Share

Six - Denial

Beberapa hari selanjutnya berlalu biasa saja bagi kami. Kadang, aku mendapati Ai yang masih saja menatapku dengan pandangan prihatin, tapi tak kuhiraukan. Aku tak mau terbelenggu pada pusaran mengasihani diri sendiri. Ini memang bukan seperti yang aku rencanakan, tapi, aku yakin, semua hal di dunia ini bisa di kompromikan, benar, kan? Lagi pula, aku masih menganggap ini semua adalah mimpi, dan setelah akhir bulan berlalu, aku akan tahu kalau Papa tidak setega itu padaku.

Dan kalau ternyata benar - benar terjadi... hmm... ya sudahlah. Aku tak berbicara tentang cinta setelah menikah dan sebagainya. Orang tua jaman dulu bilang, cinta datang karena terbiasa, tapi... kalau tidak bagaimana? kalau cinta itu datang, tak masalah, tapi bagaimana kalau tidak? Jadi aku menganggap ini hanya sebagai sesuatu ujian yang sulit saja. Seperti caraku menerima Gee, yang walaupun aku tak terlalu suka, bukan berarti aku tidak mencoba menerimanaya. Yah, begitu saja lah. Dan lebih baik kufokuskan pikiranku yang lainnya pada thesisku. Ya, begitu.

Lebih bagus lagi kalau ternyata dia yang tidak menyukaiku. Akan lebih gampang untukku mengacuhkannya. Lagipula, aku tidak punya pengalaman tentang percintaan sedikitpun! Aku harus bagaimana saja aku tak tahu. Jadi karena aku jadi bingung sendiri dan mood ku jadi kacau luar biasa, lebih baik aku tak memikirkannya, kan?

Aku keluar dari kamar mandi dan bertemu dengan Gee di lorong kamar kami.

"So you're getting married?" tembaknya langsung.

"Well, maybe?"

"How could you marry someone you don't know? Besides, why would someone trade their freedom for silly engagement like marriage life?!" Tanyanya dengan wajah judgy yang entah kenapa membuatku amat sebal.

Yang mau menikah kan aku, yang bakal kehilangan freedom kan aku, kenapa dia yang nyinyir?!

"Last time I checked, this is none of your business, so just stay away. We're good at keeping our things from each other this time, so why crossed the line, now?"

Jawaban kalemku hanya dibalas dengusan sinis olehnya. "Kupikir kamu gadis yang pintar, ternyata sama saja. Kenapa juga orang mau menikah di jaman yang sudah modern seperti ini." Katanya berjalan melewatiku dan masuk ke dalam kamar mandi.

Aku juga tidak berlama - malam di sana dan langsung masuk kamar. Kesal rasanya. Aku menahan diri agar tidak membanting pintu kamarku saat menutupnya. Memangnya ini jaman seperti apa?! kenapa lantas orang tidak boleh menikah?! Bukan aku ngebet banget ingin menikah, tapi aku juga punya pernikahan impian versiku sendiri! Aku menyukai kebebasan, tapi aku juga menginginkan pernikahan yang melibatkan cinta, pasangan, romantisme, pernikahan impian hingga anak - anak!

Bodoh? Aku kira bukan. Itu hanya gambaran ideal yang biasa orang punya, dan yeah, aku ini orang biasa, bukan superwomen atau yang lainnya.

Dikonfrontasi seperti itu tentu saja membuatku jadi overthinking. Hal - hal yang di awali dengan 'bagaimana kalau' muncul satu persatu di kepalaku. Aku tidak suka di tatap dengan penuh ejekan dan direndahkan seperti itu!

Lihat saja, kalau ternyata suamiku jelek, kutinggal saja di bandara. Biar saja dia mencariku ke seantero Paris dan Prancis. Aku harus membuktikan pada Gee bahwa menikah itu bukan hal yang bodoh!

***

Akhir bulan mendekat dengan cepat, secepat kereta TGV di rel - rel yang membentang di Paris. Aku sekuat hati berusaha tidak memikirkan tentang pernikahan ku yang juga semakin mendekat. Saat berkontak dengan Mama ataupun adikku , aku berusaha tidak menyinggungnya. Mereka pun sepertinya tahu bahwa tidak menolak pernikahan ini, bukan berarti aku setuju. Aku hanya tidak punya pilihan.

kemajuan thesisku juga semakin mendekati hasil akhir. Membuatku bangga pada diriku sendiri karena masih bisa memikirkan tentang thesis saat situasiku sendiri sedang pelik seperti ini. Aku baru saja pulang dari berjalan - jalan dengan Ai. Ali? Sepertinya dia benar - benar sedang dimabuk cinta. Dia mengejar gadis undergraduate itu siang dan malam. Kami pergi berdua. Hanya jalan - jalan menyusuri cafe di sepanjang La Seine, dan mengunjungi toko buku bekas yang menjadi langganan kami.

Kami baru saja berpisah sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku masih berdiri di pinggir rel, masih di dalam batas aman sesuai pembatas yang ditetapkan oleh stasiun, menunggu kereta yang akan membawaku semakin dekat dengan kediaman Madam Fatima. Sendirian, hal yang seharian ini berhasil kusingkirkan, kini muncul lagi di permukaan.

Siapkah aku menjadi seorang istri? Apa saja tugas seorang istri? Bagaimana seharusnya seorang istri bersikap? Apa hakku sebagai seorang istri? Bagaimana... Bagaimana jika nanti dia... kami... um... aku tahu itu hal yang wajar dilakukan oleh suami istri, bahkan beberapa teman yang aku kenal di sini pun sudah lazim melakukan hal itu sejak mereka jauh lebih muda, tapi... bagiku, ini yang pertama kalinya! Apa yang harus aku lakukan?!

"Halo?"

Aku mengangkat telpon dari Mama, tepat saat pintu TGV yang berhenti di depanku terbuka. Aku langsung masuk dan mencari tempat duduk. Week end dan ini sudah lewat jam sepuluh, jadi di kereta suasanya sepi.

"Sayang. Udah mau istirahat, ya?" Tanyanya.

"Belum, Mama. Masih di kereta, baru mau pulang. Tadi jalan sama Ai cari buku." Jelasku.

"Ah... Rara sendirian?"

"Iya." Sama siapa lagi? Jelas - jelas aku pernah bilang pada Mama kalau tempatku dan tempat Ai walaupun tak begitu jaun, tapi kami berlainan arah. Seringnya kami janjian di tengah - tengah seperti ini agar tak ada satupun yang merasa dirugikan.

"Sebentar lagi ya, nanti anak Mama ada yang nemenin kalau mau kemana - mana di sana." Kata Mama seperti terdengar... gembira?

"Ma, kenapa Papa lakuin ini ke Rara? Rara bisa sendiri di sini. Kenapa sekarang harus seperti ini? Gimana kalau nanti pernikahan Kayra berantakan? Rara nggak mau nyalahin Papa tapi ini semua kan atas perintah Papa. Nanti kalau..." Seolah Mama memencet tombol flush toilet, semua yang selama ini kutahan tapi tak berani kutanyakan pada Papa kini keluar semuanya.

"Rara..." Panggilan pelan Mama menghentikanku.

Aku terdiam, dada ku naik turun karena terengah. Kaget sendiri karena tanganku kini bahkan gemetaran menahan emosi.

"Kenapa, Ma?! Kenapa harus Rara?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status