Kurasakan tarikan halus di sekitar kepalaku. Rhys melakukannya. Dia menyisiri rambut cokelat-ku yang melewati bahu.
“Berapa kali kau keramas dalam seminggu?”
Aku hampir tertawa. Dia yang jarang bicara jika tidak ada hal penting, kenapa bertanya mengenai hal sepele?
“Hampir tiap pagi aku keramas,” sahutku datar, sebisa mungkin begitu.
“Ganti waktunya.”
“Apa?”
“Setiap sore,” katanya tanpa mau mengulangi pertanyaan kebingunganku.
“Bisa beritahu aku alasannya?”
“Hanya ingin.”
Aku benar-benar memimpikan saat-saat di mana aku bisa memukul wajahnya, meski itu tidak akan pernah terwujud dalam kehidupan nyataku.
“Hanya ingin?”
“Jangan biasakan mengulangi perkataanku.”
“Baik.” Aku cukup cepat menjawabnya karena tidak ingin nada mengintimidasi yang lebih dari ini.
“Mulai hari ini, setiap pulang dari Oxley Family Wood aku akan singgah. Jangan biarkan siapapun masuk dan berada di kamarmu. Keramaslah satu jam sebelum aku tiba, dan jangan keringkan menggunakan hairdryer. Tetap biarkan setengah kering.”
Mendadak, aku merasa mual dengan sikap aneh dan menjijikkan yang direncanakan olehnya, meski aku sudah terbiasa dengan kengerian lain yang dilakukan keluargaku, di rumah ini.
“Kau ingin membantah?”
“Apa ini sebagai bentuk hukuman yang harus kuterima?”
“Bisa ya, bisa juga tidak.”
Aku menghela napas diam-diam, tidak ingin dia mendengar, apalagi merasakannya.
“Ada bantahan?”
Aku segera menggeleng. Membantah lebih sulit daripada mati. Tidak ada negosiasi dengan Rhys.
“Selesai,” katanya setelah lima menit berlalu dalam sunyi.
Dan tidak sadar bahwa ternyata dia pintar mengepang rambut dan sudah menyelesaikannya dengan cepat.
“Bacakan buku ini dengan baik untukku.” Rhys menyodorkan sebuah buku dari balik punggungku, buku tebal dengan sampul cokelat tua dan tulisan judul serta nama pengarang berhuruf timbul.
Ini seperti novel tebal fantasy atau petualangan untuk remaja. Apa dia tidak sadar umur?
Aku menerima buku itu dengan pelan dan berbalik menghadapnya. Melihat pada kedua bola mata Rhys yang memancarkan sorot mata tajam.
Perintah Rhys bukan memperlihatkan dia tidak mampu membaca, apalagi buta huruf.
Dia Putra sulung terpintar dan terlicik yang dimiliki keluarga ini. Rhys hanya sedang menghukumku secara perlahan-lahan dengan tujuan berbeda. Bukan berencana untuk melukai fisikku, tapi mentalku.
Lama kelamaan, apa dia menginginkan aku menjadi gila dari waktu ke waktu?
“Apa yang kau tunggu?” Ucapan Rhys menyusup ke gendang telingaku. Perlu kuulangi, kami tidak pernah memiliki hubungan sedekat ini sebelumnya.
Dan sekarang, ini sangat meresahkanku. Membuat dentuman besar di dalam dadaku setiap kali melihat Rhys memperhatikan setiap gerak tubuhku. Bahkan untuk menyapukan bibirku saja, aku tak lagi bisa bebas sejak dia masuk ke kamarku.
“Akan kubacakan sekarang,” kataku memberitahu. Kebingungan sebentar, karena di kamarku tidak ada loveseat, aku jelas tidak menyukai sofa dengan jenis itu di kamarku.
Lagipula, aku tidak perlu loveseat karena aku jarang bersantai di kamarku. Untuk membaca buku? Oh, tidak! Aku benci membaca buku.
Rhys yang bukan pemilik kamar, justru santai naik ke ranjangku, duduk bersila, melipat kedua tangan di depan dada, dan bersandar pada kepala ranjang. Pemandangan yang luar biasa.
Hanya lewat tatapannya saja, aku paham dan bergerak mendekat, duduk di tepi ranjang, berjarak cukup jauh darinya. Sejengkal lagi, aku tiba di kaki ranjang.
“Aku tidak akan menggigitmu. Jadi kemari.” Nadanya terdengar kasar, tapi tidak membentak.
Aku bergeser sedikit. Hanya sedikit.
“Jangan membuatku mengatakannya dua kali. Lebih dekat atau aku tidak akan selesai denganmu di sini.”
