Share

Part 3

Aku berusaha keras menahan rasa kantukku selama Pak Umar menjelaskan materi pelajaran sejarah. Namun mataku terpejam sekian kalinya, kepalaku terjatuh tanpa sadar. Lalu terduduk sambil menopang dagu.

Pak umar hendak membagikan kelompok setelah menjelaskan materi. Aku bersikap tak peduli. Satu harapanku agar tak sekelompok dengan Arojn ataupun Viona. Karena itu akan sangat membosankan bagiku.

“Kelompok satu adalah Viona, Aron, dan...” pak Umar menggoyangkan jarinya lalu menatap telitih setiap siswa yang memperhatikannya kecuali aku. Matanya terhenti menatapku.

“IRENE!”

“Hah?” aku terbangun dari rasa kantukku dan terlihat bingung. Terbayangkan betapa melelahkan hariku ini. Apakah hidupku tak lepas dari asupan drama setiap hari?

“Irene! Kamu terlihat tak fokus. Aku pasangkan kamu dengan orang yang rajin dan pintar agar kamu bisa fokus seperti mereka. Jika kamu tak terbukti bekerja maka bapak takkan beri kamu nilai sampai akhir semester. Paham!” ancam tegas pak Umar yang kini menatapku serius.

“Paham,” jawabku dengan lesu. Kini aku dikelilingi siswa terpandai di sekolah. Dunia terasa tak adil.

“Paling lambat tugasnya dikumpulkan minggu depan,” tambah Pak Umar.

“Siap Pak!” sahut para siswa.

Setelah pak Umar meninggalkan kelas, Viona menghampiriku dan berdiri di depan meja. Aku yang sambil membereskan barang-barangku dan memasukkannya segera ke dalam tas itu menoleh ke arahnya dengan wajah lesu.

“Apa kamu mengerti tugas kita?” tanyanya membuatku menggeleng-gelengkan kepala.

Masa bodoh! Aku ngantuk, lapar, dan pengen pulang.

“Aku harap kamu ikut kami ke perpustakaan sepulang sekolah sekolah nanti. Kita selesaikan tugas hari ini,” jelasnya. Aku melongoh di hadapannya.

“Bukannya batas pengumpulannya satu minggu yah?” tanyaku berharap dia mengubah rencana.

“Iya. Tapi alangkah baiknya jika kita selesaikan lebih awal,” timpalnya lagi. Melihat wajahnya saja dia takkan berubah pikiran.

Ingin sekali aku lari dan kabur dari tempat ini sekarang juga. Itu karena aku sudah merasa lemas. Namun aku khawatir Ayah dan Ibu akan memblokir kartu kreditku lagi jika aku tak mendapat nilai atau jika orang tuaku dipanggil ke sekolah lagi.

Jadi aku mengikut saja di belakang mereka.

Bisa-bisanya mereka bertingkah mesra di depanku. Sedangkan aku merasa lapar.

Apakah dia mengajakku hanya untuk menonton kemesraan mereka?

Aku akui tenaga mereka sangat kuat. Kami berjalan sangat jauh menuju perpustakan kota dan matahari bahkan tak bosan menyinari kulitku dengan kejam. Hingga keringat terus bercucuran.

Aron dan Viona berjalan berdampingan. Seperti sedang membahas sesuatu. Mungkin saja pelajaran yang tadi dipelajari di kelas. Sedangkan aku hanya memandangi punggung mereka yang masih tegak berjalan.

Namun, ketika tiba dan masuk ke ruangan yang dipenuhi rak yang berisi banyak buku itu wajahku kembali berseri-seri. Pasalnya AC ruangan itu menyambutku. Rasanya lumayan segar. Aku merasa seperti bunga yang disirami air.

Aku mencari buku sendiri mengikuti mereka berdua yang melengket di hadapanku sedari tadi. Entah apakah hanya firasatku. Namun, setiap Viona menatap Aron seperti ada makna yang tersirat dimatanya itu. Apakah dia menyukai Aron?

