Dengan pelan, aku mengangguk dan menjawab, “Ya.”
Rhys melanjutkan percakapannya di telepon. Aku tidak fokus pada apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya itu ada kaitannya dengan Tom Jhon Parera.
“Urus semua sisanya. Jangan ada yang terlewat.” Rhys melirikku yang kebetulan, tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arahnya. Cengkeraman eratnya mengendur. Aku tidak paham kenapa itu terjadi. “Sebaiknya kau tidak menghubungiku sampai nanti kuizinkan.” Rhys memberi peringatan di telepon, lalu mengakhiri panggilan.
Melepas cengkeraman tangannya, dia kembali naik ke ranjangku. “Ayo mulai lagi. Gangguan sudah lewat.”
Semakin lama, semakin terasa bahwa aku hanyalah pecundang yang terlihat mengalami kemajuan.
Hampir lima puluh lima menit ketika Rhys memintaku berhenti. Aku benar-benar menghitung dengan tepat waktunya. Detail seperti ini, sewaktu-waktu, aku akan membutuhkannya.
“Besok pagi, kenakan pakaian yang akan diantarkan Peony padamu. Kau harus menemaniku.”
Perintah Rhys di depan pintu, membuatku lelah sebelum benar-benar menjalaninya.
Dia sudah bertekad untuk menjadikanku bonekanya. Menikmati menyiksaku dalam satu kali kekacauan yang kulakukan.
Akan sulit keluar dari lingkaran setan yang dia ciptakan khusus untukku. Ini tidak akan berakhir sampai aku mati. Sampai Rhys mencapai puncak kenikmatannya dalam menyiksaku, dia tidak akan berhenti.
Frida—salah satu pelayan dapur—muncul tepat ketika aku akan mendorong pintu kamarku menutup. Dia menahan pintu dengan wajah ketakutan.
Bagiku, dia terlihat mencurigakan, mungkin Frida sudah ada di sekitar kamarku, menunggu sampai Rhys keluar dan menghampiriku untuk—mungkin—sesuatu yang penting.
“Ada apa?” Suaraku selalu tidak ramah pada siapapun yang berada di istana ini.
Kegelisahan yang mengelilingi Frida membuatku semakin mencurigainya. Tatapan itu menyapu sekitar seperti kedua mata pencuri yang awas.
“Aku sudah menunggumu bicara, cepat katakan atau aku akan—”
“Tolong rahasiakan ini dari Tuan Rhys,” rengek Frida. Gemetar dan pucat pasi di kulitnya yang kecokelatan, menyisakan warna aneh bagi pemandangan mataku.
Dengan gerakan cepat, Frida menyelipkan gulungan kertas dan mengepalkan tanganku.
“Kumohon jangan beritahu Tuan Rhys aku mendatangimu,” kata Frida, merengek kembali seperti bocah kecil, “ini perintah. Aku ... aku tidak bisa menolak, tapi—”
“Ya, ya Frida, aku mengerti. Pergilah,” selaku cepat, merasa lelah ketika mendengar suaranya setelah hampir enam puluh menit tercekik bersama Rhys di kamarku. Aku butuh kesenangan lain, bukan suara memohon dengan wajah penuh ketakutan yang kulihat darinya.
Kubanting pintu dan menguncinya, meski Frida mungkin masih mematung di luar. Kulihat tulisan Ibu saat merapikan secarik kertas lusuh yang bertuliskan sebaris kalimat.
“Datang ke kamarku lewat tengah malam.”
Aku benci serangan dari dua kubu berbeda seperti ini. Ibu menginginkanku untuk kepentingannya, dan Rhys lebih dari sekedar ingin menjadikanku budaknya.
Kupikir, tidak akan untungnya aku bicara dengan Ibu di tengah malam. Sekarang aku lelah, membaca sampai delapan puluh dua halaman dalam waktu hampir lima puluh lima menit, membuat kedua mataku letih.
Melempar tubuh ke ranjang menjadi jawabannya. Ketika mataku terpejam, hidungku mengendus samar-samar aroma Rhys yang tertinggal di ranjangku.
Dengan amarah yang hampir tidak dapat kutahan, aku buru-buru turun dari ranjang, menarik seprei yang dikuasai aroma Rhys, menggulung dan melemparkannya ke sudut kamar.
Aku terlalu mengantuk untuk memasang seprei baru, jadi aku benar-benar tidur tanpa seprei dan selimut.
