“Maaf Nando,” kata Alora. “Aku harus ikut menyelesaikan ini.”Kemudian gadis itu melangkah dan meninggalkan ruangan bersama Jin Hal yang lain, hingga di ruangan itu hanya aku sendiri dari generasi Jin Hal.“Sebaiknya kau ikut, gar kau mengetahui bagaimana situasi di luar sana,” kata ayahku. “Dan itu akan menjadi pertarungan pertama bangsa Jin Hal yang dapat kausaksikan. Apa kau mau melewati kesempatan itu?"“Baik ayah,” kataku dengan senang hati, kemudian meninggalkan ketiga Lensana di ruang Jamuan. Begitu keluar pintu, entah darimana Zeon—singa ajaibku menyambut di luar pintu, dan mengaum. Singa itu terlihat terlihat sedikit menatkutkan dengan taring kuningnya yang tajam.Sementara kakakku yang telah menunggangi singa bersayapnya menyeru kepadaku, “Ayo!”Beberapa detik kemudian, aku telah berhasil duduk di punggung singa pelindungku. Lalu singa itu meloncat dan melesat menuju ke tepi pantai.Di tepi pantai, nampak ksatria-ksatria Tumaya dari Bangsa Jingal tengah bertarung. Gen hijau
Beberapa hari berikutnya, aku mulai terbiasa dengan situasi di Tumaya. Semuanya terasa normal, hanya saja aku harus berusaha lebih keras untuk bisa beradaptasi di alam yang berbeda dengan alamku yang sebelumnya."Jangan terlalu memikirkan apa yang kau lihat di bawah, karena tanpa kau sadari hal itu akan semakin memberatkanmu sehingga kau tidak akan bisa meraih keseimbangan."Alora melatihku berjalan mengambang di udara, hal itu memang sulit dilakukan. Kalau saja gravitasi di alam tumaya tidak lemah, maka mungkin saja aku akan terpelanting ke dasar bumi dan menyebabkan tubuhku terpecah menjadi beberapa keping. Tetapi aku harus bisa melakukan gerakan seperti makhluk-makhluk lainnya yang tak memerlukan pijakan, karena tanpa bisa melakukan hal itu maka aku akan tetap menjadi pecundang di tempat ini.-o0o-Rutinitas yang paling aneh menurutku adalah belajar bahasa dari empat benua yang paling umum dengan sekelompok makhluk halus. Selain itu, aku belajar beberapa bahasa daerah dengan mereka
“Apa kau betah di tempat ini?” tanya Alora.Gadis itu selalu menemuiku ketika sore di sebuah jembatan yang telah menjadi tongkronganku jika telah tiba waktu sore. Kami duduk bersama di langkan jembatan sambil menyaksikan pendar merah di ujung lautan. Di tempat itu juga aku biasa menyaksikan rambut pirangnya yang berkilauan karena bertebaran tertiup angin sore.“Mungkin saat ini aku masih perlu waktu untuk beradaptasi,” jawabku sambil melempar pandangan ke ujung lautan.Alora tak mengucapkan sepatah katapun, matanya lurus ke ujung lautan. Lalu aku kembali bicara, “Aku selalu meragukan kedua orangtuaku, tetapi mereka selalu berusaha memahami aku sebagai anak yang berbeda dari anak-anak lain yang seusia denganku.”“Kau beruntung memiliki ibu, meskipun dia hanya sekedar ibu angkat,” kata Alora dengan mimik yang dingin, seperti sedang meniampakkan penyesalan dalam batin yang terdalam.“Memangnya paman Lensana Hijau tidak pernah menunjukkan ibumu?”“Semua Lensana akan merahasiakan keberadaa
Kukira aku akan hancur berkeping-keping, namun Alora berhasil menyambar tubuhku terempas ke darat. Ia tahu aku masih belajar beradaptasi, dan aku masih belum bisa mengambang di udara. Alora kembali membawaku ke Jembatan, lalu mendaratkanku di lantai. Aku yang telah terluka melihat wajah Jin Hal Merah itu seperti sedang terbakar.“Paman Lensana Biru bisa membunuhmu,” kata Alora setelah aku duduk setengah berlutut di lantai marmer. Itu pertama kalinya aku melihat wajahnya seserius itu ketika bicara, sama sekali tidak ada senyuman di wajahnya. Ia benar-benar marah karena aku telah dilukai.“Itu bukan salahku, Alora. Seharusnya dia bisa menghindari seranganku,” Letra masih bisa membela diri walaupun dia telah membuatku bersimbah darah."Aku hanya ingin tahu, apa dia pantas duduk berdampingan denganmu.""Siapapun pantas duduk berdampingan denganku, kecuali kamu!" Alora menunjuk ke arah Letra.“Okhok-okhok,” aku terbatuk.Dadaku terasa sesak, dan lututku semakin lemas. Aku juga merasakan pa
“Dia akan baik-baik saja, Ariuz.”“Benar kata Guinuz, anak ini akan menjadi kuat dengan cakar-cakar itu.”Suara beberapa orang bercakap bagai sekawanan burung berbisik berhasil membuatku membuka mata. Saat mataku mulai terbuka, semua mata seperti memburuku, dan kamarku yang biasanya sepi telah diramaikan Ayah, Lensana Merah, Lensana Hijau dan putrinya, Alora. Aku menjadi pusat perhatian kali ini, raut wajah mereka seperti telah mendamba kabarku.Alora yang duduk di sebuah kursi di samping ranjangku menjadi orang yang pertama menyapaku, “Bagaimana keadaanmu?” Wajah gadis itu terlihat cemas, jemarinya seperti mengunci di sela-sela jemariku.“Aku merasa baik-baik saja.”Kemudian ayah yang duduk di kursi sebelah Alora berkata, “Apa kau tidak merasakan sakit?”“Sama sekali tidak, Ayah.” Wajah ayah seharusnya tetap lega, namun sayangnya wajah lelaki beruban itu terlihat berlipat. Aku tahu ia masih menghawatirkanku. Dan hal itu cukup membuatku senang karena telah diperhatikan olehnya, meskip
Setelah matahari tenggelam seutuhnya, kamarku masih sepi. Bahkan setelah bulan memberi sambutan pada malam sekalipun, suasa di kamarku tetap sunyi. Api dari obor-obor yang berderet di tepi jembatan pelan-pelan bergoyang dipandu angin, dan pintu kamarku yang bercorak manusia setengah hewan, warna kuning emasnya terlihat rusak karena balutan cahaya api ajaib yang bergelantungan di setiap sudut kamarku. Tiba-tiba suara tubrukan yang cukup dahsyat dan memekakkan melumat kesunyian seketika. "Suara apa itu," tanyaku pada Alora yang masih setia duduk di samping ranjangku. "Sepertinya sedang terjadi pertarungan besar di luar," ucap Alora. Aku yang penasaran dengan keadaan yang terjadi di luar istana menepi dari ranjang untuk menurunkan kakiku. Melihatku akan menuruni ranjang, Alora menegurku, "Apakah keadaanmu benar-benar sudah pulih?" "Aku tidak merasakan apapun, sepertinya aku sudah pulih." Aku bertanya pada Alora, "Kita perlu mengetahui apa yang terjadi di luar, bukan?" Alora menganggu
Lensana merah hampir saja berhasil menusukkan tangan pedang raksasanya ke tubuh Nero, namun ayahku berhasil mengempaskan serangan itu ke samping. Membuat pedang pipih yang tajam mengkilat dan tersambung di lengannya terpental bersama Lensana Merah."Bluss!"Nyawa Nero yang hampir melayang tertikam tangan pedang Lensana Merah bisa diselamatkan oleh ketangkasan ayahku. Telat sepersembilan detik saja, tak ada yang akan mampu menyelamatkan Nero dari maut. Namun perbuatan ayahku menyebabkan kemurkaan Lensana Merah semakin membara, bukan hanya murka kepada Nero saja, melainkan juga kepada ayahku. Serangan demi serangan yang membabi buta dilepaskannya kepada ayahku, dan ayahku selalu menghindari serangan itu dengan tangkasnya. Beberapa kali mereka bergumul, meninju, menendang dan saling menjatuhkan. Kedua manusia setengah rumbai-rumbai itu bertarung seperti awan penghasil petir dan halilintar, gerakan mereka menyebabkan angin berembusan begitu kencang, dan tubrukan bagian tubuh mereka mengha
Api dari obor berpendar redup di tepi jembatan yang rusak, angin seperti tak berhasrat meniup beberapa obor yang tersisa dari obor-obor yang telah hancur bersama puing-puing jembatan yang masih berjatuhan dengan lambat. Hatiku begitu getir menyaksikan itu. Aku yang berdiri di luar istana ayah menghela nafas dari udara malam yang begitu sunyi, terasa masih menyejukkan, meski tak sedamai malam-malam sebelumnya.Alora mendarat di hadapanku dengan perlahan, jubah hijaunya melambai-lambai tertiup angin, dan wajahnya seperti melipat karena kesedihan. Aku tahu, bahwa tidak ada yang menginginkan pertempuran ini. Namun semuanya terjadi begitu saja, dan penyebabnya adalah aku, tidak dapat kupungkiri hal itu, meskipun aku tak menginginkannya.“Penyebab semua ini adalah aku,” kataku dengan hati yang tergetar.“Semuanya berlalu begitu cepat. Tidak ada yang menginkan hal itu terjadi.” Alora mencoba menghiburku.“Ini bukan salahmu.”Tapi dilain sisi aku juga melihat kesedihan di matanya, ia takkan b