Jena begitu riang saat sampai ke rumah megah bak istana itu dengan nuansa eropa yang kental. Parkiran serta halaman yang luas, membuat ia terkesima. Terakhir, setahun lalu, kira-kira, ia masih tak begitu takjub seperti sekarang. Rumah bak istana milik keluarga Maden Hamilton sang penguasa perbankan begitu menakjubkan. Lima mobil mewah berjajar di depan halaman rumah, Jena dan Maden turun dari mobil, mengucap betapa ia terkesima dengan istana itu. Maden hanya terkekeh seraya berjalan dan membukakan pintu besar itu dan meminta Jena masuk terlebih dahulu.
"Wow ... Maden, rumah kalian, sungguh luar biasa," Jena menatap sekeliling. Maden menyuruh asisten rumah tangganya untuk mengambil belanjaan di mobilnya dan membawa ke area dapur. Jena berjalan dengan Maden yang sudah membawanya masuk ke dalam rumah megah itu. Interior serba sentuhan Eropa, tak tertandingi. Selera Valery, ibu dari Maden begitu tinggi memang.
Suara hak sepatu bersentuhan dengan lantai marmer terdengar, Maden berjalan menghampiri dan menyambut wanuta cantik itu.
"Mom," sapa Maden. Valery mencium pipi putranya itu, lalu netra matanya menatap pada gadis yang tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah nyonya rumah.
"Apa kabar nyonya Valery," sapa Jena sambil menundukkan kepala memberikan penghormatan kepadanya. Valery terkikik, wanita itu berjalan menghampiri dan memeluk hangat Jena.
"Kau masih tak berubah Jena, selalu menyapaku seakan aku ratu kerajaan," pelukan terlepas. Kedua wanita itu tertawa bersama. "So, apa yang membawamu ke rumah ini, Jena?" Valery mengusap kedua lengan Jena dengan tangannya.
"Jena akan menjadi juru masak kita, Mom, mulai hari ini, dia akan memasak untuk keluarga kita, jadi, kita tidak perlu memesan makanan di restoran mahal terus. Atau, makan terpisah, Jena akan menghidangkan masakan terenaknya untuk kita," Maden bersedekap. Valery membelalakan kedua matanya. Ia terkejut sekaligus senang, Valery tau, jika teman putranya itu bisa dan ahli memasak, tak heran, jika Maden membawa Jena bekerja di rumahnya.
"Dan, kau akan tinggal di sini, bukan? Aku akan meminta Maid, menyiapkan kam-"
"Tidak nyonya, aku akan pulang ke apartemenku, aku tidak akan tinggal di sini," Jena tersenyum.
"Why? Aku akan senang kau di sini Jena, keluarga ini sudah mengenal lama dirimu, sang penyelamat Maden dari perundungan di sekolah dulu, ah... bukan, di kampusnya," Valery tersenyum. Jena ikut tersenyum dan tetap menolak untuk tinggal di rumah mewah itu.
"Well, kalau begitu, selamat datang di rumah kami, nona cantik. Selamat memasak dan hidangkan kami makanan yang luar biasa ya, Maden ...," toleh Valery menatap putranya yang tertegun melihat Jena.
"Maden .... " panggil Valery dengan nada menekan. Ia berusaha menyadarkan sikap putranya itu. Jena menepuk tangannya di hadapan wajah Maden. Sontak pria itu terkejut dan terkekeh.
"Mommy harus kembali ke kantor, Daddy san adikmu akan kembali sore nanti, kita makan malam bersama, 'kan?" Tatap Valery.
"Yes. Sure Mom, kita makan malam keluarga, bersama, menikmati hidangan yang dimasak Jena," Maden tersenyum. Jena tertawa renyab yang mampu membuat debaran jantung Maden begitu luar biasa berdegup kencang.
***
Jena langsung bekerja di dapur megah itu, tanpa banyak bicara dan tak mau dibantu siapapun, Jena langsung mempersiapkan hidangan makan malam untuk keluarga Maden. Ayah Maden, bernama James yang merupakan senior bankir terkenal dan CEO salah satu properti ternama di NewYork, beberapa gedung perkantoran ada apartemen mewah berada dalam pengelolaannya.
Potongan daging sudah ia bumbui dan sedang dimarinasi, ia simpan di lemari es supaya suhunya terjaga baik. Sementaranitu, ia berganti ke hidangan lainnya dan menu kudapan. Ia begitu lincah beraksi di dapur, dua Maid yang tak sengaja mengawasi membuat Jena terkejut dan hampir melemlar spatula dari tangannya.
"Ya Tuhan. Sedang apa kalian," tanya Jena sambil tersenyum.
"Maaf nona, kami hanya terkesima melihat nona bekerja di dapur ini dengan cekatan. Bahkan, tak kaku menggunakan semua peralatan di sini, yang, cukup lama tak tersentuh," ujar salah satu Maid. Jena terkekeh, ia memanggil kedua Maid yang berusia di bawahnya itu supaya mendekat ke arahnya.
"Apa kalian sudah menyelesaikan pekerjaan kalian?" tanya Jena berbisik. Kedua gadisnitu mengangguk.
"Kalau begitu, duduklah, dan cicipi masakanku ya, ingat, cicipi, bukan membantu, aku masih bisa menghandle semua sendirian," Jena kembali mengaduk adonan berwarna krem itu di baskom bening berbahan kaca tebal.
"Kau yakin, Nona?" Tampak keraguan daru wajah kedua Maid itu. Jena mengangguk.
"Duduklah, untuk daging, memang harus menunggu menjelang makan malam nanti jam tujuh, tapi, untuk lainnya, kalian bisa mencobanya, beri aku waktu, mmm ...," Jena melihat ke jam tangannya. "Sepuluh menjt, bagaimana?" Kekehan Jena membuat dua Maid itu ikut terkekeh dan mengangguk.
Maden, tadi pamit ke Jena untuk kembali ke kantor, ia tak mungkin izin tak berkerja hahya untuk menatap Jena yang membuatnya begitu jatuh cinta, tapi, ia memilih diam dan menjadi pengagum rahasia Jena sejak beberapa tahun terakhir. Sifat tertutup dan pemalu dimasa malu, masih membawanya ke keadaan tak berani memulai secara terang-terangan mendekati Jena yang bak angsa putih yang begitu anggun.
***
Makan malam pun tiba.
Jena menyiapkan piring saji di meja makan, kali ini ia membiarkan dua Maid yang sudah tampak kenyang membantu menata piring, sementara ia kembali ke dapur untuk melihat daging bakar yang ia panggang dengan bumbu khas timur tengah. Seperti steik, tapi bumbu rempah menjadi senjatanya.
"Nona, aku tak yakin, Tuan besar daj Nyonya akan suka makanan timur tengah ini," wajah salah satu Maid begitu tak yakin. Jena terkekeh.
"Aku justru yakin, kalau mereka akan merasa kekenyangan dengan masakanku. Mm, aku bisa minta tolong padamu?" Tunjuk Jena kepada salah satu Maid.
"Tentu, nona," jawab gadia itu.
"Bawa empat porsi untuk dua supir, tukang kebun, dan penjaga gerbang di depan ya, mereka juga harus makan, 'kan?"
Wajah kedua Maid sumringah, dan terkejut, karena mereka pikir, Jena tak akan membagi masakannya kepada para pekerja di rumah itu. Jelas, Jena akan dengan senang hati membaginya.
Meja makan sudah terisi semua anggota keluarga Maden, adik perempuan Maden bahkan begitu senang saat tahu jika Jena menjadi juru masak di rumahnya. Makanan sudah tersaji, James, sang kepala rumah tangga tampak mengerutkan keningnya saat menatap makanan yang Jena hidangkan.
"Selamat menikmati, malam ini, aku memasak nasi khas timur tengah dan daging bakar," ujar Jena yang menatap seluruh anggota keluarga satu persatu.
Maden meminta Jena ikut makan bersama, tapi Jena menolak, ia akan makan setelah semua anggota keluarga makan malam. Ia tak ingin di anggap sama oleh Maden dan keluarganya, ia tetap profesional.
"Jena, apa ini, pedas?" tanya James yang merasa tak yakin akan memakan masakan Jena.
"Cobalah tuan James," Jena membuat James mau tak mau mencoba masakannya. Valery, Maden dan adik perempuan Maden pun mulai memakannya.
Jena berdiri di sudut meja makan. Memperhatikan seksama wajah yang sedang menikmati hidangannya.
"Tidak pedas Jena, ini ... enak," kedua bola mata James terbuka lebar. Ia dengan semangat melanjutkan makan dan tersenyum. Maden mengangguk, menyetujui pendapat Ayahnya, Valery bahkan begitu menikmati. Apalagi, kelembutan daging itu sungguh tak diragukan.
"Apa para Maid dan para pekerha juta kau hidangkan masakan ini, Jena?" tanya Valery sambil menatap. Jena mengangguk. Vakery tersenyum.
"Maden, kau benar-benar membuat keputuzan yang tepat," ucap Ayah sambil terus menikmati makanannya. Maden tersenyum.
'Aku mana mungkin salah, Yah, dia wanita ku, dia yang membuat ku bersemangat setiap harinya, aku menganggumi begitu luar biasa.'
Ucap Maden dalam hati. Jena kembali ke dapur, ia segera menyiapkan pencuci mulur, puding Almond dengan potongan buah segar dan saus fla yang begitu tercium aroma vanilanya, karena Jena menggunakan batang vanila asli sebagai bahannya.
***
"Terima kasih, Jena, kau membuat semua anggota keluargaku begitu puas menyantap makan malam kami," Maden berjalan bersama Jena ke pintu gerbang, wanita itu akan pulang dengan taksi yang sudah dipesankan Maden.
"Sama-sama, Maden, besok pagi, aku aka datang dan pergi ke pasar untuk berbelanja buah dan sayur, aku tak suka jika memakai dua bahan itu yang tidak segar,"
"Ya, tentu. Kau bisa menyetir mobil 'kan, pakailah satu mobil kami, kunci bisa kau minta ke salah satu Maid,"
"Ok. Terima kasih Maden, kau menyelamatkan ku dari krisis, kau sungguh, malaikat tanpa sayap untukku," Jena menggenggam jemari tangan Maden. Membuat pria itu gugup dan salah tingkah.
"Ah, sudah datang taksiku, terima kasih ya Maden, selamat malam," Jena masuk ke dalam taksi dan menutup pintu. Mobil kuning itu berlalu. Maden masih menatap kepergian taksi yang semakin menjauh.
"Selamat malam, cantik," lirih Maden. Ia memegang dada kirinya yang begitu berdebar hebat. Lalu berjalan kembali masuk ke pekarangan rumahnya.
Tepati janji, Jena sudah sampai di rumah megah Maden di jam setengah enam pagi, ia meminta kunci mobil kepada salah satu Maid dan segera berangkat menuju ke pasar grosir. Ia tak mau ke supermarket, karena kualitas kesegaran sayur dan buah terjamin di pasar grosir itu. Tiga puluh menit kemudian, Jena sampai di lokasi pasar. Ia berjalan sambil meminum sisa kopi dan roti yang ia beli diperjalanan tadi.Matanya melirik ke nama toko yang sudah ia hafal betul. King fruits, toko buah-buahan milik Leon, seorang kenalan lama dirinya semenjak pindah ke Newyork. Sapaan hangat diterima Jena dari Leon yang tampak semakin tua dengan waena silver di rambutnya."Apa kabar gadis cantik," sapa Leon sambil menepuk bahu Jena."Baik Paman, Bibi mana? Aku lama tidak ke sini, maafkan aku Paman," Jena mengambil keranjang dan memasukan buah-buahan yang sudah ia catat di dalam kepalanya."Kau sibuk Jen
Maden mendapati Jena yang diam tak berkutik setelah ia meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Pria itu mendekati dan menepuk pelan bahu Jena. Tolehan kepala Jena membuat Maden tersenyum seraya menanyakan kenapa wanita itu diam.Jena menggeleng cepat, ia lalu kembali menyiapkan makanan pencuci mulut seraya meminta Maden kembali ke ruang makan. Jena terkejut karena ternyata Madenlah pria yang selama ini selalu mengirimkan bunga dengan kartu ucapan penyemangat dan kata-kata romantis lainnya. Reese tak mungkin berbohong, ia jauh lebih dekat dan memahami Maden. Mungkin, beberapa rahasia lain juga Maden ceritakan kepada Reese."Duduklah kembali ke tempatmu, Maden, aku akan membawakan es krim strawbery buatan ku, aku baru tau jika kalian memiliki alat pembuat es krim," Jena menoleh dan melemparkan senyum ke Maden. Pria itu mengangguk, lalu berjalan kembali ke ruang makan.Jena menghela nafas manaka
Kepala Jena ia tenggelamkan diantara bantal. Kakinya menghentak-hentak kesal. Drew dengan seenaknya sudah mengambil ciuman pertamanya. Ia lalu duduk di atas ranjang dan mengacak-ngacak rambutnya begitu liar, lalu ia merebahkan kembali tubuhnya. Mencoba tenang dan memejamkan matanya. Hari sudah larut, ia tak mau bangun terlambat.Di tempat lain.Drew duduk dengan gelas wine di tangannya. Menatap keluar jendela besar apartemennya yang menyuguhkan pemandangan kota Newyork malam hari. Ia berfikir, tentang Jena yang sudah membuat masakan sederhana tapi begitu nikmat, tak rumit, dengan bahan sederhana juga.Lalu ingatan Drew berpindah ke saat di mana ia mencium bibir Jena yang membuat reaksi lain di hati dan juga tubuhnya."Sialan!" Geram Drew seraya beranjak dan meletakan gelas wine lalu menyanbar kunci mobil yang tergeletak di atas meja dapur.Apartemen
Hingga pukul tujuh pagi, Jena masih berada di apartemen Drew, ia menatap Drew yang sedang duduk santai sambil melihat televisi."Aku harus pergi, Drew. Bosku menunggu, aku harus memasak untuk keluarganya," ia menjelaskan niatannya untuk segera beranjak dari tempat itu. Drew diam, ia melirik dan kemudian mematikan televisi. Berjalan menghampiri kulkas lalu mengambil sesuatu dari sana. Drew menyerahkan yogurth yang sudah ia buka tutupnya ke tangan Jena."Minumlah, kau tidak meminum atau memakan apapun sejak datang kemari, aku tak mau kau mati kekeringan." Dengan santai, Drew berjalan ke meja dekat televisi dan mengambil kunci mobil. "Aku antar kau ke tempat mu bekerja. Baik bukan aku?" Kekehan sinis tampak dari wajah tampan dan mata indah milik Drew. Jena melangkah, ia sudah meneguk yogurth itu hingga habis setengah. "Kau haus?" Lirik Drew sambil menunjuk botol yogurth dengan dagunya. Jena menggeleng, kepalanya begitu pusing, dan p
"Tidak. Aku lebih baik bekerja di tempat lain. Kau akan menjadi bosku, dan sikap aroganmu seperti tadi akan membuatku terus memaki dan merutukimu, Drew."Jena menolak. Ia ingin tahu, apa seorang Drew bisa memohon lebih baik, tidak seenaknya sendiri. Kedua mata Drew begitu tajam menatap Jena. Ia tak akan melewati kesempatan, Jena kunci dirinya kali ini untuk mencapai tujuannya. Membuat restorannya semakin sukses dan terkenal. Juga, jam terbang dirinya sebagai koki terkenal juga akan terus meroket."Oh ya, jadi ... kau ingin aku memohon? Begitu?" tatapan itu semakin menusuk dalam ke netra indah milik Jena. Wanita itu meneguk salivanya susah payah. Ia tak akan gentar."Tentu, sombong." Jena balas menatap Drew. Pria itu terkekeh, ia lalu berjalan memutari meja dapur dan berdiri di samping Jena."Ok, aku akan memohon padamu, Jena," ucap Drew lalu memutar tubuh Jena supaya menghadap
Briefing sebelum restoran di buka sudah menjadi hal wajib bagi Drew dan semua para pekerja di restorannya. Jena berdiri sedikit memojok, ia tak siap jika menjadi sorotan para pekerja lain jika ia berdiri di samping Drew. Kedua mata Drew kelirik ke arah Jena yabg sibuk menunduk sambil memperhatikan sepatu yang ia kenakan. "Jena!" panggil Drew tegas. Jena mendongak, ia berjalan perlahan. Tak mau menoleh ke arah semua orang yang mulai berbisik. "Dia Jena, asisten khusus untukku. Jena, perkenalkan dirimu kepada semua orang," ucap Drew seraya menepuk kedua bahu Jena yang ia putar supaya menghadap ke semua orang. "Halo, aku Jena," sapa Jena sambil mencoba tersenyum. Para juru amsak diam dan menatap lekat. Sedangkan pelayan dan petugas kasir menyapa dengan ramah. Jena balas tersenyum. Lima belas menit kemudian restoran di buka, Drew sudah bersiap diposisi, dan Jena berdiri di sebelah Drew. "A
Selama perjalan pulang, Jena diam tak berbicara sepatah katapun. Drew sesekali melirik dan tersenyum. Ia tahu, wanita di sebelahnya merasa malu dan salah tingkah setelah ia mendadak mencium keningnya, juga menggandeng tangan selama berada di pasar."Bisa turunkan aku di sana saja, Drew? Kau bisa langsung ke restoran," pinta Jena sambil bersiap turun."Aku antar sampai apartemen, tenanglah," usapan di kepala Jena lagi-lagi membuat wanita itu diam, namun hanya sejenak, karena Jena mulai bersuara."Mengapa sikapmu berubah menjadi lembut kepadaku dan ... dan kau, apa tadi mencium keningku begitu saja tanpa persetujuanku! Apa kau pikir aku perempuan yang mudah kau dekati!"Napas Jena naik turun. Drew hanya melirik, ia menyalakan lampu sen kanan dan menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Jena. Ia duduk dengan posisi miring sehingga berhadapan dengan Jena.
Jena menatap Drew yang sedang berpose di depan kamera, ia begitu mudah diarahkan oleh juru foto dan para pengarah gaya. Dave datang menghampiri, ia berdiri di sebelah Jena.“Sudah berapa lama kau menjadi asisten berandal itu?”“Belum lama, sebenarnya, aku terjebak. Andai saja aku tidak mengacak-ngacak hidangan yang ia masak saat itu,” ujar Jena sambil mendengkus.“Maksudnya?” Dave menoleh.“Aku, mengomentari penataan makanan yang Drew buat di restoran, dan aku memasukan itu ke Vlog yang ku buat. Sejak saat itu, Drew terus mengikuti, hingga ya … sekarang ini, ia memintaku menjadi asistennya, tak hanya untuk di restoran, tapi hingga ke sini,” jawab Jena sambil melirik ke Dave.“Kau gila, pantas saja Drew mengejarmu. Baru dirimu yang bisa melakukan hal itu, Jen, sebelumnya tak pernah ada yang berani. Bravo!” se