Baru kali ini ia melihat Trixie Bradwell secara langsung, dengan mata kepala sendiri. Wow.
Beauty, sexy, but classy. Tiga kata itu sangat pantas dirujuk untuk sosok anggun yang kini sedang berbicara di atas podium, menyampaikan pidato pembuka sesuai dengan jabatannya yaitu sebagai Direktur Yayasan. Sikap Trixie Bradwell yang hangat dan penuh percaya diri itu membuatnya sangat mudah untuk disukai oleh siapa pun. Lagipula, wanita itu juga memiliki wajah yang cantik serta fisik yang proporsional dan nyaris sempurna, bahkan mungkin hampir tidak seperti nyata. Aiden juga sudah membaca biografi Trixie Bradwell sampai tuntas. Wanita itu dulunya adalah seorang model sejak ia berusia 16 tahun. Namun ketika karirnya sedang meroket di usia 20-an tahun, Trixie justru menyatakan pensiun dari dunia catwalk, karena ingin mendedikasikan diri di bidang kemanusiaan. Menjadi bagian dari Keluarga Bradwell yang kaya-raya dan sangat terkenal di Asia, tentu saja uang bukan menjadi masalah baginya. Tapi entahlah, Aiden terlalu mengerti dengan dunia bisnis yang sesungguhnya kotor. Amal, donasi, dan tetek bengek mengenai kemanusiaan, sesungguhnya semuanya adalah bullshit. Hanya ada politik kepentingan dan kekuasaan absolut di dalamnya. Mungkin saja fisik Trixie yang rupawan digunakan sebagai alat bagi keluarganya untuk semakin mengokohkan nama Bradwell di dunia bisnis, dengan berkamuflase dalam wujud "Yayasan Amal". Aiden masih terus memperhatikan Trixie berbicara dengan seksama, dan lelaki itu pun mengernyitkan keningnya ketika ia baru menyadari sesuatu. Sejak tadi wanita bersurai pirang itu seperti sedang menyembunyikan tangan kirinya di balik meja podium, ada apa? Sebagai orang yang selalu memperhatikan segala sesuatunya dengan teliti, Aiden pun sontak memfokuskan tatapannya pada tangan kiri Trixie. Tunggu. Apa tangan wanita itu gemetar?? Aiden mengangkat kedua alisnya yang tebal dan membenarkan letak kacamatanya seolah tak percaya. Ada apa dengan wanita itu? Dia terlihat sangat percaya diri, tapi kenapa tangannya malah gemetar hebat? Mungkin tak ada seorang pun yang menyadarinya kecuali Aiden yang memang sangat memperhatikan setiap detail. Tanpa sadar, manik coklat Aiden pun terus memperhatikan wanita itu, mencoba menganalisis kondisi yang mungkin dialami meskipun hanya akan berucap dalam hati. Bahkan ketika pidato Trixie selesai, Aiden bisa melihat kegugupan yang hampir tak terlihat di dalam senyuman itu. Namun dengan begitu ahlinya ditutupi oleh Trixie Bradwell. Oke, sekarang saatnya acara inti dimulai, dan Aiden benar-benar gembira karena lukisan incarannya menjadi barang pertama yang akan dilelang. Seseorang tiba-tiba memberikan harga pembuka 1 juta dollar untuk lukisan The Mistress, dan itu membuat Aiden hampir terbahak. Jika saja mereka tahu harga yang sebenarnya, mungkin mereka bahkan rela menyerahkan seluruh harta mereka! 'Baik, sudah saatnya berhenti main-main. Cepat tuntaskan semuanya dan angkat kaki dari sini, Aiden Miller!' titah Aiden kepada dirinya sendiri. "10 juta dollar!" Tanpa tedeng aling-aling, Aiden pun mengajukan harga yang sangat jauh lebih tinggi dari harga sebelumnya. Ia sudah malas menunggu, dan tak sabar ingin segera membawa lukisan itu pergi dari sini ke tempat yang lebih aman. Seringai tipis pun mewarnai wajahnya, saat Auctioneer akhirnya memutuskan bahwa lukisan itu telah menjadi miliknya. Bagus. Sekarang ia bisa pulang. Aiden pun berdiri karena ingin mengurus pembayaran serta mengambil lukisan yang ia beli, namun gerakannya pun sontak terhenti ketika tiba-tiba sosok wanita bersurai pirang berdiri tak begitu jauh darinya. Trixie Bradwell tengah menatapnya dengan ekspresi wajah yang aneh. Manik biru safirnya yang berkilau itu tampak membelalak dengan lebar, wajahnya yang sangat cantik terlihat sepucat kertas. Aiden tidak tahu kenapa Trixie menatapnya seperti itu, seperti seseorang yang sedang melihat hantu. Dan tiba-tiba saja, wanita itu memejamkan kedua maniknya, sebuah pertanda bahwa sebentar lagi kesadarannya akan segera sirna. Lalu tanpa berpikir panjang akan dampak akhirnya, Aiden pun bergerak secepat mungkin dengan tangkas, sebelum tubuh sensual berbalut gaun seksi itu menghantam lantai dengan keras. Ia telah menangkap tubuh Trixie Bradwell dan mendekapnya, tepat pada waktunya. ***Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim