Share

Part 5

“Gina mana?” tanya Anna seorang siswa yang duduk di depanku sedang memasukkan buku ke dalam tasnya. Aku sedang sibuk memainkan ponsel milikku. Hanya bermain game dengan serius.

“Di kantin,” jawabku singkat.

“Kok kamu tumben gak sama Gina?” tanya Anna lagi. Aku pun menyimpan ponselku di saku bajuku.

“Biasalah! Gina kalau sudah punya pacar, jadi aku ditinggalin,” pekikku dengan nada mengeluh. Anna hanya menertawaiku.

“Ya sudah, mau ikut nggak?” ajaknya.

“Ke kantin?” tanyaku dengan polos.

“Ke toilet,” jawabnya ketus.

“Ah nggak mau! Ngapain aku ke toilet. Memangnya aku mau ngapain ke toilet,” bantahku. Tampaknya Anna menatapku geram. 

“Ke kantin Irene! Nih anak bego banget,” katanya kesal sambil menarik lenganku. Lucu melihatnya seperti itu. Aku hanya tertawa sepanjang perjalanan.

****

Setiba di kantin, aku menunggu lama Anna yang sedang mengantri. Sedangkan aku memegangi mangkuk bakso berusaha menyeimbangkan agar kuahnya tidak tertumpah.

“Sudah?” tanyaku yang menampakkan wajah kesal karena lelah menunggunya. Anna mengangguk ketika dia keluar dari antrian panjang itu.

Entah sedari tadi kepalanya menengok kiri dan kanan seperti orang yang mau menyebrang jalan.

“Sayang!” teriaknya melambaikan tangan melihat pacarnya yang baru saja keluar dari antrian.

“Irene maaf yah! Aku tinggal, pacar manggil aku,” aku melongo keheranan melihatnya berlari menghampiri pacarnya dan meninggalkanku sendiri dengan wajah cemberut.

“Yang ada itu kamu yang panggil. Bukan pacar kamu yang panggil kamu. Gitu yah! Kalau teman udah punya pacar. Ngapain aku diajak kalau pada akhirnya aku yang ditinggalin,” gerutuku kesal sambil mencari tempat kosong. 

“Makanya, cari pacar juga dong! Biar nggak kesepian,” goda seseorang yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Bagas teman sebangku Aron.

“Jangan Aron terus yang dikejar. Jadinya dicampakkan terus deh. Gak capek?” ledeknya. Rasanya inginku lemparkan mangkuk berisi air panas di tanganku ini ke wajahnya.

“Dasar! Aku doain kamu putus sama pacar kamu,” sumpahku. Bagas berlalu pergi segera.

Bweee,” Bagas memeletkan lidahnya membuatku kesal melihatnya. 

Aku pun melangkah saja sambil mencari kursi kosong.

Tampak Naura yang duduk sendiri di pojokan kantin. Akupun menghampirinya.

“Cuma sendiri nih?” tanyaku yang duduk di sebelahnya dan meletakkan mangkuk bakso milikku di atas meja.

“Iya. Aku sudah setiap hari sendiri,” balasnya dengan nada suara sedih.

“Kamu nggak punya teman yah?” tanyaku yang membuatnya mengangguk-anggukkan kepala.

"Aku memang tak pandai bergaul" ucapnya dengan santai.

“Hei! Apakah kamu benar-benar suka sama Dion?” bisikku bertanya pelan-pelan sambil menyeruput mie dan mengunyahnya membuat pipiku mengembang.

“Iya. Tapi dia suka orang lain. Tadi pas aku dengar kamu bilang kalau kamu benci Aron, kupikir kamu sukanya sama Dion,” jelasnya. Aku menggelengkan kepala. Naura hanya tersenyum kecil melihatku.

“Sejak kapan kamu suka Dion?” tanyaku lagi.

“Gak selama kamu ngejar Aron,” balasnya membuatku tersedak oleh makananku.

“Hei! Aku gak pernah ngejar Aron. Itu hanya rumor palsu,” teriakku serius. Naura hanya tertawa.

“Aku sama sekali gak suka Dion kok. Aku juga gak suka Aron. Tapi kamu percaya atau gak. Aku terkendali oleh sesuatu. sehingga semua orang akan mengira aku menyukai Aron sejak lama,” jelasku santai dan memasukkan bakso kemulutku.

“Aku percaya,” aku menoleh ke arah kiriku. Tak mengerti apa yang Naura maksud.

"Eh? Kok kamu bisa langsung percaya?" tanyaku penasaran. Sedangkan Naura masih asyik pada makanannya.

"Banyak hal yang sulit di Jelaskan di dunia ini dan banyak hal yang tidak di ketahui tentang apa yang terjadi di dunia. Jadi aku percaya saja padamu. Karena banyak hal aneh juga yang terjadi padaku" ungkapnya.

“RATUKU!”

Aku menghela napas panjang mendengar teriakan seseorang memanggilku.

Dion berlari dan duduk di sebelahku membuatku terhimpit di tengah antara mereka berdua.

Aku berdiri menghentakkan kakiku kesal. Lalu berpindah posisi duduk di hadapan Naura sambil menggeser mangkukku.

Aku memandangi mereka yang duduk berdua di hadapanku.

Sekilas ku pikir mereka terlihat serasi. Diam-diam aku mengambil ponsel dari saku bajuku dan memotret mereka.

“Ratuku, aku rindu,” rengek Dion.

“Aku nggak rindu,” kataku dengan suara datar. Membuatku ingin tertawa keras karena mendengar Naura tertawa kecil.

Aron dan Viona berjalan bersama memasuki kantin. Entah mengapa akhir-akhir ini mereka sering bersama.

Lalu mereka melangkah menghampiriku.

“Irene, aku minta maaf soal yang terjadi kemarin,” kata Viona. Lalu duduk di sebelahku.

“Hmm, gak apa-apa kok,” kataku sambil memakan bakso dengan seriusnya.

“Irene, kamu imut banget,” kata Dion yang tak henti-hentinya menatapku.

“Aku memang imut,”

Aku memperhatikan Naura yang tampaknya tak tahu cara memulai pembicaraan dia hanya diam selama kami mengobrol.

Dan juga Aron tampak cemberut. Entah apa yang terjadi padanya. Dan anehnya kalung ini tak mengendalikanku dengan parah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status