Share

Part 3. Kau

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2021-05-07 19:15:44

Jena mengecek semua hal yang harus ia pantau sebelum meninggalkan unit apartemennya. Walau hanya unit kecil model studio, sudah terasa nyaman untuknya tinggali seorang diri. Reese pun akhirnya berfikir untuk menyewa apartemeb dekat dengan tempat Jena, namun Jena melarang, karena hoby sahabatnya itu yang suka membawa kekasihnya ke tempat ia tinggal, membuat Jena risih. 

"Aku hari ini akan berkunjung ke food truck milik rekan lama ku Reese, dan, sepertinya, channel vlog ku mau mu hentikan. Aku harus mencari pekerjaan yang jauh lebih menghadilkan uang," Jena berbicara dengan Reese di ponselnya sambil berjalan menyusuri trotoar, ia baru melihat lowongan kerja sebagai marketing restoran di salah satu sudut kota Newyork, tak ada salahnya ia mencoba peruntungannya. 

"Aku akan mencobanya, doakan aku berhasil Reese, demi menyelamatkan hidupku dari hutang kepada Ayah dan Ibu, dan kembali bangkit," Jena memasukan ponselnya kedalam tas yang ia bawa. Berjalan menuju tiga blok lagi sebelum sampai. 

Langkah kakinya begitu tegap dan meyakinkan, sifat optimis dan tak suka hanya menunggu datangnya keajaiban Tuhan, ia gunakan untuk mencari rejekinya. Berusaha, dnegan begitu, Tuhan pasti akan memudahkan rejekinya. 

Ia berdiri bersama banyaknya manusia yang menunggu lampu lalu lintas berhenti di warna merah, ia akan menyebrang bersama-sama. Kerumunan manusia layaknya semut yang berjalan beriringan, sudah pemandangan biasa bagi Jena setelah pindah ke kota yabg di juluki tak pernag tidur itu beberapa tahun lalu. 

Ia hanya gadis desa, kedua orang tuanya merupakan pemilik perkebunan apel, anggur dan ternak sapi di daerah negara bagian Amerika. Sangat kaya, hanya saja, tak suka dengan kehidupan kota yang menurut mereka terlalu liar dan bebas. 

Jena memiliki seorang Kakak laku-laki dua orang. Tumbuh menjadi gadis mandiri dan sedikit tomboy, membuatnya tak susah untuk hidup sendirian di kota, hanya saja, saat ia meminjam modal usaha kepada kedua orang tuanya, mereka mengingatkan Jena, jika gagal, maka ia harus pulang dan membantu bekerja di perkebunan dan peternakan, juga, bersiap di jodohkan dengan putra sang opsit polisi ternama di sana. 

Wanita itu bertekad tak akan pulang sebelum berhasil menjadi sukses dan mengembalikan uang modal usaha yang ia pinjam. 

***

Suara bel pintu restoran terdengar dengan Jena mendorongnya. Ia mengucap salam seraya berjalan masuk kedalamnya. Tampak seorang pria dengan setelan jas licin datang menghampiri, Jena pun menyampaikan maksud dan tujuannya. 

Tak butuh waktu lama, ia keluar restoran dengan wajah tak senang. Posisi yang ia inginkan baru saja terisi. Ia berjalan kembali, kali ini tujuannya cafe-cafe kecil. Ternyata hasilnya sama, sudah empat cafe ia datangi, namun tak ada lowongan atau, justru sudah terisi. 

Ia mengusap wajahnya dengan tangan, duduk di toko kecil menjual minuman segar dan memakan roti dengan santai. 

"Jena," suara sesorang menyapanya. Jena terbelalak. Ia beranjak dan menyapa pria tersebut sambil memeluknya. 

"Sedang apa? Wajah mu tampak kusut, di mana Reese,?" Tanya pria bernama Maden, ia merupakan teman masa kuliah Reese, dari penampilannya, Jena bisa menyimpulkan jika Maden, sudah sangat sukses. 

Mereka asik berbincang, Maden sesekali tertawa saat dengan semangat membara, Jena memaki mantan manajer keuangannya yang menggelapkan dana cafenya. Menyebabkan ia bangkrut seketika. 

"Bagaimana jika, kau bekerja dengan ku?" 

"Aku, di tempat mu? No ... no... no way ..., kamu bankir, dan aku hanya seorang food vlogger yang hoby masak. Jangan bergurau dengan ku Maden, tak lucu," Jena menyedot minumnnya dengan sedotan. 

"Bekerja sebagai juru masak Jena, di rumah kami, begitu boros karena setiap hari memesan makanan di restoran dan juga seringnya makan terpisah dengan anggota keluarga masing-masing," 

Helaan nafas terdengar berat dari Maden. Jena menatapnya dengan serius. 

"Aku ingin merasakan makan pagi, dan malam bersama semua anggota keluargaku, bisakah kau bekerja dengan ku, Jena?" 

Jena mengerjapkan kedua matanya, pikirannya kini terpusat pada satu kata "UANG", Jena pun menanyakan tugasnya apa saja jika ia menerima pekerjaan itu. Maden tak banyak meminta, hanya meminta Jena menyiapkan masakan untuk dua waktu itu dan, berbelanja sendiri. 

Maden dan keluarganya hanya menerima bersih dan cukup menikmati. 

"Aku akan membayarmu cukup bedar Jena, tolong jangan kau tolak, kedua orang tua dan adikku juga pasti senang jika kau menjadi juru masak keluarga kami," 

Jena terkekeh. Ia ingat, keluarga Maden memang baik kepadanya, Maden, walau satu perguruan tinggi dengan Reese, bukan Jena yang hanya lulusan sekolah menengah atas, mereka berteman cukul baik. 

"Apa kabar keluargamu, Maden, sudah satu tahun sejak kau pindah bekerja, aku dan Reese tak mengunjungi kalian," Jena menunduk. Ia tersenyum seraya menikmati roti dan minumannya. 

"Mereka baik. Yeah ... kau tau adikku bukan, Madeline, dia sudah masuk perguruan tinggi dan tetap manja. Apalagi ia sendirian di rumah, beberal temannya tak menyukainya, hanya karena Madeline, pintar dan akan menjadi calon dokter sukses," 

Jena terkekeh, ia ingat Madeline begitu cerewet dan senang menceritakan aoa saja kepala Jena dan Reese. Ia mengangguk, menerima tawaran pekerjaan menjadi juru masak untuk keluarga Maden. 

"Kapan aku mulai bekerja, Maden?" Wajah Maden begitu senang, ia beranjak seraya menatap wajah Jena dengan senyum mengembang. 

"Sekarang. Kita belanja ke supermarket," Maden mengulurkan tangannya. Jena menyambut dan tersenyum. 

"Kau sunggu malaikat baik hati yang dikirim Tuhan untuk menyelamat ku Maden," Jena tersenyum penuh rasa syukur. Maden menepuk-nepuk punggung tangan Jena. 

"Kau bisa mengandalkanku jika kau butuh sesuatu Jena, aku akan selalu ada di sampingmu," Maden melirik Jena yang begitu riang. Sedangkan didalam hati Maden, ia bersorak begitu bahagianya. 

Selama ini, ia begitu mengagumi Jena yang begitu periang, ramah dan hangat. Sejak pertama kali ia dikenalkan kepasa Jena oleh Reese, saat itu juga, Maden begitu jatuh hati kepada wanita itu. 

Dengan menggunakan mobil mewah milik Maden, yang berprofesi sebagai seorang bankir di bank besar di Newyork, mereka pergi menuju ke supermarket besar di pusat kota. 

Maden dan Jena tertawa bersama saat mereka di mobil, dan berbelanja sayuran, juga protein untuk masak menjadi menu yang sempurna bagi keluarga Maden. 

Jena terbelalak saat Maden saat ia memberitahu gaji yang akan di berikannya kepada Jena. Seribu lima ratus dollar, di luar uang belanja setiap harinya. Jena tak percaya, ia bahkan sampai memeluk leher Maden yang jelas membuat pria tersebut terkejut tak percaya dengan perlakuan wanita di dekatnya itu. 

Wanita itu masih tak percaya, ia langsung menghitung dengan cepat berapa lama ia harus bekerja dengan Maden untuk bisa melunaskan hutang kepada orang tuanya dan tetap tinggal di apartemen kecil itu yang tergolong murah. 

                     ::To be continue:: 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
mang cari pekerjaan tuh susah apalagi yg sesuai dengan pasion
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • The Hot chef and me   72. Kebahagiaan bersama

    Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya

  • The Hot chef and me   71. Philippe Andrew Sebastian

    Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu

  • The Hot chef and me   70. Rencana masa depan

    Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,

  • The Hot chef and me   69. Tersentuh

    Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.

  • The Hot chef and me   68. Daddy baby boy

    Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.

  • The Hot chef and me   Part 67. Pillow talk

    Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&

  • The Hot chef and me   66. Pindahan

    Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict

  • The Hot chef and me    65. Peraturan baru

    “Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah

  • The Hot chef and me   64. Membuat jarak

    Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status