Share

Drowning In

Milly tidak memahami pikirannya sendiri. Bagaimana ia bisa menyetujui tawaran Jetro dan menolak bantuan Prana? 

Keduanya pasti menuntut hal yang sama. Pernikahan. Namun Milly setidaknya bisa merasa dihargai jika memilih Prana! 

Menghadapi Jetro yang angkuh, kasar dan sinis sangat melelahkan emosinya. 

Belum lagi rasa benci yang mulai menggunung dalam batinnya. Tapi semua sudah terlanjur. Milly menggadaikan hidupnya pada pria brengsek yang menikmati tubuhnya tanpa cinta! 

Jetro memenuhi janjinya. Ia menyediakan fasilitas terbaik di rumah sakit untuk ayahnya dan pembayaran penuh untuk kuliah Martin. 

Jetro juga menawarkan mobil dan rumah, tapi Martin menolaknya.

"Aku nggak mau Mbak Milly makin berhutang budi!" tangkis adiknya penuh pengertian. 

Semua berjalan baik. Jetro bahkan menebus Milly dari hotel yang dikelola Renzo. 

Pria serakah itu meminta tebusan lima ratus juta untuk primadonanya. Milly yakin, semua uang akan masuk ke dalam kantong Renzo sendiri. 

Semua teman-teman menyalami dan memberi selamat pada Milly. Wanita itu hanya tersenyum getir. 

Tidak ada kebahagiaan dari menjadi istri seorang Jetro Six. Pernikahan ini adalah palsu. Tidak ada cinta yang terlibat dan hanya kepentingan saling menguntungkan saja. 

Setelah semua selesai dan tuntas, Milly berpamitan pada ayah juga adiknya untuk mengikuti Jetro ke pulau pribadinya di wilayah NTB.

Ayah Milly yang telah pulih dan kembali sehat, hanya menatap putrinya dengan hati hancur. Demi nyawa tuanya, Milly harus mengorbankan segalanya. Sebelum mereka pamit, ayahnya meminta Jetro untuk bicara empat mata. 

Dengan berat, Milly dan Martin berlalu. Ayah Milly membisikkan sesuatu pada Jetro yang mengenggam tangan keriputnya dengan erat. 

Lima belas menit berlalu dan akhirnya Jetro keluar dengan wajah dingin. 

"Martin, aku sudah transfer biaya hidupmu. Kami pamit!" cetus Jetro tanpa basa basi meninggalkan rumah kecil dan sempit tersebut. 

Milly melambaikan tangan pada adiknya dengan tatapan penuh sesal. Martin bergeming dengan rahang mengeras.

***

Helikopter pribadi yang membawa Jetro dan Milly mendarat di tengah padang, belakang sebuah villa mewah. 

Bangunan yang menghadap ke laut tersebut tampak bagaikan kastil yang dibangun dengan sangat detail dan apik.  

Tidak ada pagar yang mengelilingi karena seluruh pulau kecil tersebut adalah milik Jetro. 

Seorang pria dengan penampilan kasual namun rapi menyambut keduanya. Milly menjabat tangan dan pria yang jauh lebih ramah tersebut menyebutkan namanya: Virgo. 

Milly terkesan dengan kesopanan asistan Jetro yang ternyata telah bersama suami kontraknya dalam periode cukup lama. 

"Aku bahkan lupa kapan pertama kali Jetro dan aku bersama. Hanya yang paling kuingat dengan jelas, dia menyelamatkan aku dari kejaran serigala gunung!" tutur Virgo dengan tawa lepas. 

Jetro hanya menanggapi dengan senyum samar. Milly tidak habis pikir, bukan hanya Jetro yang sering berkata-kata dalam bahasa aneh, ternyata asistannya juga serupa. 

Bukan karena disampaikan dalam bahasa asing yang Milly tidak pahami, tapi ucapan Virgo dan Jetro terkadang mencerminkan jika keduanya telah hidup ratusan tahun dan bukan manusia yang lahir pada era modern. 

Milly akhirnya mengambil kesimpulan jika kedua pria tersebut menggunakan istilah aneh untuk membuat kisah mereka terdengar keren. 

