The Incubus' Snare

The Incubus' Snare

last updateLast Updated : 2025-10-07
By:  Tyranny HoveyUpdated just now
Language: English
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
101Chapters
794views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

As I laid there waiting for sleep to take me. I was startled as my eyes drifted they landed on a human shaped shadow again by the bathroom door. I tried to roll. Nothing happened. Scared now, I tried to reach my phone. My arms wouldn’t move. My breathing was getting rapid. The only thing that would move is my eyes. Why can’t I move? From the corner of my eye, I saw it. The shadow moved from the doorframe towards me. It was an ambiguous huge male human shape with a hat on its head. Once it reached the bed, it stopped. Less than a foot from me and I couldn’t make out any details. My heart was racing, and my breathing was ragged. Male knuckles traced my jaw from my ear to my chin. The touch was gentle. Intimate even. A husky, seductive chuckle filled the air that still smelt of the candle. “I know what you need little gazelle.” The shadow shimmered. Now I could see the details. He was at least six foot two. Dark skin, bald head, and wearing jeans that clung to his muscled legs. An unbuttoned dark purple shirt displayed his taunt chest. The moonlight showed his beautiful smile as he leaned towards me. I tried to speak, but nothing came out. “Shhh. I’m going to make it all better.” ----------------------------------------------------------------------------------------- It was supposed to be a relaxing vacation. Vivienne needed a get away from the stress of her life. Having heard her best friend sing the praises of Helen, GA. she decided to spend a week in cute cabin and decompress. Instead her dreams are invaded by a mysterious sensual man with swirling purple eyes. Soon she wonders if he’s more than just the man of her dreams.

View More

Chapter 1

Sushi for 1

Bab 1 – Petir Emas & Darah Langit

Malam itu, langit tak hanya memerah. Ia menangis darah dan memanggil bocah yang seharusnya mati kemarin.

Gohan Lee berdiri sendirian di ladang tua saat angin berhenti dan udara membeku. Bocah kurus itu memeluk keranjang rumput liar di dadanya. Pakaiannya tambal-sulam. Kain lusuh membebat tangan kanannya, sisa luka sabit bulan lalu.

“Anak dungu itu lagi,” gumam seorang petani dari kejauhan. “Masih belum kapok dihina?”

Gohan menunduk, pura-pura tak dengar. Sejak kecil ia dikenal lamban, bodoh, dan tak berguna. Tapi malam ini... bumi menyimpan sesuatu untuknya.

Tanah bergetar pelan.

Langit... berubah merah darah.

“Apa-apaan ini...?” Gohan mendongak.

Pusaran awan hitam menggulung tepat di atas kepalanya. Angin lenyap. Burung diam. Lalu suara datang dari dalam bumi, geraman rendah seperti raksasa bangkit dari tidur.

Dan tiba-tiba...

BLAAARRRR!!!

Petir emas menyambar keras. Tanah di depan Gohan terbelah. Api memancar melingkar. Dari kawah itu muncul sebuah pedang. Berdiri tegak. Tak bergoyang.

Pedang berkilau merah emas, dengan gagang berbentuk naga menggigit ekornya. Aura panas mengalir darinya. Udara berdengung. Waktu seakan berhenti.

Gohan terpaku. Tubuhnya menolak bergerak. Lalu suara datang.

“Gohan...”

“Kau belum siap. Tapi waktumu tiba.”

Suara itu bukan suara manusia, tapi gema... dari langit.

“Apa... siapa kau?” Gohan tergagap, lututnya gemetar.

Tak ada jawaban. Tapi dadanya membara. Jantungnya berdetak seperti genderang perang. Dan di kejauhan... terdengar benar-benar suara genderang. Samar. Jauh. Tapi nyata.

Beberapa petani yang melihat kejadian itu menjerit.

“P-Pedang Langit!”

“Itu bukan legenda?!”

“PEDANG ITU MEMILIH PEWARISNYA!”

Gohan melangkah, tak sadar.

Satu langkah.

Dua.

Tiga.

Tangannya mengulur. Tak tahu kenapa. Tapi darahnya... tahu pedang ini memanggilnya.

Begitu jemarinya menyentuh gagang...

