Chrysander membawa Valleya sampai ke ruang kesehatan sekolah, dan hanya dengan satu tatapan mata pada suster yang berjaga, dia pun dapat mempengaruhi pikiran orang di sekitar, bahwa tadi Valleya pingsan dan butuh istirahat beberapa jam saja.
“Gadis itu sedang kelelahan dan butuh untuk tidur agar pulih kembali,” ucap Chrysander sembari mengunci mata sang perawat. “Apa kau mengerti?”
Perawat wanita itu mengangguk kaku dan seketika wajahnya normal kembali saat ingatan perawat tersebut dipenuhi oleh kejadian buatan pemberian Chrysander, yang menunjukan bagaimana Valleya berakhir di sana.
Dengan tatapan cemas, perawat itu pun akhirnya bergerak untuk memeriksa keadaan Valleya yang masih tertidur pulas di atas ranjang.
Dan hanya dalam hitungan detik, Chrysander pun menghilang dari ruangan.
Samar-samar Valleya melihat sosok pria menggendongnya beberapa waktu lalu, namun semua tampak begitu buram. Dengan keadaan paralyze dalam waktu yang cukup lama, dia pun kesulitan untuk membedakan apakah itu hanya mimpi atau memang yang dialaminya tadi nyata.
Melihat mata Valleya bergetar serta tangan bergerak samar, perawat itu pun menunggu beberapa waktu sampai dia tersadar.
Kepala Valleya bergerak pelan, dan dia pun mengedarkan pandangan pada sekitar, sedangkan wajahnya diliputi kebingungan.
“Bagaimana perasaanmu, Valleya?” tanya perawat itu sembari memeriksa tanda vitalnya.
Valley berkedip dan menatap Lyly, perawat satu-satunya di sekolah dengan wajah penuh tanya.
“Apa yang …?”
Sebuah ingatan hadir di kepala, menunjukan sepasang kekasih berwajah pucat mendekati untuk menanyakan alamat pagi ini, namun setelahnya … dia tidak tahu apa yang terjadi.
Perawat itu tersenyum dan menepuk lengan Valleya pelan.
“Kau tidak sadarkan diri, sepertinya karena kelelahan, ditambah cuaca hari ini yang memang panas, sehingga kesehatanmu pun terganggu,” jelas perawat itu sembari menyodorkan segelas air padanya. “Tapi tidak perlu khawatir, kau akan baik-baik saja. Hanya butuh istirahat sebentar.”
Tangan Valleya terasa lemah saat menerima gelas berisi air mineral tersebut, sehingga perawat itu pun membantunya untuk duduk dan memegangi gelas yang isinya hanya disesap sedikit, sekedar membasahi kerongkongan.
“Terima kasih,” gumam Valleya begitu berbaring kembali.
Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah sepatu yang terburu-buru dari luar ruangan, dan tiba-tiba saja Nina hadir di ambang pintu saat Lyly hendak meninggalkan ruang perawatan.
“Aku mendengar dari Nona Lisbet bahwa kau sedang dirawat, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Nina dengan langkah cepat ketika memasuki ruangan.
Lyly yang hendak keluar mengurungkan niat dan menjelaskan apa yang terlintas di kepala.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Valleya baik-baik saja, dia hanya kelelahan.”
Mendengar itu, dahi Nina berkerut heran.
“Aneh sekali, aku bahkan tidak melihatmu begitu kelas dimulai. Memangnya dari mana saja kau?”
Kali ini, dahi Valleya yang berkerut semakin dalam, karena dia juga tidak tahu ada di mana dirinya pagi ini. Dan ingatan terakhir adalah pertemuan dengan pasangan aneh di jalan menuju gedung sekolah begitu selesai mengantar keranjang ke rumah Paman James.
“Aku …”
Kini Valleya terlihat linglung sehingga Lyly pun menjelaskan situasinya.
“Dia ditemukan pingsan dekat gerbang.”
Seketika ruangan itu pun hening, dan kali ini wajah Nina berubah menjadi simpati. Kedua gadis muda itu pun tampak mempercayai ucapan Lyly barusan.
“Oh, betapa malangnya dirimu,” ucap Nina sembari mendekat dan mengelus lengan Valleya yang terasa dingin di bawah genggaman.
Melihat tugasnya sudah selesai, Lyly pun keluar dari sana dan membiarkan dua sahabat itu sendirian dalam ruangan.
Sementara itu, Bervis tampak berdiri mengawasi dari sebatang dahan pohon yang tumbuh tepat di luar jendela ruang perawatan. Dari tempatnya berdiri, pria itu dapat leluasa mengawasi gadis muda yang terbaring di ranjang, sedang satunya duduk di sebelah.
Setelah yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan, barulah dia menghilang dan kembali ke dunia bawah, sebelum tuannya bertanya dari mana saja dia.
………………………………….
Saat malam tiba, lima Malaikat turun ke Bumi dan kembali berpatroli di sekitar jalanan Kota Metropis.
Gerimis kembali membasahi kota, membuat lima pria bermantel putih dan abu-abu dalam kumpulan itu mempercepat langkah. Meskipun mereka tidak akan terkena basah, karena salah satu dari lima pria tersebut dapat menahan hujan dengan kekuatannya yang menjadikan angin sebagai payung, tetapi cuaca seperti ini dapat mengundang makhluk-makhluk pemakan jiwa manusia, sehingga mereka pun harus menyusuri setiap sudut kota untuk mencegah itu terjadi.
“Hari ini portal dari dunia bawah kembali terbuka,” ucap Jovi begitu mereka berhenti di atas sebuah atap bangunan Metropis yang tinggi.
Mata pekatnya menatap jauh ke depan, pada hamparan bangunan di hadapan.
“Anehnya tidak ada satu Iblis pun yang melewati portal tersebut,” tambah Snown yang berjalan mendekat.
Dia memutar angin dengan lima jarinya, kemudian melemparkan pusaran angin itu ke udara untuk menciptakan selubung pelindung bagi kumupulan itu. Snown sengaja menambah ketebalan lapisan payung hujan, karena gerimis hendak berubah menjadi deras.
“Sepertinya ada seseorang yang mengendalikan para Iblis dari belakang, tetapi bukankah kerajaan mereka telah lama hancur? Seingatku sejak …” Dennis menjeda ucapan, karena perkataan selanjutnya adalah hal tabu yang tidak pernah disebut selama tujuh belas tahun.
Kepala Snown mengangguk samar, dia juga memiliki pemikiran yang sama.
“Apa kita tidak laporkan saja hal ini pada Yang Mulia?” tanya Harley sembari menatap sekitar, entah mengapa dia merasa mereka diawasi sejak tadi, namun anehnya dia tidak menemukan apapun melalui Irish miliknya.
“Setelah dari sini, kita bisa membicarakannya di forum,” kata Jovi menyetujui. “Tapi sebelum itu, sebaiknya kita berpatroli malam ini.”
Gerl tampak gelisah di tempatnya berdiri. Sejak tadi, Malaikat muda itu menatap sekitar dengan pandangan tidak biasa, seakan dia dapat merasakan sesuatu yang tidak dapat dirasakan anggota lainnya.
“Ada apa, Gerl?” tanya Jovi sembari mendekat, sadar bahwa pemuda itu memiliki Irish lebih tajam.
Gerl menoleh ke arah pimpinan barisan, dan dia berkata pelan. “Dia ada di sini lagi.”
Mendengar itu, semua Malaikat pun mengedarkan pandangan, dan mengaktifkan Irish masing-masing, namun tetap saja penglihatan mereka buntu.
“Keluarlah,” ucap Jovi tenang, namun sarat ancaman.
Seketika angin bergetar dan suara Guntur menggelegar hingga cahayanya melintas bagai membelah langit. Untuk sesaat Kota Metropis menjadi terang benderang.
Para Malaikat itu menutupi telinga karena suara Guntur yang keras, nyaris menulikan seluruh penduduk kota.
“Makhluk apa itu tadi?” bisik Dennis sembari menegakan tubuh, setelah sebelumnya membungkuk, karena menahan kuatnya terpaan angin akibat libasan kilat di sekitar.
Gerl meremas jubah abu-abunya dengan erat, bajunya basah karena payung angin milik Snown terlepas sesaat begitu terdengar suara guntur.
“Makhluk yang sangat kuat,” gumam Gerl sembari merapatkan diri dengan Snown dan Dennis.
Tangan Jovi mengepal dan dia pun juga berpikir hal demikian, karena kilat barusan adalah jawaban pertanyaan mereka sebelumnya.
Sementara itu, Chrysander menatap kumpulan pria yang berada di atas atap dengan tenang. Tubuhnya sedikit melayang di udara, tepat di bawah langit yang memunculkan kilatan-kilatan kecil, sedangkan tetesan air hujan menghindari tubuhnya seolah enggan untuk membuat pria itu basah.
Jubahnya yang berawarna hitam berkibar di udara, sedangkan wajahnya tersembunyi di balik tudung yang menutupi kepala, dan hanya menyisakan sebatas bibir dan dagu.
Seketika dia pun menghilang saat para Malaikat itu melanjutkan perjalanan, lalu meninggalkan Kota Metropis, kembai ke Madelin.
Baru saja Valleya hendak berangkat ke sekolah, saat tiba-tiba dia menemukan buket bunga yang sama seperti kemarin tergelatak di teras rumah.Langkah Valleya terhenti begitu dia mendapati bunga yang berkilau di bawah sinar matahari itu mengerlip-ngerlipkan cahaya pelangi ke segala arah, membuatnya seketika terpaku dengan tatapan penuh kekaguman.Baru saja dia membungkuk ketika menyentuh bunga tersebut, saat tiba-tiba Bibi Ema muncul dari arah dalam rumah dan mengagetkan Valleya hingga tubuhnya terlonjak kaget dan seketika menjauhi bunga kristal itu.“Astaga Bibi,” gumam Valleya sembari memegangi dada, lalu menjauhi buket bunga yang nyaris dia ambil dari atas lantai beranda.Bibi Ema hanya memandang Valleya dengan tatapan tidak senang, namun matanya beralih ke arah buket bunga yang memancarkan warna-warni cahaya ke segala arah, bagaikan permata yang dipajang di bawah sinar lampu seperti pameran dalam museum kerajaan.“Benda apa itu?
Saat tengah malam, suasana tenang di rumah yang Valleya tempati berubah menjadi mencekam begitu terdengar suara teriakan nyaring yang berasal dari kamar Bibi Ema. Valleya terbangun seketika dan dia berlari mendekati ke tempat bibinya berada dengan gerakan terburu-buru.“Bibi, ada apa?” tanya Valleya sembari menggedor pintu sedikit keras.Suara teriakan penuh terror itu lagi-lagi terdengar, membuat Valleya ketakutan dan cemas.“Bibi!” panggil Valleya, sembari berusaha membuka paksa kamar yang terkunci.Baru saja Valleya hendak mendobrak lagi saat tiba-tiba Bibi Ema keluar dengan mata membeliak nyalang dan melirik sekitar seolah dia baru saja dikejar oleh mimpi buruk.“Aku melihat sesuatu! Aku melihat sesuatu!” jeritnya dengan tubuh bergetar.Mendapati kondisi sang Bibi, Valleya pun membawa wanita tambun itu untuk masuk ke kamar lagi, namun Bibi Ema menahan langkah keduanya dan menggeleng cepat. Dia menolak
“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali, tidak seharusnya anak itu berada di rumahmu, tetapi kau tetap tidak mau mendengar,” ucap Bibi Dori pada Bibi Ema.“Tidak mungkin aku menolak kehadirannya, Dori. Apa kau tidak tahu bahwa kakakku tidak akan memberikan hartanya bila aku tidak mengasuh anak itu sampai melewati usia delapan belas?” jelas Bibi Ema sama sengitnya. “Bila saja tidak ada aturan demikian dalam surat wasiat yang dia tinggalkan, tentu saja aku tidak akan menerima anak itu. Bagiku, Dia hanya beban!”Kedua wanita itu membicarakan Valleya di saat gadis itu dapat mendengar dari lantai dua. Bahkan tadi, Valleya tidak sengaja melihat Bibi Dori yang melirik tajam padanya saat dia melewati pintu ketika hendak melintasi ruang tengah.“Taruh saja dia di panti penitipan sampai usianya delapan belas, dan di saat kau mendapat warisan, berikan pada mereka sejumlah uang sesuai kesepakatan,” saran Bibi Eva dengan pemi
“Apa si pria misterius dalam mimpimu masih mengganggu?” tanya Nina begitu keluar dari ruang kelas.Kepala Valleya menggeleng pelan, dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya sehingga lebih baik tidak menjelaskan apa-apa.“Oh, kalau begitu kenapa kau tampak murung begitu?”Seketika Valleya memijit kepala. Alasan perubahaan mood-nya yang buruk adalah karena dia tidak lagi merasakan keberadaan pria itu di sekitar seperti malam-malam sebelumnya. Tidak hanya itu, dia kesulitan tidur akhir-akhir ini. Pikirannya berkelana entah ke mana, dan selalu saja bayangan pria bertudung tersebut yang mengisi kepala.Sampai rasanya Valleya nyaris gila, dikarenakan pria itu terasa nyata, namun di saat bersamaan sosoknya seperti bagian mimpi.“Hhh … aku hanya lelah akhir-akhir ini,” kilahnya, tidak ingin menjelaskan apa yang dia rasakan.Percuma saja bercerita, karena Nina tidak akan percaya dan menganggap semua yang V
Hujan kembali membasahi Kota Metropis. Terlihat beberapa orang berlarian melindungi diri dari serbuan hujan, termasuk Valleya yang mempercepat langkah menuju pertokoan di pusat kota. Gadis muda itu berhenti di depan sebuah toko roti untuk berteduh.Baju merah muda yang membungkus tubuhnya basah, bahkan dari ujung kepala hingga sepatu juga ikut basah terkena guyuran hujan yang lebat.Dia memeluk diri dalam keadaan kedinginan, begitu pula beberapa orang yang berdiri berteduh tidak jauh darinya.Lama gadis itu berdiam di sana, dengan tangan menengadah ke depan, menampung tetesan-tetesan hujan yang jatuh dari atap pertokoan.Di tengah-tengah rasa dingin yang menyapa, senyum gadis itu terukir amat sempurna. Entah mengapa dia merasa senang ketika rintik-rintik hujan itu berkumpul dalam tadahan tangan mungilnya.Karena terlalu fokus bermain hujan, gadis itu tidak menyadari sosok bermantel hitam dengan topi menutupi separuh wajah tengah berdiri tepat di sa
Tubuh Valleya terasa seperti seringan bulu. Rasa pusing tiba-tiba saja menderanya begitu dia merasakan telapak kakinya berpijak pada lantai. Dan saat matanya terbuka, penglihatan Valleya tertuju pada tempat tidur yang berada di tengah-tengah ruangan.Belum sempat gadis itu menarik napas, tiba-tiba saja dia merasakan seluruh ruangan bergoyang dan kakinya kehilangan pijakan. Membuatnya nyaris luruh ke lantai andai saja sepasang tangan tidak segera menopang dirinya.Seketika kepala gadis itu pun menoleh cepat ke arah sosok pria yang berdiri di sebelah dengan tangan melingkar pada tubuh Valleya.Suara serak gadis itu pun bertanya pelan; “A-apa yang baru saja terjadi?”Bukannya memberi jawaban, Chrysander malah mengangkat tubuh Valleya ke udara, menyebabkan gadis itu menahan pekikan sembari melingkarkan kedua lengan pada leher pria itu yang tampak kokoh dan nyaman untuk dijadikan sandaran.Tanpa tahu malu, Valleya pun merebahkan kepala di sa
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis
Seketika Valleya terkesiap saat mendengar suara Chrysander yang muncul dari balik bahu. Gadis itu pun berputar cepat, dan tubuhnya nyaris terjatuh karena pergerakan yang tiba-tiba. Untung saja Chrysander menahan pinggang Valleya. Sehingga kepalanya tidak membentur permukaan lantai yang keras. "Ka-kau, bagaimana...," ucap gadis itu terbata.Dia melirik ke arah Bunga Kristal yang tidak bergerak dari tempatnya tadi. Dan anehnya, bunga itu tetap berada di posisi semula, dengan batang dan dedaunan yang seolah membeku di udara. Tidak terlihat tanda-tanda bunga itu barusan menyerang. "Bu-bunga itu." Tunjuk Valleya pada Bunga Kristal di atas meja. Dengan gumaman pelan, dia pun mengadukan apa yang dialaminya pada pria di sebelah; "Bunga itu mengeluarkan api. Sama seperti yang Bibi alami."Tangan Valleya mencengkram kuat pergelangan Chrysander, hingga membuat jubah hitamnya mengkerut. Namun, tampaknya pria itu tidak begitu peduli, dan