Share

Part 2

“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Gina sambil berbisik pelan. Dia adalah teman sebangku ku yang super menyebalkan. Sekeras apapun aku jujur padanya dia juga takkan tahu apa yang sebenarnya kukatakan. Namun malah menciptakan rumor permanen yang kuanggap seperti sebuah kesialan. 

Jika ditanya siapa yang menyebarkan rumor palsu bahwa aku menyukai Aron selama sepuluh tahun. Maka orang itu adalah Gina. Gadis cantik berambut panjang namun sangat polos.

“Aku baik-baik saja,” balasku santai. Jika karena ditolak aku tak merasa buruk akan hal itu. Tapi jika soal dipermalukan di hadapan banyak orang aku sangat marah. Tunggu saja pembalasanku.

“Huhu, aku gak tahan lagi. Aku tahu kamu nggak baik-baik saja. Tapi kamu berusaha untuk tidak membuatku khawatir. Kamu memang sangat baik,” katanya dengan nada seperti sedang menangis. Entah dia benar-benar nangis atau hanya dibuat-buat. Dia memang seperti itu, ratu drama yang buruk.

“Aku nggak bohong kok!” aku berusaha meyakinkan dia agar dia segera diam. Karena ketika aku menoleh ke arah Bu Fatma, matanya itu akan melotot tajam ke Arahku lalu memukulkan penggaris kayu panjang itu ditangannya.

“Dasar Aron sialan. Dia sangat bodoh menolak gadis secantik Irene,” teriaknya.

”Betul banget! Aku setuju akan hal itu. Tapi lebih baik kita diam. Bu Fatma sedang mengawasi kita. Aku tak ingin disuruh berdiri. Aku lelah,” kataku memohon ke Gina. Namun sepertinya dia tak mendengarku. Aku hanya pasrah dengan keadaan.

"Meskipun di kelas ini ada yang lebih cantik," timpalnya lagi. Senyumku memudar menatapnya.

"Siapa?" bisikku

"Aku," aku geram mendengar jawabannya. Rasanya ingin kumakan hidup-hidup dirinya. Meremukkan seluruh tulang-tulangnya.

PLAK

Oh tuhan! Cobaan apa lagi ini. 

Mataku melotot ke penggaris kayu panjang yang dipukulnya mendarat tepat di atas mejaku. Tentu saja aku terkejut. Apalagi kini semua siswa di ruangan kelas ini menatap kami berdua.

“Apa salah meja saya bu? Sampai meja saya dipukul. Kan kasihan,” protesku membuat semua siswa tertawa. Bahkan Gina pun yang sedang panik berusaha menahan tawanya.

“Semua diam!” perintah Bu Fatma tegas dan memelototi ku dengan tajam, “Masih bagus meja kamu yang saya pukul. Daripada kamu yang saya pukul.”

Aku pun tak bergeming sedikit pun. Namun aku sama sekali tak panik. Aku sudah tahu ini hari kesialanku.

“Kalian ini yah! Bukannya belajar malah cerita saja kerjanya. Bikin darah tinggi ibu jadi naik,” omel Bu Fatma.

“Ibu gak mau ke rumah sakit?” bantahku lagi. Sejujurnya aku sudah kesal dengan kejadian hari ini. Dan bukankah dosa membantah Ibu guru?. Tapi terlihat menyenangkan sehingga aku sama sekali tak takut membangkang. Setidaknya bu Fatmah geram kepadaku seperti aku geram melihat Aron dan Gina.

“IRENE!” teriaknya keras. Aku terkejut sekian kalinya. Bahkan aku mengelus dada.

“BERDIRI!” perintahnya tegas dengan menatapku emosi. “Gina juga!”

“Kalian berdua berdiri di depan kelas. Sekarang!” teriak kerasnya lagi.

Aku dan Gina pun berdiri dan melangkah keluar kelas. Jika tidak, Bu Fatma akan lebih marah lagi.

“Kenapa bukan mejanya saja yang disuruh berdiri. Kan mejanya yang dipukul,” gerutuku pelan dengan nada kecil. Namun masih terdengar saja di telinga para siswa.

“Hmmm. Irene! Kamu pikir ibu tuli? Ibu dengar semua yang kamu katakan. Mau hukumannya Ibu tambah?” ancam Bu Fatma.

“Nggak Bu,” balasku sambil menghela napas. Lalu aku segera keluar dan berdiri  di depan kelas. Gina mengikutiku. Kami berdiri dengan satu kaki terangkat dan kedua tangan menyilang sambil menjewer telinga. Sehingga kami harus menjaga keseimbangan agar tak terjatuh.

Aku menolehkan kepalaku menatap masuk ke kelas melalui jendela kaca. Aku iri melihat Aron yang duduk layaknya seorang raja duduk di singgasananya.

“Hmm, Dia duduk dengan nyamannya. Setelah mempermalukanku di depan banyak orang. Dia bukan manusia. Tapi Iblis,” keluhku. sambil jari telunjuk ku arahkan padanya. 

“Aku minta maaf,” katanya lagi. Aku gak tahu harus berkata apa lagi pada orang ini. 

“Kamu kenapa lagi?” aku sudah sering mengeluh tentang Gina. Kini seperti aku yang ingin menangis.

“Huhu, karena aku, kita jadi dihukum. Kamu sudah menderita karena ditolak Aron. Dan aku malah membuatmu dihukum,” tangisnya lagi. Aku berusaha menenangkannya.

Seandainya bisa kukatakan saja. Aku sama sekali tak menderita karena Aron menolakku. Namun aku menderita karena kalung ini. Rasanya aku sudah gila. Seperti telah membuat hidupku hancur berantakan.

Hukuman kami berakhir ketika jam mata pelajaran matematika juga berakhir. Betisku sepertinya akan meledak.

“Aku sungguh lapar,” batinku sambil memegangi perut ini. Namun aku segera meletakkan kepalaku di atas meja. Karena percuma juga aku menuju kanting sekarang karena jam mata pelajaran selanjutnya akan segera masuk.

“Ini hari yang melelahkan,” gerutuku lagi sambil menghela napas.

Ketua kelas menghampiri Aron. Aku sering melihat mereka mengerjakan tugas bersama. Banyak yang beranggapan bahwa mereka pacaran. Karena mereka terlihat serasi. Viona ialah gadis tercantik di sekolah ini menurut para siswa. Namun menurutku akulah yang tercantik. Namun sayangnya mata mereka buta. Hehe, bercanda.

Ia adalah ratu sekolah pujaan para pria. Siswa terpintar setelah Aron. Dia juga siswa teladan. Itu terbukti dari setiap guru yang menegurku dan menasehatiku selalu saja memujinya serta menyuruhku meniru kepribadiannya.

Namun karena dia selalu melekat pada Aron jadi banyak siswa yang menyebutnya saingan terkuatku. 

Percuma dia jadi saingan ku. Aku bahkan takkan pernah cemburu.

“IRENE!” teriak seseorang yang memanggil dan membangunkanku.

Ah tidak! Jangan lagi. 

Dari suaranya aku sudah tahu orang itu adalah Dion. Si pembuat ulah nomor satu di sekolah ini. Kami dulu sering dipertemukan di ruangan Bimbingan Konseling. 

Dia mengejarku hingga sekarang. Meski rumor palsu itu menyebar sampai di telinganya. Ia masih saja mencoba mengambil hatiku. Aku bahkan menunggu hari dimana dia akan menyerah

Dua orang teman idiotnya selalu bersamanya. Ari dan Jodi yang selalu memanggilnya bos. Dan menuruti setiap perkataan. Meski Dion sama menyebalkan seperti Gina tapi setidaknya ada seorang yang mengatakan aku lebih cantik daripada Viona. Haha.

“Oh Ratuku! Aku yakin kamu lelah,” katanya dengan nadanya dibuat seperti seorang raja. 

“Sejak kapan aku jadi ratumu?” keluhku dengan nada berbisik. Aku memalingkan wajah tanpa sengaja mataku pertatapan dengan mata Aron. Tampak ia menatapku dengan aneh namun segera memalingkan wajahnya kembali seperti semula.

“Kenapa dia? Apa dia cemburu? Ah masa bodoh! Mana mungkin. Jangan lupakan kejadian tadi Irene,” batinku sambil cemberut. Lalu melihat Dion membawa sesuatu. 

Dion membawakanku makanan di dalam rantang tersusun. Aku segera bangun karena baunya yang lezat. Ari dan Jodi melayaniku dan membuka tutup rantang satu persatu. Perutku mulai berbunyi karena aku memang belum makan tapi malah membuatkan orang lain makanan.

Sepertinya saya kesalku berkurang setelah makan. Dion kau malaikat penolongku.

Ayam goreng, beberapa potong Pizza, dan nasi. Itu adalah makanan kesukaan ku. Aku menyantapnya dengan lahap.

“Irene, aku sangat merindukanmu. Seandainya tadi aku tak bolos mungkin saja aku sudah menghajar orang itu. Mengapa kamu harus menyukainya. Kamu akan terus terlukai. Sukai aku saja, aku takkan pernah menyakitimu,” ucapnya dengan serius menatapku. Sampai kapan drama ini akan berlanjut.

Dion sebenarnya juga sangat tampan. Ia bahkan tak kalah populer dari Aron. Ia pandai bernyanyi bahkan sering membuatkanku sebuah lagu yang indah. Aku juga dengar dia sudah pernah menjadi bintang iklan terkenal. 

Namun bukan berarti aku dengan mudah bisa menyukainya. Meski selama ini dia sangat baik padaku. Dia bahkan siap kapan pun dan dimanapun akan menjadi pengawalku. Namun bagiku Dion sudah seperti sahabatku.

“Aku juga ingin menyukaimu. Tapi sulit,” kataku jujur. Anehnya Aron tak hanya menatapku dengan tatapan aneh tapi juga menghampiriku.

“Irene, suruh temanmu pergi!”

Kenapa aku harus mendengarkanmu?” itu yang ingin kukatakan. Namun aku malah bilang “Oke,” itu menyakiti Dion yang sudah baik memberiku makan disaat kelaparan.

“Ah Aron Brengsek. Berani-beraninya kamu berdiri di hadapanku?” teriak Dion yang berdiri di hadapan Aron, tinggi mereka hampir sama. Ia menarik kerah baju Aron dengan sekuat tenaga. Membuat semua orang takut dan bergerak menjauh. Dion dikenal sebagai petarung yang kuat. Ditambah dia memiliki otot di lengannya. Padahal dia masih anak SMA.

“Kamu sudah sering menyakiti dan mempermalukan Irene sesuka hatimu. Kamu pantas mendapat pukulan,” Dion mengayunkan tangannya ke arah wajah Aron.

Oh aku terharu.

“Tunggu!” teriakku menghentikannya. Tak heran ini tontonan yang menegangkan karena para siswa menyaksikan kejadian ini di depan jendela kelas

“Dion, ku mohon kembalilah ke kelasmu. Guru akan segera datang. Jika kamu bertengkar sekarang. Keadaannya semakin rumit lagi. Dan kamu jangan bolos lagi. Aku nggak mau kamu diskor dari sekolah,” kan sayang kalau dia diskor dari kelas. Nggak ada yang bikinin makanan lezat.

“Tapi, Irene” elaknya.

“Aku nggak akan makan kalau kamu nggak mau nurutin aku,” ancamku. Agar drama ini selesai. Aku bahkan memasang wajah cemberut dan menggemaskan.

“Ah, jangan gitu dong! Kamu terlihat kurus sekarang. Nanti kalau nggak makan kamu bisa mati gimana dong?. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu,” bujuknya membuatku mengumpat. Aku berdigik ngeri mendengarnya.

Sialan Dion! Malah doain aku mati.

“Baiklah! Hari ini kamu selamat karena ratuku yang memintanya,” katanya dengan berat hati. 

Akhirnya Dion meninggalkanku setelah mengucapkan selamat tinggal. Sungguh hari yang menyebalkan namun setidaknya aku mendapat makanan. Aku tersenyum menatap makananku itu.

BRAKK

“Oh tuhan bunuh aku sekalian,” keluhku lagi. Saus ayam menempel di baju putih dan rok putih milikku. 

Viona terjatuh menyenggolku yang sedang makan dengan memegang ayam di tanganku. Aku memonyongkan bibir ku. Namun tak tega juga melihatnya yang sedang tersungkur di lantai. Aku pun membantunya berdiri.

“Mengapa kamu bisa jatuh?” tanyaku seperti sedang mengomel.

“Ah, aku minta maaf, bajumu jadi kotor,” teriaknya kaget menatapku. Namun apa gunanya minta maaf. Bajunya gak akan bersih seperti semula.

“Nggak apa-apa. Kamu jangan khawatir. Aku ngak marah kok,” kataku agar tak dicap sebagai orang jahat yang menyakiti ratu sekolah ini.

“Aku harus makan sebelum Ibu guru datang. Aku belum banyak makan. Aku lapar,” kataku sambil kembali duduk dan hendak memasukkan sepotong ayam kemulutku.

“SELAMAT SIANG ANAK ANAK!” sapa Pak Umar tiba-tiba dengar suara yang menggelegar. Dan melangkah menuju meja khusus untuk guru.

Oh my god, Aku lapar,” keluhku dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status