Karila Aistarabaw I is the last woman in Egyptian history to receive a royal title. Her inherited family wealth has placed her at the center of Western threats, where the war for power has intensified in recent years. With a mere title within a republic commanded by an antagonistic president, Karila lives for revenge in the name of all the losses she had suffered, but is faced with an unknown coming from America capable of making her relearn each of her most intimate principles in the name of a forbidden attraction that will change his life forever.
View More"Raka! Rakana! Keluar kamu! Jangan sembunyi, atau kubakar pelaminan di depan sana!"
Suara wanita yang amat kukenali terdengar menggema. Aku yang baru saja selesai dirias oleh make up artist terkejut bukan main. Brakkk! Aku makin terkesiap, kala pintu ruangan make up di gedung tempat pernikahanku akan berlangsung hari ini, didobrak amat kencang. "Faula?" gumamku pada sosok perempuan yang berhasil menggebrak pintu tadi. Dia adalah sahabatku sejak sekolah SMA. Dulu rumahnya tepat di depan rumahku, tapi sejak satu tahun lalu dia tinggal di luar kota karena mendapatkan pekerjaan di sana. Meski begitu, kami masih sering bertukar kabar melalui ponsel. "Kamu pulang juga akhirnya," ucapku merasa senang sekaligus tak percaya. Dua minggu sebelumnya, Faula mengabarkan tidak bisa datang untuk menjadi Bridesmaids di pernikahanku karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. "Kamu tidak bisa menikah dengan Raka!" ucapnya dengan tangan yang bersilang di depan dada. Matanya seolah memindai penampilanku dari atas hingga ke bawah. "A—apa maksudnya?" Aku bertanya tidak mengerti. Dia bahkan tahu hubunganku selama tujuh tahun ini bersama Raka. Dia yang selalu menjadi tempatku bercerita saat hubunganku dan Raka bermasalah. Dia tahu betapa aku mencintai laki-laki hitam manis itu. Kenapa tiba-tiba dia datang dan mengatakan demikian? "Karena ... aku hamil anaknya Raka!" Hah? Mataku melotot sempurna mendengarnya. Menatap Faula penuh selidik dan ia mengangguk tanpa ragu. "Iya. Aku hamil anak dari Raka. Sudah tiga bulan. Dia harus menikahiku, bukan kamu, Chia!" "Jangan bercanda kamu, Fau!" hardikku keras. Jari telunjukku berada tepat di depan wajah perempuan tinggi semampai dengan dress merah marun tanpa lengan ini. Faula menepis jariku kasar, lantas ia merogoh ke dalam tas hitam yang dipakainya. Mengeluarkan hampir lima testpack bergaris dua, amplop berlogo rumah sakit swasta, lalu terakhir fotonya bersama calon suamiku. Foto mereka berdua ... di atas ranjang. Melihat itu, jantungku seakan ingin melompat dari tempatnya. "Ini buktinya! Aku positif hamil. Surat hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Dan ini, fotoku bersama Raka di kamar hotel. Masih kurang? Apa harus aku perdengarkan voice note mesra kami juga?!" cecar Faula berhasil membuat persendianku melemas. Aku tak kuasa lagi berdiri. Badanku sudah oleng, seseorang terasa menyangga dari belakang sampai tubuhku didudukkan. Tak terkira hancurnya hatiku mendapati kenyataan ini. Bagaimana mungkin? Aku sendiri masih sulit mempercayainya. Sejak kapan mereka berkhianat di belakangku? Sialan sekali. "Sekarang mana Rakana? Pernikahan kalian tidak boleh terjadi, Raka harus menikahiku. Dia harus bertanggung jawab atas kehamilanku!" lontar Faula tajam. Aku menggeleng menahan nyeri di hati yang teriris. Air mataku sudah ingin jebol dari tempatnya. "Di mana Raka?!" Faula bertanya membentak. "Rombongan calon pengantin pria belum datang!" Perias pengantin di sebelahku yang akhirnya menjawab. Perempuan cantik yang usianya sebaya denganku itu pun berlalu. Dia melangkah menuju pintu dan akhirnya keluar dari ruangan ini. Aku masih memikirkan apa yang terjadi saat ini. Hari pernikahanku