Share

DINGIN, PEMARAH DAN TAMPAN

“Kelebihan yang kau miliki adalah yang diingankan orang lain.”

***

Valley High School.

Selena bergegas mengayunkan langkahnya menuju kelas. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Rain, lelaki yang mengusik pikirannya selama beberapa jam terakhir. Konyol rasanya dia bisa menjadi seperti ini. Bahkan kalau diingat-ingat terasa sangat aneh ketika Selena tidak dapat menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Rain di jalan tempo hari.

Di kelas hanya ada beberapa orang saja. Tidak ada Rain di sana.

“Selamat pagi!” sapa seorang gadis ceria pada Selena. Tentunya dia adalah manusia.

Selena menoleh sebentar kemudian menjawab, “Pagi.” Sambil meletakkan tas miliknya di atas meja.

Gadis manusia bernama Syilea itu terus mengikuti Selena hingga duduk di kursi sampingnya. “Kita belum berkenalan secara resmi.”

Aku sudah tahu namamu, batin Selena.

“Hai, namaku Syilea.” Gadis itu mengulurkan tangannya.

Selena melihat uluran tangan Syilea. Kulit gadis itu coklat dengan iris mata abu-abu, sangat cantik. Terlebih rambutnya yang keriting hitam panjang. Dia selalu tersenyum dan menunjukkan keceriaan.

“Selena.” Hanya itu yang diucapkan vampir muda yang enggan menjabat tangan Syilea.

“Tanganku bau, ya?” gumam Syilea sambil mencium tangannya. “Ah, tidak, kok. Tapi, kenapa kamu tidak ingin bersalaman denganku?” herannya.

Selena membelalak sedikit kaget. Kenapa bisa Syilea berpikir tangannya bau. Padahal dia hanya tidak ingin bersentuhan kulit dengan manusia.

“Bukan begitu, aku hanya‒.” Selena ingin menjelaskan, tapi Syilea sudah tertawa kecil yang membuat dia heran sendiri.

“Aku hanya bergurau. Jangan diambil hati,” ucapnya tulus.

Diambil hati? Bukankah seharusnya dia yang tersinggung karena aku tidak menjabat tangannya? Dasar aneh!

Selena tidak tertarik untuk melanjutkan obrolan dengan Syilea. Dia mengeluarkan satu persatu buku matematika, pulpen dan penggaris. Meskipun bosan dengan pelajaran yang itu-itu saja, Selena harus tetap menjalani itu semua. Ini seperti lelucon yang selalu diulang sehingga membuatnya jengah.

“Nanti kita akan ada pelajaran olahraga,” kata Syilea semangat.

“Hm.”

“Oh iya, kamu dari sekolah mana sebelumnya?”

“Sekolah yang jauh dari Breavork,” jawab Selena enggan memberitahu di mana sekolah asalnya.

“Apakah sekolah itu memiliki matahari yang terik?” lanjutnya.

Selena menggelengkan kepala. Sesekali dia melihat ke arah pintu, berharap kalau Rain akan tiba. Namun, Selena harus kecewa ketika sampai bel masuk berbunyi masih belum muncul lelaki penggoda pikirannya.

Kemana dia? Kenapa tidak ada?

Pelajaran berlangsung. Selena tidak menikmati hari ini, meskipun sebelumnya memang dia tidak pernah menikmati hari-hari yang dia lalui. Tapi, hari ini memang agak sedikit berbeda.

“Lea,” panggil Selena pada Syilea yang duduk di sampingnya sambil menulis catatan di papan tulis ke bukunya.

“Ya, Elle?” jawab Syilea sambil terus mencatat.

“Kenapa anak laki-laki dingin dan pemarah itu tidak masuk kelas?”

“Dingin dan pemarah?” ulang Syilea dengan kening berkerut dan menghentikan gerak pulpen miliknya. “Maksudmu Justin?”

“Justin?” heran Selena. Dia ingat kalau Justin adalah anak lelaki gembul dengan tangan yang selalu memegang makanan. Bagaimana bisa Syilea langsung memikirkan nama Justin saat Selena menyebutkan petunjuk seperti itu.

“Iya. Dia kan pemarah,” jelas Syilea dengan lugunya.

Selena menggelengkan kepala lalu mengoreksi. “Bukan. Bukan Justin yang kumaksud.”

“Lalu?”

“Mmm … dia sedikit tam … pan.” Ada nada rendah ketika menyebutkan kata tampan di kalimat Selena.

“Aaah … Rain?”

Tanpa sadar senyum Selena langsung mengembang saat mendengar nama lelaki itu. Dia mengangguk pelan meskipun yakin.

“Ng … tunggu kucari,” kata Syilea lalu melihat satu persatu wajah temannya di kelas.

“Dia tidak ada, Lea.”

“Iya, benar. Dia tidak ada,” sahut Syilea membenarkan. “Kalau begitu dia membolos lagi seperti biasa.”

“Memangnya dia selalu melakukan itu?”

Syilea mengangguk. “Selalu dan selalu. Bahkan dalam seminggu dia bisa tidak masuk sampai empat hari. Herannya dia selalu naik kelas karena tidak pernah mendapatkan nilai merah saat test atau ujian.”

Kening Selena mengernyit. Penjelasan yang aneh dari Syilea membuatnya semakin tertarik ingin tahu tentang Rain.

“Apa kau tahu di mana tempat tinggalnya?” tanya Selena lagi.

Sayangnya kali ini Syilea menggeleng dan menjawab, “Tidak ada yang tahu dia tinggal di mana. Pernah ada yang mengatakan dia tinggal di rumah ujung jalan. Rumah besar yang tidak terawat itu.”

“Aku belum pernah melihatnya.”

“Jelaslah … kamu kan warga baru di Breavork,” jawab Syilea sambil terkekeh.

Selena tidak ikut tertawa, menurutnya itu tidak lucu melainkan masuk akal. Jadi tidak ada yang perlu ditertawakan.

“Apa kamu ingin jalan-jalan ke sana?” ajak Syilea tiba-tiba.

“Kamu mengajakku?”

“Memangnya siapa lagi?”

Selena langsung mengangguk tanpa berpikir dua kali. Dia harus mencari tahu tentang kehidupan Rain. Siapa Rain sesungguhnya dan bagaimana bisa lelaki itu terus menghantui pikirannya.

***

Sepulang sekolah.

Selena lebih dulu menghampiri Matt yang sudah merapikan barang-barang miliknya di dalam loker. Mengetahui Selena datang, Matt langsung tersenyum lebar.

“Ada apa, Elle?” tanya Matt dengan antusias dan semangat.

“Aku tidak pulang dengan kalian.”

Kening Matt berkerut. “Ada apa lagi, Elle? Apa yang ingin kamu lakukan?”

“Bukan urusanmu,” jawab Selena dingin.

“Setidaknya beritahu aku … kalau kamu merasa tidak nyaman satu mobil denganku. Aku bisa menyuruh Henry yang menyetir dan biarkan aku pulang sendirian.”

Selena menggelengkan kepalanya tanpa menatap wajah penuh sesal Matt.

“Ayolah, Elle … jangan bersikap seperti ini. Kamu sudah membuat saudara kita menjadi tidak nyaman dengan hubungan kita yang dingin.”

Selena tidak menggubris. Dia membalikkan badan dan ingin pergi. Baginya sudah minta ijin pada Matt itu lebih dari cukup.

“Elle … wait!” panggil Matt mengunci lokernya lalu mengejar Selena.

Di koridor mereka berpapasan dengan Henry dan Bianca.

“Hai … ada apa?” heran Bianca melihat Matt yang terlihat seperti mengemis pada Selena.

“Dia tidak ingin pulang dengan kita,” jawab Matt.

“Oh ya? Bagus, dong!” seru Bianca sambil melirik Selena yang tidak peduli.

“Elle, mau kemana?” tanya Henry dengan lembut.

Selena menghentikan langkahnya dan menatap Henry. Baginya, hanya Henry yang bisa bersikap tulus dan sangat baik padanya. Meskipun sebenarnya Matt juga begitu. Hanya saja dia terlanjur membenci kakaknya itu.

“Beritahu aku saja,” pinta Henry sembari tersenyum.

Selena meraih tangan Henry. Menggunakan kekuatannya untuk memberitahu dia ingin kemana. Seketika Henry melihat bayangan Selena dan Syilea yang berjalan bersama hingga berdiri di depan sebuah rumah gelap seperti tidak berpenghuni.

Lima detik kemudian, Selena melepaskan genggaman tangannya. Henry mengerjap kemudian berkata, “ Jadi kamu ingin ke sana?”

“Ya … tolong jaga rahasia ini,” pinta Selena.

Henry mengangguk setuju. “Baiklah … aku tidak akan memberitahu siapa pun.”

Selena kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Henry, Bianca dan Matt. Sejauh ini dia selalu percaya pada Henry karena saudaranya itu belum pernah membocorkan rahasianya sekali pun meski sudah dipaksa oleh Bianca.

“Mau kemana dia?” tanya Matt pada Henry.

“Kamu tenang saja. Dia pergi ke tempat aman. Dia hanya sedang mencoba menjawab pertanyaan,” jelas Henry.

Bianca menggaruk kepalanya. Tidak mengerti dengan maksud Henry. “Maksudmu apa?”

Henry terkekeh lalu mengacak rambut Bianca dengan gemas. “Sudahlah … jangan pikirkan Elle. Kita pulang saja. Mungkin ayah sudah ada di rumah,” ajaknya lalu berjalan lebih dulu.

“Huh! Kenapa aku selalu diperlakukan seperti anak kecil di mata Matt dan Henry?” sungut Bianca sambil bergegas mengimbangi langkah kedua saudaranya.

-Bersambung-

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Henry lebih manusiawi soal perasaan ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status