Tiba-tiba terbayang di kepalaku jika saja kalung ini terus mengontrolku selamanya. Dan jika di masa depan Aron telah memiliki seorang istri. Apakah aku akan jadi Pelakor?

TIDAK! Bagaimana pun juga aku harus melepaskan kutukan kalung ini.

Terlalu banyak berpikir sehingga aku tak menyadari mereka telah menentukan tempat untuk duduk. Dan meletakkan beberapa buku di atas meja. Aku pun asal mengambil buku yang ada di rak. Lalu melangkah menghampiri mereka.

“Irene, buku apa yang kamu ambil?” tanya Viona sambil tersenyum ke arahku. Secara otomatis aku membaca judul buku yang ku ambil tadi.

“150 Resep Makanan Populer di Indonesia,” mataku membelalak. Sepertinya aku benar-benar hanya memikirkan makanan saja. Daripada memikirkan sejarah.

“Ah, maaf. Aku sepertinya sedang lapar. Maksudku aku akan mencari buku lain,” kataku dengan nada menyindir. Aku kecewa mereka seharusnya mengajakku makan terlebih dahulu.

Dengan terpaksa kulangkahkan kakiku kembali ke rak-rak yang tersusun rapi di ruangan itu.

Mereka berdua tampak asyik berbincang yang kulihat dari sela-sela tempat buku ini tersimpan. Tampaklah wajahku yang cemberut lagi.

Ketika aku telah menemukan beberapa buku seorang anak perempuan kecil yang berdiri menatap ke atas rak yang paling tinggi. Akupun mulai iba dan memberikan isyarat aku akan membantunya.

Namun sayangnya tanganku pun tak mampu meraih buku itu.

“Apa kau menginginkan sekali buku itu?” tanyaku meyakinkan. Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya.

Berkali-kali aku berusaha melompat. Hingga terasa ada seseorang bertubuh tinggi menghampiri dan berdiri di belakangku. Aku berbalik. Dan itu Aron yang dengan mudahnya dia mengambil buku itu.

Aku mendongak menatap wajahnya yang membuatku mengakui dia sangat tampan.

“Tapi apakah kita harus sedekat ini? Bahkan seorang anak melihat kami,” batinku melihat tak ada celah bagiku untuk keluar dari tubuhnya yang menghimpitku di depan rak buku.

Pada akhirnya, Aron dan memberikan buku itu ke anak perempuan itu.

Tiba-tiba aku merasa sesak napas. Penglihatanku tampak buram lalu akhirnya aku benar-benar tak melihat apapun. Namun terdengar suara Aron yang menyuruhku bangun sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku tak sadarkan diri.

Aku memang kelelahan sejak berada di sekolah. Aku hanya makan sedikit dari makanan yang diberikan Dion.

Terlihat jelas Aron yang terlihat sangat panik. Ia menggendongku dipunggungnya dan meninggalkan Viona Sendiri. Setelah itu tak ada lagi memori yang terekam di kepalaku.

Bahkan buku yang kuambil tadi hanya tergeletak di lantai.

***

Lelaki tinggi itu menggendongku hingga meletakkanku dengan hati-hati di kasurku yang empuk. Rasanya aku sedang di syurga.

Ia bahkan mengatur AC untukku. Melepas sepatuku dan meletakkannya di rak sepatu. Menggantung tasku dengan rapi. Hingga menarik selimut dan menyelimutiku. Tak menyangkah manusia dingin seperti dia bisa memperhatikan hal sedetail ini. Setelah tindakannya yang menyebalkan tadi di sekolah. Apakah dia benar-benar Aron?

Sebenarnya aku sudah sadar dan kubuka perlahan mataku meski terlihat samar-samar. Aron yang keluar dari kamarku dan berbicara dengan pembantu yang baru saja bekerja di rumah ini. Karena Bi Mina yang selama ini mengasuhku sejak aku bayi itu kembali ke kampung halamannya.