BZZZZTTT!!

Cahaya menyambar.

Dunia runtuh.

Gohan berdiri di tengah medan perang. Ribuan mayat berserakan. Sungai darah emas mengalir dari tubuh para dewa. Di kejauhan, seseorang berdiri...

...dengan wajah yang sama persis dengannya.

Namun mata sosok itu bersinar merah. Di tangannya, pedang yang sama, berlumuran darah para penguasa langit.

“Aku... siapa?”

Gambaran itu hilang. Gohan terbangun di ladang. Tubuhnya terpental, jatuh keras.

“Ghh...!”

Ia meringis. Tapi tangannya... bersinar.

Di telapak tangan kanannya muncul simbol melingkar, bercahaya emas, dengan tujuh bintang kecil di dalamnya. Simbol itu berdenyut pelan, menyala lalu meredup.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gohan merasa... ia bukan manusia biasa.

“Apa... yang terjadi dengan tubuhku?”

Langkah-langkah mendekat. Warga desa berkumpul. Tapi tatapan mereka... bukan hinaan. Tapi takut.

“Itu... simbol Langit Ketujuh!”

“Anak ini... pewarisnya?”

“Dewa penghancur... telah kembali?!”

Seorang tetua, yang biasa memaki Gohan sebagai beban, kini berlutut gemetar.

“Ribuan tahun... dan justru dia yang dipilih?”

“Aku?” Gohan tergagap. “Tapi aku cuma anak biasa...”

“Justru karena itu,” gumam sang tetua. “Langit tak pernah memilih dari singgasana, tapi dari lumpur.”

Sebelum Gohan bisa bicara, suara kembali bergema di benaknya.

“Cari tulang naga... sebelum fajar.”

“T-Tulang naga...?”

Pedang itu kini diam. Tapi langit belum selesai bicara.

Awan hitam menggulung dari utara. Angin berubah tajam. Dan di langit, muncul simbol besar, menyala merah darah: simbol klan Li.

“Itu segel darah terkutuk!”

“Klan Li... sudah punah, bukan?!”

“Siapa mereka?” tanya Gohan, bingung.

Tapi warga tak menjawab. Mereka memandangnya seolah melihat kutukan.

Tiba-tiba, seorang wanita menerobos kerumunan. Napasnya terengah. Wajahnya pucat.

Ibunya.

“GOHAN! Jangan sentuh pedang itu!” jeritnya. “Ikut Ibu sekarang juga!”

“Tapi... Ibu lihat sendiri. Pedang itu—”

PLAK!

Tamparan mendarat di pipinya. Bukan karena benci. Tapi karena takut.

“Kita harus sembunyi! Kalau mereka tahu kau yang dipilih... dunia akan memburu kita!”

“Siapa ‘mereka’? Apa maksud semua ini?! Aku cuma anak desa!”

Wanita itu memeluknya erat, tubuhnya gemetar.

“Maafkan Ibu... Kau bukan anak kandung Ibu, Gohan.”

Deg.

“Apa maksudnya...?”

“Kau... darah langit. Darah yang pernah menghancurkan surga.”

Dunia Gohan runtuh sekali lagi.

“Kenapa baru sekarang...?”

“Karena semuanya telah dimulai, dan kita tak bisa menghentikannya.”

“Ibu... aku takut...”

Sang ibu mencengkeram tangannya.

“Mungkin kau akan sendirian. Tapi dengarkan baik-baik... Darahmu mungkin milik langit. Tapi hatimu milikmu sendiri.”

Langit bergemuruh. Petir membelah awan. Sekilas, naga hijau raksasa menampakkan diri, lalu lenyap di antara kabut malam.

Pedang emas itu menyalak ke langit... lalu padam.

Tanah hangus. Langit tetap merah. Tapi luka di bumi dan cahaya di tangan Gohan tidak akan pernah benar-benar hilang.

Dan dari dalam pikirannya, suara itu terdengar sekali lagi.

“Langit tak pernah memilih pahlawan. Hanya alat... untuk menghancurkan segalanya.”

Gohan menatap langit, matanya gemetar.

Dan malam pun pecah. Bersama takdir yang baru saja terbangun.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.

Comments

No Comments
101 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status