*****Sesuai kata Rhys, Poeny muncul pagi-pagi sekali dengan ketukan berulang kali di pintu.
“Selamat pagi, Nona ZeeZee,” sapa Poeny. Dia manis, itu hanya berlaku jika dia bukan seorang pelayan. Poeny Anak satu-satunya dari Orie, pengasuhku yang sudah meninggal tujuh tahun lalu.
Poeny melanjutkan pengabdiannya pada keluarga gilaku ini. Miris, dia seharusnya tidak perlu mendengar permintaan terakhir Ibunya untuk terus menjadi budak di sini. Poeny semanis madu—menurutku—dia pantas masuk ke agensi besar untuk menjadi Aktris.
Ah, mungkin agensi Model. Karena tubuh Poeny sangat tinggi menurut standarku. Mungkin sekitar seratus tujuh puluh sentimeter atau lebih, tidak kurang.
“Pagi, Py.” Aku tidak membalas senyumnya. Dia tahu aku sangat menyebalkan dan sedikit membencinya karena dia cerewet padaku seperti mendiang Ibunya.
“Paket dari Tuan Rhys. Kau akan suka, ambillah,” katanya.
“Ini bukan paket. Jelas yang kau bawa itu hanya pakaian.” Aku sengaja memacu emosinya.
Senyum penuh kepahitan muncul di wajahnya, dia sedang menahan untuk tidak menampar wajah atau menjambak rambutku, pasti begitu.
Aku mengambil dengan kasar, pakaian yang terlipat rapi dari persembahan kedua tangannya.
Setelah tersenyum sinis, aku membanting pintu. Membiarkan dia mengatakan sesuatu dari luar sana.
“Nona ZeeZee ... jangan sampai terlambat, Tuan Rhys hanya mau menunggu tidak lebih dari sepuluh menit. Dia ada di perpustakaan kedua,” kata Poeny, sedikit keras.
Perpustakaan kedua yang hanya boleh dimasuki oleh Rhys dan siapapun yang dipanggil ke sana untuk memenuhi undangannya.
Aku hanya menendang pintu sebagai jawaban ‘ya’ dan berjalan cepat, lalu membentang pakaian berwarna hitam polos itu di atas ranjang.
A line dress yang kurasa cukup pendek untukku. Hanya itu yang dia berikan agar aku mematuhinya dengan cara memakai simple dress ini di hadapannya.
Dia bertujuan menghinaku lagi!
Sekarang aku menjadi ragu akan penyangkalanku mengenai suara berbisik lewat tengah malam di telingaku.
Kurasa dia memang benar-benar masuk dan mengancamku.
“Kau tidak suka ada aromaku di kamarmu? Mulai sekarang, akan kubuat kau menyukainya.”
Kini aku merinding jijik, karena sempat merasa yakin pada awal terbangun, bahwa itu hanya mimpi. Tapi sekarang, ketika aku mencium aroma dari dress hitam ini, aku yakin Rhys memang masuk ke kamarku dan berbisik untuk mengatakan itu.
Perpaduan grapefruit dan pepper, sangat menenangkan perasaanku. Tapi ketika Rhys menguarkan aroma ini di sekitarku, aku membencinya. Aku benci dia mulai menandai diriku dengan segala yang biasa dia gunakan, mulai hari ini.
*****Rhys sedang menulis sesuatu di atas meja tanpa duduk, dia membungkuk dan itu terlihat bagus. Tapi bukan untuk dipandang oleh kedua mataku.
“Kemari!” Dia memanggilku untuk mendekat, lalu mundur beberapa langkah.
Dress ini sedikit longgar di tubuhku, dan aku merasa beruntung untuk itu. Tapi sialnya, panjangnya tidak lebih di atas lututku. Benar-benar pendek.
Aku memilih menggunakan sneakers putih, karena Rhys tidak mendikteku soal alas kaki yang harus kugunakan seperti sebelumnya.
Dia menilai penampilanku sedetik, ya hanya sedetik. Lalu tersenyum sinis. “Kemarilah ... lepas sepatumu.”
Lagi-lagi menurut, aku mulai merasa lelah dengan hukumannya yang sangat lamban dan menguras emosiku.
Apa dia punya banyak waktu untuk dibuang bersamaku?
Melepas sepatu dengan mudah, aku berjalan mendekati Rhys. Tapi berhenti di samping meja. Aku enggan berada tepat di depan wajahnya.
“Sudah keramas pagi ini?”
“Setiap sore,” ralatku cepat. Aku tahu dia memberi pertanyaan yang menjebakku, “itu yang kau mau.”
“Bagus.” Dia mengangguk, mendekatiku. “Biar kubuat rambutmu lebih indah pagi ini.”
Bersambung.
Rajin menghitung hari sebagai pengingat, agar aku yakin tidak melupakan momen-momen penting untuk perubahan hidupku, ini hari ke dua puluh satu setelah kejadian itu.Luigi dan aku tinggal serumah, itu benar. Tapi ketertarikanku padanya masih sama, hampir tidak ada. Walau sesekali dia coba untuk naik ke ranjang yang sama denganku di malam ke lima belas dan delapan belas, aku berpura-pura tidak tahu dan memilih tidur memunggunginya sampai pagi.Ada dua kamar di rumah ini, tapi dua malam itu dia mungkin coba melihat keadaanku, alih-alih berbaring di sisiku.“Lui, sebaiknya kau kembali. Ayah dan Ibu bisa sangat mencurigaimu karena hal ini,” kataku, memberi saran. Dia sedang menatapku, ketika sarapan pagi ala ZeeZee sudah disantap setengah jalan menjadi harapannya padaku setiap pagi.“Kau mengusirku?” Luigi menaikkan kedua alis, tapi tidak tampak marah sama sekali.“Untuk kebaikan bersama,” bantahku.Meneguk ha
“Minggir dari hadapanku, Lui.” Rhys mengeluarkan kalimat sedingin es dan terasa tidak menyenangkan jika aku yang mendengarnya.“Tidak, Rhys. Kita harus bicara.” Luigi menatapku, bukannya Rhys.Kulihat wajah Rhys yang mendadak semakin tidak biasa, tegang, dan penuh amarah.“Kau tidak lihat dia terluka?” Suara Rhys mirip geraman. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak memukul Luigi tanpa batasan, karena ada aku di sini.Luigi melihatku, tatapannya melunak, tapi aku tidak menyukai caranya menatapku. Dia membuat gambaran seolah kami memiliki hubungan yang bisa saling berbagi suka dan duka.“Akan kupercepat, kalau begitu.” Luigi kembali lurus menatap Kakaknya. Si sulung dan si bungsu yang saling menatap dalam tatapan tak suka. “Ini tentang rencana Ayah dan Ibu yang ingin membunuh ZeeZee dengan memasukkan racun ke makanan atau minumannya.”Sungguh, aku tidak terkejut sama sekali. Ak
Aku diam. Tidak berniat menanggapi lebih daripada ini. Jelas, aku meragukan ceritanya. Dari mana dia mengetahui semua alur cerita di saat itu, sementara dia sendiri tidak berada di sana?Kemungkinan terbesarnya hanya satu. Seseorang yang berkhianat pada keluarga Oxley menceritakan semua yang terjadi kala itu pada Audrey.Jika kukatakan aku tidak—“Ledakan! Lari, cepat lari!”Terjadi begitu cepat, kulihat dalam keadaan sadar, sisa orang-orang di dalam restoran cepat saji ini berlarian, berteriak dan menjerit histeris.Ada beberapa tubuh tergeletak dengan wajah penuh luka, tak sadarkan diri. Jeritan tangis melengking dari arah tak kuketahui ikut memasuki pendengaranku.Tempat yang kududuki kemudian bergetar. Aku melihat di depanku, kumpulan asap hitam berjarak hampir dua puluh meter terasa lebih dekat dan ingin menelanku.Lenganku sudah ditarik oleh Lucas, serta Audrey Mika yang ikut panik di sisinya. Semua terasa berj
Sepakat, kami memilih restoran cepat saji di dalam pusat perbelanjaan, dan aku meminta Lucas untuk tidak mengatakan apapun pada Rhys mengenai pertemuanku dengan Audrey.Aku tahu, meski kukatakan tidak, Lucas tentu saja lebih patuh pada yang membayar gajinya setiap bulan. Jadi tidak akan ada antisipasi untuk hal ini. Dan aku juga tidak peduli tentang semua itu. Jika Rhys bertanya, pasti akan kujawab dengan jujur.Lucas memilih meja ketiga dibelakang kami. Aku yakin sekarang dia sedang memberitahu Rhys mengenai Audrey Mika Dawson yang menikmati makan siang semeja denganku. “Kau pasti tahu bahwa dia akan memberitahu Rhys mengenai dirimu yang mengganggu waktu belanjaku.”Audrey Mika tersenyum, tapi kedua matanya terus fokus pada Lucas. Aku tidak melihat ke arah yang sama pada fokus Audrey, tapi tetap melanjutkan apa yang ingin kukatakan. “Jika kau sudah tahu, jangan sampaikan hal yang mungkin mudah ditebak oleh Rhys. Aku tidak pintar berbohong pada
