Aku bergeming ketika Rhys sudah berdiri di belakangku. Posisi yang sama seperti saat dia mengepang rambutku kemarin sore.
Dia membuka tatanan half ponytail-ku, dengan perlahan-lahan. Menyisiri rambutku dengan jari-jarinya. Setelah itu, aku tidak bisa merasakan apa yang dia lakukan di belakang, tepatnya pada rambutku.
Diam membeku, aku menahan rasa ingin merosot duduk di lantai. Aku bergetar karena merasakan kedekatan yang mengancam dibalik punggungku.
Grapefruit dan pepper dari tubuh kami seakan menyatu, aromanya sangat kuat memenuhi ruang perpustakaan yang ukurannya setengah dari perpustakaan kesatu milik Ayah dan Ibu.
Kali pertama aku ke sini, sebentar, aku tidak ingat, dan sepertinya memang aku belum pernah menginjakkan kakiku ke sini. Aku juga tidak yakin kelima Kakakku yang lain pernah dibiarkan masuk oleh Rhys.
“Pergilah bercermin.” Rhys berkata dengan nada memerintah, dan itu berhasil mengejutkanku.
Rambutku terasa dalam balutan berbeda. Selama pikiranku melayang, aku tidak sadar bagaimana cara dia menyentuh rambutku.
Aku menoleh, melihat Rhys yang menunjuk menggunakan dagunya ke arah depan. “Cerminnya ada di dalam ruangan kecil itu, di balik rak buku yang itu,” tunjuk Rhys.
Tanpa sadar, aku melangkah dengan cepat menggunakan kedua kaki telanjangku. Rasa penasaran membuatku menyentuh-nyentuh rambutku yang seperti digulung sedikit rendah hampir menyentuh leher bagian belakangku.
Memang ada sebuah ruangan kecil tanpa pintu di balik rak buku, dan lebih mirip seperti tempat khusus bercermin. Ada cermin lantai yang langsung memberi pantulan bayangan sempurna diriku.
Aku memegang maha karya Rhys di rambutku. Melihat di cermin dengan memutar kepala ke kiri dan kanan, sambil mencermati dalam-dalam. Ini low bun hairdo.
Wow! Luar biasa untuk seorang pria dewasa yang amatir. Ya, seharusnya dia hanya seorang amatiran yang tidak terbiasa dengan tatanan rambut wanita.
“Kau suka?” Pantulan setengah tubuh Rhys muncul di cermin, dia berdiri tepat di belakangku.
“Yap.” Aku tersenyum sekilas, merapikan helaian rambut di sekitar wajahku. Meski tidak kusangka dia akan menyusul, tetap saja dia terlalu berlebihan pada Adiknya sendiri.
Dunia mungkin akan mengecam sikapnya yang tidak senonoh ini. Dia bermain-main dengan Adik kandungnya sendiri? Itu gila. Sangat menjijikkan!
Aku pikiranku saja yang sekarat? Apa karena aku tidak pernah memiliki hubungan ‘manis’ dengan semua Kakak laki-lakiku, hingga aku terlalu sadis dalam menilai keakraban seperti ini, menjadi suatu hal yang tidak layak?
Terasa aneh dan menggelikan.
“Ayo, kita pergi sekarang.”
“Kemana?”
“Ke tempat di mana kau akan mengenalku.”
Aku mengernyit, masih menyentuh low bun hairdo-ku dengan sangat hati-hati, seolah hanya satu sentuhan keliru saja, tatanannya akan langsung rusak. “Aku sudah mengenalmu. Kau Kakak tertuaku.” Penyangkalan konyol yang sengaja kurancang untuk membuatnya marah.
Memiliki sedikit keberanian, ya, sedikit. Itu karena dia sudah bersikap baik pada rambutku. Menyulapnya sebagus ini, seolah menjadi hal manis yang bisa dia lakukan, alih-alih menghukumku sesuai ancamannya.