bersama Rakana, hari yang aku impikan dan kurancang sedemikian rupa. Haruskah berakhir seperti ini? Bukti-bukti yang Faula beberkan masih teronggok di atas meja rias ruangan ini. Foto tak senonoh yang memuat kebersamaan mereka, berhasil membuat hati ini berdarah-darah dan patah sempurna. Akh ... Bagaimana bisa ...? Aku masih terus bertanya-tanya. Faula tidak sedang mengada-ada. Dia sedang memberikan bukti bahwa ia dan Rakana memang memiliki hubungan istimewa selama ini. Air mataku sudah lolos. Banjir membasahi pipi. Aku hanya bisa tergugu dengan gaun pengantin yang membalut indah di tubuh ini. "Chia, apa yang sebenarnya terjadi?" Suara Mama terdengar. Aku menengadah dengan wajah basah. Mama dan Papa memasuki ruangan. Mereka mendekat ke arahku dan Mama mendekapku. Saat itu juga, tangis ini tumpah ruah. Wajahku tenggelam di perut Mama. "Apa benar yang Faula katakan?" tanya Mama dan aku hanya bisa mengangguk lemah sambil terus terisak. "Rakana dan keluarganya baru saja datang, tapi Faula tiba-tiba berteriak. Mengancam akan membakar pelaminan jika Rakana tetap melanjutkan pernikahannya dengan kamu. Dia bahkan memegang pisau yang diarahkan tepat di depan perutnya. Dia juga mengancam akan menusuk perutnya yang sedang mengandung anak Raka," jelas Mama membuat hatiku semakin nyeri. "Benar begitu?" Aku masih tersedu. Tanganku lalu menunjuk pada meja rias di samping. Entah bagaimana reaksi Papa dan Mama setelahnya. "Kurang ajar Rakana!" geram Papa yang sepertinya sudah melihat bukti di meja rias itu. Terdengar derap langkah sedangkan Mama terasa mengusap punggung ini dengan lembut. ***** Aku sudah di aula. Meja yang seharusnya menjadi saksi ikrar suci ijab qobul, kini diisi oleh Rakana seorang diri. Lelaki dengan tuxedo hitam itu menunduk. Namun aku bisa melihat wajahnya babak belur dan sudut bibirnya berdarah. Sementara Faula berdiri di sampingnya tanpa rasa berdosa. Sepertinya, Raka kena hajar Papa. Aku berdiri diapit oleh Mama dan Mba Lin, kakakku. Riuh orang-orang yang sudah hadir terdengar memenuhi aula. "Memalukan sekali ini, Hans! Sia-sia aku menyiapkan pesta hari ini. Tapi seperti ini balasan kamu dan putramu?" hardik Papa kepada Om Hans, Ayah dari Rakana. "Iya. Jauh-jauh hari kami menyiapkan untuk hari ini. Semua yang terbaik kami berikan untuk perayaan pernikahan Chia dan Raka. Tapi apa? Putra kalian ternyata berselingkuh dengan Faula. Bagaimana sekarang? Semua keluarga dan kerabat sudah kami undang. Bayangkan, bagaimana kami hanya akan menjadi bahan cemoohan dan ledekan karena pernikahan dan pesta resepsi ini harus batal gara-gara perbuatan menjijikkan Raka!" Mama berteriak di depan kedua calon besannya. "Kami benar-benar minta maaf atas kejadian hari ini, Ruslan, Zaida. Mohon maaf sekali. Kami sebagai orang tua dari Raka, turut syok akan kejadian ini. Sungguh," ucap Tante Tari dengan kedua telapak tangan yang bertangkup. "Benar. Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya atas hari ini. Semua di luar kuasa kami. Kami juga baru mengetahui kenyataan ini sekarang. Seandainya semua terungkap sebelum hari ini, saya selaku ayah Raka, tentu akan membicarakan semuanya lebih dulu. Tidak akan hal ini terjadi," tutur Om Hans lesu. "Aku gak peduli, Hans! Aku hanya peduli pada putri bungsuku. Dia dan anakmu sudah berpacaran sejak lama. Hampir tujuh tahun, bukan? Tapi, apa yang Chia dapatkan sekarang? Pernikahan impiannya harus batal dan kandas. Karena aku tidak mungkin menikahkannya dengan Raka. Jelas-jelas dia sudah menghamili perempuan lain!" tukas Papa kembali. "Tenang, Ruslan. Tenang. Kita bisa bicarakan dan berunding baik-baik," jawab Om Hans. "Berunding baik-baik gundulmu! Sudah tidak ada yang bisa dirundingkan lagi. Pernikahan ini batal! Batal!" ujar Papa penuh kemurkaan. Mendengar Papa berucap dengan tegas membatalkan pernikahanku dan Raka membuat hati ini kian berdenyut-denyut saja. "Pergi dari sini. Bawa anak lelakimu yang kurang ajar dan brengsek itu pulang. Pergi dari hadapanku!" Papa mengusir dengan terang-terangan. "Tolonglah tenang dulu, Pak Rus. Kita pasti akan menemukan solusi atas masalah ini," pinta Bu Tari. "Solusi apa? Sudah, bubar saja sana! Pergi kalian semua dari sini. Pergi! Memalukan!" tukas Papa dengan kerasnya. Pastilah Papa merasakan malu yang teramat sangat. Calon menantu yang dibanggakannya, ternyata tak lebih dari seorang pengkhianat. "Tunggu, Ruslan. Tolong dengarkan dulu kami." Om Hans terus memohon. "Apalagi yang harus didengarkan Pak Hans?" Mama menimpali kali ini. "Raka memang tidak akan bisa menikahi Chia. Tetapi pernikahan ini akan tetap bisa berjalan. Pesta ini harus tetap berlangsung. Pernikahan ini harus tetap terlaksana. Putra sulung kami yang akan menggantikannya. Fahad lah yang akan menikahi Chia menggantikan Raka," jelas Om Hans membuatku melongo dengan mata melebar sempurna. "Fahad yang akan menjadi mempelai pengganti" What? Bang Fahad yang akan menjadi mempelai lelakinya? Aku menikah dengannya? Hampir tujuh tahun aku berpacaran dengan Rakana. Bolak-balik aku ke rumah orang tua Rakana selama itu dan baru sekali aku mendengar suara dari laki-laki tersebut. Usianya dua belas tahun lebih tua dariku. Dia juga duda selama sepuluh tahun lamanya. Yang benar saja aku harus menikah dengan dia? *She stood straight, watching her reflection in the mirror as her sewing assistant finished adjusting the shoulder straps of her black shirt. There was a lot of serenity in her expression, even if her ever so impetuous brown eyes were still there. Karila Aistarabaw held out her arms wide, feeling the gloved woman's delicate hands tugging at the last remnants of fabric so that the shirt completely covered the waistcoat she wore underneath her clothes.The country was waiting outside, the international press, its supporters, even its antagonists, it was a unique moment in the history of Egypt, which made it swallow several times, sustaining the sobriety of its royal creation. She was a woman who built herself under that role, her upbringing was governed by her parents under the circumstance of power, she was prepared.Her body moved as the final adjustment was made, and the black, gold-embroidered Sherwani tucked into her arms and fell into line with her stance. The golden buds were qu
Princess Egypt watched as the little boy crawled out of bed and stared at her as soon as she issued a summons. Her body curved before him, to match their heights, the awed brown glint in her eyes made her hold back a smile, she wanted to be serious.- Ali, we are moving from here, the elections are close and we will have a new phase in our lives, you will stay with other people, these different from me, people who are good, who will take extreme care of you until the votes pass so that can go toour home. - Karila quoted in a low Arabic, but authoritative enough for the child to understand that it was something serious. She was very intelligent, perhaps she had drawn so many attributes from Mahara that they were unlistable.His careful look showed his education, he was raised by Karila's principles, like a little prince who would show above all respect when he was old enough for everyone, especially women. The princess knew he still couldn't absorb much, but he made himself understoo
Years laterMusic on* More Than That - Lauren JaureguiDoctor Lauren Jauregui acquired respect and wove an impeccable reputation in the years assigned as a professor at Yale, even if her personal life still hovered around the new classes each semester, yet when they were in her class, silence and respect prevailed in every second.It was clear that they were still questioning themselves about their involvement with the missing princess of Egypt, they questioned the background of truth in the photographs even after the hoax was exposed, they wove long rounds of conversations trying to imagine why for 3 years she behaved like a lonely woman, without ever appearing with no one by her side, without any expository amorous bids, they never knew what to imagine coming from the Egyptology professor. The woman who talked about Egypt like no one else.Extremely elegant, in an all-black blazer and straight-cut slacks, she tucked her hands casually into the front pockets of her pants, glancin
Months laterLauren Jauregui temporarily moved to Cartagena, Colombia. The first months of her return from Egypt were strange, even for her biological life, her immune system was deregulated like crazy, she couldn't keep up for a week without having some health problem that didn't involve painkillers or more serious medications.That forced him to attend his doctor for a few successive times in the meantime, his mind was still used to the Egyptian routine, sometimes he caught himself talking about Egypt with his mother, in a distracted way, trying to sabotage himself that he wasn't wanting news from Karila all the time.He knew the princess was all right, that was all he knew.He was waiting in the doctor's office, glancing from the watch on his wrist to the young woman at the front desk, talking to her co-worker about the new soap opera that had debuted on Univision. A really tempting drama to pay attention to when you want to fill your mind with any superficiality.- Lauren Jau
It was a delicate matter.- There's one last thing to deal with. - Allyson said when Karila lined up all the sheets and put them back in the folder.- Yes?The CIA director put her hands in her pockets, her gaze downcast.- In the midst of our plans, the Saudi King let a personal team be alert about any attempt on his life for some time, he had left the order that if it happened to him, that they would look for you, and make you pay. They did this on Lauren and Mahara's exit from the Four Seasons, they mistook Mahara for you. - Saying that was difficult, even more so after everything.Karila arched her brow, she was surprised, lethargic, her brown eyes sadly dropped to the floor. She thought of Sarosh's pain, and then of little Ali... Tears kept coming from her impulsive eyes, tearing all her feelings out. Yet another victim of you.- They didn't tell you before because of the traumatic effects, but Mahara is gone... not for you, don't think that way, she was in the wrong place
Lauren seemed to think the same because she couldn't help herself and needed to look at those rings on her hands, was that true? She did, pulling Karila's hand in hers, laughing uncontrollably, stroking her delicate hand with her thumb.- From barely alive to this. -She said gesturing to the rings. Karila grimaced as she remembered the nearly dead one. She knew she had pretty exaggerated declines.- You knew how to act well, wretch, how did you lie that you didn't speak Arabic? Did you understand exactly everything around you? - He asked looking directly into her eyes. Lauren felt her cheeks burn, that was indeed a good lie that deserved justification.- I don't speak so well, it's not a lie at all. -She shrugged pretending to be no big deal.- But it's not entirely true. - Karila objected, narrowing her gaze as she watched Lauren hold the sheet covering her bust.- From the first day of the expedition meeting in Connecticut, Astrid instructed me to hide too much knowledge, menti
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments