Mentari pagi tampak memantulkan cahayanya di jendela kamar Kalila sehingga membuat wanita itu terbangun. Namun, Kalila tampak tidak sedang baik-baik saja.
Kalila merasa mual dan pusing dengan wajahnya yang juga terlihat pucat. Seketika dia berlari kecil ke kamar mandi akibat mual yang semakin menjadi-jadi.
"Kamu kenapa, Nak?" Tanya Widia yang tengah memasak di dapur saat mendengar Kalila mual dari dalam kamar mandi yang jaraknya sangat dekat dengan dapur mereka.
"Aku gak enak badan, Bu." Teriak Kalila dari dalam kamar mandi
Kalila merasa mual yang dia rasakan itu tidak wajar. Mengingat hubungannya dengan Janu yang sudah kelewat batas dan sudah beberapa kali melakukan hubungan yang tidak wajar itu, Kalila bergegas ke puskesmas yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya untuk memastikan apakah dia sedang mengandung anak Janu atau tidak.
Beberapa menit setelah Kalila menunggu di ruang tunggu puskesmas, dokter yang memeriksa Kalila pun menyatakan bahwa dia hamil. Jantung Kalila seketika berdegup kencang, tubuhnya gemetar, dan sekujur badannya tiba-tiba mengeluarkan keringat.
Kalila mencoba untuk berpura-pura tenang dan langsung bergegas kembali ke rumah dengan berlari kecil. Sesampainya di rumah, Kalila mencoba menelpon ke telepon rumah Janu untuk memberitahunya mengenai anak yang dikandung Kalila.
Kalila melihat di sekeliling rumah untuk memastikan tidak ada yang mendengar perbincangan yang dia lakukan bersama Janu melalui telepon nanti.
"Halo, Saya Siti, asisten rumah tangga keluarga Sanjaya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Oh. Saya Kalila, Mbak. Mas Janu ada gak Mbak?"
"Oh Neng Kalila. Den Janu lagi gak di rumah, Neng. Kayanya lagi sibuk urusin bisnisnya."
"Nanti kalo Mas Janu udah pulang, kasi tau kalo aku nelpon, ya, Mbak."
"Baik, Neng."
***
Sudah dua hari, Janu sampai detik ini pun nyatanya belum juga menghubungi Kalila. Sementara Kalila selalu mengurung dirinya di kamar. Dia terlihat sedang memikirkan bagaimana mengatakan masalah yang sedang dia tanggung kepada keluarga. Terlebih lagi kepada Arwan dan Adam yang memang melarang keras hubungannya bersama Janu.
kring... kring...
Suara bunyi telepon yang di tunggu-tunggu Kalila selama dua hari ini akhirnya berbunyi. Sontak Kalila membuka pintu kamarnya dan langsung bergegas menuju tempat telepon yang berada di ruang tamu, berharap yang menelpon adalah Janu.
"Halo Mas Janu." Ucap Kalila spontan
"Halo, apa benar saya berbicara dengan nomor telepon Ibu Widia?"
"Oh iya benar, Pak." Jawab Kalila kecewa dan langsung memanggil Widia "Ibu, Ada telepon untuk Ibu." Kalila menyerahkan pesawat telepon kepada Widia dan langsung kembali ke kamar. Seketika Kalila takut dan merasa harus menemui Janu ke rumahnya.
Setelah Widia mematikan telepon, tiba-tiba suara telepon pun berbunyi.
"Kalila." Terdengar Widia memanggil Kalila sampai menghentikan langkah kaki Kalila yang tengah menuju ke kamar.
"Iya, Bu?" Tanya Kalila dengan menolehkan tubuhnya ke belakang.
"Ini ada yang nelpon. Katanya mau bicara sama kamu." Jawab Widia sembari memberikan pesawat telepon kepada Kalila.
"Halo?"
"Halo, sayang. Maaf banget aku baru bisa hubungi kamu. Akhir-akhir ini aku lagi sibuk." Jelas Janu.
Kalila menghela napas, akhirnya ada kabar dari Janu setelah dua hari menunggu "Iya gapapa, Mas."
"Oh iya. Kata Mbak Siti, kamu nelpon aku dua hari yang lalu? Kenapa sayang?"
"Aku pengen ketemu sama kamu, Mas. Ada yang mau aku omongin."
"Aku gak bisa sayang. Bisnis aku lagi berkembang banget. Besok aku harus ke Malaysia untuk urus kerjasama. Akhirnya mimpi aku terwujud bisa buka cabang di Malaysia, Lil." Ucap Janu dengan suaranya yang terlihat sangat bersemangat.
"Kamu balik kapan, Mas?"
"Belum tau sayang. Mungkin bulan depan. Kamu mau ngomong apa? Ngomong sekarang aja. Aku dengerin kok. Kita bisa ngobrol berjam-jam sambil aku kerjain presentasi untuk bisnis aku yang bakal dibuka di Malaysia, ya."
Kalila melihat di sekelilingnya untuk memastikan Widia tidak mendengar percakapan yang sedang dia lakukan.