“Menurutmu, begitu?”Aku menghela napas. “Aku yang bertanya. Tolong jawab saja pertanyaanku.”Rhys merubah posisi berdirinya. Menurunkan kedua tangan dari lipatan di depan dadanya. “Rahasia yang memang sengaja aku simpan jauh darimu. Siapapun yang berniat memberitahumu, meski itu Ayah atau Ibu, aku tidak segan untuk membuat perhitungan dengan mereka.”Bergidik, aku yakin, kata ‘perhitungan’ bukan hanya sekedar itu saja, tapi memiliki arti yang jauh lebih mengerikan jika itu Rhys yang mengucapkannya.Dia tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Terutama padaku. Dia membuktikan semuanya, aku tahu itu.“Baiklah, itu artinya, kau akan memberitahuku sebelum ada yang coba mendahuluimu, bukan?” Dengan gugup yang tiba-tiba muncul, aku menyesal karena ingin tahu rahasianya. Tapi ini sudah terlanjur kutanyakan.Jika Rhys memilih untuk tidak memberitahuku, maka sebaiknya aku mencari tahu sen
“Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem
“Aku tidak berpikir begitu, Ed.”“Wajah dan gerak tubuhmu mengatakan sebaliknya,” kata Adorjan, tersenyum.“Sudah, lupakanlah. Ayo, bicarakan hal apa yang ingin kau bicarakan padaku tadi.” Mengibaskan tangan di depan wajahku, kusembunyikan pembenaran itu di hatiku.Adorjan tertawa pelan, dia kini sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. “Apakah aman jika kuceritakan di sini?” bisik Adorjan, memajukan sedikit wajahnya, hampir tanpa berjarak denganku.“Aman, Ed. Tenang saja.” Terkejut, aku memundurkan wajahku secepat mungkin.“Begini, ini tentang kau dan Rhys ....” Tubuh Adorjan menegak seketika, dia menunda bicaranya dan malah melihat ke arah lain, melewati kepalaku.Refleks, aku melakukan hal yang sama. Melihat ke arah pandangan Adorjan, dibelakangku.Kedua alisku terangkat, ini penanda bukan hanya aku terkejut karena kemunculannya yang selalu tiba-tib
Tidak ada yang lebih baik dari tidur bersama Rhys di kamarnya. Bahkan kini aku merasa kamarku tidak lagi aman, apalagi nyaman.“Kau harus segera pindah ke rumahku. Kenapa masih bersikeras tinggal di sini? Peperangan sudah dimulai, ZeeZee. Keadaan tidak lagi sama.” Itu ucapan Rhys saat semalam memelukku menjelang tidurnya.Rhys baru saja pergi. Dan aku juga ingin pergi. Setidaknya keluar rumah saat tidak ada hal yang perlu kukerjakan selain mengacau seperti perintah Ibu atau Ayah di waktu-waktu sebelumnya.“Kita harus bicara, ZeeZee.” Suara serak Adorjan di garasi mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihatnya berjalan mendekatiku. Kutunggu dia dengan perasaan tidak aman. Apa lagi kali ini?“Ada apa, Ed?”“Tidak di sini.” Adorjan membuka pintu mobilku, dia menjadi pemimpin di depanku. Mengemudikan si merah mencolok tanpa inisiatif siapapun.Aku mengikutinya, duduk dengan perasaan ditenang-tenangka
Mulut senapan laras panjang milik David Oxley sudah menempel di pelipisku. Terbiasa, walau dalam tindakan yang berbeda, aku bergeming di tempat. Aku baru saja menunda percakapan dengan selingkuhan Ayah yang bukan Ayahku ini, karena saat wajah Martiana Neil memucat akibat pertanyaanku, kaki kami sudah tiba di depan pintu ruang kerja David.“Ini sambutan seorang Ayah untuk Putri bungsunya yang senang memberontak, suka ikut campur, dan selalu mau tahu.”Menelan kekecewaan yang entah untuk apa, aku tersenyum miring. Keberanianku setingkat lebih maju. “Terima kasih. Sambutan yang luar biasa, Ayah.”“Senang sekali rasanya saat tahu kau memenuhi undanganku, Nak.”“Aku Anak yang berbakti, Ayah.”Tawa David Oxley menggema di ruangannya. Bagiku, tawanya mirip Leon. Dia juga licik sama seperti keenam Putranya.“Hubunganmu dengan Rhys sudah terlalu dalam, padahal aku dan Tessa susah payah membuat jar