Aku sangat sedih akan hal itu karena makanan yang dibuat Bi Mina sangat lezat. Sedangkan pembantu baru itu tak pandai memasak sama sekali. Dan dulu aku menolak chef di rumah ini sebelum bi Mina pergi. Jadi Chef akan ada setelah seminggu berlalu.

“Nona, belum makan sejak kemarin. Tuan,” kata pembantu baru itu.

“Kenapa?” tanya Aron dengan wajah serius.

“Saya tak tahu, Tuan,”

Aron sepertinya menuju dapur lalu mencicipi makanan yang ada di meja. Wajahnya menunjukkan ekspresi kaget.

“Asin sekali” protesnya.

“Bi Mina mana?” tanyanya lagi.

“Kembali ke kampungnya, Tuan. Saya menggantikan Bi Mina sementara,” jawab pembantu itu.

Bi Mina kini berumur 50-an yang kuanggap seperti nenekku sendiri. Sedangkan pembantu baru itu berumur sekitar 30-an. Aku bahkan jarang berbicara padanya.

Kuputuskan untuk bangun dari tempat tidur. Kucari rantang yang diberikan Dion. Namun, aku tak menemukannya.

Aron datang dengan membawa semangkuk nasi bubur ke kamarku. Aku terkejut dia bahkan membuatkanku bubur. Entah apa yang merasukinya.

Apa mungkin dia tak membantuku membawa rantang itu?

“Aku meninggalkannya di perpustakaan,” katanya singkat seperti sedang membaca pikiranku. Aku terkejut berusaha tak memikirkan apapun. Bagaimana jika aku tiba-tiba memikirkan rahasia terbesarku dan dia bisa membacanya. Kan jadi namanya bukan lagi rahasia.

“Sayang banget. Padahal rasa ayamnya sangat lezat. Jika tak percaya, tanyakan pada bajuku saja. Tadi dia sempat mencicipinya,” kataku sambil menunjukkan noda saus di baju putihku.

“Berbaringlah! Kamu baru sadar,” katanya menatapku serius setelah mendengar omong-kosongku.

Mengapa dia tampak sangat khawatir. Dari setiap kejadian yang kualami hari ini. Kekhawatiran Aron yang paling aneh.

Aku duduk di tempat tidurku lalu dibuat heran oleh Aron yang tiba-tiba mencoba mengepang rambutku.

Sebenarnya aku dan Aron adalah telah berteman sejak kecil. Saat itu dia sering mengepang rambutku ketika aku akan melakukan sesuatu. Seperti jika aku akan makan, bermain, atau hendak belajar.

Namun entah apa yang membuatnya berubah menjadi bersikap dingin padaku.

Setelah Arong selesai mengepang rambutku, diapun duduk dan mengambil mangkok itu.

“Kamu sibuk membuatkan orang lain makanan tapi tak membuatkan makanan untuk dirimu sendiri,” omelnya. Lalu menyendokkan bubur itu dan hendak menyuapiku.

Tunggu! Aku punya tangan sendiri mengapa aku harus pasrah disuapi olehnya.

“Aku tak tahu masak,” kataku. Aku hanya berdoa dalam hati agar aku tak mengatakan hal norak lagi.

“Karena aku peduli padamu. Aku lebih peduli padamu daripada diriku sendiri,” tambahku. Aron berhenti menyendokkan nasi bubur itu setelah aku mengakhiri kalimatku.

Rasanya aku ingin membeli gembok dan sebuah kunci untuk menutup rapat-rapat mulutku.

“Lebih baik pedulikan dirimu dahulu. Jangan membuatku terlihat jahat karena aku tak bisa membalas cintamu,” katanya.

Kamu benar! Sebenarnya aku hanya membuang waktuku dengan memperdulikanmu.

Aku tak sabar menunggunya pulang. Apalah dayaku yang terkendalikan. Aku hanya bisa pasrah. Meski ingin sekali kukatakan “Aku tak mencintaimu,”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status