“Jangan banyak bertanya, atau aku akan merusak rambutmu,” ancam Rhys, terdengar kekanakan.
Di sinilah aku tahu, dia tidak akan pernah bisa bersikap manis. Itu hanya ilusi. Kesenangan yang dia berikan padaku tidak cuma-cuma, jelas ada bayaran untuk itu.
“Baik.” Lagi-lagi aku berpikir, kapan aku bisa melawannya?
Aku mengikutinya, tapi sadar bahwa kedua kakiku masih tanpa alas. Dengan berjinjit, setengah berlari aku menuju ke tempat sneakers putihku berada.
“Biarkan sepatumu di sana.”
Aku sudah mengangkat kedua sneakers-ku ke udara, tapi mendadak berhenti. “Apa?” Aku lupa seharusnya tidak perlu bertanya.
“Cepat kemari!”
Tanpa menjawab, aku menurutinya. Kami bertemu Ludwig, berpapasan saat dia akan menuju lantai atas menggunakan tangga.
Dia salah satu dari si kembar ‘L’ yang fenomenal.
Ludwig lahir sepuluh menit lebih cepat dari Luigi, itu kata Orie.
Aku tahu itu Ludwig, karena dia memiliki tubuh yang lebih tinggi dan kurus dari Adiknya.
Kebiasaan di keluarga ini, mereka tidak akan saling menyapa, dan keakraban hanya terlihat saat mereka bergerak menghabisi nyawa orang lain.
Tidak peduli, seolah keberadaanku di sisi Rhys hanya angin lalu, Ludwig melanjutkan perjalanannya setelah melirik ke tatanan rambutku.
Mendadak, aku malu karena tatapan sekilas Ludwig padaku. Perasaan seperti ada hal buruk yang kami—aku dan Rhys—lakukan. Entahlah. Aku mulai merasakan perasaan ini semenjak berurusan dengan Rhys.
“Jangan gunakan alas kaki, tetap seperti itu!” perintah Rhys terkesan kaku, setengah mengancam.
“Ya, baiklah.” Aku bergumam di belakangnya, menunduk sambil berjalan dan mengasihani kedua kakiku, lalu tak lama, menubruk punggung Rhys yang berjalan di depanku.
Aku mengusap wajahku dengan kasar. Mendongak dan melihat Rhys sedang tidak berjalan, jadi ini bukan salahku. Dia yang berhenti mendadak karena kehadiran seorang wanita di rumah kami—mungkin tamu Ayah atau Ibu—yang menghadang langkah Rhys.
“Selamat pagi, Tuan Rhys Dimitri Oxley dan Nona ZeeZee Dimitri Oxley ....”
Dia cantik. Itu kesan pertamaku. Kulitnya seputih salju. Dia mengenakan atasan blouse tanpa motif lengan pendek yang dipadukan bersama rok midi hijau tua asimetris dengan model ruffle di bagian bawahnya.
Dia modis. Sekali lagi, cantik dan mungil. Bibir tipisnya diberi warna orange pudar.
“Waah ... kompak sekali,” katanya dengan tertawa, “kalian sepakat untuk tidak membalas sapaan hangatku?” Dia tampak tidak tersinggung, tapi kujamin dia sedang berpura-pura. Terutama dihadapan Ryhs, si lajang tua yang benar-benar memiliki banyak peminat wanita.
“Diam dan masuklah ke ruang makan, Nona Audrey Mika,” kata Rhys.
Aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan oleh Rhys, karena aku berdiri di belakang punggungnya, tapi wanita itu menciut, terdiam sesaat dengan raut wajah tegang.
Wah, karisma seekor ular berbisa memang mampu melumpuhkan lawan dengan sekali sengatan.
“Sampai nanti, Nona ZeeZee,” angguk wanita itu padaku dengan senyum canggung. Dia melirik sekilas pada Rhys sebelum akhirnya benar-benar menghilang menuju ke ruang makan.
Aku terbiasa tidak mempedulikan sapaan yang datang dari orang asing. Terutama saat aku tahu dia hadir di meja makan karena undangan Ayah atau Ibu.
Rhys melihatku melewati bahunya, “Kau akan mendapat hukuman dari Ayah dan Ibu jika tidak membalas sapaan tamu mereka.”
“Aku memilikimu untuk membatalkan hukuman itu,” gumamku lirih, tapi kujamin Rhys bisa mendengar itu.
Dia berbalik, sudah berdiri tepat dihadapanku. “Kau pikir begitu?”
“Ya.” Rasa takutku berkurang, sedikit, secuil, hanya untuk mengiyakan dengan berani, aku memang bisa.
Rhys mendengus, tersenyum sinis, memasukkan tangan ke saku celananya. “Kau berharap aku jadi pelindungmu dari hukuman Ayah dan Ibu?”
“Tidak, jika kau tak menginginkannya. Aku bisa menjalani hukuman itu sendiri seperti biasa.” Santainya aku bicara seolah dinding ketakutanku pada Rhys runtuh seketika. Padahal sejujurnya, karena aku bicara tanpa menatap kedua matanya, jadi seakan aku memiliki kekuatan gaib untuk menjawab Rhys seolah tanpa beban setelahnya.
“Baiklah, kau bisa jalani hukuman itu sendiri. Kau tak perlu bantuanku,” kata Rhys, berbalik. Sekarang Rhys berjalan sendirian menjauhiku dengan cepat. Dia tampak terburu-buru.
Seketika aku sadar arti dari kehati-hatianku sejak awal memang untuk menghindari hal seperti ini.
Aku perlu mengejarnya untuk membuat kesepakatan tentang semua masalah yang dia mulai, saat pertama kali dia berpikir untuk memilih, menguji dan menandaiku sebagai target.
Setidaknya, aku bisa mengatakan padanya, bahwa aku sedang tidak bersungguh-sungguh saat mengatakan aku tak membutuhkannya sebagai pelindungku dari hukuman Ayah dan Ibu.
“Tunggu!”
Bersambung.Rajin menghitung hari sebagai pengingat, agar aku yakin tidak melupakan momen-momen penting untuk perubahan hidupku, ini hari ke dua puluh satu setelah kejadian itu.Luigi dan aku tinggal serumah, itu benar. Tapi ketertarikanku padanya masih sama, hampir tidak ada. Walau sesekali dia coba untuk naik ke ranjang yang sama denganku di malam ke lima belas dan delapan belas, aku berpura-pura tidak tahu dan memilih tidur memunggunginya sampai pagi.Ada dua kamar di rumah ini, tapi dua malam itu dia mungkin coba melihat keadaanku, alih-alih berbaring di sisiku.“Lui, sebaiknya kau kembali. Ayah dan Ibu bisa sangat mencurigaimu karena hal ini,” kataku, memberi saran. Dia sedang menatapku, ketika sarapan pagi ala ZeeZee sudah disantap setengah jalan menjadi harapannya padaku setiap pagi.“Kau mengusirku?” Luigi menaikkan kedua alis, tapi tidak tampak marah sama sekali.“Untuk kebaikan bersama,” bantahku.Meneguk ha
“Minggir dari hadapanku, Lui.” Rhys mengeluarkan kalimat sedingin es dan terasa tidak menyenangkan jika aku yang mendengarnya.“Tidak, Rhys. Kita harus bicara.” Luigi menatapku, bukannya Rhys.Kulihat wajah Rhys yang mendadak semakin tidak biasa, tegang, dan penuh amarah.“Kau tidak lihat dia terluka?” Suara Rhys mirip geraman. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak memukul Luigi tanpa batasan, karena ada aku di sini.Luigi melihatku, tatapannya melunak, tapi aku tidak menyukai caranya menatapku. Dia membuat gambaran seolah kami memiliki hubungan yang bisa saling berbagi suka dan duka.“Akan kupercepat, kalau begitu.” Luigi kembali lurus menatap Kakaknya. Si sulung dan si bungsu yang saling menatap dalam tatapan tak suka. “Ini tentang rencana Ayah dan Ibu yang ingin membunuh ZeeZee dengan memasukkan racun ke makanan atau minumannya.”Sungguh, aku tidak terkejut sama sekali. Ak
Aku diam. Tidak berniat menanggapi lebih daripada ini. Jelas, aku meragukan ceritanya. Dari mana dia mengetahui semua alur cerita di saat itu, sementara dia sendiri tidak berada di sana?Kemungkinan terbesarnya hanya satu. Seseorang yang berkhianat pada keluarga Oxley menceritakan semua yang terjadi kala itu pada Audrey.Jika kukatakan aku tidak—“Ledakan! Lari, cepat lari!”Terjadi begitu cepat, kulihat dalam keadaan sadar, sisa orang-orang di dalam restoran cepat saji ini berlarian, berteriak dan menjerit histeris.Ada beberapa tubuh tergeletak dengan wajah penuh luka, tak sadarkan diri. Jeritan tangis melengking dari arah tak kuketahui ikut memasuki pendengaranku.Tempat yang kududuki kemudian bergetar. Aku melihat di depanku, kumpulan asap hitam berjarak hampir dua puluh meter terasa lebih dekat dan ingin menelanku.Lenganku sudah ditarik oleh Lucas, serta Audrey Mika yang ikut panik di sisinya. Semua terasa berj
Sepakat, kami memilih restoran cepat saji di dalam pusat perbelanjaan, dan aku meminta Lucas untuk tidak mengatakan apapun pada Rhys mengenai pertemuanku dengan Audrey.Aku tahu, meski kukatakan tidak, Lucas tentu saja lebih patuh pada yang membayar gajinya setiap bulan. Jadi tidak akan ada antisipasi untuk hal ini. Dan aku juga tidak peduli tentang semua itu. Jika Rhys bertanya, pasti akan kujawab dengan jujur.Lucas memilih meja ketiga dibelakang kami. Aku yakin sekarang dia sedang memberitahu Rhys mengenai Audrey Mika Dawson yang menikmati makan siang semeja denganku. “Kau pasti tahu bahwa dia akan memberitahu Rhys mengenai dirimu yang mengganggu waktu belanjaku.”Audrey Mika tersenyum, tapi kedua matanya terus fokus pada Lucas. Aku tidak melihat ke arah yang sama pada fokus Audrey, tapi tetap melanjutkan apa yang ingin kukatakan. “Jika kau sudah tahu, jangan sampaikan hal yang mungkin mudah ditebak oleh Rhys. Aku tidak pintar berbohong pada
“Menurutmu, begitu?”Aku menghela napas. “Aku yang bertanya. Tolong jawab saja pertanyaanku.”Rhys merubah posisi berdirinya. Menurunkan kedua tangan dari lipatan di depan dadanya. “Rahasia yang memang sengaja aku simpan jauh darimu. Siapapun yang berniat memberitahumu, meski itu Ayah atau Ibu, aku tidak segan untuk membuat perhitungan dengan mereka.”Bergidik, aku yakin, kata ‘perhitungan’ bukan hanya sekedar itu saja, tapi memiliki arti yang jauh lebih mengerikan jika itu Rhys yang mengucapkannya.Dia tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Terutama padaku. Dia membuktikan semuanya, aku tahu itu.“Baiklah, itu artinya, kau akan memberitahuku sebelum ada yang coba mendahuluimu, bukan?” Dengan gugup yang tiba-tiba muncul, aku menyesal karena ingin tahu rahasianya. Tapi ini sudah terlanjur kutanyakan.Jika Rhys memilih untuk tidak memberitahuku, maka sebaiknya aku mencari tahu sen
“Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem