Share

ENAM

Penulis: Lalaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 10:33:15

Pagi itu, rumah terasa sunyi setelah Davies pergi. Rutinitas Celine berjalan seperti biasa—menyiapkan sarapan, merapikan beberapa sudut rumah yang tak pernah disentuh Davies. Namun, sebuah kejanggalan memecah ketenangan itu. Di dekat pintu utama, tergeletak sebuah tas kulit hitam, yang Celine yakini adalah tas kerja Davies. Ia pasti terburu-buru hingga menjatuhkannya.

Celine membungkuk, berniat mengambil tas itu. Saat tangannya meraih, ia menyadari tas itu tidak tertutup rapat. Dari celah resleting yang terbuka, menyembul sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Bukan sekadar dompet, kunci, atau ponsel.

Celine meraih benda itu dengan hati-hati. Itu adalah sebuah kotak kecil dari logam, berukuran tidak lebih besar dari telapak tangannya, namun terasa cukup berat. Kotak itu tertutup rapat, seolah disegel. Permukaannya polos, tanpa merek atau label yang bisa memberinya petunjuk.

Bersamaan dengan kotak itu, jatuh pula selembar catatan kecil yang terlipat rapi. Celine membuka lipatannya. Tulisan tangan di dalamnya asing baginya, goresan tinta yang cepat dan sedikit sulit dibaca, namun jelas bukan tulisan Davies. Kata-kata di dalamnya terasa samar dan misterius:

“..segera selesaikan.. sebelum terlambat.. jangan sampai mereka tahu..”

Jantung Celine berdebar lebih kencang. Kotak aneh dan catatan misterius ini memicu rasa penasaran dan kecurigaan baru dalam dirinya. Apakah Davies menyembunyikan sesuatu? Sesuatu yang berbahaya? Pikirannya berputar, mencoba menguraikan teka-teki yang baru saja ia temukan. Perubahan sikap Davies akhir-akhir ini, kelembutan yang samar, apakah semua itu hanya topeng lain untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih gelap?

Celine menatap kotak logam di tangannya, lalu pandangannya beralih ke pintu utama yang baru saja dilalui Davies. Udara di sekitarnya terasa dingin, membawa serta gelombang kecurigaan yang tiba-tiba menguasai dirinya.

....

Keesokan paginya, setelah menemukan kotak misterius dan catatan aneh itu, rutinitas Celine berubah. Ia masih melakukan tugas-tugas rumah tangganya seperti biasa, masih bertukar basa-basi dengan Davies yang telah pulih. Namun, di balik senyum tipisnya, hatinya dipenuhi kekhawatiran yang menggerogoti. Rasa ingin tahu telah menyulut percikan api dalam dirinya.

Saat Davies sedang sarapan, Celine

memperhatikannya. Ia melihat bagaimana Davies membaca koran dengan tenang, sesekali menyesap kopi. Ia mencoba membaca ekspresi pria itu, mencari tanda-tanda kegelisahan atau rahasia yang tersembunyi. Namun, Davies terlihat tenang, terlalu tenang.

Celine mulai diam-diam menyelidiki. Ia tidak langsung mengonfrontasi Davies, instingnya mengatakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar insiden kecil. Pasangannya, pasangan kontraknya, mungkin terlibat dalam sesuatu yang serius dan berbahaya. Pikiran itu membuat perutnya mual, namun juga mendorongnya untuk mencari tahu kebenaran.

Kini, Celine mulai saling mengamati gerak-gerik Davies, bukan lagi karena tuntutan kontrak pernikahan mereka. Motifnya telah bergeser; yang mendorongnya adalah rasa ingin tahu yang tumbuh dan mungkin, secercah kekhawatiran yang tak terucap tentang pria yang, entah bagaimana, mulai menyelinap ke dalam hatinya.

Saat Davies menerima panggilan telepon, Celine akan secara tidak sengaja berada di dekatnya, pura-pura menyirami tanaman atau membaca buku, namun telinganya siaga. Ia mencoba menangkap setiap kata, setiap nada suara, mencari petunjuk. Pernah, ia mendengar Davies menyebut "pengiriman" dan "batas waktu", kata-kata yang terdengar ambigu dan semakin memperkeruh pikirannya.

Setiap tatapan Davies, setiap percakapan yang ia lakukan—baik di telepon maupun dengan tamu yang datang—dan setiap langkah Davies kini menjadi objek pengamatan Celine. Ia seperti seorang detektif yang mencari petunjuk, menyatukan kepingan teka-teki yang bisa mengungkap kebenaran di balik misteri yang baru saja ia temukan.

Rumah yang tadinya terasa luas kini terasa sempit, seolah setiap sudutnya bisa menjadi tempat persembunyian rahasia. Keheningan yang biasa menyelimuti rumah itu kini terasa mencekam, menyimpan potensi bahaya yang belum terungkap.

....

"Aku ingin ikut ke kantormu hari ini," ujar Celine suatu pagi saat Davies hendak berangkat. Ia mencoba terdengar santai, namun ada ketegasan yang tak biasa dalam suaranya.

Davies menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Untuk apa?"

"Aku... bosan di rumah," jawab Celine cepat, berbohong. "Lagipula, aku ingin melihat bagaimana kau bekerja." Itu adalah kesempatan emas untuk mengawasi Davies di lingkungannya yang lebih profesional, mencari petunjuk tentang kotak misterius itu.

Davies terdiam sejenak, menimbang. Mungkin ini bisa menjadi bagian dari "pertunjukan" untuk sang kakek. "Baiklah. Tapi jangan ganggu aku."

Setibanya di kantor Davies yang menjulang tinggi, Celine merasakan aura kekuatan dan ambisi yang pekat. Davies tampak lebih dominan di sini, dikelilingi asisten dan karyawan yang patuh. Celine mencoba sesantai mungkin, sesekali berpura-pura membaca majalah atau melihat-lihat pemandangan kota dari jendela, namun matanya terus mengawasi setiap gerak-gerik Davies, setiap panggilan teleponnya.

Tiba-tiba, pintu kantor Davies terbuka dan seorang pria melangkah masuk. Ia tinggi, berambut gelap, dengan senyum yang terlalu ramah namun matanya dingin. Davies menyambutnya, namun ada ketegangan samar di antara mereka.

"Pagi, Davies," sapa pria itu, pandangannya melirik Celine. "Wah, ini pasti Nyonya Davies yang cantik, bukan?"

Davies mengangguk. "Celine, ini Marcus. Rekan bisnis." Nada suara Davies saat menyebut nama Marcus terdengar formal, nyaris kaku.

Marcus tersenyum kepada Celine, senyumnya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi. Ada ketertarikan tersembunyi di matanya, sebuah pengamatan yang intens.

"Sebuah kehormatan. Aku sering mendengar tentangmu. Pernikahanmu dengan Davies cukup mengejutkan banyak pihak, bukan?"

Celine merasa tidak nyaman di bawah tatapan Marcus. Ia membalas senyum tipis, "Begitulah."

Sepanjang pertemuan singkat itu, Marcus terus-menerus melemparkan pandangan menyelidik ke arah Celine dan Davies. Ia bukan hanya saingan bisnis Davies yang ambisius, tetapi juga memiliki naluri yang tajam. Marcus telah lama mengamati gerak-gerik Davies dan Celine, dan ia adalah salah satu dari sedikit orang yang curiga dengan pernikahan mendadak mereka.

Ketika Marcus akhirnya pamit, ia memberikan senyum terakhir pada Celine yang terasa lebih seperti ancaman daripada keramahan. "Sampai bertemu lagi, Nyonya Davies. Aku yakin kita akan sering bertemu."

Begitu Marcus menghilang dari pandangan, Davies menoleh pada Celine. "Jauhi dia," katanya tegas, ada kekhawatiran yang nyata di suaranya.

Celine merasa merinding. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar rivalitas bisnis. Marcus melihat celah. Dengan kecerdikan dan niat jahatnya, Marcus melihat celah untuk tidak hanya menghancurkan Davies secara profesional tetapi juga secara pribadi. Kehadiran Marcus adalah ancaman baru yang tak terduga, menambah kerumitan dalam sandiwara yang sudah rumit ini.

Bagaimana Marcus akan memulai rencana jahatnya? Akankah ia mencoba mendekati Celine, atau langsung menyerang Davies?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Contractual Heart   EPILOG SEASON 1

    Dengan beban masa lalu yang perlahan terangkat, Gerald melangkah menjauh dari bayang-bayang Evan dan dunia lamanya. Udara pagi terasa lebih bersih, seolah beban di pundaknya telah terangkat. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Dunia yang telah ia tinggalkan tidak akan melepaskannya begitu saja. Namun kini, ia punya tujuan yang jelas: menjadi kakak yang pantas bagi Celine. Ia akan menebus kesalahannya, melindungi adiknya, dan membangun kembali apa yang telah hancur. Sementara itu, di kediaman mereka, Davies dan Celine duduk berdekatan di sofa, tangan mereka bertaut erat. Cahaya pagi menyusup masuk melalui jendela, menerangi wajah mereka yang tampak lelah namun tenang. Konflik yang telah memporak-porandakan mereka, badai demi badai yang terus datang, justru telah menempa sebuah ikatan yang tak terduga. Mereka telah melewati cobaan yang menyakitkan, bahaya yang mengancam nyawa, dan rahasia kelam yang nyaris menghancurkan segalanya. Namun, cinta yang tumbuh di tengah semua it

  • The Contractual Heart   DUA PULUH

    Tawaran gencatan senjata Davies menggantung di udara, dipenuhi harapan dan ketidakpastian. Gerald masih terdiam, wajahnya kaku, namun di dalam dirinya badai emosi tengah mengamuk. Kata-kata Davies tentang ayahnya yang juga tak bersih, menghantamnya dengan telak. Realitas pahit itu, bahwa dendamnya dibangun di atas fondasi yang rapuh, mulai meruntuhkan dinding pertahanannya. Namun, yang paling menghantamnya adalah tatapan Davies pada Celine, dan kata-kata, "Aku yakin kau juga tidak ingin... membawa adikmu ke dalam bahaya." Memori Celine yang pingsan, wajahnya yang pucat, dan peluru yang menembus kakinya, semua itu berkelebat di benak Gerald. Ia telah melukai adiknya sendiri, orang yang ia sayangi, demi sebuah dendam yang kini terasa hampa Gerald menyadari bahwa siklus dendam ini harus diakhiri. Ia tak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang telah merenggut begitu banyak darinya, masa mudanya, kebebasannya, dan kini, nyaris merenggut adiknya. Ia ingin sebuah kehidupa

  • The Contractual Heart   SEMBILAN BELAS

    Di ruang tamu rumah kecil itu, Gerald duduk di sofa, tatapannya kosong ke depan. Davies berdiri tidak jauh dari Celine, matanya tetap waspada, mengawasi setiap gerak-gerik Gerald. Celine duduk di sofa lain, menatap kakaknya dengan campuran luka dan kerinduan. "Aku... aku minta maaf, Celine," Gerald memulai, suaranya terdengar berat, dipenuhi beban masa lalu yang menyesakkan. "Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan. Aku sudah meninggalkanmu dan memilih jalan seperti ini." Ia menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya. Gerald melarikan diri dari kekejaman sang ayah, dari rumah yang penuh dengan pukulan dan teriakan. Ia mencari perlindungan di rumah teman, tempat yang tanpa disangka menjadi awal dari jalan gelapnya. Ayah temannya, seorang mafia berpengaruh, melihat potensi dalam dirinya, mungkin juga rasa sakitnya. Lingkungan itu membentuknya, mengajarinya kerasnya hidup, dan perlahan membawanya pada keterlibatan dalam bisnis gelap yang kini menjeratnya. Ia tidak menyembuny

  • The Contractual Heart   DELAPAN BELAS

    Di markasnya yang gelap, Gerald duduk sendiri di balik meja besarnya dengan segelas wiski di tangan. Telinganya yang terluka masih berdenyut nyeri, namun rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan gejolak di hatinya. Pikirannya melayang pada Celine, adiknya, dan ingatan tentang masa lalu yang pahit. Ia teringat masa kecil adiknya, Celine yang polos dan ceria, selalu tersenyum, selalu ingin tahu. Sebuah kontras yang tajam dengan kekejaman ayahnya yang tak terlupakan, seringai kejam, dan cambukan yang dulu biasa mendarat di tubuhnya. Ayahnya, seorang pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber teror di rumah mereka. Gerald selalu berusaha melindungi Celine dari amarah ayah mereka, menjadi perisai bagi adiknya yang rapuh. Semua itu memuncak pada satu malam yang dingin, bertahun-tahun silam. Setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya, di mana Gerald mencoba membela Celine, ia akhirnya memutuskan pergi. Ia kabur dari rumah, meninggalkan Celine dan ayahnya, sebuah keputusan

  • The Contractual Heart   TUJUH BELAS

    Davies menggendong Celine ke kamar, dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur. Ia memeriksa kaki Celine yang terluka, menekan lukanya dengan tangan untuk menghentikan pendarahan, berusaha menenangkan napasnya yang masih memburu. Di ruang tamu, Gerald masih berdiri mematung. Darah terus mengalir dari telinganya yang terluka, menodai kerah kemejanya yang mahal. Matanya kosong, menatap lantai, seolah sedang memproses realitas yang baru saja menamparnya. Adik perempuannya. Adiknya yang ia tinggalkan sejak lama, kini tergeletak tak sadarkan diri, bersama orang yang ia siksa, ia kendalikan, ia manfaatkan. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Tidak ada pengikut Gerald yang berani bicara. Mereka hanya saling pandang, bingung dengan perubahan sikap pemimpin mereka yang tiba-tiba. Sesaat setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gerald berbalik. Langkahnya berat, namun tegas. Ia berjalan keluar dari rumah, diikuti oleh para pengikutnya yang masih terkejut. Pintu depan tert

  • The Contractual Heart   ENAM BELAS

    Malam itu, di rumah kecil di kota terpencil, ketegangan terasa begitu pekat. Davies dan Celine duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara napas mereka yang berat. Davies berdiri di dekat jendela, matanya menatap tajam ke jalanan yang gelap. Tiba-tiba, lampu sorot mobil menyinari kegelapan. Sebuah iring-iringan mobil hitam melaju perlahan, berhenti di depan rumah. Jantung Davies mencelos. Itu Gerald, pemimpin sindikat paling berbahaya di Sidney. "Sembunyi, Celine! Sekarang!" desis Davies, suaranya penuh urgensi. Ia berbalik, matanya menatap Celine. "Masuk ke loteng. Aku akan mengulur waktu di sini." Celine mengangguk, wajahnya pucat pasi namun tekadnya tak goyah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Davies melangkah ke lemari, menarik laci, dan mengeluarkan sebuah Glock 17, pistol semi-otomatis mematikan yang diam-diam ia ambil dari gudang sewaktu melarikan diri kala itu. Ia memeriksa magasinnya, memastikan peluru terisi penuh. "Jangan pernah keluar sampai aku memberimu tan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status