Dia bukan melihat pada bagian atas lututku yang terbuka, tapi tatapannya tepat menghujam kedua bola mataku.
Aku tahu, selangkah lagi menuju kematian yang bukan makna sebenarnya dari kematian itu sendiri.
Cukup tegang, aku melepas rok pensil ketat sialan ini dengan perlahan, dan tentu saja sulit. Beruntungnya kemeja putih polos yang menutupi celana dalamku, benar-benar menjalankan perannya yang baik. Sehingga bagian itu tertutup dari pandangan kedua matanya.
“Tidak ada waktu lagi. Buka blazer-mu untuk menutupi bagian depan,” perintah Rhys. Dan kurasa itu hanya perintah konyol untuk mempermalukanku.
“Lalu ini untuk bagian belakang,” katanya lagi sambil melempar jas-nya ke arahku. Tepat menutupi kepalaku saat jas itu mendarat. Dia memang tidak akan pernah memiliki secuil pun sopan santun. Tidak akan pernah.
Sejujurnya, ini terlihat konyol dan memalukan. Dua bentuk luaran dari pakaian untuk menutupi bokong dan bagian depanku. Aku tahu, Rhys berniat memulai hukumannya dari yang paling kecil dan manis. Dia sadis, licik, dan tentu saja, kurang ajar!
Tapi hanya dia satu-satunya anggota keluarga yang tidak akan pernah berani kulawan, apalagi memiliki kepercayaan diri untuk bisa menang darinya.
Hebatnya, aku tetap saja mengacau. Hal biasa yang kulakukan pada setiap perintah keluargaku. Itu sikap yang berani, menurutku.
“Ayo, cepat.” Rhys sudah berjalan lebih dulu, tepat ketika aku selesai mengikat kedua lengan jas-nya di pinggangku.
Rhys menoleh sekilas ke arah tubuh kaku Tom Jhon Parera dengan senyum yang sulit kuartikan. Seperti seringai, tapi lebih tepat jika disebut senyum menghina, terkadang juga terlihat seperti segaris tipis yang tak bermakna apapun.
Di luar, sepi. Aku tahu, jelas tahu bahwa seluruh penghuni rumah berada di pihak Rhys. Hanya si bodoh keras kepala Tom, yang sebenarnya bisa dibunuh Rhys kapanpun dia mau, berjiwa angkuh dan tidak ingin menundukkan kepalanya di depan Rhys.
“Kau gagal ZeeZee ...” Dia menoleh sekilas padaku, “tunggu sampai aku pulang dari Family Wood, untuk memberikan hukuman yang tepat dan sesuai denganmu.” Jarinya mengacung ke arahku, dua kali.
“Baik,” sahutku cepat. Tidak sempat berpikir kemungkinan lain, jadi aku memilih untuk menjadi gadis bodoh yang penurut.
“Bawa mobilku. Pulang, bersembunyilah di kamar sampai aku datang,” perintah Rhys terdengar menyeramkan, tapi aku mengikutinya tanpa bertanya apapun lagi.
Dia berbalik arah, kembali menuju ke ruangan tempat Tom Jhon Parera mati. Kurasa, dia akan menunggu bawahannya datang dan membereskan kekacauan yang kubuat.
*****
Ibu menatap kedatanganku dengan perasaan seperti setengah ingin menghardik dan sisanya ingin bertanya.
Aku tahu Ibu tidak akan bisa berbuat apapun ketika pagi-pagi buta, Putra tertuanya sudah ada di tepi ranjangku dan memintaku melakukan tugas untuk menguji, bukan karena dia membutuhkan bantuanku.
Aku melewatkan lagi sarapan yang wajib dihadiri oleh semua anggota keluarga dan terkadang, ada beberapa tamu penjilat yang ikut semeja makan dengan kami.
Jika ada yang melewatkan sarapan, maka hukuman dari Ibuku tidak bisa terbantahkan oleh siapapun di rumah ini, kecuali Rhys.
Jadi aku sedikit bersyukur dia membawaku ke ruangan yang di dalamnya ada Tom Jhon Parera yang buta dan duduk santai di kursi berlengannya.
Kulewati Ibu begitu saja tanpa membiarkan dia bertanya apapun padaku. Senyum kemenangan langsung menghiasi bibirku. Kemenangan pertama dalam hidupku, dan itu berkat Rhys.
“Bagaimana tugas pertamamu?” Itu pertanyaan dari Leon, Kakak keempatku dan dia paling waras, menurutku.
“Kau sengaja menungguku untuk menanyakan hal itu?” Aku melihat tampilannya yang sudah sangat rapi, bersandar tepat di pintu kamarku.
“Tentu. Aku penasaran akan hasilnya.”
“Gagal!”
Leon tergelak, memegang perutnya. Aku bingung dari segi apa itu terlihat sangat lucu baginya.
“Dan kau pulang seperti seseorang yang baru saja diperkosa,” cibir Leon dengan kedua matanya yang menilai tubuhku seenak hatinya.