Aku bergidik mendengar ucapannya. Sebagai wanita muda dan normal, aku berpikir bahwa ucapan pada kalimat terakhirnya itu, tidak cocok dia lontarkan padaku, tapi lebih tepat pada semua wanita yang biasa melayaninya di atas ranjang.
Lagipula, dia terlalu tua untuk bermain-main dengan tubuh wanita. Seharusnya di usianya ini, dia sudah mengantar bocah lima tahun untuk jalan-jalan sore di taman, bukan mendengarkan Adik perempuannya membacakan buku kategori fantasy untuknya.
Tepat ketika aku mulai membuka sampul depan, Rhys menarik pelan lenganku, agar aku benar-benar duduk tepat di hadapannya.
“Samakan posisimu denganku.” Dia berkata menggunakan petunjuk dagu.
Menelan kebodohanku sendiri, aku menurut. Benar-benar menurut dengan posisi duduk bersila, berhadapan, melawan tatapan Rhys yang belum berani kutantang balik, selama diriku masih bernyali pecundang seperti ini.
“Aku akan mulai membacakannya,” kataku, memberitahu Rhys lagi karena kulihat keningnya mulai berkerut dan itu bisa jadi berbagai pertanda.
Mungkin bosan, marah, tidak sabar, atau ingin mengeluarkan sumpah serapah tepat di depan wajahku.
“Bacakan yang benar, jika aku tidak puas mendengar bacaanmu, kau akan mendapat hukuman yang setimpal dariku.”
“Baiklah.” Dalam posisi ini, aku tanpa sadar berani menjawabnya.
“Bagus. Mulailah.”
Mengatur napas dengan tepat, aku berdeham setelahnya. Menunduk menatap buku tebal yang terbuka lebar di atas pangkuanku, jauh lebih baik daripada menatap wajahnya.
Mulutku sudah terbuka dan siap bersuara, tapi Rhys kembali mengacaukanku.
“Bacakan dari sampulnya.”
Aku ingin berkata ‘apa’ tapi enggan, jika kuingat dia sudah memperingatiku untuk tidak membuatnya mengulang.
“Sorcerer's Memory, karya Megan Laura.” Aku berhenti di bagian ini, melirik sekilas pada wajah Rhys yang terlihat tak merasa marah dengan caraku membacakannya.
Suara pelan, namun tidak lirih, berintonasi, dan sedikit berjeda. Aku hanya mampu membaca dengan cara ini. Karena seumur hidup, aku tidak pernah mendengar Ibu atau Ayah dan bahkan pengasuhku—Orie—membacakan cerita sebelum tidur untukku.
Kubuka halaman pertama buku itu, sebuah halaman bersih dengan sebaris kalimat di bagian atas.
“Terima kasih untuk Rhys, cinta pertamaku dalam tetes air mata pada yang bertepuk sebelah tangan ...” Penuh kehati-hatian aku membaca pada bagian itu, meski tidak sepenuhnya yakin bahwa yang di maksud si penulis dengan ‘Rhys’ di sini adalah Kakak sulungku yang super gila, karena kesamaan nama terkadang hanya fiktif belaka. Kulanjutkan lembaran halaman selanjutnya, “bab satu ....”
Saat Rhys mengangkat tangannya ke udara, di depan wajahnya, aku kembali berhenti. Sekarang aku harus mulai terbiasa untuk tidak selalu fokus menatap buku di pangkuanku, tapi sesekali melirik ke arahnya yang senang membuat gerakan isyarat tiba-tiba ditengah pekerjaanku.
“Saat membaca dialog tiap tokohnya, usahakan untuk benar-benar menjadi mereka.”
Aku sungguh-sungguh memiliki keinginan yang besar untuk memukul wajah tampannya yang sama sekali tidak terlihat tua, di usianya yang terpaut tiga belas tahun dariku itu.
“Baik,” sahutku cepat, menekan ujung buku dengan beberapa jariku, “bisa aku mulai bab satu-nya?”
“Ya, silahkan.”
Aku kembali berdeham, berharap bisa menuntaskan buku ini dalam beberapa hari, tapi aku yakin tidak akan bisa karena halamannya yang mencapai ribuan.
“Rumput hijau semata kaki yang kini tidak lagi sama, menguning dalam kurun waktu seminggu sejak para penyihir utara mendatangi tempat—”
“Berhenti sebentar,” sela Rhys, tidak lagi mengejutkanku.
Aku meliriknya sekilas yang terburu-buru turun dari ranjang seraya memegang ponselnya. Panggilan seperti itu terkadang menyelamatkanku, meski sekarang, yang kubutuhkan bukan itu.
Aku menutup bukunya, dan Rhys sedang menahan tanganku yang melakukan itu, membuatku terkejut dan hampir tidak dapat bernapas karena cengkeraman tangannya yang kuat dan tiba-tiba, di pergelangan tanganku.
“Aku belum memintamu untuk menutup bukunya, ZeeZee.”
Bersambung.
Dengan pelan, aku mengangguk dan menjawab, “Ya.”Rhys melanjutkan percakapannya di telepon. Aku tidak fokus pada apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya itu ada kaitannya dengan Tom Jhon Parera.“Urus semua sisanya. Jangan ada yang terlewat.” Rhys melirikku yang kebetulan, tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arahnya. Cengkeraman eratnya mengendur. Aku tidak paham kenapa itu terjadi. “Sebaiknya kau tidak menghubungiku sampai nanti kuizinkan.” Rhys memberi peringatan di telepon, lalu mengakhiri panggilan.Melepas cengkeraman tangannya, dia kembali naik ke ranjangku. “Ayo mulai lagi. Gangguan sudah lewat.”Semakin lama, semakin terasa bahwa aku hanyalah pecundang yang terlihat mengalami kemajuan.Hampir lima puluh lima menit ketika Rhys memintaku berhenti. Aku benar-benar menghitung dengan tepat waktunya. Detail seperti ini, sewaktu-waktu, aku akan membutuhkannya.“Besok pagi, kenakan pakaian yang akan diantarkan Peony padamu. Kau harus
Aku bergeming ketika Rhys sudah berdiri di belakangku. Posisi yang sama seperti saat dia mengepang rambutku kemarin sore.Dia membuka tatanan half ponytail-ku, dengan perlahan-lahan. Menyisiri rambutku dengan jari-jarinya. Setelah itu, aku tidak bisa merasakan apa yang dia lakukan di belakang, tepatnya pada rambutku.Diam membeku, aku menahan rasa ingin merosot duduk di lantai. Aku bergetar karena merasakan kedekatan yang mengancam dibalik punggungku.Grapefruit dan pepper dari tubuh kami seakan menyatu, aromanya sangat kuat memenuhi ruang perpustakaan yang ukurannya setengah dari perpustakaan kesatu milik Ayah dan Ibu.Kali pertama aku ke sini, sebentar, aku tidak ingat, dan sepertinya memang aku belum pernah menginjakkan kakiku ke sini. Aku juga tidak yakin kelima Kakakku yang lain pernah dibiarkan masuk oleh Rhys.“Pergilah bercermin.” Rhys berkata dengan nada memerintah, dan itu berhasil mengejutkanku.Rambutku terasa dalam balutan berbeda. Se
“Katakan sesuatu yang benar-benar setimpal dengan waktuku yang kau buang.” Rhys memandangku, terlihat menikmati caraku mencegahnya pergi.“Bisakah kita mendiskusikan ini dalam perjalanan?” Aku mengais jari-jari kaki kanan di lantai marmer honed yang anti licin. Sampai kapan aku tidak diizinkan mengenakan alas kaki seperti ini?“Apa yang ingin kau diskusikan?”“Tentang ...” Aku menoleh sekilas ke lorong menuju ruang makan, “tentang ucapan konyolku tadi.”“Kau berubah pikiran?”“Ya.”“Bagus.” Dia memutar tubuhnya. “Ikut aku.” Baru dua langkah berjalan, dia berhenti, melihatku melewati bahunya. “Jangan berjalan dibelakangku.”Menghela napas diam-diam, aku menurut. Berjalan di sisinya dengan kedua kaki telanjang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana perihnya kedua kakiku jika digunakan saat menginjak aspal atau lantai yang terkena sinar matahari.Jelas sekali Rhys ingin membuatku menderita.Kami tiba di garasi. Sama seperti sebelumnya, a
Apel matang yang sudah berdiri di puncak kepalaku sedikit tidak menurut. Sesekali dia hampir merosot, dan aku berhasil menangkapnya.Aneh, Rhys terlihat sabar akan hal itu. Dia diam menunggu, tanpa mengatakan apapun meski pandangan kedua matanya begitu tajam dan menakutkan.Aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa si apel sudah siap, dan aku juga siap untuk mati. Berlebihan memang. Tapi aku hanya siap untuk terluka, bukan mati konyol.Dalam jarak terdekat, bukan seharusnya—tiga puluh meter—sekitar dua puluh meter, mungkin Rhys bisa mengenai apelnya. Berdoa saja, atau paling tidak, aku berharap tidak, jangan sampai kepalaku yang terkena bidikan anak panahnya.Mungkin jika harus memilih, lengan, bahu, atau kaki ya, sebaiknya anggota tubuh yang lain. Oh baiklah, aku sedikit panik! Ini gila!Rhys terlihat sudah menarik string. Dan ayolah, Putri bungsu Oxley, jangan tatap dia! Akan lebih baik jika aku menatap lurus ke arah lain, sambil berharap dia benar-ben
Benar, memang dia yang akan melakukannya. Setelah wajahku kering dengan sendirinya, Rhys mendekati wastafel, untuk mencuci tangannya cukup lama dari yang aku lakukan.“Jangan bergerak. Tenang dan tahanlah.” Rhys sudah selesai mencuci tangan pada akhirnya, duduk di hadapanku. Membuka tutup obat oles berbentuk gel, lalu mengoleskannya sedikit demi sedikit, dengan sangat pelan dan hati-hati di pipiku.Sekarang wajahnya sedekat saat tadi dia mengamati goresan luka di wajahku. Aku tidak paham kenapa dia sama sekali tidak memiliki kemiripan denganku.Alis matanya tidak tebal seperti milikku. Bentuk hidungnya lurus dari pangkal hingga ke ujungnya. Bibirnya tipis. Rhys juga memiliki rambut yang hitam pekat, tidak kecokelatan sepertiku.Walau Adorjan dan Leon memiliki warna rambut yang hampir mirip denganku, tapi cokelat yang lebih gelap, tetap saja aku tidak memiliki kemiripan satu persenpun dengan keenam saudara laki-lakiku, terutama Rhys.Aya
Terburu-buru turun dari mobil, aku melihat ada banyak tamu yang datang ke rumah kami. Sebenarnya, aku tidak heran, mereka pasti mendapat undangan makan siang dari Ibu.Begitu mencintai masak memasak, Ibu nyaris mengajak semua pelayan untuk memasak dalam porsi besar setiap kali dia ingin, lalu mengundang tamu atau teman-temannya untuk menikmati hasil eksperimennya di dapur.Lagipula, aku ingin segera terbebas dari Rhys sebentar saja. Aku terlalu dekat dengannya dan itu sangat membuatku tidak nyaman. Dia terus berada di kamar pintu merah tua bersamaku, meski aku sudah terbangun dengan perdarahan di hidung yang sudah berhenti.“ZeeZee? Apa kabarmu, sayang?”Inilah alasan yang membuatku terburu-buru ingin masuk ke kamar selain karena Rhys. Aku berbalik, Bibi Meida sudah merentangkan kedua tangannya untuk memelukku.“Baik, Bi. Aku baik-baik saja.” Walau ucapanku bernada biasa, Bibi Meida tetap melanjutkan kegiatan beramah tamahnya padaku.“Oh, ZeeZee D
Hugo meninggalkan nomor kontak si Aktor tampan—Giotto Armstrong—yang memiliki wajah licik dan senyum menawan.Meski dia Aktor terkenal, aku tidak begitu tahu apalagi peduli tentang siapa dia. Tapi kuakui si Aktor ini cukup tampan, meski tidak mampu menandingi ketampanan Hugo.Masih tiga jam sebelum Rhys tiba. Aku akan mencoba cara konyolku mengganggu Giotto, tanpa prasangka apapun. Coba saja dan tidak perlu mempedulikan hasilnya.Hugo memberitahuku bahwa tidak akan menjadi masalah ketika Giotto berhasil melacak keberadaanku, atau berhasil mencari tahu siapa aku, karena tidak akan ada satupun orang di Yellowrin yang mau berurusan dengan keluarga Oxley.Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mencobanya. Memberi umpan basi yang menurutku, mungkin, masih berfungsi dengan baik.“Kau di mana?” Pertanyaan langsung yang kuberikan ketika panggilanku segera dijawab, meski dia belum mengatakan ‘halo’ karena menurutku, serangan cepat itu, penting.“Maaf, dengan
Entah karena kepalaku yang terasa berat dan pusing, atau akibat dari rasa mengantuk yang masih ada, tapi kurasa, lebih tepatnya di karenakan sentuhan Rhys yang menyenangkan, membuat kepalaku terkulai kebelakang tanpa kusadari dengan cepat.Sandaran berupa dada Rhys sepersekian detik kemudian, membuat kedua mataku lebih dulu terbuka, daripada kepalaku yang bergerak maju.Sedikit mendongak, aku bisa melihat jakunnya yang naik turun teratur, sepanjang rahang hingga dagu yang baru selesai dicukur dan ah, ya ampun, hentikanlah!“Menyenangkan tidur dan bersandar di sana?” Dia bertanya, tepat setelah aku melepas diri dari dadanya.“Aku tidak sengaja,” gumamku pelan, menoleh sekilas pada Rhys yang masih bersedia duduk di belakangku. Sepertinya rasa takutku pada Rhys semakin menipis dari hari kemarin ke hari ini.Hening setelahnya dan aku berusaha membuka lebar-lebar kedua mataku dan hampir melotot, agar tidak terjebak kantuk yang luar biasa.“Apa ka