Dalam hati Rosene mengucap syukur bahwa itu bukanlah Aaron. Rosene mengerutkan dahi. Siapa wanita ini? Tiba-tiba main masuk saja dan membuatnya kaget. Bila dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan pelayan. Tetapi, siapapun dia, pasti orang di luar sana tidak akan tinggal diam 'kan. Benar saja, beberapa detik setelahnya, tergopoh-gopoh Berta muncul. Ia berhenti tepat di samping Lucia yang tengah berdiri memandang ke arah Rosene. "Nona, mohon jangan seperti ini. Tuan bisa marah." Lucia menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Berta. "Dia tidak akan marah kalau kau tidak mengadu." Setelah mengatakan itu, Lucia maju selangkah. "Lagi pula aku kemari karena mendengar bahwa ada koleksi baru. Jadi itu kau." Lucia memandang Rosene sedikit mengejek. "Koleksi?" "Ya, apa lagi jika bukan koleksi. Wanita yang akan dipakai sekali, selebihnya akan dijadikan koleksi." Lucia berkata seraya mengangkat kedua bahu. "Nona," panggil Berta. Lucia mendecak. "Ya, ya aku akan pergi, Berta." Ka
Batuk-batuk itu reda setelah diberikan seteguk air. Aaron mengamati gerak-gerik Rosene. Segala sesuatu yang dikerjakan wanita itu sungguh menarik perhatiannya. Untuk ukuran seorang wanita, Rosene terlalu kaku. Tatapannya juga sedingin es."Kau tidak dengar aku bicara." Rosene menoleh untuk bisa memandang Aaron. Keduanya saling menatap. Aaron dapat melihat bola mata kehitaman itu. Sedikit aneh karena terdapat warna merah di bagian tepi menyerupai cincin. Meski samar, tetapi Aaron dapat melihatnya. Entah itu asli atau tidak. Yang jelas, Aaron baru menemui wanita yang seperti ini. Dan jika diperhatikan lagi. Rosene ini memiliki postur tinggi kira-kira 170 sentimeter, tubuh ramping, kulit putih sesuai dengan selera Aaron. Untuk soal wajah, sudah jelas tidak diragukan lagi. Dia lebih segalanya dari wanita yang ditemuinya. Dan yang membuat Aaron tidak bisa berhenti memandangnya adalah, cekungan di kedua pipi. Sadar terlalu lama bersitatap, Rosene memutus kontak mata terlebih dahulu kemu
Aaron mengibaskan tangan. Berta jelas tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memberi kode pada dua pelayan lainnya untuk berbalik dan meninggalkan ruangan. Pintu ditutup, dan dijaga oleh dua orang pengawal lainnya. Mereka harus selalu siap siaga jika terjadi sesuatu di dalam sana. Ben pun sama halnya, ia turut berjaga di depan kamar. Di dalam kamar tinggal berdua, Rosene bersama dengan Aaron. Ini jelas bukan hal yang Rosene inginkan. Berada di dekat Aaron membuat Rosene seketika gugup. Aura Aaron membuat Rosene jadi kerdil. Aaron berjalan mendekat. Pria yang sudah berpakaian rapi dengan setelan jas itu berdiri di hadapan Rosene. Ia raih dagu wanita itu membuatnya sedikit mendongak. "Kau mencariku, Sayang." Rosene langsung menepis kuat tangan itu dan membuat pemiliknya seketika melotot. "Jangan sentuh aku!" Sungguh, Rosene menyesal karena sudah datang ke sini. Ia tidak sudi jika harus menyerahkan tubuhnya pada Aaron. Karena ia pun datang bukan itu. "Really? Kau bercanda, Sayang." T
Peluru melesat ke arah lampu tidur. Untungnya, Aaron segera bangkit dan menepis tangan Ben dan membuat tembakan itu meleset. Sementara Rosene terlihat syok. Ia memang terbiasa dengan luka tembak, dan ia pernah menerimanya. Tetapi, jika peluru tadi sampai mengenai kepala, maka bisa tamat riwayatnya. Mendengar suara gaduh, Berta dan pelayan yang biasa melayani Rosene muncul. Sama seperti Ben, mereka kaget dengan situasi yang terjadi. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" Berta hendak menghampiri Sang Tuan, tetapi langsung dicegah. "Jangan pedulikan aku, tangkap wanita itu lalu kurung dia." Bukan hanya Berta, tetapi pengawal lainnya lekas menghampiri Rosene. Wanita itu tidak memberontak. Ia pasrah dengan apa yang dilakukan terhadap dirinya. Jika Aaron kata dikurung, maka Rosene benar-benar dikurung. Namun, ia bukan hanya sebatas dikurung biasa. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan besi dan rantai kemudian rantai itu terhubung pada dua sisi dinding tersebut.Tali rantai itu tidak cukup panj
Meski telah dipuaskan oleh Lucia. Entah kenapa Aaron masih saja memikirkan Rosene. Ia heran saja, ada wanita yang begitu berani menolak pesonanya. Padahal dirinya sudah menawarkan uang. Wanita yang gila harta akan begitu mudah menempel pada Aaron. Tetapi, Rosene berbeda. Atau mungkin Rosene bukan wanita yang seperti itu. Atau ada faktor lain. Apa mungkin dirinya ini kurang tampan?"Berta!" panggil Aaron. "Ya, Tuan." Yang dipanggil berjalan tergesa-gesa menemui Aaron. Setelah Berta berdiri di hadapannya, barulah Aaron bertanya. "Berta, apa aku ini kurang tampan?" Jelas saja pertanyaan seperti itu membuat Berta memandang majikannya itu dengan tatapan heran dan penuh tanya. "Apa maksud Anda, Tuan. Tentu saja Anda tampan." "Kau berdusta!" "Saya mengatakan yang sebenarnya, Tuan." Berta memang mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula, apa yang membuat Aaron mempertanyakan hal demikian. Tidak biasanya pria itu mempedulikan hal semacam itu. "Tuan, apa yang membuat Anda merasa rendah diri s
Ben terkesiap. Ada apa dengan Berta. Kesalahan apa yang wanita itu perbuat sampai harus dihabisi. Ben memang dikeluarkan dari gudang untuk membantu Aaron mengatasi masalah. Tetapi, atasannya itu tidak mengatakan apapun tentang Berta. "Tuan apa yang terjadi, kenapa dia harus dihabisi?" Ben tidak tahan untuk tidak bertanya. "Dia ingin menghabisi Rose." "Apa?" Ben tidak percaya ini. Beberapa waktu yang lalu, wanita itu malah menasehati dirinya untuk tidak teledor. Karena Aaron sangatlah sensitif jika itu menyangkut masalah wanita kesayangan. Tetapi, ini Berta. Tidak mungkin wanita itu ceroboh. Ben merasa ada sesuatu. Sebuah kesalahpahaman. "Tuan, mohon pertimbangkan sekali lagi. Berta adalah orang kita, dia tidak mungkin bertindak ceroboh." Ben berharap Aaron mengubah keputusannya. Aaron memandang orang kepercayaannya. "Kau saja bisa melakukan itu. Kenapa orang seperti Berta tidak." "Tapi, Tuan ...." "Jika kau ingin mendebatku, sebaiknya kau bergabung bersama Berta." Aaron kesal
Entah apa alasan Lucia sehingga mampu melakukan itu pada Rosene? Iri kah atau apa? Tetapi, dari sekian banyak wanita penghibur Aaron. Hanya Lucia yang diperbolehkan berkeliaran bebas di luar paviliun. Itu karena wanita itu menduduki posisi wanita kesayangan. "Apa di ruangan itu ada CCTV?" tanya Rosene. "Tepat di pintu masuk, ada satu." Ben menjawab. "Kalian sudah memeriksanya?" Lagi-lagi Ben dan Jekco saling pandang. Kekacauan terjadi tiba-tiba, tentu saja keduanya belum sempat melakukan itu. "Biar aku saja, kau jaga di sini." Jekco berpamitan keluar untuk menghubungi Diego yang bertugas di Mansion. Sementara itu, di ruang Dokter, Aaron penasaran dengan apa yang akan dikatakan Dokter mengenai kondisi Rosene. Aaron duduk di kursi yang telah disediakan di depan meja dokter. Karena ini bukan Dokter El, Aaron harus bersikap sedikit sopan. Keduanya berhadapan. Aaron memandang pria berjas putih yang membuka map berisi laporan. "Jadi begini, Tuan Aaron. Ini memang sedikit aneh. Nona R
Untungnya, Rosene masih bisa menahan rasa sakitnya. Ini tidak seberapa dibandingkan yang pertama kali ia mendapatkannya. Saat itu, kali pertama dan terakhir Rosene mengikuti misi meng-invasi klan Riddick yang menguasai wilayah Puglia di sebelah barat Italia. Rosene teledor. Ia terlalu percaya diri akan memenangkan pertempuran itu hingga tidak tahu salah satu musuh mengincarnya. Untungnya, tembakan itu meleset dan hanya menyerempet bagian perut dan tidak sampai mengenai organ vital. Tetapi, Rosene akui, ini cukup nyeri. Rosene menatap pakaian biru yang dikenakannya. Cairan itu menodai pakaian itu. Ini tidak boleh didiamkan. Aaron tidak boleh melihatnya. Atau pria itu akan mencercanya dengan berbagai macam pertanyaan. Rosene menghidupkan kran. Kemudian menengadahkan tangan di bawah kran itu. Ia berusaha membersihkan noda itu dengan air dan tangan. Rasa nyeri kembali dirasakan. Di luar, Aaron nampak gelisah. Terlebih karena Rosene tidak juga keluar. Ingin menyusul takut wanita itu