"Aku hamil, Mas."
"Kamu kenapa?" Tanya Janu dengan meninggikan suaranya.
"Aku hamil." Jawab Kalila datar.
"Terus sekarang kamu mau gimana, Lil?"
"A-aku bingung. Mas mau tanggung jawab, kan?"
"Nggak sekarang, sayang. Kamu tau kan bisnis aku lagi berkembang banget saat ini. Aku gak bisa nikah dalam waktu dekat, Papa aku pasti gak akan izinin." Terdengar nada suara Janu terlihat sangat frustrasi saat menjawab hal ini.
"Kita gugurin aja ya bayinya?" Sambung Janu.
"Kenapa, Mas? Kamu mau ninggalin aku?"
"Aku gak akan pernah mau ninggalin kamu, sayang. Setelah kita gugurin kita masih berhubungan kok. Kamu itu akan tetap jadi pasangan idaman aku dan aku juga memang bermimpi untuk menikah dengan kamu. Tapi gak sekarang, masih banyak yang harus aku kejar. Cita-cita aku masih ada yang belum tercapai, Lila. Dan aku gak mungkin nikah kalo tujuan aku belum tercapai." Jawab Janu menegaskan.
Kalila terdiam sejenak dan mulai meneteskan air mata. Ternyata ini yang di khawatirkan Adam selama ini jika dia menjalin hubungan bersama. Sementara Janu tampak bingung dan menunggu respon Kalila sedari tadi.
“Sayang… Kamu denger aku kan? Kita gugurin aja ya? Kamu mau aku anterin sekarang?"
"Nggak usah, Mas. Kamu fokus sama karir dan penerbangan kamu untuk besok. Aku aja yang akan gugurin sendiri."
"Kamu yakin?" Tanya Janu dengan lembut
"Yakin, Mas."
"Biayanya aku kirim ke--"
"Gak usah, Mas. Aku bisa bayar sendiri." Tegas Kalila memotong pembicaraan Janu.
"Sayang, kamu marah?"
"Nggak. Yaudah aku mau istirahat dulu sebelum gugurin kandungan ini. Sukses untuk karir kamu."
Kalila pun langsung memutuskan sambungan teleponnya dan masuk ke kamar dengan menangis tersedu-sedu.
Tok… tok… tok…
"Ibu? I-ibu ngapain disini?" Tanya Kalila terkejut dan langsung menghapus air matanya.
"Ibu udah dengar semua omongan kamu dengan Janu. Kenapa kamu ngelakuin itu, nak?" Tanya Widia kesal.
"Ibuuu... Maafin Kalila." Ucap Kalila sembari bersujud di hadapan ibunya.
Widia merangkul tubuh Kalila dan menghapus air mata putrinya itu "Kamu mau gugurin bayi ini?" Tanya Widia memastikan dan bersikap tegar di hadapan Kalila.
"Aku gak tau, Bu. Mungkin aku akan urus bayi ini sendiri sampe dia lahir.”
“Bapak dan Adam pasti marah besar sama kamu, Lila.” Ucap Widia menghela napas dalam
"Aku tau, Bu. Aku juga gak berani ngomong sama Bapak." Jelas Kalila dan langsung memeluk Widia sembari menangis tersedu-sedu.
Kehilangan pasangan hidup untuk selamanya bukanlah hal yang mudah. Hal itu pula yang saat ini di rasakan oleh Janu. Saat ini, kehilangan Kalila adalah suatu hal yang paling tidak mungkin untuk di cari.Sudah beberapa hari dari kepergian Kalila, Janu tidak pernah melahap makanannya. Hanya satu sampai dua sendok saja untuk menahan lapar.Setiap harinya, Janu selalu menghabiskan waktu di kamar dengan memandangi foto Kalila dan juga album kenangan yang mereka ciptakan bersama.“Pa, makan dulu. Nanti Papa sakit.”“Papa cuma butuh Kalila.”“Pa, jangan kaya gini. Ikhlasin Mama. Mama udah nulis di surat itu kalo Papa harus ikhlasin Mama.” Tegas Radit kepada Janu.“Mama kalian cantik banget, ya. Selain itu dia wanita yang kuat, tulus, sabar. Papa beruntung punya Kalila di hidup Papa.” Ucap Janu tanpa merespon pernyataan Radit sembari mengusap foto Kalila.“Iya, Pa. Kita paham. Papa makan du
“Lila… Makan dulu, yuk. Aku coba buatin kamu sup ayam.”“Kalila… kamu kecapean ya? Mau makan nanti aja?” Tanya Janu sembari mengusap kepala Kalila. Namun Kalila belum juga bangun dari tidurnya.“Lila…” Ucap Janu lembut. Janu merasa aneh dengan tubuh Kalila yang sedari tadi tidak merespon apa pun, wajahnya pucat serta tubuhnya terasa sangat dingin.“Kalila….”“Dokter Adrian, Kalila kenapa???” Teriak Janu dan sontak dokter Adrian dan suster pun bergegas menuju ke kamar Kalila diikuti dengan Radit dan Dila“Sebentar, Pak.” Ucap Adrian dan langsung memeriksa Kalila.Dokter Adrian menghela napas, dia menatap Janu dengan tatapan iba, seakan tidak tega untuk memberitahu kebenaran kepada pria yang berumur tujuh puluh tahun itu. “Pak Janu…” Ucap Dokter Adrian dengan bersusah payah menelan ludahnya “Ibu Kalila sudah pergi mening
Tidak terasa sudah beberapa tahun Kalila dan Janu menjadi suami istri sah dan juga tinggal di rumah Janu yang megah itu. Hingga saat ini, anak mereka yang kedua, yaitu Dila. Harus pergi meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan gelar sarjananya di London, mengikuti jejak Radit.“Ma, Pa… Dila pergi dulu, ya.” Ucap Dila sembari memeluk Janu dan juga Kalila.“Hati-hati, ya, sayang. Titip salam sama Mas kamu.” Jelas Kalila yang selalu saja mengingat Radit. Dila pun pergi ke bandara dengan sopir pribadinya yang sudah menunggu di halaman rumah.Janu menghela napas saat mobil yang mengantar Dila sudah tidak lagi terlihat dari halaman rumah mereka “Aku seneng banget bisa lihat perkembangan anak kita sama-sama yang bahkan udah merantau sekarang. Makasi ya sayang udah mau ngerawat dan ngejaga anak kita khususnya Radit.” Jelas Janu sembari merangkul Kalila dengan mata Kalila yang tampak sembab akibat melepas anak perempuannya untuk
“Aku benci kamu, Mas Janu. Pergi dari sini!!!” Teriak Kalila kepada Janu sementara Radit menahan tubuh Kalila yang sedari tadi ingin memukuli Ayahnya.“Lila, aku sayang kamu. Kita udah baikan, sayang. Aku gak pernah tinggalin kamu lagi.” Lagi-lagi, Janu tidak pernah menyerah menyebutkan kalimat itu.Dila mendekati Kalila dan Radit yang tengah susah payah menahan tubuh Kalila.“Kamu siapa?” Kalila melontarkan pertanyaan itu kepada Dila dan sontak hal itu membuat Dila terbelalak terkejut.“Aku Dila, Ma. Anak Mama.” Ucap Dila sembari mencoba menyentuh tangan Kalila.“Nggak!” Seru Kalila sembari menghempaskan tangan Dila kasar “Anak aku Cuma Radit. Kamu pasti orang suruhan Mas Janu buat ambil Radit dari aku, ‘kan?”Dila menatap Kalila dengan tatapan kecewa, bagaimana bisa Kalila hanya mengingat Radit? Apakah dari dulu Radit memang selalu jadi anak kesayangan Kalila? Di
Kalila akhirnya menikah dengan Janu, namun bukan pernikahan seperti ini yang di impikannya dulu. Dia memimpikan pernikahan dimana keluarganya masih ada di sampingnya. Satu-satunya keluarga yang dia punya saat ini hanyalah Rangga, Adiknya.Pernikahan Janu dan Kalila di adakan di rumah orangtua Janu, rumah Rostiana dan juga peninggalan Gunadhya. Pernikahan yang di gelar pun tampak sederhana dan hanya beberapa kerabat terdekat saja yang hadir dalam acara pernikahan itu, seperti permintaan Kalila. Bertolak belakang dengan Janu yang menginginkan pernikahan yang mewah. Namun, apa pun itu, dia menurunkan egonya, yang terpenting dia bisa hidup bersama Kalila.“Hei, kak. Kenalin ini pacar aku. Namanya Mentari.” Ucap Rangga yang sudah berada di hadapan Kalila dengan menggenggam tangan MentariKalila pun terbelalak terkejut melihat adiknya itu menggandeng tangan seorang wanita di hadapannya “Loh… Bukannya---” Seketika pembicaraan Kalila
Ruangan sidang pengadilan, sebuah ruangan dimana setiap orang selalu mengadu nasib atas permasalahan yang di hadapi dan juga nasib mereka yang berada pada keputusan hakim yang selalu memutuskan setiap perkara yang mereka miliki.Ya, Kalila sedari tadi tengah memperhatikan penjelasan Rangga yang sedang menyelesaikan kasus kliennya. Mereka berdua terlihat sangat professional tanpa memandang latar belakang sebagai keluarga.Setelah persidangan selesai, Kalila dan Rangga pun bertemu di salah satu restaurant untuk makan siang bersama seperti yang sudah mereka janjikan."Kakak yakin balikan sama Mas Janu?" Tanya Rangga saat dia tengah mengunyah nasi ayam."Iya. Aku balik demi Radit." Ucap Kalila namun tatapannya kosong.Rangga bukanlah anak kemarin sore yang bisa di bodoh-bodohi dan di bohongi seperti itu. Apalagi, tuntutan pekerjaan Rangga yang sudah menggeluti dunia hukum dan bertemu banyak kasus akan sangat mudah sekali melihat hati Kalila ba