Share

BAB 7 I Bukan Gadis Biasa

Baru saja Valleya hendak berangkat ke sekolah, saat tiba-tiba dia menemukan buket bunga yang sama seperti kemarin tergelatak di teras rumah.

Langkah Valleya terhenti begitu dia mendapati bunga yang berkilau di bawah sinar matahari itu mengerlip-ngerlipkan cahaya pelangi ke segala arah, membuatnya seketika terpaku dengan tatapan penuh kekaguman.

Baru saja dia membungkuk ketika menyentuh bunga tersebut, saat tiba-tiba Bibi Ema muncul dari arah dalam rumah dan mengagetkan Valleya hingga tubuhnya terlonjak kaget dan seketika menjauhi bunga kristal itu.

“Astaga Bibi,” gumam Valleya sembari memegangi dada, lalu menjauhi buket bunga yang nyaris dia ambil dari atas lantai beranda.

Bibi Ema hanya memandang Valleya dengan tatapan tidak senang, namun matanya beralih ke arah buket bunga yang memancarkan warna-warni cahaya ke segala arah, bagaikan permata yang dipajang di bawah sinar lampu seperti pameran dalam museum kerajaan.

“Benda apa itu?” tanya Bibi Ema dengan mata melotot ke arah bunga-bunga indah tersebut.

Seketika kepala Valleya kembali ke arah bunga yang dimaksud, dan dia memandang Bibi Ema gugup, karena tidak tahu harus menjawab bagaimana.

Valley saja tidak tahu siapa pengirimnya.

“Itu … aku menemukannya di sana begitu membuka pintu.”

Dia tidak mau menceritkan bunga yang sama juga ada di depan jendela kamarnya kemarin, karena tentu saja Bibi Ema akan semakin banyak bertanya.

Untuk sesaat Bibi Ema memandang bunga-bunga tersebut penuh kekaguman, sehingga dia pun mendekat dan bermaksud menyentuh bunga-bunga itu, tetapi suatu keanehan terjadi dengan sangat cepat.

Yaitu, tangan Bibi Ema terbakar hingga terdengar suara jerit kesakitannya yang melengking sampai membangunkan para tetangga.

“Matikan apinya!” histeris Bibi Ema sembari berputar-putar di halaman dan berusaha memadamkan bara api yang menyala-nyala dengan menepuk-nepuk telapak tangan yang terbakar ke rerumputan basah dan juga baju secara bergantian.

Seorang pria dan dua wanita paruh baya yang merupakan tetangga Valleya berlari memasuki halaman.

“Lakukan sesuatu!” ucap pria itu dengan ember di tangan, diikuti dua wanita di belakang.

Sepertinya mereka sudah melihat api di tangan Bibi Ema sebelum memutuskan untuk membantu.

Kepala Valleya melihat sekitar dan dia menemukan tong berisi air hujan hasil tampungan semalam di pojok halaman, dengan tergesa dia pun mengambil air dari tong tersebut.

Bersama-sama mereka menyiramkan air itu ke tubuh Bibi Ema, namun anehnya api tersebut tidak juga padam dan malah semakin membesar, membuat Valleya panik seketika dan nyaris berteriak histeris.

Dia pun mendekati Bibi Ema dan bermaksud mengibaskan api yang menyala itu dari tangan sang Bibi, saat tiba-tiba api tersebut padam begitu saja ketika tangan Valleya menyentuhnya, kemudian menyisakan bau kulit terbakar di udara.

Kehebohan itu menarik perhatian beberapa tetangga, sehingga Valleya menjadi gugup telah menjadi pusat perhatian.

“Ada apa ini?” tanya Tuan John yang rumahnya bertepatan berhadapan dengan jendela kamar Valleya.

Bibi Ema menangis menahan sakit, dan salah satu wanita membantunya untuk memeriksa seberapa parah luka bakar itu, tetapi mereka menjadi heran ketika perlahan-lahan luka tersebut menghilang dan berubah menjadi bekas samar-samar.

Semua orang menatap tidak percaya pada apa yang baru saja mereka lihat.

Dengan tersedu, Bibi Ema mulai menceritakan peristiwa yang baru saja menimpanya.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ada sebuket bunga di depan rumah dengan kelopak berkilau sangat indah, dan saat aku menyentuhnya, bunga itu membakar tanganku,” isak Bibi Ema sembari memeluk tangan yang nyaris menjadi abu.

Semua orang saling tatap, seakan itu adalah penjelasan paling aneh yang pernah mereka dengar.

“Kurasa ada kekuatan mistis di sekitar kita,” ucap Bibi Dori yang rumahnya bersebelahan dengan Valleya.

Wanita itu sangat mempercayai akan keberadaan penyihir dan dukun.

“Bicara apa kau ini, tidak mungkin ada hal-hal magis di lingkungan kita. Apa kau tidak lihat, sejak tahun ke tahun tidak ada orang baru yang pindah ke sini,” balas Bibi Eva yang seketika membuat semua kepala mengarah ke Valleya.

Mendapati tatapan yang tidak biasa, Valleya pun menggeleng pelan.

“Aku tidak tahu apa-apa,” ucapnya sembari menelan saliva karena Bibi Ema juga ikut memelototi.

Kini wanita itu sudah tenang kembali, karena luka di tangan tidak lagi terlihat. Benar-benar aneh sekali, sehingga semua orang menatap Valleya sama anehnya.

“Bibi, aku benar-benar tidak tahu sama sekali,” ulang Valleya lebih urgen karena para tetangga dan Bibi Ema menatapnya penuh kemarahan.

“Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Bunga itu ada di depan pintu dan sepertinya ditujukan padamu. Aku juga melihat sendiri, saat kau memegangnya tanganmu tidak terbakar!”

Langkah Valleya mundur begitu mendengar teriakan Bibi Ema yang seolah menuduh.

Valley melihat ke tempat bunga yang Bibi Ema pegang tadi, tetapi tidak terlihat tanda-tanda pernah ada bunga seperti itu di sekitar halaman, membuat gadis tujuh belas tahun itu kesulitan membela diri untuk membuktikan bahwa itu hanya bunga biasa. Bahkan, kemarin dia bisa menyentuh bunga itu tanpa melukai tubuh.

“Tapi Bi, akuꟷ”

“Berhenti membela diri, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri!”

Valley hendak mengatakan lebih, namun urung karena Bibi Ema dan para tetangga membubarkan diri dan melemparkan tatapan curiga padanya begitu berjalan pergi, meninggalkan Valleya sendirian di tengah-tengah halaman rumah yang mulai terasa asing.

*

Gelas wine di tangan Chrysander pecah berkeping-keping karena digenggam terlalu erat ketika dia melihat wajah Valleya dipenuhi kesedihan melalui minuman yang hendak dia sesap.

Bervis yang berdiri di sudut ruangan memilih untuk diam, dia tahu diri untuk tidak bersuara saat Chrysander mengeluarkan aura gelap yang membuat suasana di sekitar menjadi sesak.

“Aku memberi bunga itu pada Angel, bukan wanita tua itu,” kata Chrysander dengan nada rendah, namun sarat kemarahan. “Salahnya sudah menyentuh benda yang bukan miliknya!”

Bervis mencoba menyembunyikan diri ke dinding begitu mendengar suara desisan yang keluar dari mulut Raja Iblis tersebut, dan keputusan yang Bervis ambil sangat tepat, karena setelahnya seluruh benda dalam ruangan itu terangkat ke udara dan berputar cepat seperti diaduk oleh tornado hingga membentuk lingkaran, menyebabkan setiap benda dalam ruangan membentur satu sama lain.

Sebuah bola berukuran besar nyaris mengenai kepala Bervis, namun dengan sangat santai dia menghindari benda berbahan besi tersebut yang membentur dinding di sebelahnya.

Ketika amarah Sander mereda, ruangan itu sudah tidak lagi berbentuk. Semua benda yang tadi tertata rapi, kini berakhir membentuk puing di lantai dan sebagian menjadi serpihan tidak beraturan. Bahkan, meja dan kursi tampak berbalik dan tidak dapat digunakan.

Akan tetapi, hanya satu kursi yang selamat dari kekacauan barusan, yaitu yang Chrysander duduki. Ajaibnya, tidak ada satu benda pun mengenai pria itu. Seolah hanya dia yang tidak dapat disentuh.

“Bervis,” panggil Chrysander, membuat tangan kanannya itu kesulitan menelan saliva.

“Ya, Yang Mulia,” jawab Bervis sembari menunjukan diri ke bawah cahaya lampu yang sebagian penutupnya pecah.

“Ambil kembali bunga-bunga yang kuberikan, dan taruh di kamarku,” ucap Chrysander dengan suara lebih tenang dari sebelumnya, sedang matanya yang telah berubah menjadi merah menatap lurus ke arah gelas kaca yang tadi dia pecahkan hanya dalam satu genggaman saja.

“Baik, Yang Mulia.”

Seketika Bervis pun menghilang dari hadapan tuannya, dan meninggalkan Chrysander dengan pikiran-pikiran menakutkan.

Ketika beranjak dari ruangan, dia bergumam; “Apa kupanggang saja wanita tua itu di kamar penyiksaan?” tanyanya pada diri sendiri. “Ah, tapi bila itu kulakukan Angel akan sendirian. Atau … kubakar saja perumahan di sekitar? Hmm … nanti dia akan menangis ketakutan bila melihat api yang berkobar.”

Chrysander berjalan pelan menuju ke perpustakaan dengan scenario yang bermain di kepala sembari membayangkan reaksi Valleya bila itu benar-benar terjadi.

Baru saja dia melewati koridor saat terlintas ide yang tidak akan menyakiti Angel secara langsung, yaitu memberi mimpi buruk pada wanita tambun tersebut.

Membayangkan ide yang muncul tiba-tiba, Chrysander pun menyeringai, dan dia berjalan dengan sangat tenang hingga tiba di tempat tujuan. Yaitu perpustakaan, di mana buku tentang Rahasia Merayu Wanita tersimpan rapi di raknya semula.

Tangan Sander menyentuh permukaan buku itu lembut, dan kemudian dia berkata pelan pada buku yang mulai mengikutinya dari arah belakang saat dia berjalan menuju jendela perpustakaan.

Pertanyaan yang dia lontarkan adalah; “Bagaimana cara membuat seorang wanita tersenyum hingga wajahnya berbinar-binar?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
dah berapa ribu taun ni jd jomblo, makanya Sender jd bucin sekalinya dapet jodoh ya ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status