Share

Part 4

Cuaca dingin pagi ini membuatku menyembunyikan jemariku dibalik lengan panjang jaketku. Para siswa memasuki sekolah sebelum bel jam mata pelajaran pertama berbunyi.

Aku mengecek jam dan sekitar lima menit lagi gerbang akan ditutup.

Tiba-tiba saja ingatanku beralih pada peraturan sekolah ini. Bahwa siswa yang tak mengenakan dasi saat berada di sekolah akan dikenakan hukuman.

Tampak dari gerbang yang jaraknya hanya 10 meter dari tempatku berdiri. Seorang pengawas berdiri dengan kayu rotan tipis di tangannya. Dan jantungku berdegup kencang tak karuan melihatnya. Karena kini aku benar-benar lupa untuk memakai dasi.

Seorang gadis pendek dan juga berambut pendek sepertinya bernasib sama sepertiku berdiri di dekat gerbang. Kuputuskan untuk menghampirinya.

“Apa kamu juga tak pakai dasi?” tanyaku memulai percakapan.

“Iya,” jawabnya dengan suara lembut.

Sebuah mobil berhenti di depan gerbang yang mudah ditebak siapa yang akan turun dari mobil itu.

“Aron!” panggilku dengan melambaikan tangan berharap pertolongannya. 

Namun, Aron bahkan tak berbalik sedikitpun dan terus melangkah masuk ke sekolah. Dia benar benar ahli dalam mengabaikan diriku. 

“Dia memang brengsek. Baru kemarin dia bersikap baik padaku. Kini aron kembali menjadi orang yang paling ku benci,” ucapku. Gadis itu menatapku. Aku heran dengan  tingkahnya.

“AKU BENCI ARON!!” teriakku legah. Lagipula takkan ada yang mendengarnya dengan tepat.

“Dion!” teriak tiba-tiba gadis itu. Dion yang berdiri jauh di sana bersama dua sahabat idiotnya.

Apa dia mengenal Dion?

Aku bertanya-tanya. Pasalnya wajah gadis itu berseri-seri ketika menatap Dion.

Namun bukannya menghampiri gadis yang memanggilnya, Dion malah menghampiriku. Aku menatap gadis itu dalam tatapan cemburu.

“Oh, ratuku. Mengapa kamu lupa membawa dasi?” tanyanya yang langsung mengerti masalahku. Entah mengapa aku tiba-tiba merasa tak enak pada gadis yang berdiri disampingku ini.

Dion, melepas dasinya. Ia menatapku lalu memakaikan dasi itu dengan rapi di sela kerah baju putihku. 

“Kamu jangan khawatir. Aku sudah sering dihukum. Tapi aku tak tega melihat ratuku dihukum. Aku rela dihukum demi menyelamatkan ratuku,” katanya. Aku menoleh ke arah gadis itu dan merasa tak enak hati padanya..

“Eh, Naura. Kamu ngapain disini?” aku melongo mendengar pertanyaan Dion yang sama sekali tidak menyadari keberadaan Naura. Sedangkan Naura sedari tadi memandangnya.

“Hmm, aku juga lupa membawa dasi,” balas Naura.

“Oooh,”

“Eh?” aku hanya sedikit kesal tanggapan Dion yang tak memperlakukan Naura seperti dia memperlakukanku. Dia selalu bersikap acuh tak acuh pada siapapun kecuali padaku.

“Aku tak bisa meninggalkan dia sendirian di hukum,” kataku. Dion pun memanggil Ari dan Jodi.

Untungnya salah satu temannya itu menggunakan dasi dan memberikannya ke Naura. Dan gadis itu memakai dasi sendiri.

Tampak seseorang menatap kami dari kejauhan. Aron dibalik jendela di lantai dua ia berdiri tampak memperhatikan kami.

“Sejak kapan dia berdiri disitu,” batinku.

Namun aku berhenti berpikir lagi ketika Dion dan teman-teman itu dihukum. Aku dan Naura hendak berjalan masuk menuju kelas masing-masing.

“Aku mendengarmu mengatakan kau benci Aron,” pekik Naura. Aku memegang telingaku tak percaya dengan apa yang ku dengar.

Seseorang mendengar aku mengatakan ‘Aku benci Aron’. Dan tak berubah menjadi ‘Aku cinta Aron’

Apa kutukannya sudah hilang?

Tampak aku yang terlihat sangat terkejut. “Coba katakan ulang?”

“Kamu bilang kamu benci Aron,” balasnya meyakinkanku.

“Ya. Aku sangat benci Aron. Dia sangat menyebalkan dan juga sangat kasar padaku,” kataku dengan lantang dan berwajah cemberut.

“Jadi, apa kamu menyukai Dion?” tanyanya serius. Aku mulai menyadari kondisi ini.

“Eh?” meski begitu tetap saja aku terkejut mendengar pertanyaannya

“Aku menyukai Dion,” katanya. Tebakanku benar. Perasaan cinta tak dapat disembunyikan olehnya. Dari cara dia berbicara dan menatap cemburu kami tadi. Itu sudah jelas bahwa dia memang menyukai Dion.

Ting tong

Bel baru saja berbunyi. Kelasku berada di lantai dua sedangkan aku masih berada di lantai satu. Mataku melotot kaget. Dan memutuskan berlari segera menuju kelas.

“Naura, aku sama sekali tak menyukai Dion,” teriakku sebelum melangkah naik tangga. Meski dari jauh aku bisa melihat Naura yang tersenyum.

Aku baru menyadari bahwa Naura itu sekelas dengan Dion ketika ia berhenti dan masuk ke kelas.

Setiba di kelas aku merasa kelelahan sendiri karena berlari. Gina yang sedang duduk tenang di sampingku. Akupun mencoba memastikan apakah kutukannya benar-benar hilang.

“Gina, coba dengar aku,” aku memegang bahunya dan menyuruhnya berbalik melihatku. Lalu berbicara menatap serius matanya.

“Aku membenci Aron,” kataku berharap kutukan ini benar benar hilang.

“Irene!” panggilnya.

“Hmm Iya,” kataku menunggu responnya dengan penasaran.

“Ini masih pagi! Kamu tak perlu memberitahuku lagi karena semua orang kalau kamu menyukai Aron selama sepuluh tahun,” aku kembali memasang wajah tak ceria. Rasanya ingin ku jitak kepalanya itu.

Kutukannya tak hilang. Mungkin hanya Naura yang bisa mendengarnya.

Meski aku merasa sedikit kecewa setidaknya ada seorang yang bisa mendengar perkataanku dan tak terpengaruh dari kendali kalung ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status