"Aku akan menunjukkan kamarmu, Nyonya Six!" ajak Virgo mengulurkan lengannya untuk Milly gandeng. 

"Milly. Panggil aku dengan Milly aja," tukas Milly dengan sungkan. 

Virgo menepuk lengan Milly dan mengajaknya untuk mengikutinya.

“Milly, aku suka dengan nama itu,” balas Virgo. Milly tersenyum kikuk.

Mereka naik ke lantai dua dan melewati lorong yang cukup panjang. Milly kagum akan lukisan yang tergantung di sepanjang lorong tersebut, Jetro dan Virgo dengan berbagai pakaian yang modelnya mungkin sengaja dibuat klasik, abad pertengahan. Karpet yang terpasang di tengah lantai di lorong juga Milly tebak bukan pilihan sembarangan.

“Ini kamarmu.” Virgo membukakan pintu untuk Milly. Wanita itu masuk dan tercengang.

Ruangan yang sangat luas itu hampir sebesar setengah dari rumah kontrakannya. Belum lagi ruang kloset untuk lemari dan sepatu yang ada di sebelah kamar mandi. Semua tampak berlebihan.

Milly menyentuh tempat tidurnya nanti. Ranjang kayu itu terlihat mirip dengan pembaringan para putri jaman dulu dengan kelambu indah. Semua perabot yang ada di dalam kamar tersebut bertemakan rustic white. 

Milly bagaikan berada di alam mimpi. Setiap corak ukiran pada meja, kursi juga lemari dipahat oleh seorang seniman ukir yang berselera tinggi.

Kamar mandi yang memiliki bath up, dilengkapi dengan shower yang terbuat dari besi perunggu. Setiap detail menambah keindahan dan juga kemewahan kamarnya. 

“Silahkan beristirahat. Jika butuh apa-apa, kamu cukup menekan bel di dekat pintu. Seseorang akan datang buat kamu,” pamit Virgo sebelum berpamitan. 

Milly mengangguk dengan sungkan. 

Pintu kamarnya tertutup kembali dengan pelan. Milly duduk dan wajahnya tampak bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Kamar semewah ini tidak memiliki televisi. Wanita itu melirik ke arah koper dan menyeretnya ke depan lemari. 

'Mungkin membereskan baju adalah hal yang paling efektif untuk saat ini,' pikir Milly.  

Ketika tangannya membuka lemari baju, Milly tercengang. 

Jajaran gaun wanita sudah tergantung rapi di dalam!

Setelah Milly periksa, ukuran tersebut semua pas untuknya. Dengan tidak sabar, Milly membuka satu-satu lemari dan menemukan semua terisi dengan baju dalam berbagai macam model dan kebutuhan. Ketika tangannya menarik laci, ia juga menemukan pakaian dalam yang lengkap dan tertata rapi.

Di tengah kekaguman Milly, ia berpikir lagi. Tidak ada satu pun baju Jetro ada dalam lemari tersebut. Apakah ini berarti dirinya tidak akan bersama dengan Jetro dalam satu kamar? Bukankah mereka telah menikah di catatan sipil dan resmi menjadi suami istri?

‘Oh Tuhan, apa maksud dari semua ini?’ keluh Milly merasa semakin tenggelam dalam kebingungan. 

Ia membiarkan kopernya terbuka dan kakinya melangkah menuju jendela. Di luar, laut terlihat biru dan indah. 

Dunia yang mengagumkan ini bukan untuknya. Dia menikmati untuk sementara dan dalam keterbatasan waktu. 

Milly duduk di sofa yang terdesain khusus melekat dengan dinding. Kepalanya bersandar pada bantal empuk besar yang ada dekat jendela sementara angannya melayang jauh.

Bagaimana kabar ayah dan adiknya? 

Rasa lelah karena perjalanan yang tidak singkat membuat Milly baru merasakan lelah yang luar biasa. Semilir angin dari jendela yang terbuka, membelai kulit halusnya. Seakan menghibur hati Milly yang masih belum siap menerima semua perubahan ini.

Hidup baru sebagai istri pria kaya tidak pernah Milly mimpikan. Jika memang ini menjadi takdirnya untuk menggapai bahagia dalam waktu singkat, Milly berdoa semoga ia sanggup bertahan hingga usai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status