Share

3. I Swear To God!

Dengan bertelanjang kaki ia berlari menghampiri kendaraan yang sudah siap untuk berangkat itu. Beberapa kali Adonis menggedor kaca mobil mewah yang berwarna transparan itu. Katanya, "aku bersumpah demi mendiang kedua orang tuaku, akan ku balas perbuatan kalian hari ini, ingat itu!"

Tiba-tiba kaca mobilnya turun dan dengan lantang Harrold berseru, "dengan senang hati, aku tunggu pembalasanmu." Harrold menutup perkataannya dengan memberi seringai sinis sambil memainkan pedal gas mobil.

Mobil hitam super mewah itu pun melaju dengan cepat, meninggalkan jejak yang sangat menyakitkan dan akan terus membekas di hati pria malang yang tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan rumahnya. Padahal hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya sejak lama. Entah kesialan atau memang takdir yang sedang dialaminya sekarang. Dengan segenap tenaga yang tersisa, dia mencoba bangkit dan berjalan kembali ke dalam rumah dengan kaki yang dipenuhi lumpur.

Tak ada lagi canda tawa seperti dulu terdengar di dalam rumah kayu berwarna coklat itu. Biasanya di jam-jam seperti ini, Adonis dan Kaira masih sibuk berdebat soal siapa yang akan memenangkan pertandingan hockey yang mereka tonton bersama sambil melahap semangkuk besar keripik kentang kesukaan Adonis. Mungkin itu adalah masa-masa yang paling indah yang pernah dijalani Adonis dalam hidupnya yang kini hanya tinggal kenangan.

Tok tok tok!

Saat hendak menaiki tangga, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Adonis langsung bergegas membukanya, berharap itu adalah Kaira yang kembali.

"Kaira!"

Terlihat sosok pria bertubuh gempal sedang berdiri di depan pintu dengan wajah cemas.

"Oh, Ben …, ada apa malam-malam ke sini?" kata Adonis sambil menghapus air matanya yang masih saja mengalir.

"Kau sendiri yang mengundangku, apa kau lupa?" ujar Benjamin sambil berjalan masuk ke dalam rumah Adonis yang terlihat sangat berantakan.

"Adonis, maafkan aku. Sejujurnya, aku sudah mendengar semuanya tadi. Saat mobil hitam itu tiba, aku sudah di depan pagar rumahmu. Namun saat ku lihat lelaki berjas hitam itu turun dari mobil dan mengarah ke pintu rumahmu, aku mengurungkan niatku," cerita Benjamin dengan wajah penuh rasa iba sambil memegangi mangkok kayu berisi sup tomat yang masih hangat.

"Baguslah, jika kau sudah mengetahuinya terlebih dahulu," kata Adonis pelan.

Sambil berjalan masuk ke arah ruang tamu, Adonis merogoh sebungkus rokok dari kantong celananya. Benjamin mengikuti langkah Adonis kemudian meletakkan mangkuk sup yang tadi dibawanya ke atas meja. Dengan wajah muram menghadap ke lantai, Adonis mengulurkan bungkusan rokok tadi kepada Benjamin.

"Aku tidak tahu harus berkomentar apa, bro." Sembari menyalakan sebatang rokok yang tadi diambilnya. Lantas Benjamin berkata, "aku tahu kau sangat mencintainya, tapi kurasa ini memang sudah takdir Tuhan."

"Kau tahu aku kan, Ben? Sungguh aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi, entahlah …, akan kucoba menerima kenyataan pahit ini."

"Memang tidak mudah melupakan seseorang yang sangat berarti untuk kita, tapi jika dia mencampakkanmu begitu saja dan dengan mudahnya melupakanmu, tidak ada gunanya lagi kau berharap, kawan!"

"Kau masih ingat lelaki yang kita lihat saat membuntuti Kaira beberapa minggu yang lalu?" tanya Adonis sambil mendongakkan kepala menatap Benjamin. Air mata masih terus menggenang di matanya.

"Iya, aku ingat. Memangnya kenapa?" jawab Benjamin.

"Lelaki yang datang tadi itu adalah lelaki yang sama yang kita lihat saat itu."

Sontak Benjamin menepuk kedua sandaran tangan sofa lalu berdiri. "Sudah kuduga! Pantas saja aku seperti mengenal wajah pria itu," kata Benjamin geram lantas berjalan mondar-mandir di depan Adonis.

"Oh Tuhan, kenapa ini terjadi padaku?" Adonis berteriak menumpahkan segala rasa sakit hatinya.

Benjamin mendekati sahabatnya, kemudian berkata, "aku tidak tega melihatmu seperti ini, kawan. Aku sendiri tidak tahu harus memberikan nasehat yang seperti apa padamu."

"Maafkan aku, Ben. Aku hanya tidak habis pikir kenapa Kaira tega berbuat seperti itu. Apa selama ini aku kurang memperhatikannya?" Tangisan Adonis makin menjadi.

Benjamin trenyuh dengan kata-kata Adonis. Ia meraih kedua tangan Adonis dan menggenggamnya begitu erat. "Sungguh aku tak tahu harus berkata apa. Tapi, terimalah kenyataan ini, kawan. Sekalipun kau meminta kepada Tuhan untuk mengembalikan Kaira, tapi keadaan tidak akan sama lagi seperti dulu. Dia tidak pantas lagi untukmu, Adonis."

"Aku tidak sanggup menjalani hari-hari dengan keadaan seperti ini, Ben! Kenapa tidak sekalian saja Tuhan mengambil nyawaku agar aku tidak perlu merasakan kepedihan ini?"

"Tolong jangan berbicara seperti itu. Kau masih memiliki aku, Josie dan Connor. Bila perlu, kami akan ke sini setiap hari untuk menemanimu agar kau tak merasa kesepian. Aku kenal kau, Adonis! Jangan lemah seperti ini!" kata Benjamin menyemangati Adonis. Sebenarnya dia enggan untuk meninggalkan sahabatnya begitu saja, tapi dia berpikir mungkin lebih baik untuk memberikan waktu untuk Adonis menenangkan dirinya sendiri.

Adonis memiliki dua orang sahabat baik yang sudah bersamanya sedari kecil. Benjamin O'Connell dan Connor Hammond. Mereka tumbuh bersama di Northstone Ville yang juga menjadi tempat kelahiran mereka. Seharusnya malam ini mereka semua berkumpul di rumah Adonis sesuai dengan undangan yang sengaja diberikan Adonis seminggu yang lalu.

"Terimakasih, kawan. Aku sangat menghargai itu semua. Untuk saat ini biarkan aku sendiri dulu."

"Baiklah jika itu maumu. Aku percaya kau bisa melewati ini, kawan. Kau selalu memiliki kami jika kau perlu," ujar Benjamin sambil berdiri dan mengusap-usap kepala Adonis. "Kalau begitu, ku tinggal kau sendiri agar kau bisa menenangkan dirimu. Hubungi aku jika kau perlu sesuatu."

Adonis hanya mengangguk mengiyakan perkataan Benjamin tadi. Dia pun bangkit dari tempat duduknya kemudian mengantarkan Benjamin sampai kedepan pintu dan mengucapkan selamat malam.

Sementara itu, dari samping pagar rumah terlihat Connor sedang berjalan hendak datang ke rumah Adonis. Adonis sengaja mengundang Benjamin dan Connor untuk hadir di malam ulang tahun pernikahannya. Dari kejauhan Connor menatap wajah Ben yang terlihat aneh.

Connor berkata, "hey, kau mau ke mana? Apa acaranya sudah selesai?"

"Justru belum sempat dimulai," ujar Ben sambil meraih pundak Connor dan memaksanya untuk berbalik arah.

"Ki-kita mau ke mana? Acaranya kan di sana? Apa maksudmu belum sempat dimulai?" Connor penasaran.

"Kaira berselingkuh …,"

"Apa? Jangan bercanda, Ben!"

Benjamin hanya terdiam sambil melanjutkan langkah kakinya. Connor tahu betul sifat sahabatnya yang satu ini.

"Jadi kau benar-benar serius?"

Ben menjawab pertanyaan Connor dengan anggukan sembari menatap wajah sahabatnya itu yang terlihat sangat penasaran. Malam itu Ben dan Connor mampir di bar untuk minum-minum. Sampai kira-kira jam dua belas malam, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol soal kejadian yang menimpa sahabat mereka Adonis. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status