Milly duduk di teras rumah dengan wajah termenung dan pikiran penuh. Walau tubuhnya tidak lelah, tapi Milly tidak bisa mengerjakan apa pun.
Pikirannya terus dijejali dengan rasa khawatir akan kondisi ayahnya yang sempat menurun tadi pagi. Untunglah, ia baru saja mendapatkan uang yang cukup fantastis dari hasil menemani Jetro selama dua malam, lima puluh juta rupiah! Setelah membawa ke rumah sakit dengan Martin, dokter mengatakan jika ayahnya harus mendapatkan ginjal baru. Harga sebuah ginjal tidak murah. Walau begitu, bukan itu bagian yang tersulit. Mendapatkan ginjal yang cocok untuk ayahnya adalah hal yang rumit dan butuh waktu. Milly juga bertemu dengan Prana yang akhir-akhir ini sering mengirim pesan yang membuat Milly segan. Tanpa alasan yang masuk akal, Prana menawari untuk membantu pengobatan ayahnya. Milly tahu kemana muara dari pertolongan tersebut. Semua bantuan, akan ada timbal baliknya."Mbak! Bapak kejang!" teriak Martin dari dalam.Milly sontak berdiri dan berlari menghampiri ayahnya. "Telepon taksi!" perintah Milly pada Martin dengan cepat. Adiknya menyambar ponsel dan berlari keluar kamar. Setelah menenangkan ayahnya yang tidak berhenti kejang, Milly mulai menangis karena putus asa yang mendera jiwanya. Ia sudah mengorbankan segalanya, kenapa ayahnya tidak kunjung membaik? Apakah karena uang itu hasil dari menjual diri? Milly tergugu sementara Martin kembali dengan sopir yang tampak sigap membantu mereka memapah tubuh ayahnya. "Kunci semua pintu," pinta Milly dengan menahan tangis, rasa gelisah terus berdentum dalam batinnya. ***Adiknya mengantuk dengan kepala sesekali terjatuh. Milly meraih kepala Martin dan membiarkan adiknya tidur di pundak. Mereka sedang menunggu ayahnya yang kini berada di ruang ICU. Dalam hati, Milly tidak berhenti berdoa. Semoga cobaan kali ini bisa mereka lewati dengan baik dan lancar. Pesan dari Prana mengalir tapi Milly tetap mengatakan tidak. Entah kenapa, ia keberatan dengan penawaran dokter muda tersebut.Jika dokter menjatuhkan vonis buruk sekalipun, Milly akan terus berharap yang terbaik. Panggilan untuk keluarga terdengar dan keduanya segera masuk ke ruangan dokter. Setelah mendengarkan penjelasan dokter dan melewati diskusi juga konsultasi yang detail, Milly merasakan tubuhnya sangat lemas. Begitu keluar dari ruangan tersebut, Milly seakan berada dalam kubangan lumpur yang begitu pekat dan mustahil untuk lolos. Ayahnya harus memasang ring dan mengganti ginjalnya sekaligus yang membutuhkan kisaran biaya sekitar satu milyar. Dari mana ia mendapatkan uang tersebut? Transplantasi ginjal sendiri berkisar delapan ratus juta dan pemasangan ring untuk jantung berkisar dua ratus juta. "Kita harus gimana, Mbak?" tanya Martin lirih. Milly menggelengkan kepala dan terdiam. Dirinya tidak memiliki solusi kali ini. Rumah mereka sudah terjual saat ayahnya menjalani amputasi kaki kanan karena kecelakaan. Kini mereka terhempas lagi oleh biaya pengobatan yang mencekik. Mengiyakan bantuan Prana tidak pernah ia inginkan.Milly memang meminta tempo untuk berpikir, tapi dokter tidak memberikan waktu yang lama. Milly hanya punya empat hari untuk memutuskan. Ia meminta Martin untuk menunggu ayahnya sementara Milly berangkat kerja. "Mbak cuman nemenin tamu, pulang jam satu pagi. Ok?" ucap Milly. Martin mengangguk lesu. ***Langkah Milly terlihat gontai memasuki area club. Kakinya bagaikan melangkah di atas hamparan duri. Pikirannya terus berpikir apakah ia harus menyerah dan membiarkan ayahnya meninggal? Milly merasakan air matanya mengumpul dan tanpa bisa ia tahan, bergulir cepat menuruni pipi mulusnya. Renzo mendekati Milly dan memberitahu jika Jetro datang dan ia harus bersiap. "Dia menunggumu di kamar," cetus Renzo dengan tidak sabar. Milly mengangguk tanpa memberikan respon lainnya. Renzo memicingkan mata dengan bingung. Wanita yang biasanya begitu garang dan ketus padanya, kini terlihat tidak bertaring sama sekali. Milly duduk di sisi pembaringan dengan wajah membeku dan tatapan mata hampa. Jetro menyudahi pembicaraannya di telepon, lalu mendekati Milly. Tanpa menyapa, pria itu mengangkat dagu Milly dengan kernyitan di kening. "Aku mencium bau air mata dan jantungmu berdetak lebih cepat dari biasanya," ucap Jetro datar. Milly menelan cairan mulutnya dan menarik wajahnya menjauh. Jetro duduk di sampingnya, lalu mulai menyentuh pundak sementara tangannya menurunkan resleting blus Milly. Tidak ada respon sedikit pun dari Milly. Jetro akhirnya berhenti dan mendengus kasar. "Kalau kamu punya masalah dengan kekasihmu atau yang lain, selesaikan dan jangan bawa ke tempat kerja!" bentak Jetro dengan jengkel. Milly merasakan hatinya terluka. Tidak ada manusia yang akan bersimpati untuk wanita miskin seperti dirinya. "Maaf," sesal Milly. Ia butuh uang tambahan biaya sebanyak mungkin. Dirinya tidak boleh larut dalam masalah yang kini menjeratnya. "Aku siap," sambung Milly sembari mengusap ujung matanya. Jetro mendekat dan dalam jarak beberapa senti lalu seperti hewan, Jetro mengendus. "Ada bau kesedihan. Ada apa denganmu?" tanya Jetro tajam. Milly menggelengkan kepala lalu menunduk. "Kau bisa mengatakan sekarang. Selagi aku ada waktu dan masih bersabar!" ucap Jetro sembari bangkit mendekati meja bar. Tangannya membuka kulkas untuk mengambil bir dingin. Ia menenggak botol seperti kehausan. "Kamu nggak bakal mengerti," sahut Milly dingin. "Oh ya?" balas Jetro mulai tersinggung. Milly membuang muka. "Kau pikir aku membayarmu hanya untuk mendengarkan tangis dan keluh kesahmu?!" tanya Jetro dengan sinis. Milly tergugu. Jetro lalu mendorong tubuh Milly dan menelanjangi tubuh molek di depannya. Milly masih terisak. Jetro akhir berhenti dan berdiri dengan napas memburu. "Apa maumu?!" pekik Jetro tidak sabar. "Ayahku sekarat! Apa yang kau harapkan, Jetro?!" teriak Milly histeris. "Berharap aku sedang terlibat dalam skandal cinta? Aku bukan wanita yang pantas untuk memiliki cinta! Sekalipun itu menjadi yang kedua!" Jetro terhenyak. Ia tidak menyangka jika itu terlontar dari wanita yang berprofesi sebagai penghibur seperti Milly. Milly meringkuk dan menangis dengan sesenggukan. "Aku akan menyesal seumur hidup karena tidak bisa menyelamatkan ayahku," isak Milly dengan sedu sedan pilu. Jetro bangkit dan memakai kembali kemejanya. "Resiko terbesar apa yang berani kau tempuh untuk menyelamatkan nyawa ayahmu?" tanya Jetro tajam. "Apa pun. Demi bapak, aku sanggup melakukan apa saja. Bahkan menggadaikan nyawaku," sahut Milly di antara tangisnya. Tubuhnya tampak rapuh dan ringkih. "Aku tidak butuh nyawamu. Aku butuh hidupmu, selama satu tahun penuh menjadi istriku!" Milly tersentak dan pelan-pelan duduk serta menatap Jetro dengan pandangan tidak percaya. "Kau memintaku menikah?!" seru Milly dengan ekapresi sinis. "Aku sedang berduka dan kau tega memanfaatkan demi kesenanganmu? Dasar manusia biadab!" rutuk Milly dengan murka. Tangannya melempar bantal pada Jetro dan ia memakai pakaiannya dengan cepat. Gadis lain mungkin akan berteriak gembira tapi tidak dengan Milly! "Kau pikir pertolongan itu gratis?!" teriak Jetro. Pria itu mulai jengkel dan belum pernah ada yang melempar bantal padanya. Musuhnya akan gemetar ketakutan hanya dengan mendengar namanya saja, sementara rekan bisnisnya memilih menghindar jika Jetro mulai meradang. Kini, seorang wanita lemah yang hanya berprofesi sebagai penghibur, melempar dirinya dengan bantal!"Terima kasih, aku tetap mengatakan TIDAK!" pamit Milly sembari memakai sepatu buru-buru. "Oh ya? Dan membiarkan ego menguasai, sementara ayahmu sekarat? Bijak!" sindir Jetro. Milly tertegun ketika mencapai pintu. "Terima tawaranku sekarang, atau semua hangus begitu kau melangkah melewati pintu!" ancam Jetro dengan dingin. Emosi dalam diri Milly mengelegak. Ia berada di persimpangan jalan yang sulit untuk ia putuskan. Antara menekan perasaannya dan menerima tawaran Jetro atau membiarkan Tuhan menentukan nasib ayahnya dan ia menyerah pada takdir. "Aku membenci manusia sepertimu, Jetro!" Milly terdengar muak. "Sayangnya aku setengah manusia, jadi kau bisa setengah membenciku!" Jetro melemparkan pernyataan yang Milly belum pahami sepenuhnya. Wanita itu membalikkan badan lalu menatap Jetro dengan tajam. "Sembuhkan ayahku hingga tuntas dan tanggung hidup adikku hingga lulus kuliah! Kau memilikiku selama satu tahun, setelah itu aku bebas dan jangan mengganggu hidupku lagi!" "Deal!" Milly seperti menjerumuskan dirinya ke dalam sebuah perangkap yang tidak bisa ia hindari. Perjanjian yang ia sepakati akan merenggut kebebasan dan prinsipnya selama ini!Milly tidak memahami pikirannya sendiri. Bagaimana ia bisa menyetujui tawaran Jetro dan menolak bantuan Prana?Keduanya pasti menuntut hal yang sama. Pernikahan. Namun Milly setidaknya bisa merasa dihargai jika memilih Prana!Menghadapi Jetro yang angkuh, kasar dan sinis sangat melelahkan emosinya.Belum lagi rasa benci yang mulai menggunung dalam batinnya. Tapi semua sudah terlanjur. Milly menggadaikan hidupnya pada pria brengsek yang menikmati tubuhnya tanpa cinta!Jetro memenuhi janjinya. Ia menyediakan fasilitas terbaik di rumah sakit untuk ayahnya dan pembayaran penuh untuk kuliah Martin.Jetro juga menawarkan mobil dan rumah, tapi Martin menolaknya."Aku nggak mau Mbak Milly makin berhutang budi!" tangkis adiknya penuh pengertian.Semua berjalan baik. Jetro bahkan menebus Milly dari hotel yang dikelola Renzo.Pria serakah itu meminta tebusan lima ratus juta untuk primadonanya. Milly yakin, semua
Menjelang malam, Milly ingin rasanya keluar kamar dan menikmati suasana villa yang terlihat begitu mengagumkan, tapi hatinya sungkan. Ada rasa kikuk yang menyelimutinya.Mengingat Jetro adalah pria yang penuh dengan aturan aneh, Milly akhirnya memilih untuk berdiam di kamar dan menunggu hingga perintah datang untuknya.Ketukan di pintu terdengar dan Milly bergegas membukanya."Kamu sampai kapan ada di kamar?" tanya Jetro dengan tatapan heran.Mulut Milly membeku. Ia tidak memiliki keberanian menjawab."Aku ....""Makan malam sudah siap, cepat ke bawah sebelum semua dingin," potong Jetro. Pria itu berbalik dan meninggalkan Milly. Dengan langkah tergesa, ia pun menyusul.Berbagai hidangan tersusun dengan indahnya di atas piring dan mangkuk porselen. Saking terpesonanya, Milly hanya menatap piring dengan mulut membulat. Terasa sayang untuk menyentuh dan merusak penampilan masakan tersebut."Tutup mulutmu
Sudah hampir sebulan lamanya Milly tinggal di pulau terpencil tersebut bersama Jetro.Terlepas dari kehangatan di ranjang yang membuatnya terlena, Milly baru menyadari jika Jetro ternyata sangat posesif!Pagi itu, Virgo berpamitan untuk menuntaskan beberapa urusan bisnis Jetro dan mengatakan mereka akan kembali besok.Milly tidak melihat ada yang darurat dengan kepergian mereka dan akhirnya ia memilih berpetualang.Setelah menyiapkan bekal makan siang, Milly menelusuri tepi hutan yang langsung menghadap ke laut. Betapa indahnya pulau tersebut pada sisi bagian utara.Milly menghabiskan waktu untuk berenang dan membawa peralatan snorkeling.Virgo telah mengajarkan beberapa teknik canggih yang membuatnya makin mahir dalam menggunakan peralatan tersebut.Setelah menjelang sore, Milly kembali dan menemukan Jetro berteriak murka padanya."Siapa yang mengijinkan kau keluar, Milly?!" teriaknya penuh amar
Milly memicingkan mata untuk menghindari sinar matahari yang menerobos lewat kisi-kisi jendela atas. Ketika menyadari ia berada di kamar Jetro, Milly bergegas bangkit serta menyambar pakaiannya.Ada rasa malu bercampur jengah yang menguasai dirinya. Setiap berada dalam radius satu meter dengan Jetro, ia tidak mampu mengendalikan diri.Badai telah berakhir dan matahari telah bersinar kembali. Tidak ada alasan untuk Milly tetap berada di kamar tersebut.Jetro sendiri entah ada di mana, tapi Milly memilih menjauh hari ini. Ia tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam jerat yang tidak bisa hindari.Ketika akhirnya jam makan siang berdentang, Milly meneguhkan hati untuk bergabung dengan siapa pun di meja makan."Kamu tidak muncul makan pagi ya?" sapa Virgo dengan ramah."A-aku ketiduran," jawab Milly gugup. Jetro tidak terlihat saat ini.“Teh atau kopi?” tawar Virgo dengan nada yang sama, ramah.&
Semenjak kunjungan terakhirnya ke rumah, Milly tidak lagi merasakan bahagia tinggal di pulau terpencil tersebut. Jetro yang memahami gejolak yang sedang Milly alami, tidak mengusiknya sedikit pun.Seminggu berlalu dan Milly tidak keluar kamar sama sekali.Menginjak hari ke delapan, Jetro mulai tidak sabar. Sulit untuknya mentolerir sikap Milly yang bungkam dan menolak untuk bicara.Ketika mendesak Milly untuk membuka mulut, Jetro hanya mendapatkan tanggapan dingin. Wajah wanita itu kembali, dalam versi Jetro tentunya, tampak konyol juga menjengkelkan."Kehadiran ayah juga adikmu, bukan hanya membuatmu jadi aneh tapi juga mengubahmu menjadi pribadi yang getir! Lebih baik tidak usah kau temui mereka lagi!" Keputusan Jetro membuat Milly meledak."Kau hanya mengikatku sebagai istri! Bukan membeli hidupku secara keseluruhan, Jetro Six!""Ya! Itu betul! Tapi kau buta! Dua manusia yang kau banggakan sebagai sumber kebahagiaan, sesungguhnya merekalah sumb
Tanah merah itu hanya terselimuti bunga yang ia dan Martin taburkan. Tidak ada sanak saudara yang datang dan memang mereka tidak memiliki kerabat dekat.Martin terpekur dengan wajah membeku dan tatapan mata kosong. Sejak bertemu dengan Milly, adiknya tidak berkata sepatah kata pun.Ada tatapan Martin yang terkesan menyalahkan kakaknya yang tampak tidak peduli sejak menikah dengan pria arogan tersebut.Langit mulai mendung dan hujan deras mungkin akan segera turun. Milly tidak berniat untuk meninggalkan tempat tersebut secepatnya.Martin bangkit dan tanpa mengucapkan kata, ia berjalan menjauh. Hati Milly semakin þerpuruk. Adiknya memperlakukan dirinya seperti orang asing.Virgo yang sedari tadi berdiri di kejauhan, mulai mendekat dengan dua buah payung yang entah kapan ia siapkan."Milly, hujan akan turun. Kita harus bergegas." Kalimat formal Virgo terdengar begitu lembut. Milly masih tertunduk dan menatap makam ayahnya. Hendra Gunawan,
"Virgo, jangan bercanda. Ini bukan waktu yang tepat untuk ....""Ini fakta, Milly Berliana!" potong Jetro yang sedari tadi terdiam, kini mulai turut andil.Istrinya berpaling dan menatap Jetro dengan napas sesak dan jantung berdebar."Iblis? Ba-bagaimana mungkin ... kalian ta-tampak normal," ucap Milly dengan susah payah.Virgo ingin menahan Jetro, tapi pria itu tidak peduli. Setelah berdiri dan menggulung lengan kemejanya, Jetro menjentikan jarinya. Muncul api kecil meliuk di atas telunjuknya seperti sihir mentalis yang sering ia saksikan di televisi."Itu tidak cukup bukti, maksudku, mentalis profesional akan dengan mudah melakukan hal tersebut, bukan?" Milly makin tampak gelisah serta mencoba menyangkal.Jetro tidak berhenti di situ. Lelaki itu kemudian mengubah wujud, serta menunjukkan bentuk aslinya dalam satu kedipan mata!Milly sontak berteriak ketakutan. Ia merapatkan tubuhnya ke sandaran sofa sementara tubuhnya gemetar.&nbs
Jawaban Jetro yang terlontar membuat Milly makin merasakan kemuakan. Mengetahui bahwa dirinya hidup bersama dua makhluk yang bukan manusia sepenuhnya, menciptakan kengerian begitu mendalam.Milly meningkatkan waspada dan selalu menjaga jarak dengan mereka. Semua yang biasa ia lakukan dengan Virgo, ditolak dengan halus.Memahami jika wanita tersebut sedang dalam proses penerimaan atas fakta yang mereka ungkapkan, Virgo membiarkan Milly untuk menikmati waktu sendiri.Sementara itu Jetro terus menyibukkan diri dengan urusan dengan kekacauan Sybil. Sudah beberapa kali ia mengalami serangan dan entah kenapa, Sybil semakin gencar dan bahkan mengetahui semua gerak geriknya selama ini.Permusuhan yang sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu, semakin meruncing. Sybil juga mencoba menghancurkan bisnis yang Jetro dan Virgo telah bangun selama ini."Aku akan mencoba menyelidikinya," pamit Virgo pada Jetro.Pria itu masih cukup ragu akan keper