"... Aku sadar kau tak terlalu cantik malam itu, tapi aku suka ..."
~ Aru ~
.
.
Aku tak tahu lagi apa yang kurasakan kini. Setelah buru-buru memutus obrolan singkat dengan Ara tadi, aku malah jadi semakin tak menentu. Membuat tidurku tak lagi enak, padahal kukira dengan tahu bawa dia bahagia aku bisa tidur pulas dan lepas tanpa beban. Tapi itu malah seperti bumerang yang menyerang diriku sendiri, membuat pikiranku kacau lagi, merusak tatanan nyaman yang berhasil ku bangun dan kulalui tahunan lalu tanpanya.
"Kurasa dinding pertahananku jebol kembali. Dan aku sakit lagi" renungku.
Harusnya kudengar baik-baik nasehat Zein, sebelum aku menghubungi Ara lagi. Karena bagaimapun dia punya sisi benar dalam menasehatiku, tapi yang kulakukan malah terus mengabaikan itu sejak dulu.
"Ingat ini kawan! Berhati-hatilah sebab perasaan itu selalu bersifat fluktuatif. Tak bisa diprediksi dengan pasti."
Begitu pesannya saat mengirimkan nomor Ara tadi.
"Mmmh, nice advice brother. Thanks!"
"Aku bisa memberi up date berita terbaru tentangnya jika kau mau. Mungkin jika kau rindu 😝 " godanya lagi,
"Kau akan sangat berterimakasih! 😂 "
"Dia lagi? NO, THANKS!!"
"Mungkin..., bisa saja ini menguntungkan. Apa kau akan berubah pikiran saat tahu... Jika ARA.... 😈 "
"DEVIL?" balasku merujuk emotikonnya.
"Nice joke! Tapi bukan itu. Antara Ara dan Arnold, mereka sebenarnya....? Mau tahu tidak?"
"TAK TERTARIK!"
"OKAY. Jika mungkin... Emhh, barang kali saja kau masih mencintainya. Aku bisa memberimu informasi berharga ini, Ru!"
"HAHA... LUCU! 😆 CINTA?"
"ALL MY LOVE IS GONEEEE... MY LOVE IS DEAD and GONE! 😩 "
Zein membuatku sebal.
"LOL. LOVE IS BLIND NOT GONE!"
"AMNESIA? Siapa yang dulu memaksaku menjauhinya dengan KETAT?!! Sekarang saat aku telah SANGAT JAUH darinya, kau ingin mendorong ku kembali kesana? 🙉 OH NOHHH. Apa kau sudah gila?!!"
"Dan satu hal lagi yang perlu kau ingat, kawan. Aku TAK TERTARIK dengan ISTRI ORANG!" balasan pamungkasku padanya.
"Ohh, istri orang itu tetap MANTANMU!" balas Zein, "Mungkin saja cinta itu bisa tumbuh lagi dengan satu panggilan saja" sangkalnya.
"Duhh"
"Just be careful, man! Perasaan manusia itu mudah berubah-ubah seperti air. Kadang surut, kadang pasang. Kadang tenang, kadang menenggelamkan"
"So be careful and Good luck, BROTHER!"
Benar, berurusan dengan Ara masih saja tidak mudah. Cinta yang hebat selalu memberi luka yang berat.
Aku merasa hilang arah dan pegangan sekali lagi dalam sekejap berbicara dengannya. Beruntung aku memutusnya lebih cepat dari harapanku, dan beruntung emosiku masih tak stabil saat bicara dengannya.
Jadi aku tak terlarut, terbawa dalam rasa rindu karena terus ingin mendengar suaranya yang masih sama terulang lagi, membangunkan fantasi indah dalam rajutan kebersamaan kami waktu lalu.
Tapi bayangan patah hati itu juga masih lekat, membekas dalam ingatan. HIngga memberi ruang nyeri untukku menyendiri dan memikirkannya sekali lagi.
"Dialah orang yang mewarnaiku dengan kepiluan juga, selain rasa indah"
"Oh, Tuhan. Mengapa mengingat semua tentangnya masih saja berat? Seberat keputusan yang harus ku jalani saat dia tak bisa memilihku! Seberat aku harus melewati hari-hari piluku tanpanya!"
.
- FLASHBACK -
.
Malam itu, Ara mendatangi tempat Zein untuk mengajakku makan malam. Sebuah hal yang tak biasa dia lakukan saat Zein ada di rumah, biasanya dia lebih suka menyuruhku untuk menjemputnya, tapi kali ini beda. Ini istimewa. Dia datang sendiri kemari dan tanpa pemberitahuan. Surprise mungkin.
Aku merasa senang, bahkan aku sempat berbisik iseng pada sahabatku sebelum pergi dari tempatnya.
"You see? Dia masih milikku, bukan?!"
Zein hanya gelengan kepala tidak mau membenarkan kalimat sindiranku itu.
"Kau akan patah hati. Lihat saja nanti"
Aku tak peduli dengan ucapan irinya.
Sesampainya disalah satu tempat makan fvorit Ara, sesaat aku memperhatikannya. Dia mengenakan mini dress kesukaanku, meskipun itu bukan dress favoritnya. Aku selalu suka jika Ara mengenakan baju itu. Karena rasanya kecantikannya jadi bisa terpancar keluar sepenuhnya.
'I like'
Ara sangat cocok memakainya, ditambah lagi dengan make up yang pas dan tak berlebihan, membuatnya makin bersinar di mataku.
"Mau pesan sekarang?" dia menawariku.
"Yah, tentu. Kau kesini untuk mengajak ku makan, bukan? Maka jangan menundanya lagi atau kau yang akan ku makan!" celotehku mencoba melucu.
Ara tersenyum berat, lalu melambaikan tangan ke udara cepat, mengabaikan leluconku, beralih pada pekerja restonya.
"Are you gonna order now, Miss?"
"YES, please!"
"Kau mau apa?"
"YOU" jawabku singkat, tenggelam dalam lamunan menikmati kecantikannya.
Pelayan disisi kami seketika tersenyum mendengarku. Dan aku jadi tersadar.
"Ahh? Kau bilang apa tadi?"
"Kau mau pesan apa?"
"Anything. Apapun yang kau pilihkan!"
"OKAY" jawabnya sambil mengakhirinya dengan senyuman manis.
Dia tenggelam dalam buku menu, sibuk memilih pesanannya dan aku hanya mengamatinya sedari tadi. Menikmati semua aura sinar cantiknya.
"Kau cantik sekali malam ini. Apa ini anniversary kita yang aku lupakan?"
Ara menggeleng.
"Ini ulang tahunmu? Atau ini hanya malam spesial untuk kita berdua?" kataku saat sang pelayan pergi.
Ara hanya tersenyum lagi dengan berat. Lalu dia mengangkat bahunya ringan.
"Apapun itu... I like this and I like you too"
"Oh, I mean I love you also Ra"
Diapun tersenyum begitu menanggapiku.
Pelayan datang dan menuangkan cairan merah dalam gelas. Tapi aku mengambil gelas bening lainnya. Meminumnya, guna membasahi tenggorokanku yang kering.
"Kita biasanya kemari jika ada hal penting atau spesial. Apa kau dapat bonus lagi?"
Aku menggodanya, mencoba memancing Ara agar lebih merasa rileks dan nyaman. Tapi dia lebih pendiam dari biasanya dan wajahnya tidak sebahagia sepertiku.
Ara menggeleng dengan senyum tipisnya.
"Aku hanya rindu kita makan berdua lagi disini" katanya, tapi matanya malah berkaca sedih.
"Hei... kau baik?" aku memegang satu punggung tangannya.
Ara mengangguk dan menghapus embun yang membuat buram matanya.
"I'm sorry. I just miss it a lot, Ru. Berdua, menghabiskan waktu bersamamu begini. Sehangat dan senyaman ini"
Ada nyeri seketika menjalari diriku, saat mendengar harapan kecilnya itu.
"I'm sorry. Sorry..., karena aku tak bisa membawamu sering-sering keisini. Ya, itu memang terasa sudah lama sekali sejak terakhir kita kemari"
Aku sadar dengan banyaknya kekurangan yang kumiliki, hingga tidak bisa mengajak dia sering-sering ke tempat favoritnya.
Aku merasa payah karena tidak bisa membawanya ke banyak tempat yang seharusnya menjadi tempat-tempat pijakannya selama ini. Alih-alih begitu, Ara justru merendah ketempat-tempat yang sesuai level kelasku selama ini. Dan Ara tidak keberatan akan hal itu. Dia sangat menjaga perasaan ku akan hal itu.
"Aru... it's okay. Itu bukan salahmu. Dan lagipula, aku membawamu kesini bukan karena itu...," dia menenangkanku balik,
"Aku hanya senang, kita berdua akhirnya bisa kesini lagi. Seperti ini lagi"
Kini, aku yang tersenyum dengan berat.
Pelayan datang untuk menghidangkan pesanan kami.
"Please, enjoy your dinner"
"Thank you" kami menjawab kompak.
"Ru...?"
"Hhmm?"
Aku menghentikan tanganku yang sibuk memotong untuk melihatnya. Tapi dia malah menggeleng dan tersenyum mendapati tatapanku.
Ara lupa akan kalimatnya sendiri.
"Kau mau bilang apa? Kenapa ragu begitu?" tanyaku.
"Kau mau bilang, I love you?!" gurauku.
Dia tersipu.
"Apa sih? Ada yang salah denganku?"
"Bukan. Entahlah" ujarnya bimbang.
"Kau mau aku memotongkannya atau kau sebenarnya mau aku menyuapi mu?"
"Keduanya boleh?"
"Hemm, manja deh!"
"Selagi bisa. Boleh, kan?"
"Tentu boleh. Asal manjanya denganku, bukan dengan orang lain. It is totally fine!"
Ara tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. Aku menyuapinya.
Tapi perasaan berat itu masih belum bisa lepas dari wajahnya, meskipun aku telah berusaha melucu atau memanjakannya.Entah apa yang sedang dia pikiran. Tapi aku bisa menyimpulkan jika pikirannya tidak sedang bersamaku di meja makan ini. Pikirannya berkelana entah kemana.
Mungkin dia sedang membayangkan makan malam dengan orang lain. Tapi sayangnya, aku yang ada dihadapnya saat ini. Mungkin itulah kenapa dia merasa berat sedari tadi, tidak santuy.
"Aru..."
"Iya?"
Ara mengelap bibirnya dan menatapku sejenak. Lalu tersenyum gamang. Satu tangannya memegangi tanganku.
"Aku..."
Dia masih ragu. Aku masih menunggu. Tapi dia takut dan sangsi menyampaikan.
"Katakan saja, apa yang membuat mu berat saat ini?! Aku akan mendengar mu dengan baik"
"Sungguh?" dia menyangsikanku.
"Tentu. Aku disini untuk mu juga kan?"
"Baiklah. Sebenarnya..." Ara mengambil minumnya, "Sebenarnya aku ..."
"Sebenarnya kau kenapa?"
"Aku... Aku akan memberikan jawabannya padamu malam ini"
Ucapannya seketika membawa getir di dadaku. Hatiku menjadi cemas. Jadi ini arti senyum beratmu sedari tadi itu, Ra?!
Aku tersenyum berat.
'Apa aku siap menerimanya?'
"Kau sudah yakin?"
"Ya! Kurasa!?"
Aku membeku sejanak dalam tempat dudukku. Aku tidak tahu apa aku siap dengan semua keputusannya. Hatiku jadi begitu cemas. Aku menarik gelasku.
"Sudah kau pikirkan dengan matang?
Ara mengangguk.
Aku membuang nafas gerogiku.
"Baiklah katakan!"
"Aku akan mengatakannya setelah makan malam ini. Aku ingin ini menjadi makan malam yang menyenangkan dan damai untuk kita"
"Apapun mau mu" aku menyembunyikan tatapanku resahku dalam piring makanku.
Rasanya aku sudah lebih dulu tahu apa yang akan dia putuskan lewat kalimatnya yang begitu itu.
Aku mengerti sekarang.
Mengapa makan malam ini spesial untuk kami berdua. Karena mungkin ini akan jadi makan malam terakhir kami. Serupa kenang-kenangan perpisahan untukku.
Aku menarik lagi gelasku dengan hampa.
Jadi dia menyiapkan semua ini untuk berkata "Bye? Selamat berpisah Aru?!" Dia berdandan cantik malam ini hanya untuk mengucapkan selamat tinggal padaku?
'Tapi dia belum memutuskan Aru, bagaimana bisa kau seyakin itu? Bisa saja pilihannya adalah kau, bukan Ar-no! Bisa saja, kan?'
Tapi aku masih sangsi.
"Kau yakin sudah menimbang semuanya dengan baik dan benar, Ra??"
"Mmhh. Aku memang belum sepenuhnya yakin. Tapi aku tak ingin menggantungmu lebih lama lagi dengan semua ini"
"Ara..."
"Aru...!" dia menghentikan kalimatku.
"Memang selalu ada ragu dihatiku saat itu menyangkut kamu. Ini berat. Memang ini tak mudah buat aku, buat kamu, juga dia. Tapi kita harus menghadapinya, bukan?"
"Tentu kita harus menghadapinya, Ra!"
Dia tersenyum tipis. Lalu ku balas dengan senyum resah.
"Kau akan memilihku, kan?"
Dia tersenyum ragu dan berat.
"Kita bicarakan itu nanti saja yah. Kita nikmati makan malam ini dulu"
Rasanya aku semakin ragu, jika dia akan memihakku. Tapi akupun tak boleh terus berasumsi begitu. Ia belum memutuskan.
"Aru... maukah kau ceritakan sesuatu?"
"Apa yang ingin kau dengar?"
"Apapun"
"Tentang kita?"
"Emhh, boleh!"
"Ingat kunjungan pertama kita kemari?"
Dia mengangguk.
"Kita duduk disebelah sana, dan seorang pasangan dengan dua anak duduk berisik didekat kita, tapi kita tak terganggu. Saat itu kau memakai baju berwarna ungu pastel. Dan aku sadar klo kau tidak terlalu cantik malam itu..."
Dia membelalakkan matanya tak percaya.
"Sungguh?"
"Mmmh. Kau tidak terlalu cantik malam itu. Tapi entah kenapa aku tetap suka memandangimu"
Akhirnya dia tersenyum lebar juga, seolah semua beban beratnya lenyap begitu saja hanya dengan kalimat sederhana itu.
Kurasa dia menyukainya.
"Lalu?"
"Lalu ..."
.....
−
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen