Share

Awal Kisahku

Berada di puncak tidak akan terasa baik saat kau tidak menemukan ketenangan dalam dirimu.

Aku akan menemukan kebahagiaanku bagaimanapun caranya.

- Jihan Azzahra -

•☆☆☆•

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 saat Jihan tiba di rumahnya.

Sesampainya di rumah, Jihan langsung disambut oleh Anita dan Anton yang tengah duduk di ruang tamu. Mereka sedang membicarakan hal yang serius dan sepertinya hal itu adalah kabar baik.

"Sepertinya ada hal baik?" tanya Jihan setelah menyampaikan salam dan mencium tangan kedua orang tuanya itu.

Anton meminta puterinya untuk duduk bersamanya.

"Ayah punya kabar baik."

Jihan mendengarkan dengan seksama.

"Karena Ayah dipindahtugaskan, maka kita akan pindah ke Banten." lanjut Anton.

"Wait, what?? Ayah, aku masih punya banyak pekerjaan yang harus kulakukan di sini. Bagaimana bisa aku pergi begitu saja?"

"Lagi pula aku tidak pernah tinggal di luar Jakarta, bagaimana bisa aku beradaptasi di sana? Aku begitu sulit beradaptasi dengan lingkungan baru." lanjutnya.

Seolah tak menghiraukan rengekan anaknya, Anton hanya tersenyum tipis melihat puterinya yang sedang cemberut sambil terus menatap tajam padanya saat itu.

"Lalu, apa kabar baiknya?"

Anita memberikan sebuah brosur pada Jihan.

'SMA Nurul Iman' adalah nama sekolah yang tercantum di halaman terdepan brosur tersebut.

SMA swasta berbasis agama yang sudah menjuarai berbagai perlombaan nasional itu adalah 'kabar baik' selanjutnya dari Anton.

"Aku bukanlah seorang bad girl yang tak menyukai hal-hal tentang agama, tapi itu akan sulit untukku yang tidak terbiasa."

"Kamu akan mendalami ilmu agama dengan lebih baik di sekolah ini." kata Anton sembari menyeruput teh di cangkir keramiknya.

Jihan mengehal nafas dalam sebelum akhirnya menyampaikan nota keberatannya dalam sekali tarikan nafas.

"Ayah, aku bisa saja setuju dengan idemu untuk pindah ke kota kecil itu. Meski dengan begitu aku tidak lagi bisa bersama dengan teman-temanku. Tapi, apa? Sekolah di sekolah berbasis agama? Ayah, mereka bilang sekolah di sana sangatlah tidak nyaman. Kau harus menghafal kitab suci dan hadist sejak jam tiga pagi. Bahkan kau tahu? Tak boleh ada ponsel! Astaga. Kau tahu aku tak bisa hidup tanpa ponselku, Ayah"

Anita memberikan segelas air minum pada anaknya yang masih berapi-api setelah memberikan pendapatnya yang cukup panjang itu. Jihan pun menenggak minuman itu dengan cepat.

Tatapannya masih terfokus pada ayahnya, menunggu jawaban atas keberatan yang baru saja disampaikannya.

Anton meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Sembari melipat kedua telapak tangannya, pria paruh baya itu mulai menjelaskan dengan rinci maksud dari keputusannya yang bisa dibilang cukup mendadak bagi Jihan.

"Pertama, kau tidak harus bangun jam tiga pagi untuk melakukan hal-hal yang kau sebutkan tadi dan kau juga tak akan kehilangan ponselmu. Karena kau tidak akan tinggal di asrama. Kau hanya akan pergi kesana untuk bersekolah lalu pulang ke rumah. Sama seperti saat kau bersekolah di sini."

"Bagus, lalu yang kedua?" Tanya Jihan.

Anita menggeleng pelan "Kalian benar-benar serasi."

Kedua ayah dan anak yang sedang meeting mengenai hal serius itu pun menoleh dengan tatapan serius juga pada Anita. Seolah berkata bahwa tak boleh ada yang menyela percakapan penting mereka. Anita hanya memiringkan sedikit kepalanya, mengerti dengan isyarat kedua orang di hadapannya itu.

"Yang kedua, tentu saja ini kabar baik. Kau harus mulai mendalami ilmu agama. Ayah tidak ingin kau tenggelam lebih jauh lagi di tengah era milenial yang tak bisa ditebak alurnya. Aku tak ingin kau menjadi seperti Ayah dan Ibumu ini, hingga kami terlambat menyadari pentingnya ilmu agama bahkan untuk puteri kami sendiri." Lanjut Anton.

"Tapi aku bisa mempelajarinya di sekolah biasa, mereka juga memiliki mata pelajaran agama Islam" jawab Jihan, pelan.

"Di sekolah biasa, hanya seminggu sekali mereka mengajarkan pelajaran agama. Sementara di sekolah ini, setiap harimu akan disisipkan pelajaran agama. Sehingga hal itu akan tertanam dalam dirimu. Tak ada kata terlambat untuk memulainya sekarang, mungkin awalnya akan sulit. Tapi kami akan selalu ada di belakangmu." Anita mencoba untuk memberi pengertian pada puteri semata wayangnya.

"Nak, seorang anak adalah amanah dari Allah untuk orang tuanya. Jika anaknya membuat kesalahan, maka orang tualah yang akan bertanggung jawab atas hal itu di akhirat nanti karena kami tidak bisa membimbingmu ke jalan Allah dengan benar. Dan jika kelak orang tua dipanggil Tuhan, maka doa anak-anak yang soleh dan solehahlah yang akan membantu kami di akhirat nanti. Jadi Ayah mohon, jika kau tidak bisa melakukannya demi dirimu sendiri, maka lakukanlah demi orang tuamu." jelas Anton.

Jihan hanya mengangguk pelan. Tak ada yang bisa Ia lakukan lagi untuk menolak permintaan kedua orang tuanya itu. Dalam pikirannya terus terbayang hal-hal yang akan sangat sulit Ia terima.

"Tenang saja, Ayah sudah mengurus semuanya untukmu." Kata Anita.

Anton mengangguk setuju "Anak dari salah satu teman Ayah juga lulusan dari sekolah itu. Namanya Annisa, dia adalah gadis yang sangat cantik dan memiliki kepribadian yang baik. Suatu hari Ayah berharap kau akan bertemu dengannya."

Setelah berbincang cukup lama, Jihan memutuskan untuk setuju dengan pendapat orang tuanya. Di kamarnya, Jihan hanya terus scrolling beranda Instagramnya.

Namun kekhawatiran itu mulai memudar ketika Ia menyadari bahwa semua hal yang dilakukannya selalu mendapat respon yang baik dari para penggemarnya.

"Kurasa ini tak akan sesulit yang aku bayangkan. Aku adalah G-Ace.

Siapa yang tidak mengenalku? Dengan cepat aku akan mendapatkan teman baru dan akan dengan mudah beradaptasi karena semua orang menyukaiku. Kehidupan selalu berjalan sebaik ini ~" gumamnya dalam hati.

Dua minggu berlalu dengan cepat.

Waktu selalu tak terasa lama saat sesuatu yang tidak kau inginkan akan tiba. Ini adalah hari terakhir Jihan tampil bersama The Gold

sebelum kepindahannya ke Banten.

"Mari kita selesaikan ini dengan cepat dan hebat." ucapnya dalam hati ketika berada di depan cermin meja riasnya.

Seorang pembawa acara sedang berdiri di atas panggung dan bersiap untuk mengumumkan penampilan selanjutnya.

"Terkadang kau mendaki begitu keras untuk menuju sebuah puncak kebahagiaan, tanpa kau sadari bahwa kebahagiaan sesungguhnya ada di dalam dirimu sendiri jika kau mau sedikit saja lebih memahami dirimu. Itulah sebuah pesan dari Rosé di lagu terbarunya. Hey Mangga Dua Square! Inilah The Gold

dengan 'On The Ground' by Rosé"

Suara riuh penonton mengiringi tiap langkah Jihan ke atas panggung.

Terdengar mereka terus memanggil namanya.

"Go G-Ace! Go G-Ace Go!"

My life's been magic, seems fantastic

I used to have a hole in the wall with a mattress

Funny when you want it, suddenly you have it

You find out that your gold's just plastic

I worked my whole life

Just to get right, just to be like

"Look at me, I'm never coming down"

I worked my whole life

Just to get high, just to realize

Everything I need is on the ground

Di sela-sela tariannya, fokus Jihan teralih pada setiap penggalan lirik dari lagu yang sedang diputar malam itu.

Seolah lagu itu menceritakan tentang kisahnya sendiri.

Memori masa lalu seolah memutar sebuah film dokumenter di hadapannya.

Hari-hari dimana Ia hidup sebagai seorang puteri raja yang dimanjakan oleh kedua orang tuanya juga hari dimana pertama kali Ia mendapatkan sebuah impian, yaitu impian menjadi seorang penari yang hebat.

Jihan juga teringat akan sahabat masa kecilnya, Ardhy.

Ardhy yang selalu ada untuk membantunya bahkan Ardhy jugalah yang mendaftarkan Jihan dalam perlombaan menari saat itu.

Itu adalah kompetisi pertama yang diikuti Jihan. Namun saat untuk pertama kalinya Jihan akan menampilkan tariannya di atas panggung, Ardhy tidak pernah datang. Anita dan Anton yang saat itu mengantarkan Jihan untuk berkompetisi menyadari bahwa anak mereka mulai patah semangat saat mengetahui sahabatnya tak hadir hari itu.

"Ibu akan merekamnya sehingga Ardhy bisa melihatnya nanti." ucap Anita.

"Lakukanlah dengan baik dan buktikan kemampuanmu." Anton meyakinkan puterinya.

Mendengar hal itu, Jihan bertekad untuk membuktikan kemampuannya pada semua orang. Hingga saat ini, Ia berhasil membuktikan kemampuannya dan berada di puncak karirnya. Namun hingga saat ini pula, Ardhy tak pernah terlihat. Anak itu menghilang bersama keluarganya. Tak pernah ada yang tahu dimana keberadaan mereka.

Waktu berlalu, lagu yang diputarkan sebagai backsound dari pertunjukkan malam itu telah selesai. Suara tepuk tangan dan riuh penonton menjadi satu dengan yel-yel pendukung Jihan.

Gadis itu tersenyum puas dengan penampilannya hari ini.

- To Be Continued -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status