“Tidak seburuk itu. Kau mengada-ngada.” Aku mendorong tubuh tinggi kurus Leon menjauhi pintu, meski tidak ada gunanya, setidaknya, dia mengerti dan hanya menggeser tubuhnya sedikit seakan dia tidak sudi melakukannya.
“Jika Tom mati, maka hukuman berat menantimu, Adikku sayang.” Nada peringatan Leon terdengar serius. “Hukuman yang lebih berat daripada penjara,” kata Leon lagi. Aku tahu dia benar-benar sedang memperingatkanku.
“Aku tahu, aku tahu.” Berusaha tetap terlihat beringas akan lebih baik di lingkungan keluargaku.
“Siapkan dirimu kalau begitu.”
“Aku siap. Aku selalu siap,” kataku, lagi-lagi terlihat kuat serta berani dan pandangan meremehkan timbul dari wajah Leon.
“Dia ingin menyingkirkanmu. Kau tak paham akan hal itu?”
“Hanya karena aku si bungsu yang tidak berguna, dan karena hanya aku yang terlahir sebagai wanita?” Bukan menjawab, aku menumpahkan kekesalan. “Dia tidak perlu melakukan itu, Leon. Aku hanya debu jika dibandingkan dengannya.”
“Entahlah. Jelas bukan karena hal itu. Dia licik, ZeeZee. Aku yakin dia memang ingin menyingkirkanmu dengan caranya yang membingungkan dan tidak dapat ditebak, meski itu olehku sekalipun.” Dua kali, Leon mengangkat bahunya. “Tidak jelas seperti apa akhirnya, bersiap saja.”
Aku diam tak menyahuti ucapannya lagi, sehingga kulihat dia bergerak menjauhi kamarku. Tapi saat aku sudah memutar kunci kamarku, suara Leon terdengar memanggil namaku, aku menoleh.
“Jika kau butuh rencana atau sesuatu yang lain, temui aku, di kamarku.” Dia mengedip genit, lalu tertawa keras seorang diri sambil berjalan meninggalkan aku yang memberinya sumpah serapah di dalam hati.
Leon berengsek!
Dia memang senang menggoda dan bertingkah genit padaku, tapi tidak di luaran. Di antara keenam Kakakku, hanya Rhys dan Leon yang paling ditakuti dan diincar kaum hawa.
Padahal, masih ada Hugo yang paling tampan. Mungkin, meski tampan, daya pikat pria seperti Hugo sedikit kurang menarik. Dia ramah pada semua gadis. Dan senang menerima tawaran setiap wanita yang mengajaknya. Walau saat beraksi semua Kakak-Kakakku tidak ada bedanya, gila dan mengerikan.
*****
Aku lupa kapan aku tertidur setelah selesai merapikan diri, yang jelas, sekarang aku merasakan ada sentuhan halus di telapak kakiku.
Sedikit geli, lebih banyak memberi sensasi menyenangkan. Sepertinya aku sedang tersenyum sekarang, dalam tidurku.
Usapan itu kembali menggelitik, hingga kedua mataku akhirnya terbuka. Aku menggeliat sesaat dalam posisi berbaring, dan hampir mati terkejut saat melihat ada Rhys bersandar di dinding samping pintu kamarku.
Aku terduduk tegak dengan jantung seakan berlarian ke sana kemari. Ingin bertanya dan menghardik, tapi nyaliku langsung menciut habis tak bersisa melihat tatapannya.
“Kemari,” perintahnya pelan. Dia bersuara sedikit saja dan itu terdengar menakutkan.
Aku turun dari ranjang dengan setengah limbung. Berjalan pelan ke arahnya, dan marah pada diriku sendiri yang lupa bahwa dia akan berkunjung ke kamarku dengan mudah, karena dia memiliki kunci untuk masuk.
Dan dasar bodoh, aku mengenakan gaun tidur berbahan katun yang tipis. Padahal ini masih sore dan aku tidak bisa seenaknya lagi sejak Rhys memilihku untuk menjadi target selanjutnya.
Meski kami bersaudara kandung, aku tetap takut pada pandangan mata Rhys yang seakan menembus ke dalam tubuhku, seolah dia tahu apa yang ada dibalik gaunku.
Bukan otakku yang kelebihan muatan rasa curiga. Tapi memang begitulah kenyataan di keluargaku ini. Aneh, gila, dan menjijikkan.
“Ambil sisir,” perintah Rhys langsung membawaku pada sisir yang berada di atas meja rias.
Kuberikan sisir itu padanya, dan dengan cepat dia berhenti di depan wajahku.
“Berbalik.”
Bersambung.
