendengar deretan tuntutan finansial. Namun, yang keluar dari bibir Davies jauh di luar dugaannya.

"Saya punya solusi untuk masalahmu, dan masalah saya," kata Davies, suaranya tenang namun penuh otoritas. Ia mendorong selembar dokumen tebal ke arah Celine. Bukan tagihan perbaikan mobil, apalagi laporan asuransi. Judulnya tercetak jelas: KONTRAK PERNIKAHAN.

Celine terdiam. Pernikahan? Otaknya berputar, mencoba memahami situasi absurd ini. Davies melanjutkan, "Kakek saya mensyaratkan saya untuk menikah jika ingin mewarisi seluruh asetnya. Dan saya memilihmu."

Davies membiarkan keheningan mengisi ruangan, membiarkan informasi itu meresap ke benak Celine. Jauh dari romansa yang biasa terlukis dalam bayangan pernikahan, ini terasa seperti sebuah transaksi bisnis yang dingin. Celine, yang tak memiliki pilihan lain, merasa dirinya terjebak dalam perangkap yang tak terduga.

Dengan tangan gemetar, Celine meraih kontrak itu. Ia membaca setiap pasal dengan cermat, seolah mencari celah, secercah harapan untuk melarikan diri. Durasi kontrak: lima tahun. Kompensasi finansial: jumlah yang akan melunasi seluruh utangnya, bahkan lebih. Aturan-aturan ketat untuk menjaga jarak emosional: tidak ada cinta, tidak ada sentuhan yang tidak perlu, tidak ada campur tangan dalam kehidupan pribadi masing-masing. Ini adalah kesepakatan murni, sebuah perjanjian legal tanpa melibatkan perasaan.

Di antara kata-kata formal dan bahasa hukum yang kaku, tak ada sedikit pun ruang untuk perasaan. Ini adalah kesepakatan bisnis, sebuah transaksi. Celine, yang terdesak oleh tumpukan utang dan keputusasaan, akhirnya menghela napas pasrah. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan dirinya pada takdir yang baru ini. Dengan hati hampa, ia meraih pulpen yang disodorkan Davies, dan membubuhkan tanda tangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Contractual Heart   TIGA BELAS

    Waktu tanpa Celine terasa hampa, dingin, dan kosong bagi Davies. Setiap sudut rumah mewah itu, setiap keheningan, mengingatkannya pada kekosongan yang ditinggalkan Celine. Penyesalan atas perbuatannya menggerogoti hatinya, ditambah kerinduan yang mendalam pada wanita itu. Ia tahu ia telah menyakitinya, dan penyesalan itu jauh lebih pedih dari luka fisik mana pun. Davies menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, merenungkan setiap kesalahan. Ia melihat kembali hidupnya, ambisi yang membutakannya, dan rahasia yang telah menghancurkan segalanya. Ia tahu ia harus berubah, tidak hanya untuk Celine, tetapi juga untuk dirinya sendiri, untuk menjadi pria yang pantas dicintai. Dengan tekad bulat, ia mengambil langkah berani: ia berniat mengakhiri bisnis ilegalnya. Sebuah keputusan yang tidak mudah, mengingat betapa dalamnya ia telah terlibat. Ia mulai membuat panggilan telepon rahasia, merencanakan pertemuan-pertemuan tersembunyi, berusaha mencari jalan keluar dari jeratan sindikat itu.

  • The Contractual Heart   DUA BELAS

    Setelah kepergian Celine, rumah mewah itu terasa hampa, dingin, dan kosong. Davies berjalan kesana kemari bagai jiwa tak tenang. Ia duduk di sofa yang dulu mereka gunakan untuk berdiskusi, namun kini hanya ada keheningan. Di titik krusial ini, Davies harus menghadapi ketakutan terbesarnya: takut kehilangan Celine, takut kehilangan ikatan yang tanpa sadar telah mereka bangun. Perasaan itu menghantamnya begitu kuat hingga ia merasa lumpuh. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa ia tidak menjelaskan? Mengapa ia begitu takut membuka diri? Penyesalan menggerogoti, membuat Davies menutup dirinya. Ia mengabaikan panggilan telepon dari kantor, menunda rapat penting, dan membiarkan dokumen-dokumen menumpuk di meja kerjanya. Pekerjaannya terhambat, bahkan terancam berantakan. Aura dominan yang selalu ia pancarkan kini digantikan oleh kesuraman dan keputusasaan. Berita tentang kemunduran Davies akhirnya sampai ke telinga Kakek Davies. Khawatir dengan cucunya, sang kakek datang berkunju

  • The Contractual Heart   SEBELAS

    Malam itu terasa dingin, diisi oleh keheningan yang memekakkan telinga setelah pertengkaran mereka. Dalam keputusasaan yang melanda, Celine merasa tidak sanggup melanjutkan. Semua beban dan kebohongan terasa terlalu berat untuk ditanggung. Hatinya hancur, dan ia tahu ia harus pergi. Dengan langkah pelan, Celine berjalan menuju jendela kamarnya. Jendela itu menghadap ke taman belakang, sebuah jalan setapak kecil yang biasa ia gunakan untuk berjalan-jalan. Celine membuka jendela lebar-lebar, udara malam yang dingin menerpa wajahnya, seolah menyambut kebebasannya. Tanpa menoleh ke belakang, tanpa mengeluarkan suara, Celine melangkah keluar, menghilang di kegelapan malam. Ia berharap bisa menemukan ketenangan dari badai emosi yang mengamuk di dalam dirinya. Davies, di sisi lain, masih terpaku di ruang tamu, dihantam oleh kebisuan. Ia duduk di sana untuk waktu yang lama, bergulat dengan dirinya sendiri, dengan beban masa lalu yang begitu berat. Ia tahu ia telah menyakiti Celine, dan ia

  • The Contractual Heart   SEPULUH

    Beberapa hari setelah kunjungan Celine ke Onyx, hidupnya berubah menjadi penyelidikan rahasia. Ia berpura-pura seperti biasa di depan Davies, tertawa, berbicara tentang hal-hal sepele, namun di balik itu, matanya selalu waspada, telinganya selalu siaga. Ia mencari bukti, potongan puzzle yang bisa mengonfirmasi apa yang ia dengar di klub malam itu. Pagi itu, saat Davies menerima telepon di ruang kerjanya, pintu yang sedikit terbuka membuat Celine bisa mendengar samar-samar. "Malam ini... pukul dua belas... tempat biasa," suara Davies terdengar datar, namun ada nada urgensi yang tak biasa. Jantung Celine berdesir. Malam ini. Ia harus siap. *** Malam harinya, Celine berakting sempurna. Ia berbaring di tempat tidur, memejamkan mata, napasnya teratur, berpura-pura tidur nyenyak. Namun, setiap sarafnya tegang. Sekitar pukul dua belas malam, ia mendengar pergerakan pelan di ruang depan. Davies. Celine membuka matanya sedikit, menunggu. Lima menit kemudian, ia mendengar suara pintu utam

  • The Contractual Heart   SEMBILAN

    Malam itu, setelah makan malam, Celine duduk di sofa ruang tamu. Davies ada di sampingnya, sibuk membaca buku tebal tentang ekonomi. Kehangatan yang kini tumbuh di antara mereka membuat Celine merasa nyaman, namun ingatan akan kotak logam dan catatan misterius itu tiba-tiba menyelinap. "Davies," panggil Celine pelan, mencoba terdengar santai. "Beberapa waktu lalu, aku tidak sengaja melihat tas kerjamu terjatuh. Ada sebuah kotak kecil di dalamnya, dan... catatan aneh." Davies menurunkan bukunya, menoleh ke arah Celine. Wajahnya tetap tenang, namun ada kilatan cepat di matanya yang tak luput dari perhatian Celine. "Oh, itu?" jawabnya singkat, seolah tak penting. "Hanya barang lama. Sudah kubereskan." Ia kembali fokus pada bukunya, seolah pembicaraan sudah selesai. Celine merasa tidak yakin. Jawaban Davies terlalu singkat, terlalu cepat, dan ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa seperti penolakan halus. Ia tahu Davies sedang menyembunyikan cerita aslinya. Meskipun hubungan mere

  • The Contractual Heart   DELAPAN

    Setelah badai Marcus berhasil mereka atasi, ketenangan kembali menyelimuti rumah mewah itu. Namun, kali ini, ketenangan itu diisi dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak terduga. Momen-momen romantis mulai bermunculan, tak direncanakan, justru semakin mengaburkan garis antara peran "pasangan kontrak" dan perasaan sesungguhnya. Suatu sore, saat mereka berjalan di taman belakang, tiba-tiba sebuah dahan pohon tua jatuh menimpa tepat di jalur yang akan dilewati Celine. Tanpa berpikir, Davies secara refleks menarik Celine kuat-kuat ke belakangnya, memeluknya erat, melindunginya dari reruntuhan dahan. Gestur itu begitu spontan, begitu naluriah, dan begitu tak terduga. Celine mendongak, menatap mata Davies yang menunjukkan kekhawatiran yang tulus, bukan sekadar basa-basi. Perlahan, mereka mulai melihat satu sama lain bukan hanya sebagai mitra bisnis, tetapi sebagai manusia. Celine menemukan keberanian dan kesetiaan di balik topeng dingin Davies. Ia melihat bagaimana Davies

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status