Azra's Current POV
Mereka melewati hari yang berkualitas berdua selama Azra ada di Jogja. Besoknya Icha yang menemani Azra gantian fitting jas pengantin. Nggak banyak, cuma tiga, sama seperti Icha. Beskap (baju adat laki - laki jawa - jas lengan panjang, blangkon dan Jarik) yang akan dipakai saat resepsi sudah paten, hanya tinggal menyesuaikan ukuran saja. Kata Bulik Indah, lengannya perlu sedikit di pendekin biar yang pakai merasa nyaman.
Mereka nurut saja. Yang tau soal baju kan memang Bulik Indah. Beliau pakarnya, jadi manut saja lah sama pakarnya.
Undangan juga sudah dimasukkan ke cetak. Persiapan pernikahan mereka sudah delapan puluh persen. Dua puluh persen nya ada pada hari H. Intinya, persiapannya sudah amat matang. Sebulan lagi, malah nggak sampai. Dua puluh tujuh hari lagi karena sekarang sudah bulan Maret awal.
Sore itu, saat Azra menjemput Icha untuk mengantarnya pulang ke Bandara, dia ketemu
Azra's Current POV Masa pingitannya berlalu alot bagi Azra. Dia dilarang oleh Bulik Indah dan Neneknya untuk berhubungan dengan Icha dalam bentuk apapun. Mama sih santai. Nggak percaya sama yang begitu. Bapak juga lebih ke nggak boleh ketemu dulu tapi masih boleh berhubungan, teknologi katanya. Tapi tiap malam salah satu dari mereka, Bulik Indah dan Nenek selalu mengeceknya. Dan dia tidak bisa berbohong pada orang - orang terdekatnya. Lebih gampang walk out daripada mencari alasan untuk berbohong. Makanya dulu saat ada masalah dengan Icha dia lebih memilih menghindar. Oke, itu memang karena dia pengecut. Tapi kira - kira seperti itulah alasannya. Tapi apakah dia menurutinya? Tentu saja... nggak. Kangennya lebih besar! Dia lihat polanya Bulik Indah dan Neneknya kalau bertanya. "Hari ini nggak telpon Icha, kan? Wasapan? Sms?" Hanya seputar tiga itu. Dia nggak menyebutkan skype an di sana. Jadi, Azra
Azra's Current POV Dia menurut, mengikuti Jijah masuk kembali ke mobil dengan masih bertanya - tanya. Kok Hafid sama Ida di sini? Mereka sakit? Sakit apa? Kok nggak ngabarin apa - apa. Dia pulang masih setengah memikirkannya. Jalanan macet. Seperti biasa. Bukan Jakarta kalau nggak macet. Tapi mereka sampai rumah tepat waktu. Nggak terlalu malam. Mama sudah menunggunya di dalam, sedang menata meja makan yang sekarang penuh dengan makanan. Mereka berdua segera masuk dan salim Pada Mama sebelum bebersih dan kembali turun untuk makan malam bersama Mama. "Whuiiih pesta kita ini pesta... bentar." Jijah yang awalnya heboh excited melihat isi meja mendadak memegang dagunya. Kepala ditelengkan ke kiri. Gayanya sok mikir. "Kok Jijah perhatiin ini semua makanan kesenengannya Mas Azra aja? Kesenengannya Jijah mana Mama?" Dia mulai protes. "Dasar nggak bersyukur. Udah dimasakin padahal sama Mama capek - capek." Azra menjambak pelan rambut adiknya ya
Azra's Current POV Masih mode pingitan. Tapi seenggaknya, karena sudah memasuki prosesi pernikahan, Nisya sering main ke rumah Icha untuk membantu. Tentunya hal itu dimanfaatkan dengan seksama dan semaksimal mungkin oleh Azra. Apalagi, kalau bukan jadi perantara komunikasinya dengan Icha. "Kok upil, kamu. Mentang - mentang aku di sini, terus ponselku dibawa Icha terus." Protesnya saat Azra menelponnya siang itu sebelum berangkat ke bandara. Tinggal nunggu Jijah pulang aja, dan mereka akan langsung cuss bandara buat ke Jogja. "Sama temen ini, bantuin lah. Jangan pelit - pelit." pintanya dengan nada memelas. "Bantuin sih bantuin, tapi udah dua hari gini terus." "Kan gue nggak bolehnya w******p sama telpon Icha. Kalo telpon lo kan boleh." Dia ngeles mulus kayak bajaj ngepot. Suara Nisya yang mendengus keras terdengar hingga ke sisinya. "Sa ae lu. Tapi kan aku juga susah. Nanti kalo pasienku telpon darurat gimana?" Nis
Icha Current POV Hari bahagia itu akhirnya datang juga. Tiga bulan yang berat bagi Icha dan Azra. Kesibukan pekerjaan dan persiapan pernikahan yang membuat mereka stress luar biasa. Jarak yang membuat komunikasi mereka tidak maksimal dan sering miskom, terutama saat masa pingitan. Dan perselisihan kecil hingga besar yang tak terelakkan. Semua bagaikan roller coaster. Kalau bukan Azra, rasanya dia ingin menyerah saja. Seperti sekarang ini. H-2 pernikahan, saatnya pengajian, hanya hitungan jam sebelum Azra mengucap ijab - qobul dan membuat mereka sah meni suami istri di mata hukum dan agama, tapi dia malah sedang tidak berbicara dengan Azra. Mereka sedang bertengkar. Bukan hal besar sebenarnya, tapi mood mereka sedang dalam mode saling berteriak dan
Icha's Current POV Tidak seperti acara pernikahan Ida dan Hafid yang digelar di rumah, pernikahan Icha dan Azra diadakan di gedung. Ballroom hotel lebih tepatnya. Hasil lobi - lobi supplier, biar dapat diskon. Kan lumayan, uang sisanya bisa buat ditabung buat masa depan. Dan kebetulan supplier yang mau kerjasama dan menawarkan kerjasama lumayan banyak. Mungkin karena embel - embel Azra yang manager regional di kantornya dan mereka berdua yangbpekerja travel dan pariwisata. Sehari sebelum perhelatan, mereka sudah sampai di gedung dan malamnya, mereka melakukan gladi resik resepsi. Rencananya, akadnya akan dilakukan secara tertutup di dalam salah satu kamar hotel dengan keluarga dan sahabat dekat sebagai saksi. Biar khidmat. Kemudian dilanjutkan den
Azra's Current POV Dia bangun pagi sekali. Bukan bangun, tapi karena tidak bisa tidur. Bukan juga karena Hafid yang ngorok, karena kenyataannya sahabatnya itu tidur kayak orang mati. Nggak gerak dan nggak bersuara. Dia bangun karena dia merasa perlu menggerakkan tubuhnya biar nggak terlalu tegang. Dia akhirnya benar - benar bangun saat adzan subuh berkumandang. Mandi dan menunaikan sholat subuh sebelum duduk di sofa dan menyalakan tv. Dinyalain aja, nggak ditonton karena pikirannya kini sedang menghafal bacaan ijab qobulnya. Mengecek apakah dia sudah mengucapkan maharnya dengan benar. Tak lama kemudian Hafid bangun, melakukan rutinitas pa
Icha's Current POV "Bismillahirrahmaanirrohiim." Icha antara pingin lari, pingin di situ aja, pingin loncat - loncat, pokoknya semua kegajeannya mendadak ingin dikeluarkan secara bersamaan dan seketika saat itu juga begitu suara penghulu terdengar membuka ijab yang sebentar lagi akan diucap Bapak. "Wahai engkau Ananda Azra Muhammad Rifai bin Farhan Kemal Rifai, saya nikahkan dan kawinkan kau dengan anak perempuan saya Icha Dwi Aryani Binti Joko Purnomo dengan mas kawin uang tunai senilai sepuluh juta rupiah dan satu unit rumah tipe 60 x 10 dibayar tunai." Bapak membacakan Ijabnya dengan suara mantap tanpa ada getaran sedikitpun. Jeda sebentar. Icha melirik takut - takut pada calon suaminya. Ja, kamu nggak lupa bacaannya, kan? Please. "Saya terima nikah dan kawinnya Icha Dwi Aryani Binti Joko Purnomo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Icha lega luar biasa bahkan sebelum penghulu bertanya sah pada para saksi dan hadirin yang disambut deng
Azra's Current POV "Gue udah tau tentang kalian. Bukan, bukan dia yang kasih tau, tapi gue emang tau. Dia kebetulan pernah curhat sama gue, bilang temennya begini begitu. Tapi kita temenan udah lama kan, Nyak, nggak mungkin kan, kalau gue nggak ngeh kalo dia itu lagi cerita tentang lo sama dia?" Akhirnya mata belo Ida yang tadinya memandang Azra kebingungan itu menghilang digantikan binar sendu yang sudah Azra hafal. Saking seringnya dia melihatnya diam - diam akhir - akhir ini. "Masa sih, Ja, sejelas itu? Gue kira nggak bakal ada yang tau. Gue udah berusaha banget." Ida menjawab pelan. "Gue tau. Mungkin Cuma gue, yang lain mungkin belum