Rajin menghitung hari sebagai pengingat, agar aku yakin tidak melupakan momen-momen penting untuk perubahan hidupku, ini hari ke dua puluh satu setelah kejadian itu.Luigi dan aku tinggal serumah, itu benar. Tapi ketertarikanku padanya masih sama, hampir tidak ada. Walau sesekali dia coba untuk naik ke ranjang yang sama denganku di malam ke lima belas dan delapan belas, aku berpura-pura tidak tahu dan memilih tidur memunggunginya sampai pagi.Ada dua kamar di rumah ini, tapi dua malam itu dia mungkin coba melihat keadaanku, alih-alih berbaring di sisiku.“Lui, sebaiknya kau kembali. Ayah dan Ibu bisa sangat mencurigaimu karena hal ini,” kataku, memberi saran. Dia sedang menatapku, ketika sarapan pagi ala ZeeZee sudah disantap setengah jalan menjadi harapannya padaku setiap pagi.“Kau mengusirku?” Luigi menaikkan kedua alis, tapi tidak tampak marah sama sekali.“Untuk kebaikan bersama,” bantahku.Meneguk ha
“Minggir dari hadapanku, Lui.” Rhys mengeluarkan kalimat sedingin es dan terasa tidak menyenangkan jika aku yang mendengarnya.“Tidak, Rhys. Kita harus bicara.” Luigi menatapku, bukannya Rhys.Kulihat wajah Rhys yang mendadak semakin tidak biasa, tegang, dan penuh amarah.“Kau tidak lihat dia terluka?” Suara Rhys mirip geraman. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak memukul Luigi tanpa batasan, karena ada aku di sini.Luigi melihatku, tatapannya melunak, tapi aku tidak menyukai caranya menatapku. Dia membuat gambaran seolah kami memiliki hubungan yang bisa saling berbagi suka dan duka.“Akan kupercepat, kalau begitu.” Luigi kembali lurus menatap Kakaknya. Si sulung dan si bungsu yang saling menatap dalam tatapan tak suka. “Ini tentang rencana Ayah dan Ibu yang ingin membunuh ZeeZee dengan memasukkan racun ke makanan atau minumannya.”Sungguh, aku tidak terkejut sama sekali. Ak
Aku diam. Tidak berniat menanggapi lebih daripada ini. Jelas, aku meragukan ceritanya. Dari mana dia mengetahui semua alur cerita di saat itu, sementara dia sendiri tidak berada di sana?Kemungkinan terbesarnya hanya satu. Seseorang yang berkhianat pada keluarga Oxley menceritakan semua yang terjadi kala itu pada Audrey.Jika kukatakan aku tidak—“Ledakan! Lari, cepat lari!”Terjadi begitu cepat, kulihat dalam keadaan sadar, sisa orang-orang di dalam restoran cepat saji ini berlarian, berteriak dan menjerit histeris.Ada beberapa tubuh tergeletak dengan wajah penuh luka, tak sadarkan diri. Jeritan tangis melengking dari arah tak kuketahui ikut memasuki pendengaranku.Tempat yang kududuki kemudian bergetar. Aku melihat di depanku, kumpulan asap hitam berjarak hampir dua puluh meter terasa lebih dekat dan ingin menelanku.Lenganku sudah ditarik oleh Lucas, serta Audrey Mika yang ikut panik di sisinya. Semua terasa berj
Sepakat, kami memilih restoran cepat saji di dalam pusat perbelanjaan, dan aku meminta Lucas untuk tidak mengatakan apapun pada Rhys mengenai pertemuanku dengan Audrey.Aku tahu, meski kukatakan tidak, Lucas tentu saja lebih patuh pada yang membayar gajinya setiap bulan. Jadi tidak akan ada antisipasi untuk hal ini. Dan aku juga tidak peduli tentang semua itu. Jika Rhys bertanya, pasti akan kujawab dengan jujur.Lucas memilih meja ketiga dibelakang kami. Aku yakin sekarang dia sedang memberitahu Rhys mengenai Audrey Mika Dawson yang menikmati makan siang semeja denganku. “Kau pasti tahu bahwa dia akan memberitahu Rhys mengenai dirimu yang mengganggu waktu belanjaku.”Audrey Mika tersenyum, tapi kedua matanya terus fokus pada Lucas. Aku tidak melihat ke arah yang sama pada fokus Audrey, tapi tetap melanjutkan apa yang ingin kukatakan. “Jika kau sudah tahu, jangan sampaikan hal yang mungkin mudah ditebak oleh Rhys. Aku tidak pintar berbohong pada
“Menurutmu, begitu?”Aku menghela napas. “Aku yang bertanya. Tolong jawab saja pertanyaanku.”Rhys merubah posisi berdirinya. Menurunkan kedua tangan dari lipatan di depan dadanya. “Rahasia yang memang sengaja aku simpan jauh darimu. Siapapun yang berniat memberitahumu, meski itu Ayah atau Ibu, aku tidak segan untuk membuat perhitungan dengan mereka.”Bergidik, aku yakin, kata ‘perhitungan’ bukan hanya sekedar itu saja, tapi memiliki arti yang jauh lebih mengerikan jika itu Rhys yang mengucapkannya.Dia tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Terutama padaku. Dia membuktikan semuanya, aku tahu itu.“Baiklah, itu artinya, kau akan memberitahuku sebelum ada yang coba mendahuluimu, bukan?” Dengan gugup yang tiba-tiba muncul, aku menyesal karena ingin tahu rahasianya. Tapi ini sudah terlanjur kutanyakan.Jika Rhys memilih untuk tidak memberitahuku, maka sebaiknya aku mencari tahu sen
“Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem