Share

10. BERHARAP

"...Melihatnya lemah tak berdaya merupakan luka tersendiri, meskipun kecil..."

~ Ara ~

Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan Aru masih terlihat biasa saja. Kami masih baik-baik saja, tapi juga tidak baik-baik saja. Masih belum ada keputusan untuk saling menjauh apalagi saling meninggalkan satu sama lain. Kami masih saling berbagi tempat menyandar, kami masih saling berbagi suapan, dan kadang juga berbagi hal yang lain-lainnya juga.

Meskipun terkadang dibumbui juga dengan pertengkaran kecil saat Arnold menghubungiku, atau mengirim pesan padaku dan aku menjawabnya didepan Aru. Kaarena sebab itulah dia jadi mudah marah belakang ini, mungkin karena merasa tersisihkan dan aku bisa memahami itu. Dia marah dan kesal karena aku membagi kasih juga perhatian pada orang lain.

Jika sudah begitu Aru bawaannya ingin menghindariku, dia segera mengambil langkah menjauh dariku, memberiku jarak. Entah itu dia pergi ke kamarnya, pergi keluar, atau pergi ke tempat Zein. Tapi untungnya itu hanya terjadi sebentar saja. Paling-paling dalam hitungan jam atau menit, lalu kami berbaikan kembali. Aru termasuk orang yang mudah dibujuk dan diajak bernegosiasi. Dia orang yang mudah menerima maaf.

Tapi entah kenapa seminggu terakhir ini aku merasa dia sedikit berinteraksi dengan ku. Padahal kami tidak sedang dalam pertengkaran. Kami biasa saja. Hanya saja aku merasa sepertinya Aru sedikit menjauh, aku dan Aru juga jadi sedikit ngobrol belakangan ini. Entah kerena apa. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Semoga itu memang hanya perasaanku saja. 

Pagi ini aku dan Tasya telat bangun. Kami jadi saling berebut guna mengejar keterlambatan. Mandi buru-buru, ganti baju buru-buru, make up buru-buru, bahkan Tasya sampai melewatkan sarapan hanya agar bisa ke kantor tepat waktu. Aku juga memutuskan untuk melewatkan sarapan sama seperti sahabatku, karena terburu-buru. Terlebih karena Aru belum terlihat di dapur ataupun keluar dari kamarnya, padahal biasanya dialah yang suka membangunkan aku dan Tasya. 

Apa dia marah? Atau dia hanya sedang merasa malas? Kenapa juga dia tidak membangunkanku? Biasanya dia selalu jadi alaram terbaik saat aku dan Tasya sedang lelah dan sulit bangun begini. Apa dia sudah berangkat duluan? Tidak. Jam kerjanya lebih siang dari jam kerjaku maupun jam kerja Tasya. 

 

"Ra, aku duluan" teriaknya sambil berlari keluar dan disusul dengan langkah cepat Tasya, mempersingkat keterlambatannya.

Sebelum aku menyusul Tasya berangkat, aku menyempatkan diri untuk melihat Aru, hanya sebatas mengecek apakah dia sudah pergi atau dia masih di kamarnya. Aku mengetok pintunya, tapi tak ada jawaban.

Apa mungkin dia sudah pergi? Aku mencoba menengok tempat Aru biasanya meletakkan kunci motor dan jaketnya, dan ternyata semua masih lengkap disana. Itu artinya Aru belum keluar. Aku kembali mengetuk pintu kamarnya sekali lagi, dan tetap tidak ada jawaban. 

Apa dia juga kesiangan sama seperti ku? Tapi tidak biasanya Aru kesiangan. Dia orang yang suka bangun pagi. Dia suka menghirup udara pagi yang masih bersih dari polusi dan segar. Dan itu sangat berbanding terbalik denganku. Aku suka bangun siang, menghirup udara dipagi hari bagiku tidak terlalu penting, lebih penting kalau pagiku itu digunakan untuk bermalas-malasan di kamar dengan tidur. Seperti ..., bisa dikatakan tidur disaat pagi itulah waktu yang terbaik untuk ku. Karena tidur dipagi hari itu merupakan tidur dengan sedikit mimpi, dan saat terbangun badan rasanya jadi lebih bugar, itu hanya menurutku.

Aku mengetuk sekali lagi. Tapi tetap tak ada jawaban apapun dari dalam kamar.

Apa dia libur dan masih tertidur di kamar? Kalau begitu aku akan masuk saja. Semoga saja dia tidur mengenakan bajunya. Supaya aku tidak terkejut.

"Aru, aku masuk!"

Maka aku masuk begitu saja, karena aku tahu pintu kamarnya tidak pernah dia kunci dan itu berbeda dengan pintu kamar ku dan Tasya yang selalu kami kunci sewaktu-waktu. Saat akan pergi, saat akan tidur, dan saat butuh ruang untuk sendiri, biasanya tiga keadaan itu yang sering membuat kami mengunci kamar. Tapi itu biasanya lebih sering Tasya yang melakukannya, soalnya aku tipe orang yang sedikit ceroboh, dan pelupa. Tapi Tasyalah yang sifatnya justru sedikit mirip seperti Aru, untuk urusan selera, pemahaman, sudut pandang, dan ketelitian, bukan untuk asmara, oke! Soal yang satu itu kurasa mereka beda tipe. Jauhhhh!

Langkah pertamaku masuk langsung disambut dengan hawa dingin. Aku bisa melihat Aru masih tertidur di kasurnya tanpa selimut, dengan posisi membelakangiku.

Kenapa dia menyetel pendingin ruangan sedingin ini? Apa dia merasa kegerahan? Tapi dia bukan tipe orang yang suka hawa dingin. Aru bisa tidur tapa AC, ataupun kipas angin disaat cuaca bahkan terasa panas, tapi jika itu aku. Aku tentu tidak bisa. Yah, begitulah salah satu sifat kontras kami yang bisa dilihat dengan jelas.

Kenapa dia menyalakan AC sedingin ini, sepanjang malam? Dengan suhu seperti ini, itu bisa membuatnya sakit. 

"Kau tumben belum bangun? Ini sudah siang lho, Ru!" ujarku saat mengambil remot dan mematikan suhu pendingin ruangannya. 

"Kau libur hari ini, ya?" tanyaku lagi sambil meletakkan balik remot itu.

"Ru, hei bangun!"

Aku beralih kearah jendela karena melihat tirainya bergerak dihembus oleh angin. Aku membuka tirainya sekalian, agar matahari pagi ini bisa masuk ke ruang kamarnya. Aru sangat suka sinar matahari pagi seperti ini, tapi dia lebih suka lagi sinar pagi yang masih muda, sinar pertama yang akan menyentuh bumi. Dia sangat menyukainya, karena katanya sinar itu lembut, terang, hangat tapi tidak menyakiti kulit.

Apa dia baik-baik saja? Kenapa dia tak juga bereaksi akan semua perkataanku?Dia bahkan tidak menutup jendelanya semalaman? Membuat angin di lantai 13 ini mudah masuk dan menambah hawa dingin didalam ruangan ini. Sungguh, dia bisa jatuh sakit jika sedingin ini. Aku menjadi khawatir dengannya.

Akupun segera mendekat pada Aru, perlahan duduk ditepian kasurnya dan meraih satu lengannya, mencoba membalik badannya yang sedari tadi tidak bergerak ataupun meresponku. Namun sebelum aku berhasil melakukanya, aku lebih dulu mendengar suara getaran yang sangat halus dan pelan dari arahnya.

"Hei, apa kau masih ingin tidur dan bersantai?" kataku menepis rasa cemas.

Namun saat tanganku berhasil menyentuh dan membalik arah Aru menghadapku. Suara rintihnya makin keras dan tubuhnya mendadak bergetar dengan sendirinya. Aku menyibak rambut yang menutupi dahi Aru. Menempelkan tanganku, guna mengukur suhu tubuhnya secara manual. Suhunya dingin. Wajahnya pucat. Bibirnyapun pucat. Jari tangannya mengeriput. Aru menggigil. Aku jadi takut. 

"Kau sakit?" kataku merasa tak menentu melihatnya tak berdaya seperti itu.

Aru tak bisa menjawabku, aku semakin cemas juga takut. Semakin lama suara menggigilnya pun semakin keras dan hebat. Bahkan giginya kini memaut kuat menahan rasa dingin yang mungkin dia rasakan. Aku panik, tak menentu, tak tahu harus melakukan apa. Semenit, aku kehilangan akal sehatku untuk menolongnya, tak tahu harus berbuat apa selain hanya mematung memandanginya dengan sedih juga cemas. Bingung harus melakukan apa terlebih dahulu untuk menolongnya.

Lantas menit selanjutnya, pikiranku seperti telah berfungsi normal lagi. Aku segera menarik selimutnya dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Mungkin itu bisa sedikit membantu menghangatkan tubuhhnya. Mungkin itu bisa mereda dinginnya menghebat.

Aku bahkan hampir menangis melihatnya begitu. Tidak. Mungkin aku hanya ingin menangis karena rasa gelisah dan cemasku pergi kemana-mana, menculikku jauh dari pikiran baik dan normal. Aku takut dia kenapa-napa, atau dia mungkin punya penyakit yang tidak ku ketahui bagaimana menanganinya dengan baik dan benar. Aku hanya takut, juga kalut.

Jadi semalaman tadi kau kedinginan dan hingga tak bisa bangun? Bahkan untuk sekedar mematikan AC dan menutup jendela? Atau hanya sekedar menyelimuti dirimu sendiri? Itulah kenapa semalam aku tidak melihatmu keluar dari kamar setelah pulang kerja? Aku merasa payah sendiri tiba-tiba.

'OH, Aru!'

"Tunggu. Aku buatkan teh untukmu" ujarku mencoba keluar dari rasa panik, dan untuk membuatnya merasa lebih hangat lagi.

Namun sayangnya rasa cemas itu buka semakin mereda, tapi justru bertabah karena tanpa sengaja aku melihat waktu yang terus bergerak semakin cepat, dan seolah mengingatkan jika aku tidak bergerak cepat dan cekatan waktu akan semakin meninggalkan ku dalam keterlambatan yang semakin parah.

Aku berlari kearah dapur, menyalakan kompor dan merebus air. Lalu aku kembali masuk ke kamarku dan mengambil tasku cepat. Ku masukkan barang-barang yang akan ku bawa ke kantor kedalam tas itu, cepat saja. Yang terakhir akupun memasukkan ponselku dalam sana, lalu keluar, menuju dapur lagi, dan karena air belum mendidih aku lantas kembali ke kamar lagi untuk mengambil handuk kecil yang lupa kubawa tadi.

Aku kembali ke dapur dan membuatkan teh panas untuknya. Memasakkannya mie instan, karena itu yang paling praktis dan menyingkat waktu saat ini.

Aku membawa sebuah baskom besar ke kamar Aru, disusul dengan segelas teh manis panas, dan semangkuk mie rebus. Kini aku bisa bernafas dengan sedikit lebih tenang saat melihatnya membaik dengan sendirinya dalam hitungan menit saja. Getaran tubuhnya sudah menghilang, meskipun begitu aku tetap mengompresnya dari kening hingga telapak tangan juga telapak kakinya. Tak lupa akupun memberikan senyum terbaikku saat dia hanya mampu melihatku dengan kondisi lemahnya. 

"Apa kau perlu menemui dokter?" tanya ku saat Aru masih mengawasiku dengan wajah lelahnya.

Dia menggeleng lemah, "Tidak perlu. Aku hanya kedinginan" ujarnya lirih.

"Sungguh?" tawarku sekali lagi. Mencoba meyakinkan diri sendiri, tak ada yang perlu ku cemaskan lagi. 

Dia mengedipkan matanya lembut untuk menjawab iya.

"Nanti juga membaik dengan sendirinya"

"Baiklah klo begitu. Minum tehnya oke!"

Aku membantunya duduk, dan meminumkannya. Tapi dia memprotes karena masih terlalu panas.

"Sorry, aku gugup dan panik tadi, jadi lupa mencampurnya dengan sedikit air biasa"

Lalu aku meletakkan kembali gelas itu di meja, dan tanpa sengaja mataku kembali tertuju lagi pada jam disana.

"Mmhh .... Makan juga mienya ya, nanti"

"Instan?" tanyanya dengan nada sedih.

"Iya. Aku ngak sempet masak, kau lihatkan?" aku menunjuk jam itu, "Akuuu..., aku kehabisan waktu, Aru. Aku harus sege ....!"

"Can you please at least just stay?!" katanya menyela ucapku, seperti tahu sekali apa yang akan aku ucapkan padanya. Jika aku akan memberinya kalimat perpisahan.

Aku menatapnya sedih. Akupun ingin tetap ada disampingnya, terlebih disaat dia sedang lemah seperti ini, tapi disisi lain aku ada pekerjaan yang tak bisa ku tinggalkan hari ini. Aku yakin dia akan memahami keadaanku, yang tidak bisa menemani disampingnya lebih lama. Aku yakin Aru akan mengerti jika waktu kami kali ini hanya tidak tepat saja untuk dihabiskan bersama.

"Mmmmm, akanku usahakan pulang cepat nanti, okay?!"

"Please, just this time? Just this day!" mintanya sekali lagi dengan penuh harap. Aku tahu dia butuh aku saat ini, tapi kali ini waktunya hanya tidak pas.

Aku menatapnya makin sedih, karena tak bisa memenuhi permintaannya. Karena pada dasarnya aku juga ingin melakukannya, mengingat kondisi Aru yang tumbang seperti ini. Berada disampingnya disaat terlemahnya seperti ini pastilah sesuatu yang berarti. Tapi aku juga tidak bisa karena ada hal penting juga yang harus ku urus di kantor, dan karena ini juga sudah dijadwalkan jauh-jauh hari sebelumnya, aku tak berani dan akupun tak bisa serta-merta meminta ijin untuk tidak masuk kantor dengan alasan, karena harus menunggui pacarku yang sedang sakit. Aku pasti langsung akan dipecat jika itu sungguhku lakaukan.

Aku sedih, dobel sedih karena himpitan keadaan yang tidak memungkinkan ini. Satu sisi aku ingin tinggal dan merawat pun juga menemaninya, tapi satu sisi lainnya aku harus segera bergegas ke kantor dan menghadiri rapat besar itu. Itulah yang membuatku merasa sedih dan bimbang.

"Sorry, aku ngak bisa jika harus absen hari ini. Aku ada rapat dengan semua pembesar perusahaan hari ini" kataku jujur, berharap Aru bisa memahami hal itu,

"I'll find a way to back here soon. I promise. Okey!" aku mencoba mengganti kekecawaannya dengan menjanjikan pulang lebih awal untuknya.

Setidanya setelah rapat selesai, aku bisa pura-pura sakit atau semacamnya, agar bisa segera pulang dan menemani Aru.

"Okelah. Go!" suaranya tedengar malas melihatku berlama-lama didekatnya.

"Jangan marahlah, please!"

"GO ARA! GO, before you getting late and late 'cause of me. Pergilah, aku tak bisa menahanmu terus berlama-lama disini, bukan?" katanya seperti tidak bisa mentoleransi alasanku.

Jelas Aru merasa tidak senang dengan jawab yang kuberikan. Tapi, aku memilih untuk tidak memperberat semua ini jadi perkara yang sulit diputuskan. Aku tak ingin urusan ini semakin memanjang dan lebih lama menyandra waktuku disini. Aku harus mengejar ketertinggalanku yang sudah bermenit-menit lalu. 

"Jangan lupa makan, okay! Jika sampai sore nanti kau masih belum membaik juga,  kita ke dokter yah!" bujukku mencoba mencairkan suasana.

"Sudah ku bilang aku tidak apa-apa!" suara Aru menekan tinggi dan sinis,

"Ini hanya kedinginan biasa. Kau tak perlu cemas berlebihan" katanya menjadi dingin tiba-tiba, sedingin suhu tubuhnya tadi.

Aku tahu dia kecewa, dan jadi kesal karena aku tidak bisa meng-iyakan permintaannya.

"You mad at me?" 

"Noh. Aku hanya tak ingin kau makin telat" nadanya berubah datar, seakan sedang menyembunyikan marahnya dariku.

Dia bahkan segera memalingkan wajahnya dan menarik lagi selimutnya tinggi, berbaring tidur.

"Jangan marah, aku benar-benar tidak bisa mengambil cuti kali ini" aku meraih lengannya, membalik badannya lagi untuk menghadapku. Aku tak ingin meninggalkannya dalam sedih.

"Ya, aku paham. Pergilah. Kau akan semakin terlambat jika merasa tak enak padaku. Aku baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja. Kau kan tahu, aku manusia yang kuat. Aku tak akan tumbang hanya dengan demam sekecil ini. Aku lebih baik sekarang"

Aku tersenyum senang mendengarnya.

"Oke. Hubungi aku jika kau butuh sesuatu, yah!"

Aru hanya meng-hmm tak berselera. Dan sekali lagi membalik badan membelakangiku.

"Kau sungguh tidak marahkan? Aku akan segera pulang okay!"

"Mmm. Aku tidak marah"

"Sungguh?"

"Mmmh"

"Klo begitu aku berangkat, yah"

Aru memberiku anggukan. Mengerti.

"Hey, you forget something" tahannya saat aku hendak keluar dari pintunya. Kini dia sudah berbalik menatapku.

"What?" 

Aku tersenyum saat Aru sudah menempelkan jari tangannya dipipi kanannya. Memberikan kode untuk sambutan selamat paginya. Namun aku yang sudah setengah dimulut pintu sangsi untuk berbalik dan berlari kearahnya lagi, mengingat waktu yang ku miliki semakin menipis, dan aku juga tidak ingin merusak riasan lipstik ku. Akan butuh tambahan waktu untuk menambalnya ulang. Jadi aku hanya memberinya ciuman jarak jauh dan segera pergi mengejar keterlambatan.

Tapi Aru terlihat seperti tidak terlalu tertarik menerimanya. Dia hanya mengembangkan senyum tipis tak berseleranya melepasku pergi. Aku tahu, ada goresan luka yang tertinggal disana meskipun dia coba samarkan karena mencoba memahami keadaanku yang tak bisa mengiyakan keinginannya.

Sekali lagi, aku meninggalkan sedikit luka dipaginya, juga di hatinya yang harusnya dia sambut dan hadapi dengan indah seperti biasanya. Bahkan, disaat lukanya yang kemarin belum bisa aku obati dengan sempurna, aku malah memupuknya meskipun itu tipis dan tidak pekat. Aku tahu, jauh didalam lubuk hatinya dia terluka menerima keputusanku ini.

'Maaf Aru, aku tak punya pilihan lain'

Aku tahu, akupun sadar, seharusnya jika aku belum mampu mengobati lukanya maka seharusnyapun aku tidak menambah lukanya. Namun akupun sama tak tahunya. Hanya saja, yang sedikit ku tahu dari keadaan tak selaras ini ialah... saat melihatnya lemah tak berdaya, itupun merupakan luka tersendiri bagi diriku, meskipun kecil. Sekalipun itu luka kecil dan ringan, namun luka tetaplah luka. Terasa ada yang tidak nyaman saat membawanya.

Akupun tak mengerti kenapa keadaan dan waktu sederhana ini, kini terasa sulit bagi kami untuk diimbangi dan diselaraskan bersama. Padahal tadinya tidak begini. Padahal tadinya semuanya baik-baik saja dan selaras tanpa perlu usaha. Tapi kini terasa beda. Waktu bersama kami yang biasanya selaras kini terasa menyilang dengan sendirinya. Kurasa aku sedikit tahu semua yang terjadi ini, segalanya terjadi diluar dari kuasa kami berdua.

Seakan semuanya memiliki skenario besar yang tidak kami ketahui laju dan arah geraknya akan kemana dan juga bagaimana. Akankah pergerakan itu mampu menyatukan lagi kami yang terasa terbelah, ataukah pergerakan itu akan semakin memecah kita menjadi partikel yang lebih kecil lagi?

We never know.

Kita tak pernah tahu bagaimana takdir bekerja dalam kehidupan ini untuk kita.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status