Share

The Legend Of The Coral Cave (INDONESIA)
The Legend Of The Coral Cave (INDONESIA)
Penulis: Specialfinger

1. Masa Lalu

“Dia sangat mirip dengan mermaid wanita lima belas tahun silam, kan?” tanya salah satu anak buah Alferd.

“Mermaid wanita itu memang orang tuanya,” jawab Alferd. 

Saat mendengar hal itu, Larissa langsung mendongak. Kedua matanya membesar karena terkejut dengan pengakuan Alferd. Bibirnya mulai gemetar karena kenangan buruk lima belas tahun yang lalu kembali terbayang oleh dirinya, rasanya sungguh menyakitkan.

“Benarkah? Jadi, mermaid-mermaid itu memang bisa berjalan?”

“Lebih dari itu,” sela Alferd seraya berjalan mendekati kaca akuarium sembari tersenyum manis pada Larissa. “Mereka bisa berbicara bahasa kita, berjalan layaknya manusia, memasak makanan kita, bahkan melahirkan bayi manusia.”

“Jadi, maksudmu adalah dia tengah mengandung cucumu?”

Alferd tertawa dengan keras saat mendengarnya. Pertanyaan itu berhasil menggelitiki perutnya.

Sementara Larissa semakin dibuat ketakutan karena ekspresi Alferd yang seperti itu mampu membuatnya gemetar hebat. Bahkan tanpa ia sadari, salah satu tangannya bergerak menyentuh bagian perutnya seolah-olah ingin melindungi bagian tersebut.

“Apakah kau dapat mengira seperti apa bayi itu nanti? Ayahnya seorang manusia yang memiliki darah iblis, sementara ibunya seekor ikan jadi-jadian. Sungguh luar biasa,” ejek Alferd dengan tawa yang tak henti.

“Ini bisnis, Alferd. Jika mermaid ini memiliki anak dan anak itu juga seekor mermaid, maka kita akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.”

“Ah, kau benar. Lagi pula, aku ingin melihat ekspresi putraku ketika tahu bahwa istri dan anaknya akan menjadi ladang bisnisku.”

“Aku juga ingin melihat bagaimana ekspresi ayahku, ketika mengetahui bahwa dirinya sudah tidak memiliki kesempatan untuk hidup lagi.” 

Serentak, sebelas orang di sana termasuk Larissa menoleh pada arah pintu. Mereka semua terkejut dengan hadirnya seorang pria dengan pakaian polisi lengkap, bisa di bilang bahwa pakaian itu palsu. Alferd masih terlihat berdiri dengan tenang di tempatnya.

“Dia datang sendiri, Alferd. Rasa kesalku pada bocah ini sudah terlalu besar. Izinkanku untuk menjual organ-organ tubuhnya!” desis salah seorang temannya. 

Akan tetapi, Alferd menahan temannya itu. Ia memilih melangkah maju mendekati Alan yang juga tengah berjalan menuju dirinya. Alferd pun mengulurkan tangannya, seolah-olah ingin memeluk Alan. “Oh, anakku. Aku sangat merindukanmu. Bagaimana keadaanmu selama di penjara? Bukankah di sana terasa lebih nyaman? Kau pasti makan banyak di sana, bukan?”

Alan hanya diam, tetapi ia masih berjalan mendekati Alferd dengan langkah santai. Wajah datarnya itu mengatakan bahwa ia datang sebagai seorang teman, bukan musuh.

“Alferd, menyingkirlah dia akan membunuhmu!” sela yang lain.

“Tenanglah, Tom. Biarkan putraku mengatakan hal yang ingin ia katakan,” balas Alferd.

Alan berhenti tepat satu meter dari Alferd, ia melirik sekilas Larissa sebelum akhirnya berbicara pada Alferd. “Aku hanya penasaran mengapa kau mengutus seseorang untuk membawaku keluar dari tahanan itu? Padahal sebelumnya, kau adalah orang yang menjerumuskanku ke sana.”

Dari jauh, Larissa kembali dibuat terkejut. Jantungnya berdebar dengan kencang karena rasa takut dan gugup.

“Ini bisnis. Aku tahu kau tertarik dengan mermaid walaupun  kau tidak      membunuh mereka.”

Alan menunduk sesaat, lalu kembali mendongak menatap Alferd dengan senyuman miringnya. “Kau mempercayai musuhmu sendiri?”

“Tentu,” balas Alferd seraya merangkul Alan. “Hanya kau yang bisa membodohi para polisi tersebut, termasuk Aleda putriku yang sok pintar itu.”

“Apa jaminanmu untukku?” tanya Alan dengan tatapan dinginnya yang terarah untuk Larissa.

“Kau akan mendapatkan uang yang banyak, termasuk tubuh mermaid itu,” balas Alferd dengan senyuman menggoda untuk putranya.

Alan mengangguk mengerti. “Aku terima tawaranmu.”

“Tunggu, Alferd, kita tidak bisa mempercayainya!” tolak Tom.

“Katakan pada Tom, apa yang telah kau lakukan pada polisi-polisi tersebut dan juga Aleda?” tanya Alferd.

Suasana hening terjadi setelah Alferd menanyakan hal tersebut. Yang lain tengah menunggu jawaban dari Alan dan sangat berharap bahwa pria itu akan mendukung mereka semua. Berbeda dengan Alan yang masih menatap Larissa dengan tatapan dinginnya.

Di mata Larissa sendiri, Alan terlihat sangat berbeda dengan tatapan nya itu. Ia sangat berharap bahwa semua yang tengah ia saksikan saat ini adalah kebohongan belaka. Dirinya yakin bahwa Alan adalah pria yang baik walau perasaan yang pria itu miliki terhadap dirinya tidak bisa terbalaskan. Alan bukan seorang pembunuh, di matanya pria itu hanya korban dari kekerasan ayahnya sendiri.

“Aku membuat mereka semua seolah-olah mengalami kecelakaan maut.”

“Benarkah itu?” tanya Tom yang masih tidak percaya.

“Percaya padanya, Tom!” seru Alferd.

“Tidak bisa, semua itu tidak cukup untuk meyakinkanku!”

“Hentikan drama ini!” desis Alan dengan menatap kesal dua pria tua di hadapannya. “Mermaid itu milikku sekarang, aku datang ke sini untuk merebut milikku.”

Seketika tempat di mana Larissa disekap  menjadi ramai. Tanpa membuang-buang waktu,  Alan langsung memukul tengkuk Alferd sampai membuat pria itu tidak sadarkan diri lagi. Ia bersama dengan anggota kepolisian yang lain langsung bergegas melawan sebelas orang di sana, dan membawa mereka semua ke kantor polisi. Awalnya kelompok Alferd berjumlah sangat banyak, tetapi mereka berhasil melumpuhkan setengahnya dan hanya tinggal sebelas orang ini.

Setelah semuanya selesai, dan para polisi tengah disibukkan  oleh kelompok Alferd, Alan segera bergegas menyelamatkan Larissa dengan memasuki akuarium serta melepaskan borgol di ekor wanita itu. Setelah itu,  dirinya akan membawa Larissa sejauh mungkin dari daratan. Tidak ada satu pun polisi yang boleh membawa Larissa selain dirinya. Alan merasa sedikit terbantu karena Larissa tidak melakukan perlawanan sama sekali. Wanita itu terlihat bungkam dengan tatapan mata yang kosong.

Alan menggendong Larissa yang memiliki porsi tubuh kecil, sehingga tidak terasa berat saat digendong juga dibawa  berlari. Dia memasuki salah satu mobilnya dan menancapkan gas secepat mungkin untuk pergi dari sana. Tidak ada satu pun polisi yang menyadari kepergiannya dan pemberontakan yang dilakukan oleh dirinya saat ini.

Mereka menuju sebuah pantai yang berada di Newquay, pantai yang selama ini menjadi saksi bisu atas semua kisah ini. Pantai di mana paman serta bibi Larissa tinggal dan tempat di mana wanita itu tumbuh menjadi dewasa.

Di sana, Manuel sudah menunggu kedatangan Larissa bersama sang istri. Mereka berdua akan membawa pergi Larissa sejauh mungkin dari tempat ini, karena rencana mereka sudah berjalan dengan lancar. Itu pun atas bantuan Alan.

Akan tetapi, salah satu tangan Alan menggenggam tangan Larissa dengan lembut. Kepalanya menunduk, bahkan tubuhnya terlihat gemetar. Ia berbisik, “Maafkan aku.”

Larissa menoleh pada Alan di sampingnya, ia merasakan tetesan demi tetesan air yang terasa hangat membasahi tangannya. Sepertinya Alan tengah menangis, tubuh pria itu terlihat gemetar dengan sangat jelas. Hatinya semakin sakit ketika melihat Alan dalam keadaan seperti itu.

“Maafkan aku ... maafkan aku,” bisik Alan secara terus-menerus.

“Kita harus segera pergi,” sela Olivia.

Larissa masih bungkam, tetapi salah satu tangannya bergerak mengangkat wajah Alan agar pria itu menatapnya. Tangan itu juga menghapus jejak air mata Alan. 

“Aku yang salah di sini, aku tidak bisa melindungimu. Maafkan aku ... aku tidak pernah memberitahumu  mengenai kedua orang tuamu—”

Larissa menggeleng kecil seraya membawa Alan ke dalam pelukannya. “Tidak. Kau tidak salah, aku percaya kau tidak salah sama sekali. Kau memiliki hati yang baik, matamu selalu mengatakan bahwa kau berbeda dengan ayahmu. Kau bukan pembunuh, Alan. Kau tidak memiliki darah pembunuh dalam dirimu, kau berbeda jauh darinya.”

“Kita harus memberikan mereka sedikit waktu,” ujar Manuel, lalu menatap Larissa. “Kami akan menunggumu di bawah air. Jangan terlalu lama, kita harus segera pergi.”

Setelah itu, Manuel bersama Olivia pergi begitu saja. Kini, hanya tinggal Alan dan juga Larissa di bawah gelapnya malam. Sampai sebuah cahaya bulan menyinari mereka berdua, seolah-olah mendukung kebahagiaan untuk mereka.

Alan membalas pelukan Larissa dengan sangat erat, ia mengepalkan salah satu tangannya. Mengapa di saat seperti ini, dia tidak bisa mengatakannya? Mengapa rasanya sangat sulit untuk mengungkapkan semua perasaannya?

Ia melepas pelukannya seraya membelai wajah cantik Larissa. “Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku harus mengatakannya.”

“Katakan sekarang,” pinta Larissa.

Alan menarik napas dalam-dalam, seraya mendekatkan wajahnya pada Larissa dan menempelkan bibir mereka sesaat. “Sejak saat kau menolongku, aku sudah merasakannya. Aku—”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status